Mata Lenita membola lebar mendengar ucapan suaminya.Juna mengulangi lagi ucapannya menggunakan kalimat berbeda, “Sebagai pemimpin perusahaan ini, kunyatakan bahwa berkas ini tidak memenuhi syarat. Bu Saraswati, apakah Anda sudah melakukan wawancara dengan Bu Lenita?”Saraswati makin gugup. “Be—belum, Pak!” Dia benar-benar tak sanggup menatap Juna, sepertinya nasibnya sudah jelas: dipecat.Helaan napas keluar dari mulut Juna. Dia bisa meraba rasa takut Bu Saraswati dari sikap dan caranya menjawab. Pasti istrinya bersikap bossy dan memaksa seperti layaknya Lenita si putri konglomerat pemilik perusahaan.“Bu Saraswati bisa meninggalkan ruanganku dulu, hanya saja, saya harap lain kali Anda bersikap profesional! Saya masih memaafkan Ibu.” Juna mengerti dilema Kepala HRD dan masih memberi kesempatan Saraswati.Ucapan Juna bagaikan guyuran embun segar di kepala Saraswati. Seketika dia mengangkat kepalanya dan menampilkan senyum lebar nan cerah sembari berkata, “Baik, Pak! Terima kasih! Teri
Lenita tidak menyangka dia dianggap salah lagi oleh suaminya. “Baiklah! Baiklah! Aku akan segera berdiri kalau kamu datang dan tidak lagi memanggilmu Juna di kantor!” Dia menyadari apa yang membuat Juna tak senang.“Bahkan saat ini dan detik ini pun kamu masih memiliki kesalahan. Kau benar-benar tidak pantas berada di kantor sebagai bawahan orang lain. Kau sudah terbiasa tegak mendongak sejak kecil.” Juna menghela napas.“P—Pak Juna, maafkan aku! Maafkan keteledoranku. Aku … aku sungguh masih ingin bekerja di sisi Bapak!” Lenita mencicit lirih dengan wajah paling memelas yang bisa dia gunakan. Otot-otot wajahnya dikerutkan semaksimal mungkin untuk menunjukkan kesedihan.“Hgh! Cukup kali ini, dan tidak akan ada lagi lain kali untukmu!” tegas Juna. Padahal dalam hatinya dia tertawa karena berhasil menakuti Lenita sampai istrinya bersikap memelas sedemikian rupa.Namun, di benak Lenita pun dia tertawa riang. ‘Ha ha ha! Saran temanku memang benar! Lelaki kadang lebih mudah ditaklukkan den
Juna menyelesaikan pertemuannya dengan salah satu relasi bisnisnya dan kembali ke kantor bersama Velina menggunakan mobil pribadinya tanpa sopir.Di sampingnya, Velina terus merasakan debaran jantung yang tak karuan setiap berdekatan dengan sang bos. ‘Pak Juna ini memang penuh kharismatik. Dulu memang dia tidak terlihat begini karena jarang muncul di kantor. Tapi, setelah Beliau sering datang ke kantor, aku akui Beliau memang memancarkan wibawa dan pesona seorang bos besar.’Sesekali, Velina akan melirik, mencuri pandang ke arah Juna yang sedang fokus mengemudikan mobil. ‘Punya suami seperti Pak Juna pasti membuat hati lega. Dia berkharisma, tegas, profesional, tidak bertingkah sembarangan, dan sepertinya dia lelaki yang benar-benar baik, tidak sembrono pada siapapun.’Di hatinya, Velina mengeluh, ‘Kapan aku bisa punya pasangan seperti Pak Juna, ya? Bu Lenita sangat beruntung! Tapi kenapa dulu aku dengar kalau Pak Juna selalu di bawah ketiak istrinya? Rumor itu sepertinya salah. Bukti
