“Tidak.” Juna menjawab singkat. Meski tidak kembali menelusuri pekerjaannya, tapi dia masih diam tanpa melakukan apapun. Lenita bingung dengan sikap diam suaminya. Dia kehilangan akal. Bagaimana caranya agar Juna mau bersamanya ke kamar? “A—aku ….” Sebersit ide muncul di kepala Lenita dengan tiba-tiba sehingga dia berjalan lebih dekat ke Juna sambil tertatih, tapi sedikit menekan telapaknya yang terluka. “Auch!” Lenita berteriak mengaduh karena sakit pada telapak kakinya yang baru tadi siang terluka oleh pecahan kaca. Dia sedikit melimbungkan tubuhnya ke arah Juna. Sebagai panglima kuat di kerajaannya, Juna tentu sigap bergerak dan lekas meraih tubuh istrinya yang nyaris tersungkur di lantai. “Hati-hati.” Juna mau tak mau berdiri dari kusrinya sambil membantu Lenita menegakkan badan. “Uffhh … sakit ….” Lenita merintih lirih, berharap iba Juna. “Makanya jangan sembarangan bertingkah.” Juna menekan kekesalannya jika teringat tindakan konyol istrinya tadi siang. “Iya, iya, aku tah
Gondo dan Desi sama-sama terkejut mendengar pertanyaan dari Juna.“Ma—maksudnya bagaimana, Pak Juna?” Gondo yang merupakan direktur keuangan, bertanya karena tak ingin salah tangkap kalimat Juna.“Pertanyaanku sesederhana tadi, kalian masih ingin bekerja di sini … atau tidak? Kalau sudah tidak ingin bekerja di sini, saya akan berikan surat pemberhentian kalian dan kuberi uang pesangon.” Juna menganggap dirinya masih baik karena berniat memberi usang pesangon andaikan dua orang itu memilih pergi dari perusahaannya.“Ka—kami tentu saja masih ingin bekerja di sini, Pak!” Desi sebagai direktur pemasaran, tak ingin kehilangan pekerjaan secara mendadak begini. Gondo mengangguk menyetujui ucapan rekan kerjanya.“Baiklah!” Juna mengangguk tegas cukup sekali dan berkata, “Kalau kalian memang masih ingin bekerja di sini, maka tolong lebih serius pada divisi kalian.”Gondo dan Desi saling berpandangan, tak begitu paham makna kalimat Juna arahnya ke hal apa.“Masih bingung?” Juna menatap dua dire
Lenita menghentikan makannya dan menatap sejenak suaminya yang baru saja mengatakan sesuatu yang membuatnya termangu.Bulan madu. Ya, itu adalah sesuatu yang pernah diucapkan Juna di meja makan. Ternyata suaminya masih mengingat mengenai itu.“Um … memangnya kalau kakiku tidak cepat sembuh, kau akan bulan madu dengan siapa?” Ada gurat cemberut di raut wajah Lenita.“Dengan guling.” Juna menggusak poni panjang Lenita. Ternyata menggemaskan juga istrinya ini meski kerap bersikap kasar tak sopan padanya.“Jadi kau lebih suka bulan madu dengan guling?” Lenita makin mengerucutkan bibirnya, menunjukkan sikap merajuk meski tak berani memaki Juna seperti biasanya. Dia harus berhasil membuat Juna takluk padanya.“Loh, tadi kau tanya kalau kakimu lambat sembuh, aku bulan madu dengan siapa, yah apa salahnya aku menjawab dengan guling? Kenapa? Mau cemburu dengan guling juga?” Juna seakan sedang menantang ketika menatap istrinya meski dia menahan tawanya.“Kamu jahat!” Lenita bersiap menangis.“Su
Seorang lelaki digoda di bagian yang paling berbahaya, mana bisa menahan diri?Namun, itu orang lain. Berbeda dengan Juna yang telah melalui didikan militer keras di era dia dan tidak terbilang sedikit pengalamannya bertahan dari segala macam situasi sampai yang mengancam nyawa pun kerap dia hadapi.Maka, Juna lekas menangkap tengkuk Lenita dan menarik kepala ke dekat mulutnya agar sang istri bisa mendengar ucapan tegas bernada rendah darinya, “Berhenti, Len, atau aku akan ke ruang perpustakaan dan tidur di sana.”Tangan Lenita membeku dan perlahan ditarik dari selangkangan Juna agar suaminya tidak benar-benar pergi membiarkan dia tidur sendirian seperti hari-hari belakangan ini.Raut masam di wajah Lenita bersamaan ketika dia bertanya, “Memangnya aku salah melakukan itu ke kamu, Jun? Kamu kan suamiku. Lagipula … aku sudah tidak marah-marah lagi ke kamu belakangan ini, kan?”Juna ingin tertawa mendengar suara protes istrinya yang mencicit pelan seakan takut kalau kalimatnya membuat di
