Kening Juna berkerut sembari menatap tajam istrinya. Dia bisa saja mengabulkan permintaan Lenita, tapi dia tidak terima jika itu didasari oleh adu domba dari seseorang.Bukankah dia sangat dirugikan kalau begitu? Dia sama saja kalah kalau bercerai dari Lenita. Si pengadu domba akan tertawa puas kalau itu terjadi.Maka, agar dia tidak menjadi hiburan bagi oknum yang belum dia ketahui, Juna mendengus dan berkata, “Aku anggap tidak mendengar kata-kata konyol semacam itu keluar.”Sesudah mengucapkan itu, Juna bergegas keluar dari sana dan menuju ke mobilnya sendiri. Dia harus segera mendatangi tempat sampah tempat kartu milik si oknum tadi dibuang.“Juna! Hei, Juna sialan!” Lenita terus saja memanggil suaminya tapi malah diabaikan. Kesal, dia mengentak-entakkan kakinya yang tidak terluka dan dipapah ibunya kembali ke kamar.“Nit, lebih baik kamu segera daftarkan saja gugatan perceraianmu kalau dia tidak punya nyali menceraikanmu.” Leila membujuk putrinya sambil mereka duduk bersama di tep
Usai mengatakan itu, Juna lekas menatap raut wajah Heru.“Hah? Apakah Bapak hendak menceraikan istri?” Heru terkejut, tapi ada kilatan di matanya. Ini tertangkap indera tajam Juna yang diaktifkan menggunakan prana.“Ya, Pak. Menurutmu bagaimana? Apakah ini merupakan keputusan buruk?” Juna terus memperhatikan reaksi dan respon Heru. Dia memajukan tubuh ke depan, bersikap serius.“Wah, kalau itu … bagaimana, yah?” Heru malah bersikap canggung dan ada senyum tertahan di wajahnya. Dia bahkan sempat menggaruk belakang kepalanya, mungkin karena gugup, tak meyangka akan mendapatkan pertanyaan semacam itu dari Juna.“Kenapa, Pak? Apakah sebaiknya jangan saja, yah?” Juna makin lekat menatap Heru. Ini membuat si asisten makin gugup.“Itu … yah, kalau menurut Bapak perceraian memang harus ditempuh karena sudah tidak ada lagi keharmonisan, tentu itu bukan jalan buruk.” Heru menjawab sambil menahan senyumnya.“Tapi sepertinya papanya Lenita tak mau kalau aku bercerai dari putrinya.” Juna seperti e
Heru makin merasa nyalinya mengempis dan dia tak berani menatap Juna. Aura besar Juna terlalu menekan dia, membuatnya merasa sangat kecil di hadapan sang bos.Sembari memeriksa isi ponsel Heru, si empunya masih terus berlutut, tak berani berdiri jika belum ada perintah berdiri dari Juna.Mata Juna berbinar menemukan banyak bukti kejahatan Heru yang ternyata sudah menumpuk selama ini dan terlewat dari pemeriksaannya.Juna menertawakan kebodohannya yang terlalu fokus pada orang jauh padahal di dekatnya justru merupakan salah satu pengkhianat berat.Iblis dan setan memang menakutkan, tapi yang paling menakutkan justru hati manusia. Heru yang bersikap sangat sopan di depannya, ternyata menyimpan banyak kebusukan yang menusuk dia dari belakang sejak dulu saat Arjuna masih hidup.“Lebih baik kau yang menceritakan sendiri, atau harus aku yang meminta penyelidik untuk melakukannya?” tanya Juna pada Heru. “Konsekuensi yang akan kamu terima tentu saja berbeda, tergantung pilihanmu. Maka dari it
Lenita tergagap dengan perubahan adegan yang ada. Dia yang awalnya mengira akan mendapatkan kemesraan sentuhan intim dari Juna, mendadak harus kehilangan itu ketika suaminya bertanya mengenai luka di kakinya.Meskipun sebal, tapi ada sekelumit suka cita di hatinya karena suaminya yang akhir-akhir ini susah ditangani menjadi perhatian sampai menanyakan kondisi kakinya.“Ungh … kadang masih sakit.” Lenita tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk bermanja. Wajahnya dibuat senelangsa mungkin.Jangan dipikir Juna tidak paham apa yang ada di pikiran Lenita. Bukankah saat ini pun dia sedang bermain-main dengan sang istri? Sepertinya Lenita tidak menyadari itu.“Oh? Masih sakit?” Juna semakin tegak dalam duduknya di sebelah Lenita yang berbaring. “Coba kulihat dulu seperti apa kondisinya!”Lenita membiarkan saja ketika Juna menggapai kakinya yang terluka dan membuka perban di sana.Juna melihat luka di telapak kaki Lenita sudah mulai menutup. Dia menyentuh pelan.“Auwh!” Lenita berlagak memekik