Mata Lenita berbinar senang, apakah pertanyaan Juna itu menyiratkan ketidaksukaan suaminya jika dia tampil seksi dan gaya meski tidak berbusana terbuka?“Iya, aku ingin pakai pakaian seperti ini. Kenapa?” tanya Lenita, bersiap mendengar Juna akan menyuruhnya mengganti baju atau semacam itu. Dia menantikan momen-momen Juna khawatir lelaki terpikat padanya.‘Ha! Ayo, larang aku! Suruh aku ganti baju!’ Lenita berseru girang di hatinya. Jangan cuma dia yang terus kelimpungan karena takut kehilangan Juna! Juna juga harus merasa demikian!“Oh, ya sudah. Terserah saja, sih! Aku hanya merasa aneh kalau karyawan kantor pakai baju seperti itu, terlihat kurang profesional.” Setelah mengatakan itu, Juna meraih jas dan tasnya, lalu keluar kamar karena dia sudah rapi.Lenita mematung di tempatnya. Kesal! Tentu saja dia kesal! Ternyata bukan karena takut Lenita ditatap lelaki lain dengan pandngan napsu, melainkan karena dianggap aneh serta tidak terlihat profesional!Dia mematut dirinya di depan kac
“Eh? Ada apa ini?” Wenti bingung ketika menaiki angkot untuk pulang usai berbelanja cukup banyak, ternyata mobil angkutan umum itu tidak ke arah yang semestinya. “Pak, kok arahnya ke sana? Bukannya harusnya angkot nomor ini belok ke kiri tadi, ya?”Wenti tak habis pikir karena sopir angkot justru berbelok ke kanan dan itu arah berbeda untuk pulang ke rumah Hartono.“Tenang saja, Nyonya, memang sudah seharusnya ke kanan, kok!” Sopir lalu terkekeh, demikian juga beberapa penumpang lelaki di sana.Melihat kejanggalan respon dari orang di dalam angkot, Wenti segera mengerti bahwa angkot ini sengaja menargetkan dia.Terlebih sopir memanggilnya nyonya, bukan ibu, menandakan mereka mengetahui kalau dia bukan orang sembarangan. Pantas saja mobil angkot ini lebih gelap kacanya dibandingkan angkot biasanya. Rupanya sudah dipersiapkan untuk dirinya.Wenti juga teringat si kernet angkot sempat menghampiri dia begitu dia keluar dari pasar dan langsung menawarkan angkot padanya dan malah membawakan
Shevia melihat sepertinya Juna mengabaikan istrinya saat ini. Lelaki itu bersikap seolah Lenita bukan istri melainkan karyawatinya saja. ‘Hebat! Dia benar-benar orang yang bisa bertindak profesional! Biarpun itu istrinya, tapi perlakuannya tidak jauh berbeda seperti kepada sekretarisnya. Orang begini memang pantas diajak kerja sama!’Juna bukannya tak tahu Shevia memandanginya sejak tadi. Bahkan ketika kini mereka berempat sudah berada di restoran, gadis cantik itu secara terang-terangan menatapnya disertai senyum menawan.Bukan, Juna bukan terpikat. Dia hanya mengakui kecantikan Shevia. ‘Apakah rata-rata perempuan di zaman ini memang cantik-cantik dan menarik, ya? Apalagi mereka lebih berani dan tidak malu-malu.’Sedangkan, semakin Shevia menatap Juna, dia merasa ada rasa menggelitik di hatinya. ‘Dia itu tampan, gagah, tegas, profesional. Ya ampun! Andai dia belum punya istri!’Ini berbeda dengan Lenita yang terus memasang wajah cemberut karena dia diharuskan duduk berdua saja dengan
“Masa percobaanku belum selesai! Aku masih punya waktu seminggu lagi, Juna!” Lenita sudah tidak menggubris tata krama bos dan bawahan lagi dan menjerit tak terima akan keputusan suaminya.“Belum satu minggu saja tingkahmu sudah seperti itu apalagi harus menunggu genap satu minggu, bisa kacau bisnisku!” Juna memutar matanya.“Tak mau!” Lenita bertahan. Dia belum menyelesaikan misinya, kenapa malah hendak dihentikan?“Terserah! Ini sudah menjadi keputusanku. Sana, pulanglah! Aku hendak menelepon klien.” Juna tak mau tahu, juga tak ingin dibantah. Daripada istrinya makin membuatnya kesal, lebih baik Lenita pulang dulu agar dia bisa menenangkan hatinya.“Siapa? Si jalang Shevia itu?” Sayang sekali, Lenita justru makin kasar dengan mengucapkan itu.Mata Juna mendadak saja menyala dan dia lekas hampiri Lenita sambil matanya berkobar akan ketidaksukaan, wajahnya seketika gahar memberikan dominasi penuh sehingga Lenita ciut.“Jangan seenaknya menyimpulkan sebutan pada seseorang kalau kau tak
