Bagi Juna, menyelidiki siapa pengirim santet bukanlah hal sulit. Itu tergolong mudah dan kecil, karena dia memiliki kanuragan yang bisa melacak hal demikian. Terlebih lagi, santet di zaman dulu jauh lebih ganas, mengerikan, dan susah ditangani dibandingkan era modern ini.Maka, hanya dengan ilmu kanuragan yang tidak setinggi para mpu, Juna yakin dia mampu menangani sendiri.Yang diperlukan hanya ruangan sepi dan tanpa gangguan. Oleh karena itu, Juna menyewa sebuah kamar di hotel biasa dan akan menggunakannya selama beberapa jam saja. Apabila melakukan ini di rumah, hanya akan mendapatkan gangguan dari Lenita yang manja.Setelah berada di kamar hotelnya, Juna duduk bersila dan telah menutup semua gorden meski ini masih sore.Juna terus berkonsentrasi memutar energi prana di tubuhnya untuk digunakan melacak bekas-bekas santet yang masih menyisakan aura supernaturalnya di tangan dia.Dia memejamkan mata terus sembari mengeluarkan sedikit dari jiwanya dari tubuh dan terbang menuju ke temp
Dua hari ini, Leila mendapatkan gempuran bujukan tak hanya dari Lenita saja, tapi juga dari Hartono.“Sudahlah, Mih, jangan larang mereka untuk menikmati bulan madu.” Hartono sekarang sedang membujuk istri tuanya di rumah Leila. “Lagipula, mereka belum pernah bulan madu karena Nita keburu hamil waktu itu, ya kan?”“Papih ini kenapa sama saja dengan Nita, sih!” Mata galak Leila melotot ke suaminya. “Kenapa kalian akhir-akhir ini jadi sering membela si brengsek tak berguna itu?”“Mamih, bukannya Papih membela, tapi ini juga demi kebahagiaan anak kamu, anak kita. Kasihan Nita, dia uring-uringan setiap hari. Apa Mamih mau dia ngambek terus ke Mamih?” Hartono sudah terbiasa menerima ucapan kasar istri pertamanya maka dia tak gentar.“Sialan, kamu Pih! Malah bawa-bawa soal Nita ngambek padaku pula!” Leila melotot ganas ke suaminya.“Begini saja, biarkan mereka bulan madu, nanti Papih pesankan liburan untuk Mamih. Ke mana, deh? Eropa? Amerika? Sebut saja mana yang Mamih mau.” Hartono terpaks
Baru kali ini Wenti merasakan rumah sangat sepi. Ini pertama kali baginya ditinggal pergi sekaligus oleh suami dan anak-anak.Meski di hatinya dia menjerit tidak ingin ditinggal Hartono, tapi mau bagaimana lagi? Melawan Leila jelas saja bukan sesuatu yang dia sanggup lakukan. Apalagi Leila mensyaratkan bulan madu dengan Hartono demi Juna dan Lenita bisa berbulan madu.‘Yah sudah! Anggap saja ini pengorbanan aku. Ikhlaskan saja!’ Wenti menghela napas saat memikirkan itu.Sementara itu, Juna dan Wenti hanya pergi ke pulau terkenal di Nusantara yang selalu menjadi destinasi wisata turis lokal dan mancanegara. Pulau Balen.Itu pilihan Juna setelah dia melakukan pencarian di internet. Lagipula, dia penasaran dengan pulau yang sepertinya belum pernah dia rambah di era dulu.Mereka sudah tiba di Balen dan menuju ke resor yang sudah dipesan Juna sebelumnya.“Sungguhan bagus yah Resor Sewupuro?” tanya Lenita ketika mobil yang mereka sewa mengarah ke destinasi tempat menginap mereka nantinya.“
Baru saja Wenti membuka mata untuk mengetahui bunyi apa tadi yang membuatnya terbangun, matanya menemukan bayangan berkelebat di depan jendela kamarnya.“Hah?” Wenti kaget bukan kepalang. ‘Apa itu? Seperti bayangan beberapa orang ada di depan jendela kamar! Tapi … ini kan lantai dua!’ jeritnya di hati.Belum usai keheranannya, Wenti dikejutkan dengan bunyi pintu kamar yang seperti sedang dicongkel paksa dari luar.“Arghh!” Wenti tak bisa menahan teriakannya lagi.Kemudian, hal selanjutnya yang membuat Wenti makin terkesiap adalah jeritan orang dari arah jendelanya, diikuti suara jeritan orang di depan pintu kamarnya yang sedang dibobol memakai linggis.“Ampun! Ampun!” Orang-orang itu berteriak.Heran, bingung, takut, dan panik, Wenti segera berteriak sekeras mungkin. “Tolong! Ada maling! Tolong!”Teriakannya di tengah malam sepi itu alhasil membangunkan beberapa pekerja di rumah kecil tak jauh dari rumah inti. Lingkup area hunian milik Hartono ini terdiri dari 1 rumah inti, 1 rumah kh
