Juna menampakkan dirinya tanpa melepas masker yang menutupi wajahnya. Dia lekas melesat ke Parto dan berdiri di depan hidung anak buah Leila itu.Tubuh Parto gemetar saat dia menatap Juna yang dia kira makhluk astral.“Berlutut!” tegas Juna dengan suara penuh wibawa.Seperti ada sesuatu yang menekan jiwa Parto, lelaki itu segera berlutut takluk di depan Juna. Mentalnya sudah jatuh karena dia meyakini bahwa keanehan di kamar sang pacar adalah karena sosok misterius di depannya.Satu tangan Juna terulur dan telapak tangannya seakan memiliki daya tarik kuat sehingga kursi yang cukup jauh di sudut ruangan melesat di tangannya, sehingga dia bisa duduk di depan Parto.Ketika menyaksikan adegan itu, mana mungkin Parto masih berpikir sosok di depannya manusia?“Kamu … aku mewakili dewata penghukum untuk mengurusmu!” Juna sedikit mengubah suaranya, siapa tahu Parto mengingat suara Arjuna sebelumnya.“A—ampun … ampuni saya, Dewata! Ampuni saya!” Parto benar-benar meyakini makhluk di depannya ad
Suasana sedikit hiruk-pikuk gara-gara bungkusan kotak kecil yang sangat mencurigakan di dekat gerbang masuk.Tetangga berdatangan untuk melihat apa yang terjadi, tapi petugas polisi segera meminta mereka bubar dan dilarang mendekat demi keselamatan.Hartono dan Wenti saling berpegangan tangan, wajah mereka penuh akan kecemasan.Sementara itu, Juna kesal, dia merutuk di hati, ‘Sialan! Kenapa malah harus memanggil polisi penjinak bom segala? Apanya yang harus dijinakkan?’ Ketika penjinak bom berhasil membuka kotak itu secara perlahan-lahan, terkuaklah apa isi di dalamnya.Sebuah flashdisk.“Hah?” Polisi penjinak bom sampai tak bisa menahan keheranannya. Dia mengangkat benda kecil seukuran kelingking dan menunjukkan ke rekannya.“Flashdisk?” Rekannya ikut bingung. “Hanya itu?”“Hanya ini.” Petugas itu kemudian berdiri dan menyampaikan temuannya pada Hartono.“Eh? Ini? Cuma ini, Pak?” Ekspresi Hartono sama seperti dua petugas tadi.Petugas mengangguk dan setelahnya mereka mengemasi alat
Tak hanya para polisi saja yang terkejut atas ucapan Hartono, tapi Juna dan pekerja rumah Hartono di sana pun ikut terkejut. Mereka tak menyangka Hartono memiliki permintaan demikian.“Tapi, Pak, ini sudah berkaitan dengan nyawa serta keselamatan seseorang.” Polisi mendebat Hartono dengan bahasa sehalus mungkin. Bagaimana pun, Hartono adalah pengusaha besar di Kota Samanggi, tak bisa sembarangan bertingkah di depannya.“Bapak polisi sekalian bisa meringkus para penjahat di rekaman CCTV itu, saya tidak peduli, tapi biarkan saya menangani sendiri mengenai istri pertama saya.” Hartono bersikeras dengan keinginannya. Lalu, dia menoleh ke Wenti di sisinya. “Mamah, kamu setuju dengan niatku ini, kan?”Sebagai orang yang tidak memiliki kuasa apapun dan menggantungkan hidup dan cintanya ke Hartono, Wenti tak punya opsi lain selain mengangguk pelan. “Iya, Mas, silahkan Mas saja yang atur.”Juna geram sekali. Padahal dia sudah gembira karena akhirnya Leila akan menemui batunya. Tapi … ‘Huh! Har
Metode yang digunakan Juna ke para penculik Wenti sebelumnya sama seperti yang dia gunakan terhadap para pelaku pembobol rumah Hartono.Dia kini sudah mengantongi bukti rekaman pengakuan mereka. Tapi dia ingin menghukum orang-orang itu.Menggunakan kemampuan untuk memerintah makhluk astral terdekat yang lemah, dia menggunakannya sebagai sarana intimidasi pada para penculik Wenti.Mereka berhasil dikumpulkan di sebuah gudang kosong dan Juna cukup beruntung menemukan banyak makhluk astral di tempat itu yang bisa dia perintah.Maka, sudah bisa dibayangkan seperti apa teror yang dihadapi para penculik itu ketika mereka dipaksa melihat sosok-sosok menyeramkan di sekeliling mereka.Yang lebih parah dari teror makhluk-makhluk seram itu adalah … Juna membuat mereka tidak bisa bergerak dan tak bisa pingsan. Dia memiliki banyak ajian yang bisa dia pilih sesuai kebutuhan.“Arrghh! Jangan! Jangan!” teriak salah satu penculik. Tulang lengannya baru saja sembuh tapi kini dia menemui bencana lainny