Mata Juna berputar jengah, lagi-lagi mencetuskan mengenai perceraian, sungguh kekanakan, kalau ada masalah, solusi langsung ke cerai, bukannya mencari jalan keluar yang lebih menyenangkan.“Kamu pikir pernikahan itu hanya sebatas permainan atau apa, hm?” Juna masih menatap tajam istrinya, dia geram karena bisa-bisanya Lenita menuduh dia yang aneh-aneh.Bagaimana mungkin dia ingin membuat affair terlarang dengan Wenti yang berstatus ibu mertua? Dia belum segila itu. Dia belum sebobrok itu moralnya.‘Meski Wenti cantik, muda, dan molek, bukan berarti aku berminat ingin melakukan hal-hal intim tak senonoh dengannya! Dia itu ibu mertuaku, mau bagaimanapun juga! Lenita gila!’ rutuk Juna di hatinya.“Juna! Sakit! Ini sakit!” jerit Lenita sambil berjuang melepaskan kedua tangannya dari genggaman ketat suaminya.“Tidak akan aku lepaskan sebelum kamu minta maaf pada Mama Wen.” Juna bersikeras terus mengetatkan genggamannya di pergelangan tangan Lenita.“Ju—Juna, jangan begitu.” Wenti memegangi
Juna dan ketiga istrinya mengangguk. “Kami akan berusaha untuk itu, Ma. Terus doakan kami agar selalu memiliki hal baik.” Juna menanggapi Wenti. Kemudian, keningnya berkerut, “Ma, apakah Mama akhir-akhir ini sering cepat lelah dan mual?” “Eh, kok tahu?” Wenti terhenyak kaget. Namun, kemudian dia sadar bahwa putra angkatnya ini bukan manusia sembarangan. “Selamat, Ma!” Juna maju untuk memberikan pelukan tulus ke Wenti. Anika dan Shevia paham makna ucapan Juna dan mereka bergantian mengucapkan selamat pula sambil memeluk Wenti. “Eh? Mama kenapa?” Rinjani belum paham. “Mama sudah hamil lagi, Kak.” Shevia menjelaskan. Di antara mereka, Rinjani memang yang paling hebat jika itu mengenai intuisi bisnis, tapi dia payah dalam aspek lainnya yang berkaitan dengan hubungan antar manusia. Wenti menanggapinya dengan senyum simpul dan sedikit malu-malu. *** “Ya ampun, lihat mereka! Sungguh keluarga besar yang ramai.” Seseorang menahan pekikannya ketika melihat Juna dan keluarga kecil dia tu
“Ya ampun, lucu sekali dia! Cantiknya ….” Rinjani sambil menggendong bayinya, dia menoleh ke bayi Shevia.“Dedek bayinya Kak Rin juga ganteng, tuh!” Shevia menunjuk bayi di gendongan Rinjani dengan dagunya.Mereka saling memuji bayi milik madu masing-masing.“Mbak Anika masih menyusui anaknya, yah?” tanya Shevia setelah dia berhasil menidurkan bayinya.“Iya. Masih di kamar. Semua anaknya tenang sekali, jarang menangis. Benar-benar bayi kalem seperti ibunya.” Rinjani mengomentari anak kembar Anika.Kemudian, pintu depan terbuka dan masuklah Juna yang baru pulang dari kantornya.“Mana jagoan-jagoanku?” tanya Juna sambil mendekat ke mereka dan mulai mencium bayi-bayinya di gendongan ibunya masing-masing. “BIntang … umcchh! Wulan … umchh! Sudah wangi semua!”“Lah ini anakku masa sih dipanggil jagoan?” Shevia sambil mengangkat sedikit bayi perempuan di gendongannya.“Lho, dia ini nantinya seorang jagoan wanita! Menjadi perempuan kuat yang akan melindungi orang tertindas dan menebar kebajik