Namun, setelahnya merebahkan Lenita di dalam bathtub, nyatanya, Juna meninggalkan sang istri di sana.Lenita melongo hingga mulutnya membentuk huruf O. Sebelum dia bertanya, suaminya sudah berbicara terlebih dahulu.“Aku masih ada banyak kerjaan, Len. Nanti aku akan ke sini kalau kau sudah selesai. Aku ke perpustakaan dulu, yah!” Kemudian, Juna tersenyum dan menutup pintu kamar mandi.Lenita memukul air di bathtub. Kesal sekali rasanya ketika dia sudah di ambang keberhasilan tapi ternyata gagal!Tak sampai setengah jam, Juna kembali ke kamar mandi dan melihat Lenita berdiri di bawah shower.“Oh? Kamu sudah bisa bangun sendiri dari bathtub, Len?” Juna berlagak terkejut, padahal dia sudah tahu bahwa kaki istrinya sebenarnya sudah baik-baik saja.“Aku … aku berjuang tadi! Kau ini suami yang tidak bertanggung jawab! Bukannya mengurus istri yang sedang sakit begini, malah pekerjaan melulu yang kau pentingkan!” Lenita menggunakan suara merajuk manja untuk melemahkan Juna.“Baiklah, baiklah,
Juna bisa melihat tubuh Lenita bergetar mendengar ucapannya baru saja. ‘Jangan bilang aku kejam, Len. Ibumulah yang harus menyandang gelar kejam itu sendiri.’ Dia tertawa di benaknya.Sebenarnya, Juna tidak serius ingin pergi bulan madu dengan sang istri. Dia masih belum bisa berdamai dengan sikap dan ucapan kasar Lenita beberapa hari lalu.Rayuan mengenai bulan madu kemarin hanya salah satu dari rencana yang sudah dia susun dengan teliti penuh perhitungan.“Nita, abaikan saja ucapan ibumu. Tetaplah pergi bulan madu dengan Juna.” Hartono seakan mengerti keinginan putrinya. Sikap diam dan kepala tertunduk Lenita sudah mengungkapkan segalanya. Terlebih menggenggam sendok dan garpu dengan begitu erat, itu sangat kentara tanpa putrinya mengucapkan apapun.“Tapi, Pa, bagaimana jika nanti Mama Leila murka?” Juna bersuara. “Kasihan kalau nanti malah Lenita yang kena imbasnya kalau memaksakan adanya bulan madu.” Mana bisa ayah mertuanya ingin menggagalkan rencana dia?Setelah mengatakan itu,
Juna sudah berhasil menggenggam Heru di tangannya dan lelaki itu sudah tidak bisa lagi berkutik di hadapannya karena merasa terintimidasi oleh sikap dominan Juna.Selain itu, Juna juga sudah mengembalikan pil pahit kepada Leila, membuat ibu mertua liciknya kebakaran ekor karena membangkangnya putri kesayangan.Di kursinya, Juna duduk sambil mengusap pelan bibir dengan pandangan puas menerawang ke depan. ‘Tak ada yang boleh bermain taktik ataupun intrik padaku. Kalian harus bersiap menanggung akibatnya jika nekat melakukan itu!’Sore hari, Juna masih harus berada di kantor memeriksa banyak dokumen dan juga mendatangi gudang untuk memeriksa ini dan itu, tak mau dipecundangi lagi oleh karyawannya.Sehingga, dia baru bisa menyelesaikan semua urusan di malam hari. Memang belum larut, karena masih jam setengah delapan.‘Hm, mungkin aku harus belikan sesuatu untuk Lenita agar dia semakin merasa kesal pada larangan ibunya.’ Juna berpikir apa yang sebaiknya dibeli untuk sang istri.Namun, baru
Pagi itu, Lenita bangun dengan wajah ceria karena Juna bersedia tidur bersamanya semalam meski mereka tidak melakukan apapun. Juna bersikeras menolak dengan alasan lelah. Lenita tak berani membantah karena takut Juna pergi ke perpustakaan untuk menghindarinya.Bisa tidur bersama saja sudah membuat Lenita senang, maka dia akan bertahan sampai nanti dia berhasil mendapatkan restu ibunya mengenai rencana bulan madu.Saat Juna sedang berpakaian, Lenita mendekat dan memeluk manja suaminya.“Ada apa?” Juna bertanya. “Mandi sana! Kau masih bau iler!” goda Juna.“Aku tidak ngiler waktu tidur, ya!” sangkal Lenita menggunakan suara manjanya dan tetap memeluk Juna.“Aku sulit memasang dasi kalau kau seperti itu.” Juna melirik ke istrinya yang masih erat memeluk dia dan merebahkan kepala di dadanya.Lenita masih ingin dalam posisi demikian, dia mendadak saja menyukai bau tubuh Juna. ‘Sejak kapan bau suamiku ini menyenangkan begini? Apa dulu Arjuna memang berbau macam ini? Kenapa aku tidak tahu?’