Juna sudah berhasil menggenggam Heru di tangannya dan lelaki itu sudah tidak bisa lagi berkutik di hadapannya karena merasa terintimidasi oleh sikap dominan Juna.Selain itu, Juna juga sudah mengembalikan pil pahit kepada Leila, membuat ibu mertua liciknya kebakaran ekor karena membangkangnya putri kesayangan.Di kursinya, Juna duduk sambil mengusap pelan bibir dengan pandangan puas menerawang ke depan. ‘Tak ada yang boleh bermain taktik ataupun intrik padaku. Kalian harus bersiap menanggung akibatnya jika nekat melakukan itu!’Sore hari, Juna masih harus berada di kantor memeriksa banyak dokumen dan juga mendatangi gudang untuk memeriksa ini dan itu, tak mau dipecundangi lagi oleh karyawannya.Sehingga, dia baru bisa menyelesaikan semua urusan di malam hari. Memang belum larut, karena masih jam setengah delapan.‘Hm, mungkin aku harus belikan sesuatu untuk Lenita agar dia semakin merasa kesal pada larangan ibunya.’ Juna berpikir apa yang sebaiknya dibeli untuk sang istri.Namun, baru
Pagi itu, Lenita bangun dengan wajah ceria karena Juna bersedia tidur bersamanya semalam meski mereka tidak melakukan apapun. Juna bersikeras menolak dengan alasan lelah. Lenita tak berani membantah karena takut Juna pergi ke perpustakaan untuk menghindarinya.Bisa tidur bersama saja sudah membuat Lenita senang, maka dia akan bertahan sampai nanti dia berhasil mendapatkan restu ibunya mengenai rencana bulan madu.Saat Juna sedang berpakaian, Lenita mendekat dan memeluk manja suaminya.“Ada apa?” Juna bertanya. “Mandi sana! Kau masih bau iler!” goda Juna.“Aku tidak ngiler waktu tidur, ya!” sangkal Lenita menggunakan suara manjanya dan tetap memeluk Juna.“Aku sulit memasang dasi kalau kau seperti itu.” Juna melirik ke istrinya yang masih erat memeluk dia dan merebahkan kepala di dadanya.Lenita masih ingin dalam posisi demikian, dia mendadak saja menyukai bau tubuh Juna. ‘Sejak kapan bau suamiku ini menyenangkan begini? Apa dulu Arjuna memang berbau macam ini? Kenapa aku tidak tahu?’
Untung saja Juna sempat melihat energi hitam tadi dan dia mengumpulkan prana paling murni dia untuk melingkupi dirinya dengan itu sehingga energi hitam tak bisa menembus tubuhnya.‘Ingin mengirimiku santet, huh? Apakah dia sudah begitu putus asa?’ ejek Juna saat melihat energi hitam itu terus saja berputar-putar di atas kepalanya, mencari celah.Karena merasa sudah aman dan tak akan mampu ditembus energi hitam, Juna meneruskan obrolannya dengan dua klien di depannya.Namun, mendadak saja energi hitam itu melesat ke salah satu klien Juna yang merupakan seorang wanita. Tentu ini terlihat oleh mata prana Juna.‘Gawat! Dia asal masuk ke tubuh klienku!’ pekik Juna dalam hati sembari matanya melebar karena tak menyangka energi hitam itu malah mencari korban lain.‘Oh, rupanya klien wanita ini sedang datang bulan dan juga sedang memiliki beban pikiran berat. Pantas saja energi hitam akhirnya memilih dia yang paling rentan untuk disusupi masuk.’ Juna memberikan analisis sesuatu yang dia rasak
Bagi Juna, menyelidiki siapa pengirim santet bukanlah hal sulit. Itu tergolong mudah dan kecil, karena dia memiliki kanuragan yang bisa melacak hal demikian. Terlebih lagi, santet di zaman dulu jauh lebih ganas, mengerikan, dan susah ditangani dibandingkan era modern ini.Maka, hanya dengan ilmu kanuragan yang tidak setinggi para mpu, Juna yakin dia mampu menangani sendiri.Yang diperlukan hanya ruangan sepi dan tanpa gangguan. Oleh karena itu, Juna menyewa sebuah kamar di hotel biasa dan akan menggunakannya selama beberapa jam saja. Apabila melakukan ini di rumah, hanya akan mendapatkan gangguan dari Lenita yang manja.Setelah berada di kamar hotelnya, Juna duduk bersila dan telah menutup semua gorden meski ini masih sore.Juna terus berkonsentrasi memutar energi prana di tubuhnya untuk digunakan melacak bekas-bekas santet yang masih menyisakan aura supernaturalnya di tangan dia.Dia memejamkan mata terus sembari mengeluarkan sedikit dari jiwanya dari tubuh dan terbang menuju ke temp