“Wah, gedungmu begitu wow sekali, Jun!” Rinjani menatap gedung baru Juna. Matanya berkeliling menelisik semua interior di sana.“Ini juga berkat bantuanmu.” Juna berkata di dekat telinga Rinjani.“Kok aku?” tanya Rinjani sambil menjauhkan kepalanya dari Juna untuk menatap suaminya dari jarak yang tepat.“Kamu kira aku tidak tahu kalau kau mengirim investor gadungan untuk membantu pendanaan untuk gedung ini, hm?” Juna sambil mencubit lembut pinggang Rinjani.Karena sudah ketahuan begitu, Rinjani hanya bisa tertawa. Shevia dan Anika di sebelahnya tersenyum.Siang ini, mereka baru saja mengadakan peresmian gedung baru apartemen Juna yang besar dan spektakuler. Meski bukan merupakan apartemen paling wah dan nomor satu di Samanggi, namun tetap mencuri perhatian publik karena dimiliki oleh pengusaha muda dengan berbagai gonjang-ganjing isu di belakangnya.Isu paling sering dibicarakan publik mengenai Juna belakangan ini tentu saja tidak lain dan tak bukan adalah mengenai ketiga istrinya yan
“Hah? Om Fer yakin dengan berita yang Om terima?” tanya Juna saat dia berbicara dengan pengacaranya, Ferdinand, di telepon. “Sangat yakin, Jun! Periksa saja ke rutan kejaksaan. Oh, atau untuk lebih akuratnya, datang saja ke rumahnya, pasti sedang ramai di sana.” Ferdinand menyahut dari seberang. Juna tak bisa berkata-kata. Dia segera mengakhiri teleponnya dengan si pengacara. “Ada apa, Jun?” tanya Rinjani dengan wajah ingin tahu. “Berita apa? Ada berita apa dari Om Fer?” Dia semakin mendekat ke Juna di sofa ruang tengah. Anika datang sambil membawa nampan berisi beberapa cangkir wedang cokelat jahe dan camilan buatannya seperti kue pukis dan bakwan jagung. “Bobby meninggal tadi sore.” Juna berkata sambil menatap Anika dan Rinjani secara bergantian. “Hah?!” pekik Rinjani karena terlalu kaget dengan berita yang diucapkan suaminya. Juna mengangguk ke istrinya. “Ada apa? Siapa yang meninggal?” Shevia keluar dari kamarnya karena suara pekikan Rinjani terdengar hingga ke telinganya.
“Ti—Tidak begitu! Ular sialan!” geram Nyai Mirah dan dia mulai mengejar Nyai Wungu yang melarikan diri sambil tertawa melengking meledek permaisuri Ki Amok itu.Kemudian, Ki Amok memanggil Nyai Mirah untuk pulang bersamanya ke istana mereka. Nyai Mirah segera berdiri melayang di sebelah Ki Amok dengan wajah merona menyebabkan kulitnya semakin memerah.“Kami pulang dulu. Nanti jika Mirah dibutuhkan lagi oleh istrimu, panggil saja, tak apa, tapi itu harus benar-benar gawat. Kalian pasti mengerti maksudku, ‘kan?” Ki Amok berkata ke Juna yang masih membopong Anika.‘Ya, ya, ya, aku paham. Intinya kami tidak boleh mengganggu kemesraan kalian berdua kecuali sangat gawat darurat.’ Juna membatin menanggapi Ki Amok.“Ya, kami paham, Ki. Terima kasih, sekali lagi untuk Anda dan pasukan, juga terima kasih pada Nyai Mirah atas bantuannya.” Juna mengangguk sebagai tanda dia menghargai mereka.Kemudian, kereta kencana Ki Amok pun pergi dari sana.Juna menoleh ke Nyai Wungu dan bertanya, “Apakah Nya
‘Apakah Dewi Salwapadmi menyaksikan aku dan Nik … bercinta selama ini?’ Juna memiliki pemikiran demikian. Ya ampun, Juna mendadak saja super malu jika mengingat seperti apa dia memesumi Anika selama ini. Belum lagi tingkah dia saat menggauli Anika. Dia bertanya-tanya, apakah itu disaksikan dan juga dirasakan sang dewi? Mendadak saja senyum lebar dan menahan geli dari Dewi Salwapadmi muncul saat dia bertutur ke Juna, “Jangan khawatir mengenai itu, Tuan Panglima. Aku selama ini tertidur di raga Anika dan mulai terbangkitkan ketika bertarung melawan mantan istrimu.” Mendengar ucapan Dewi Salwapadmi melalui mulut Anika, Juna merasa sangat lega sekaligus malu karena pikirannya ternyata bisa dibaca sang dewi. “A—Ah, iya, baiklah, Ndoro Dewi. Terima kasih penjelasannya.” Juna sedikit merona karena malu. Kemudian, Dewi Salwapadmi menoleh ke Nyai Mirah, dia berkata, “Nyai Mirah, aku sungguh tersentuh dengan pengabdianmu yang luar biasa pada ndoro putrimu ini. Tingkah lakumu sejak dulu jug
