Pagi ini Juna sudah siap berangkat ke kantor. Sudah memakai setelan jas biru tua, terlihat keren, perlente, dan luar biasa.Usai menata rambutnya, dia melirik ponsel di atas meja rias, lalu mengambilnya. Melihat di sana tak ada chat jawaban dari istrinya, dia menyeringai.Kemudian, tangannya mengetik sesuatu untuk Lenita.[Pagi, Len. Suamimu berangkat kerja dulu, yah!]Tak hanya itu, Juna juga mencantumkan foto selfi dia di chat tersebut. Di ambil dari sudut terbaik dan senyum terbaik pula. Sebuah senyum maskulin, tidak berlebihan, tapi pasti membuat hati wanita bergetar.Lalu, dia kirimkan foto beserta chat-nya ke Lenita. Selesai itu, dia keluar kamar dan bersiap makan pagi sebelum berangkat ke kantor.Di meja makan, ternyata ada Hartono dan Wenti.“Sini makan, Jun!” panggil Wenti dengan keramahan seperti biasanya.Juna mengangguk dan duduk di kursi seberang Hartono. Matanya menyisir hidangan di atas meja. Ada makanan ala orang Nusantara pada umumnya ketika pagi seperti nasi goreng d
Juna cukup terkejut dengan berita yang disampaikan sekretarisnya, tapi dia bersikap senormal mungkin. “Oh, ya, minta resepsionis menunggu di sana saja.”Setelah itu, Juna melanjutkan rapat hingga selesai. Kemudian, dia keluar lebih dulu meninggalkan dewan direksinya diikuti Velina.Sesampainya di ruangan pribadi, Juna memang mendapati istrinya di sana, duduk di sofa sambil sibuk membuka-buka majalah secara bosan.Penampilan Lenita terlihat memukau dengan blus satin ketat pas badan model lilit berleher V rendah warna merah terang dan rok split selutut dari satin hitam bercorak bunga-bunga kecil putih berbelahan tinggi di bagian depan hingga mengekspos paha mulusnya.Ketika Lenita melihat kedatangan Juna, dia menurunkan kaki yang ditumpangkan di paha dengan gaya elegan.Mata Juna dibuat memandang ke paha mulus yang bergerak pelan itu dan kemudian Lenita berdiri.“Cantik sekali istriku hari ini.” Juna tersenyum sembari mengalunkan pujian ke Lenita.Mata Lenita berputar seolah jengah, pad
Juna tidak mengira akan secepat ini Lenita menyerah. Tapi itu membuatnya senang. Dielusnya wajah sang istri saat tatapan mereka saling bertaut lekat.“Kamu jahat, Jun!” Suara Lenita lebih seperti rengekan kesal ketika mengatakan itu.“Ya, aku jahat.” Juna tidak membantah dan menurunkan tengkuk istrinya agar dia bisa dengan mudah menjangkau bibir kenyal Lenita untuk dia pagut dan lumat.Sementara bibirnya beraksi, tangan Juna bekerja di paha mulus Lenita sembari tangan lain menahan tengkuk Lenita agar terus melanggengkan ciuman mereka.Bibir Juna mulai turun, menjelajahi leher Lenita sembari jemarinya secara pelan meremas bongkahan di belakang tubuh istrinya, mengakibatkan suara erangan keluar dari mulut Lenita .Cumbuan Juna membuai Lenita hingga rasanya udara menjadi panas, mengakibatkan Lenita gerah, entah karena terbakar gairahnya sendiri atau memang gara-gara AC tidak dinyalakan saat mesin mobil dimatikan.“Aaanhh ….” Lenita berinisiatif mengurai manik pada blusnya sehingga dadany
Usai mobil Juna memberikan klakson dan berlalu dari rumah Leila, Lenita mendesis kesal pada suaminya.‘Untuk apa bunyikan klason segala, sih!’ omel Lenita dalam hati. ‘Nanti bisa-bisa Mama—‘“Nita, ya?” Suara Leila sudah muncul lebih dulu saat Lenita sedang membatin ibunya akan keluar.“A—ah, iya, Ma!” Lenita berseru sambil menoleh ke ibunya yang sudah tiba di gerbang depan.“Kenapa selarut ini baru pulang?” Leila bertanya disertai pandangan menyelidik.“I—itu … tadi diajak jalan-jalan teman, Ma.” Lenita menyambar alasan apapun yang bisa menyelamatkan dirinya dari sang ibu. Akan gawat kalau sampai ibunya mengetahui dia baru saja bertemu Juna. Apalagi ketika pergi dia hanya berpamitan hendak ke rumah teman saja agar tidak suntuk.“Klakson tadi itu temanmu, ya?” Kepala Leila lekas menoleh ke kanan dan kiri, lalu menemukan pantat mobil yang sedang berbelok keluar dari gang besar tersebut.“Iya, Ma.” Lenita merutuki Juna, ‘Ih! Kenapa tidak buru-buru nyetirnya, sih? Gawat kalau sampai Mama