Dua hari ini, Leila mendapatkan gempuran bujukan tak hanya dari Lenita saja, tapi juga dari Hartono.“Sudahlah, Mih, jangan larang mereka untuk menikmati bulan madu.” Hartono sekarang sedang membujuk istri tuanya di rumah Leila. “Lagipula, mereka belum pernah bulan madu karena Nita keburu hamil waktu itu, ya kan?”“Papih ini kenapa sama saja dengan Nita, sih!” Mata galak Leila melotot ke suaminya. “Kenapa kalian akhir-akhir ini jadi sering membela si brengsek tak berguna itu?”“Mamih, bukannya Papih membela, tapi ini juga demi kebahagiaan anak kamu, anak kita. Kasihan Nita, dia uring-uringan setiap hari. Apa Mamih mau dia ngambek terus ke Mamih?” Hartono sudah terbiasa menerima ucapan kasar istri pertamanya maka dia tak gentar.“Sialan, kamu Pih! Malah bawa-bawa soal Nita ngambek padaku pula!” Leila melotot ganas ke suaminya.“Begini saja, biarkan mereka bulan madu, nanti Papih pesankan liburan untuk Mamih. Ke mana, deh? Eropa? Amerika? Sebut saja mana yang Mamih mau.” Hartono terpaks
Baru kali ini Wenti merasakan rumah sangat sepi. Ini pertama kali baginya ditinggal pergi sekaligus oleh suami dan anak-anak.Meski di hatinya dia menjerit tidak ingin ditinggal Hartono, tapi mau bagaimana lagi? Melawan Leila jelas saja bukan sesuatu yang dia sanggup lakukan. Apalagi Leila mensyaratkan bulan madu dengan Hartono demi Juna dan Lenita bisa berbulan madu.‘Yah sudah! Anggap saja ini pengorbanan aku. Ikhlaskan saja!’ Wenti menghela napas saat memikirkan itu.Sementara itu, Juna dan Wenti hanya pergi ke pulau terkenal di Nusantara yang selalu menjadi destinasi wisata turis lokal dan mancanegara. Pulau Balen.Itu pilihan Juna setelah dia melakukan pencarian di internet. Lagipula, dia penasaran dengan pulau yang sepertinya belum pernah dia rambah di era dulu.Mereka sudah tiba di Balen dan menuju ke resor yang sudah dipesan Juna sebelumnya.“Sungguhan bagus yah Resor Sewupuro?” tanya Lenita ketika mobil yang mereka sewa mengarah ke destinasi tempat menginap mereka nantinya.“
Baru saja Wenti membuka mata untuk mengetahui bunyi apa tadi yang membuatnya terbangun, matanya menemukan bayangan berkelebat di depan jendela kamarnya.“Hah?” Wenti kaget bukan kepalang. ‘Apa itu? Seperti bayangan beberapa orang ada di depan jendela kamar! Tapi … ini kan lantai dua!’ jeritnya di hati.Belum usai keheranannya, Wenti dikejutkan dengan bunyi pintu kamar yang seperti sedang dicongkel paksa dari luar.“Arghh!” Wenti tak bisa menahan teriakannya lagi.Kemudian, hal selanjutnya yang membuat Wenti makin terkesiap adalah jeritan orang dari arah jendelanya, diikuti suara jeritan orang di depan pintu kamarnya yang sedang dibobol memakai linggis.“Ampun! Ampun!” Orang-orang itu berteriak.Heran, bingung, takut, dan panik, Wenti segera berteriak sekeras mungkin. “Tolong! Ada maling! Tolong!”Teriakannya di tengah malam sepi itu alhasil membangunkan beberapa pekerja di rumah kecil tak jauh dari rumah inti. Lingkup area hunian milik Hartono ini terdiri dari 1 rumah inti, 1 rumah kh
Secuil jiwa Juna yang ditinggalkannya di rumah menyaksikan Hartono dan Leila pulang kembali ke Samanggi.Seakan menonton drama keluarga, secuil jiwa itu hanya duduk sambil tersenyum melihat adegan demi adegan.“Wen, kamu tidak apa-apa, kan?” tanya Hartono begitu tiba di rumah besarnya. Leila di belakangnya hanya mencibirkan bibir dengan ekspresi culas.“Mas!” Wenti lekas memeluk suaminya dan merasa lega bukan kepalang atas kepulangan sang suami.“Bagus! Di depanku masih berani bermesra-mesraan!” sindir keras Leila sambil melipat dua tangan di depan dada.Wenti sadar dan lekas melepaskan pelukannya. Dulu mereka sudah membuat kesepakatan kalau Wenti dilarang terlihat mesra dengan Hartono di depan Leila jika ingin direstui Leila sebagai istri muda.“Ma—maaf, Mbakyu.” Wenti sedikit menundukkan kepala.Hartono berdecak ke istri tuanya dan berkata, “Mih, jangan begitu. Wenti kan sedang kalut dan syok. Dia meluk aku juga bukan karena ingin bermesraan, tapi karena saking lega aku datang. Ya,