Secuil jiwa Juna yang ditinggalkannya di rumah menyaksikan Hartono dan Leila pulang kembali ke Samanggi.Seakan menonton drama keluarga, secuil jiwa itu hanya duduk sambil tersenyum melihat adegan demi adegan.“Wen, kamu tidak apa-apa, kan?” tanya Hartono begitu tiba di rumah besarnya. Leila di belakangnya hanya mencibirkan bibir dengan ekspresi culas.“Mas!” Wenti lekas memeluk suaminya dan merasa lega bukan kepalang atas kepulangan sang suami.“Bagus! Di depanku masih berani bermesra-mesraan!” sindir keras Leila sambil melipat dua tangan di depan dada.Wenti sadar dan lekas melepaskan pelukannya. Dulu mereka sudah membuat kesepakatan kalau Wenti dilarang terlihat mesra dengan Hartono di depan Leila jika ingin direstui Leila sebagai istri muda.“Ma—maaf, Mbakyu.” Wenti sedikit menundukkan kepala.Hartono berdecak ke istri tuanya dan berkata, “Mih, jangan begitu. Wenti kan sedang kalut dan syok. Dia meluk aku juga bukan karena ingin bermesraan, tapi karena saking lega aku datang. Ya,
Dua minggu berbulan madu dengan Lenita sungguh mengenyangkan hasrat lelaki Juna. Dia puas dan mengakui memiliki istri cantik memang sebuah keberuntungan setelah dilempar ke era modern ini.‘Dewata sudah melemparku ke zaman tak kukenal ini dan membuatku kebingungan, maka sudah sewajarnya aku sekarang menikmati apa yang seharusnya di sini.’ Juna menggumam dalam hati sambil memasukkan seluruh koper ke bagasi mobil.“Ini kita sungguhan pulang?” tanya Lenita dari samping, memperhatikan suaminya yang masih sibuk memasukkan koper ke bagasi mobil sewaan mereka.“Ini sudah terlalu lama, Len. Kantor membutuhkan aku. Apalagi ada beberapa klien dan relasi yang menunggu aku untuk membicarakan berbagai kesepakatan.” Juna memang tak bisa memperpanjang liburan mereka meski dia ingin.Lagipula, dia rasa ini sudah lebih dari cukup bersenang-senang tanpa memikirkan hal berat apapun.***“Papa, Mama.” Juna menyapa ayah dan ibu mertua mudanya ketika dia dan istrinya sudah tiba di rumah.“Sudah pulang, Jun
Lenita ditantang Juna untuk mencoba melamar pekerjaan di kantor sang suami jika memang dia ingin terus bisa berdekatan dengan suaminya.Dia sendiri tak paham kenapa melakukan semua itu. Sepertinya niatnya sudah mulai kabur, tak lagi tegas dan jelas sehingga terdistorsi antara ingin menaklukkan Juna dalam genggamannya seperti dulu agar bisa menggunakan Juna sesuka hati, atau ingin memiliki suaminya tanpa Juna bisa disentuh wanita manapun kecuali dia karena dia tak mau kehilangan pria itu.‘Pokoknya, aku harus menjadi penguasa Juna satu-satunya!’ Lenita tidak mampu menjawab apakah motivasinya dulu masih sama dengan yang kini semenjak dia berbulan madu.Maka, pagi ini dengan menggunakan setelan blazer layaknya pebisnis wanita sukses, Lenita berjalan di lobi gedung kantor Juna.Resepsionis lantai dasar yang mengenali Lenita tentu langsung menyambut, berjalan tergopoh-gopoh seperti kemarin dulu. “Selamat pagi, Bu Lenita. Mari saya antar Ibu ke ruangan Bapak.”Lenita memandang rendah ke wan
Mata Lenita membola lebar mendengar ucapan suaminya.Juna mengulangi lagi ucapannya menggunakan kalimat berbeda, “Sebagai pemimpin perusahaan ini, kunyatakan bahwa berkas ini tidak memenuhi syarat. Bu Saraswati, apakah Anda sudah melakukan wawancara dengan Bu Lenita?”Saraswati makin gugup. “Be—belum, Pak!” Dia benar-benar tak sanggup menatap Juna, sepertinya nasibnya sudah jelas: dipecat.Helaan napas keluar dari mulut Juna. Dia bisa meraba rasa takut Bu Saraswati dari sikap dan caranya menjawab. Pasti istrinya bersikap bossy dan memaksa seperti layaknya Lenita si putri konglomerat pemilik perusahaan.“Bu Saraswati bisa meninggalkan ruanganku dulu, hanya saja, saya harap lain kali Anda bersikap profesional! Saya masih memaafkan Ibu.” Juna mengerti dilema Kepala HRD dan masih memberi kesempatan Saraswati.Ucapan Juna bagaikan guyuran embun segar di kepala Saraswati. Seketika dia mengangkat kepalanya dan menampilkan senyum lebar nan cerah sembari berkata, “Baik, Pak! Terima kasih! Teri