Secuil jiwa Juna yang selalu mengawal Wenti tanpa diketahui siapapun, rasanya ingin memukul kepala Hartono ketika mendengar pria itu memohon ke istri mudanya untuk melepaskan Leila.Sedangkan Wenti, hatinya memang hancur mendengar permintaan suaminya, tapi dia tak bisa apa-apa. Sebagai anak yatim piatu dan tak punya siapapun untuk mendukung dirinya, dia hanya bisa mengangguk meski hatinya perih.Dia teringat insiden di dalam angkot, begitu mengerikan baginya, menimbulkan trauma mendalam sehingga Wenti enggan memakai kendaraan umum lagi sendirian, karena perlakuan para penculik itu masih membekas membawa luka di sanubarinya.‘Hartono lelaki tolol!’ umpat jiwa Juna tanpa bisa didengar ayah mertuanya. Manusia biasa tidak akan bisa mendengar suara pecahan jiwa.‘Padahal istrimu begitu menderita gara-gara insiden itu!’ Karena kesal, pecahan jiwa Juna melampiaskannya pada daun jendela di dekatnya.Brakk!Hartono dan Wenti sama-sama melonjak kaget dan menatap ke jendela. Tak ada siapapun di
Juna harus melakukan sesuatu dengan datangnya surat panggilan untuk sidang cerai yang akan dilangsungkan satu minggu dari surat itu dikirimkan. ‘Aku harus mengetahui seluk-beluk mengenai sidang perceraian!’ Lalu, Juna mencari mengenai itu di internet. Setelahnya, dia mempelajari berbagai hal yang berkaitan dengan gugatan perceraian. *** “Pak Juna sudah siap?” tanya pengacaranya, Julian Lubis. “Siap, Pak Lubis!” Juna mengangguk, lalu mereka berdua masuk ke ruang sidang di pengadilan agama. Di dekatnya, terdengar kasak-kusuk perempuan muda ke orang di sebelahnya. “Kok seganteng itu dicerai, sih?” “Eh, siapa tahu dia yang menggugat cerai!” “Kalau begitu, aku bersedia menggantikan jadi istrinya saja, deh!” “Hei, siapa tahu dia dicerai istrinya karena kasar atau jahat!” Banyak perempuan yang duduk di bangku antrian membicarakan Juna yang baru masuk bersama pengacaranya. Wajar saja bila dia menarik perhatian ketika datang ke Pengadilan Agama, itu karena biasanya lebih banyak perem
Pagi ini Juna sudah siap berangkat ke kantor. Sudah memakai setelan jas biru tua, terlihat keren, perlente, dan luar biasa.Usai menata rambutnya, dia melirik ponsel di atas meja rias, lalu mengambilnya. Melihat di sana tak ada chat jawaban dari istrinya, dia menyeringai.Kemudian, tangannya mengetik sesuatu untuk Lenita.[Pagi, Len. Suamimu berangkat kerja dulu, yah!]Tak hanya itu, Juna juga mencantumkan foto selfi dia di chat tersebut. Di ambil dari sudut terbaik dan senyum terbaik pula. Sebuah senyum maskulin, tidak berlebihan, tapi pasti membuat hati wanita bergetar.Lalu, dia kirimkan foto beserta chat-nya ke Lenita. Selesai itu, dia keluar kamar dan bersiap makan pagi sebelum berangkat ke kantor.Di meja makan, ternyata ada Hartono dan Wenti.“Sini makan, Jun!” panggil Wenti dengan keramahan seperti biasanya.Juna mengangguk dan duduk di kursi seberang Hartono. Matanya menyisir hidangan di atas meja. Ada makanan ala orang Nusantara pada umumnya ketika pagi seperti nasi goreng d
Juna cukup terkejut dengan berita yang disampaikan sekretarisnya, tapi dia bersikap senormal mungkin. “Oh, ya, minta resepsionis menunggu di sana saja.”Setelah itu, Juna melanjutkan rapat hingga selesai. Kemudian, dia keluar lebih dulu meninggalkan dewan direksinya diikuti Velina.Sesampainya di ruangan pribadi, Juna memang mendapati istrinya di sana, duduk di sofa sambil sibuk membuka-buka majalah secara bosan.Penampilan Lenita terlihat memukau dengan blus satin ketat pas badan model lilit berleher V rendah warna merah terang dan rok split selutut dari satin hitam bercorak bunga-bunga kecil putih berbelahan tinggi di bagian depan hingga mengekspos paha mulusnya.Ketika Lenita melihat kedatangan Juna, dia menurunkan kaki yang ditumpangkan di paha dengan gaya elegan.Mata Juna dibuat memandang ke paha mulus yang bergerak pelan itu dan kemudian Lenita berdiri.“Cantik sekali istriku hari ini.” Juna tersenyum sembari mengalunkan pujian ke Lenita.Mata Lenita berputar seolah jengah, pad