Juna melirik istri di sampingnya dan menjawab, “Ya. Aku menang war tiket.” Dia tersenyum. Padahal dia mendapatkannya dari calo beberapa hari lalu.Harga berapapun tidak masalah baginya karena membeli di hari yang sangat berdekatan dengan hari H konser, yang penting dia bisa membuat Leila sakit kepala nantinya dengan bantuan Lenita.Juna sebenarnya tidak begitu paham dengan musik era ini. Dia hanya melihat ada sebuah konser yang sangat dinantikan oleh begitu banyak warga Nusantara, makanya dia meyakini Lenita tak akan menolak jika diajak ke konser tersebut.Kalaupun Lenita tak mengenal musiknya, dia yakin istrinya masih bersedia menemaninya menonton konser karena pasti Lenita tak ingin dia mengajak orang lain.Juna sudah paham seperti apa jalan pikiran sang istri. Dia sudah menggenggam psikologis Lenita.Sesampainya di venue, sudah begitu banyak orang di sana. Juna terus melindungi Lenita menuju ke area festival seperti yang tertera di tiket.Lenita tidak menyia-nyiakan kesempatan ini
Nita sedikit gugup mendengar bentakan keras ibunya yang berang karena ulahnya. Padahal dia semalam sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi situasi semacam ini, tapi ternyata ketika berhadapan langsung dengan ibunya, dia selalu kecut.Lenita kelimpungan mencari alasan, padahal semalam dia sudah mempersiapkannya, tapi mendadak otaknya kosong. “M—Ma … ini … aku … aku belum siap ….”“Belum siap apanya?!” teriak Leila semakin murka. “Mama sudah bayar mahal pengacara untuk kamu, tapi bisa-bisanya kamu malah kendur dan ingin mundur! Kamu ini sudah diracuni apa oleh si bajingan brengsek itu?”“Mama jangan bicara begitu tentang suami aku!” Lenita lama-lama jengah juga bila mendengar ibunya memaki-maki suaminya.“Oh! Kamu sekarang sudah pintar membela dia, ya?” Leila mengendurkan suaranya meski dari raut wajahnya, akan ada badai setelah ini. “Kamu ingin jadi anak durhaka? Kamu ingin Mama mati berdiri gara-gara kamu?!” Dan lengkingan membahana terdengar di seluruh ruangan hingga ke halaman bel
Banyak orang di sekitar Juna yang terkejut dan para wanita memekik. Beberapa ibu-ibu bergegas menghampiri Juna untuk menanyakan kondisinya.“Mas, kamu kenapa?” Salah satu ibu bertanya.Disusul ibu lainnya sambil memegang Juna, “Ada yang sakit, Mas?”Juna berangsur-angsur membaik, tepat ketika sosok itu menjauh darinya.Dari kejauhan, Lenita berlari mendekat dengan raut wajah cemas. “Juna! Juna! Kamu kenapa?”“Umh, entah.” Juna pelan-pelan berdiri sambil dibantu dua ibu-ibu dan Lenita. “Tapi ini sudah tidak kenapa-kenapa, sih!” Dia merasakan rasa sakit di kepala dan jantungnya sudah reda dan menghilang dengan cepat.Melihat Juna sudah bisa berdiri, dua ibu-ibu itu segera meninggalkan dia dalam penanganan Lenita. Apalagi Lenita menatap judes mereka seakan takut Juna terlalu banyak disentuh-sentuh mereka.“Maaf, Len, minumannya tumpah.” Mata Juna menatap dua kemasan minuman yang sudah berceceran di lantai paving.“Sudahlah, biarkan saja.” Lenita memapah suaminya berjalan. “Bagaimana? Sud
Lagi-lagi, Hartono melihat aksi Wenti membetulkan dasi Juna. Mana mungkin dia tidak merasakan gejolak cemburu? Apalagi usia Wenti dan Juna tak terpaut jauh.Hartono sudah bersiap hendak menegur, tapi raut wajah gaharnya mendadak berubah menjadi tatapan cemas ketika melihat istrinya tiba-tiba kehilangan kesadaran.“Ma! Mama!” Juna sudah memeluk Wenti yang mendadak pingsan begitu saja saat sedang membetulkan dasinya.“Sayang? Kamu kenapa, Sayang?” Hartono mengambil alih Wenti dari pelukan Juna. “Sudah, kamu minggir saja, Jun!” usirnya dengan tatapan sengit ke menantunya.Juna menyerahkan Wenti pada Hartono agar tidak ada salah paham di antara mereka. Tapi, dia masih merasa khawatir pada Wenti dan tidak beranjak dari sana.Hartono sedikit kepayahan ketika menggendong istrinya masuk ke kamar di lantai atas. Padahal Juna menawarkan dirinya untuk membantu, tapi ditolak mentah-mentah.Anak tangga masih setengah lagi yang harus dilalui Hartono, dan dia bersikeras tetap membopong istrinya ke l