Tidak membutuhkan seorang cenayang untuk mengetahui apa yang dipikirkan Shevia. Juna sangat paham hanya melihat dari tatapan wanita itu padanya. Tatapan yang biasa dia dapatkan di era dulu ketika wanita sedang mendamba padanya.Hanya saja, Juna tak habis pikir, untuk apa Hamid menyodorkan Shevia ke dirinya seperti itu? Dia harus menyelidiki apa sekiranya motif Hamid mengenai kerja sama mereka.Siang itu, Juna makan bersama Shevia. Dia berusaha bersikap profesional dan tetap ramah pada Shevia meski bukan jenis yang bisa membuat wanita salah paham.“Mari saya antar ke mobil Anda.” Juna menganggap ini perlakuan biasa seorang relasi bisnis usai pertemuan mereka.Shevia tersenyum dan berkata, “Terima kasih, Pak Juna. Anda sangat baik dan menyenangkan. Saya menunggu makan siang berikutnya sambil membicarakan bisnis.”Sebagai gadis modern yang lama berada di Amerika, sehingga membuat Shevia tidak bersikap ala perawan dusun ketika dia merasa percaya diri. Mungkin pada awalnya dia terlihat mal
Hanya melihat dari tatapan kedua petugas keamanan itu saja, Juna sudah bisa menebak bahwa keduanya salah paham dengan situasi yang ada.“Apakah kalian menuduh saya sembarangan memukul orang? Apa mungkin orang dengan penampilan seperti saya sengaja memukuli orang di tempat publik begini?” Juna mengibaskan kelepak jasnya.Petugas keamanan merasa tak enak hati sendiri saat melihat setelan jas yang dikenakan Juna.“Kalian bisa periksa kamera CCTV agar jelas, siapa yang pertama memulai perkelahian.” Juna merapikan rambut menggunakan jari dan ingin hal seperti ini lekas terselesaikan. “Itu mereka yang memulai.”Akhirnya, petugas keamanan itu memanggil rekannya yang lain untuk membawa mantan karyawan Juna ke kantor mereka. Juna terpaksa ikut karena petugas masih harus memeriksa rekaman CCTV untuk membuktikan ucapan Juna sebelumnya.…“Maafkan kesalahpahaman dari kami, Pak! Mohon ini tidak perlu diperpanjang.” Salah satu dari petugas keamanan itu merasa malu karena sudah menuduh Juna dan dia
Tidak hanya Juna yang terkejut pada tindakan Lenita, Hartono dan Wenti pun melongo melihat apa yang baru saja dilakukan putri mereka pada sang menantu.Mata Juna berkobar akan amarah. Dia akui dia sangat lengah dan terlalu menurunkan kewaspadaan hanya karena mengira Lenita sudah mulai berubah.Namun, siapa sangka ini yang dia dapatkan apabila melunak pada wanita itu? Bahkan di depan ayah dan ibu mertuanya!“Kamu!” Suara Juna terdengar geram.“Apa? Mau berdalih apa lagi?” Lenita melengkingkan suaranya dan melempar ponsel di tangannya ke arah wajah Juna. “Lihat sendiri di sana!”Tapp!Kali ini, Juna lebih sigap karena tak mau lagi dipecundangi Lenita. Secara mudah, dia menangkap ponsel yang hampir menghantam wajahnya hanya dengan satu tangan saja. Lekas dia lihat apa yang menjadi dasar penyebab tindakan Lenita hari ini padanya.Saat matanya menatap layar ponsel, Juna mendapati adanya rekaman video singkat mengenai dia meraih pinggang Shevia ketika tubuh wanita itu limbung karena nyaris
“Mamih!” Hartono menegur istri pertamanya.Sementara itu, Juna malah tertawa diagonal mendengar ucapan Leila. Hal ini semakin menggelorakan amarah di hati ibu mertua.“Kau! Masih bisa senyum sinis begitu?” Leila paling tak sudi diremehkan Juna. Sejak awal kedatangan pemuda itu di rumah, dia sudah tidak menyukainya karena menganggap Juna hanyalah orang kampung yang tidak membawa keuntungan, tapi kini malah menjadi menantu gara-gara menghamili putri kesayangannya. Bagaimana dia bisa terima?“Kenapa aku tidak boleh senyum ketika orang-orang dengan mudahnya terprovokasi dan gampang dibodohi hanya dari video singkat seperti itu saja?” Juna menatap lurus ke Leila.Melihat kondisi tidak lagi kondusif, Hartono terpaksa menarik paksa istri pertamanya ke ruang lain agar tidak pecah pertengkaran besar Leila dan Juna.Leila sempat meronta-ronta ketika di bawa ke ruang lain oleh suaminya. Dia masih sempat melantunkan sumpah-serapah kasar pada Juna hingga mengucapkan kata-kata itu lagi, “Cerai saja