“Semua sudah usai?” Juna terengah-engah sambil menanyakan itu pada dirinya sendiri meski itu sebuah gumaman rendah. Anika bergegas terbang ke suaminya dan menyebelahinya di angkasa. Sedangkan Juna mulai merasakan armor yang melingkupi tubuhnya mulai memudar hilang secara perlahan. “Mas … semua sudah selesai. Pertarungan telah Mas menangkan.” Anika tersenyum lembut. Benar, semua sudah usai. Segala ancaman bahaya dan mimpi buruk yang pernah ditakutkan Anika, yang telah menjadi momok baginya selama beberapa minggu ini sekarang lenyap. Seakan batu besar yang mengimpit dada Anika, kini telah terangkat dengan kematian Lexus. Juna menengok ke istrinya sembari dia ikut tersenyum. “Kita yang memenangkan ini, Nik. Kita. Bukan aku saja. Kau, dan semua yang lainnya.” Tentu saja dia tidak boleh mengambil semua kredit yang ada. Bergegas, tangan Juna meraih Anika untuk memeluk wanita itu sembari hatinya berucap syukur pada semesta dan penciptanya yang telah memberikan restu sehingga dia bisa m
“Hm?” Juna mendadak saja merasakan dirinya menjadi lebih bertenaga, energi murninya melonjak tinggi.Setelah dia berpikir cepat, dia merasakan adanya energi dari Shevia dan Rinjani.‘Ternyata mereka.’ Juna tersenyum setelah memahami dari mana energi tambahan untuknya datang secara tak terduga.Saat ini, pedang di tangan Juna menebas tegas ke depan sehingga dengan cepat menyebabkan udara mengalir berputar mengakibatkan munculnya pusaran udara hanya dari ayunan pedang tersebut.Wusshh!Kibasan pedang Juna memicu beberapa ledakan bunyi memekakkan telinga ketika gelombang udara yang tadinya hanya memunculkan pusaran angin, kini berubah menjadi badai, menyapu udara di sekitar Lexus.Energi petir beserta angin badai dari kibasan pedang Juna menyerbu ke Lexus, bagaikan ular raksasa membuka mulutnya hendak menelan Lexus untuk mengunyahnya menjadi ketiadaaan.“Jangan harap semudah itu!” seru Lexus ketika dia juga mengibaskan pedang api hitam di tangannya sehingga energi api miliknya bertabraka
“Jangan sombong dulu, manusia bangs4t!” teriak Lexus pada Juna. “Jangan kau kira karena kau memiliki zirah itu maka kau bisa sekuat aku!”Lexus merobek udara hampa dan mengempaskan angin panas yang bisa membakar kulit manusia biasa dengan segera meski hanya dari hempasan anginnya saja.Juna tidak gentar meski fisik Lexus sudah semirip iblis. Dia memiliki banyak dendam terhadap sosok di depannya. “Kau yang akan berakhir mengenaskan, Lexus!”Zirah di tangan Juna mengumpulkan energi murni yang kini bermuatan energi keilahian.Dhuaarr!Ketika pukulan Juna bertabrakan dengan tinju iblis Lexus, mereka berdua sama-sama terdorong ke belakang. Tapi Juna lekas menerjang maju lagi, tak memberi kesempatan Lexus untuk menarik napas berikutnya.“Kau sudah tak sabar mati, hah?” teriak Lexus sambil mendorongkan energi iblisnya ke arah Juna.Tangan berzirah Juna menangkap kepalan tangan Lexus dan mendorongnya ke samping agar dia bisa menyarangkan tinju di tangan lain ke tubuh Lexus.Dhaakk!Betapa kag