Lenita bisa gila jika dia terus diabaikan Juna. Padahal dia sendiri juga tak tahu kenapa merasa begitu. Apakah ini hanya sebuah harga diri yang terluka karena sebelumnya tak pernah diabaikan Arjuna?Malam itu, Lenita mendatangi Juna meski tidak memakai lingerie, hanya kaos ketat sebatas pinggang dan celana mini katun saja.Ketika Lenita datang, Juna mendongak ke arah pintu, menjeda pekerjaannya saat melihat sang istri melangkah masuk ke ruangan sambil membawa baki berisi kue dan es sirup di atasnya.‘Wah! Wah! Bukankah ini sebuah lompatan besar untuk wanita seperti dia?’ Juna terkejut sekaligus takjub dengan perubahan sikap Lenita. Walaupun cemberut, tapi Lenita bersedia merundukkan egonya dengan memberi camilan dan minuman begitu.“Apakah tidak apa-apa kalau makan dan minum yang manis-manis begitu di malam seperti ini?” Juna membubuhkan senyum kecil ketika berbicara sambil meletakkan pensil di atas berkas sembari merilekskan punggung ke sandaran kursi.Wajah cemberut Lenita makin dit
Mau dikata apa jika tubuh mulai menyerah?Meski berat hati, tapi Lenita akhirnya berbicara walau dengan suara lirih, “Aku … minta maaf ….” Dia berada di bawah tekanan. Bukan tekanan dari suaminya, melainkan tekanan dari keinginannya sendiri ingin merasakan seluruh kenikmatan yang ditawarkan Juna.Juna menampilkan senyum diagonalnya ketika mendengar ucapan lirih Lenita. Ya sudah, tak apa hanya begitu saja. Toh, ini tetap sebuah lompatan besar bagi wanita arogan dan keras kepala seperti istrinya.Maka, sebagai hadiah atas sikap patuh Lenita padanya, Juna membopong sang istri menuju kamar mereka sendiri. Dia sendiri juga butuh adanya penuntasan setelah beberapa hari ini menahan kuat-kuat dorongan yang ingin meledak.Memiliki istri memang sangat menyenangkan, bukan?Tak perlu dipertanyakan lagi seperti apa takluknya Lenita malam itu. Dia benar-benar memasrahkan seluruh tubuhnya untuk dilahap sang suami. Dia mirip ikan yang menggelepar setelah diangkat dari air, memanggil-manggil nama Juna
Mana mungkin Wenti tidak merasa kikuk dan pipinya merona? Pinggangnya dipeluk menggunakan satu lengan kokoh pemuda tampan seperti Juna.‘Sejak kapan tubuh Juna menjadi atletis begitu?’ Wenti sibuk mengingat-ingat di benaknya. ‘Bukankah tubuh Juna kecil dan termasuk kurus? Kenapa sepertinya dia sangat kuat? Apakah selama ini dia sebenarnya bertubuh atletis dan aku tidak sadar? Dia barusan menahan beban tubuhku dengan hanya satu tangan! Astaga!’“A—ahh! Um … terima kasih, Jun! Maaf!” Wenti jadi salah tingkah dan bersikap gugup. Dia benar-benar tidak menyangka akan ada insiden semacam ini bersama menantunya.“Tak masalah, Ma. Sini belanjaannya biar aku saja yang bawa!” Juna tersenyum santai dan meraih kantong-kantong belanja di tangan Wenti untuk dia bawa menggunakan satu tangan.Setelahnya, Juna jadi lebih protektif berjalan di sisi Wenti, benar-benar melindungi Wenti dari pengunjung lain yang hendak bersentuhan dengan sang ibu mertua menggunakan tangan lainnya yang bebas.Ini membuat p
“Mas Iwang, pindahkan belanjaan mama ke bagasi mobilku, yah! Setelah itu, Mas Iwang bisa pulang dengan mobil Lenita.”“Baik, Mas!” Iwang mengangguk patuh melakukan perintah majikan mudanya.“E—ehh! Jun! Tapi belanjaan Mama pasti bau dan membuat bagasi mobilmu amis!” Wenti ingat dia tadi membeli ikan dan daging selain sayur-sayuran.“Tak perlu cemas untuk hal kecil begitu, Ma. Kalau bau dan amis, kan bisa dibawa ke tempat cuci mobil.” Juna mengentengkan kecemasan Wenti.Wenti tidak berkutik lagi karena desakan Juna. Dia pun patuh digiring ke kabin depan mobil baru sang menantu dan didudukkan di kursi navigasi.Setelahnya, Juna masuk ke ruang kemudi dan tersenyum ke Wenti sebelum menyalakan mesin mobil. Meski mobil baru, karena Juna sudah melunasi semua pembayaran dan telah melengkapi segala dokumen yang dibutuhkan, maka dia bisa membawa pulang langsung.Tentu dari Juna telah mengantongi STCK atau Surat Tanda Coba Kendaraan yang telah dia urus secara cepat di Samsat kota Samanggi sehing
“Aku sudah mulai lupa apa saja yang aku alami ketika mati suri, Ma.” Akhirnya, Juna memilih untuk merahasiakan saja identitas asli dirinya. Dia tak yakin Wenti bisa menerima kejujurannya.“Oh, baiklah.” Wenti tidak mendesak ingin tahu. “Yang penting, Mama dan papamu senang karena kamu sekarang sudah lebih mau peduli dengan pekerjaan di kantor.”Juna terdiam. ‘Ya, memang sudah semestinya kalian lega dengan itu karena dulunya Arjuna sungguh tidak berguna, menjadi CEO tapi sehari-harinya hanya sibuk menempeli Lenita saja tanpa peduli dengan urusan perusahaan.’Setibanya di rumah, Juna melihat mobil Hartono yang dibawa Iwang tadi sudah memasuki garasi dan kemudian mobil pribadinya segera diparkirkan di carport.Iwang segera mengambil semua belanjaan Wenti di mobil Juna untuk dibawa ke dapur.Ketika Juna dan Wenti keluar dari mobil, mereka disambut Hartono yang tersenyum. Ini berbanding terbalik dengan Lenita yang memasang wajah cemberut.Wenti masuk bersama Hartono, sedangkan Juna dihampi
“Mana yang sakit? Hanya ini?” Juna mengoleskan obat salep luka bakar pada jari Lenita.“Ini juga. Uhh ….” Lenita menunjuk ke jari lainnya sambil bersuara manja.“Dasar lemah. Kena minyak sedikit saja sudah seheboh itu. Tsk!” Juna mengomel sembari mengoleskan lagi salep ke area yang ditunjuk istrinya.“Arghh! Pelan!” Lenita memekik pelan ketika suaminya mengoleskan salep tidak dengan cara lembut.“Sudah! Jangan manja! Besok aku ingin ayam goreng sambal ijo.” Juna menyebutkan menu yang dia inginkan sebelum dia berdiri dan pergi dari hadapan istrinya.Lenita diam sambil mulutnya berkerut. Ini adalah pertama kali baginya memasak makanan yang tergolong susah serta berat. Ikan bumbu pedas, yang membuat dia terkena cipratan minyak di beberapa area tangannya. Tidak parah, tapi bagi dia yang tidak pernah sakit gara-gara minyak, tentu saja itu merupakan hal yang berat.Meski begitu, Lenita harus menahan egonya demi bisa menyenangkan Juna. Apalagi dia tak mau dianggap payah oleh suami sendiri. H
Sebagian nyali Lenita menjadi ciut akibat tatapan tajam dan ucapan Juna. Sudah pasti makna dari ucapan itu dalam dan memuat ancaman yang tak mengenakkan bagi dia nantinya. Lenita paham itu.Maka, Lenita menelan ludahnya dan menghapus air mata di pipi dengan kasar sambil menyahut, “Ini karena kamu seenaknya bicara, Jun! Apa aku tak boleh marah?”“Aku hanya mengucapkan kalimat sederhana seperti pujian lazim pada istri dan mamaku, apakah itu salah?” Juna memiringkan kepala sembari matanya masih menyorot tajam ke Lenita.Hartono yang berdiri di antara keduanya, masih bingung. Memangnya ada masalah apa? Tak ada yang mau memberitahu dia?Sementara itu, Wenti tidak berani mendekat, karena dia paham, jika dia muncul di depan Lenita saat ini, keadaan makin runyam. Dia memilih meringkuk diam di kamar Hartono, menangis diam-diam.“Kalau aku tak suka, ya tak suka!” Lenita bersikeras. Dia benci luar biasa mendalam pada Wenti. Baginya, Wenti adalah sumber perpecahan keluarganya, penyebab ayah dan i
“Tidak.” Juna menjawab singkat. Meski tidak kembali menelusuri pekerjaannya, tapi dia masih diam tanpa melakukan apapun. Lenita bingung dengan sikap diam suaminya. Dia kehilangan akal. Bagaimana caranya agar Juna mau bersamanya ke kamar? “A—aku ….” Sebersit ide muncul di kepala Lenita dengan tiba-tiba sehingga dia berjalan lebih dekat ke Juna sambil tertatih, tapi sedikit menekan telapaknya yang terluka. “Auch!” Lenita berteriak mengaduh karena sakit pada telapak kakinya yang baru tadi siang terluka oleh pecahan kaca. Dia sedikit melimbungkan tubuhnya ke arah Juna. Sebagai panglima kuat di kerajaannya, Juna tentu sigap bergerak dan lekas meraih tubuh istrinya yang nyaris tersungkur di lantai. “Hati-hati.” Juna mau tak mau berdiri dari kusrinya sambil membantu Lenita menegakkan badan. “Uffhh … sakit ….” Lenita merintih lirih, berharap iba Juna. “Makanya jangan sembarangan bertingkah.” Juna menekan kekesalannya jika teringat tindakan konyol istrinya tadi siang. “Iya, iya, aku tah