237Malam itu merupakan malam yang buruk bagi para suruhan Hartono yang menguntit Juna. Tadinya mereka diperintahkan untuk menghambat laju motor Juna, tapi keadaan cepat berbalik begitu Juna melakukan sesuatu.***Esok harinya, ketika Juna bertemu Hartono, dia bersikap biasa seakan tidak ada apa-apa. Tetap menyapa sopan ke ayah mertuanya meski ingin sekali kepalan tangannya mengetuk batok kepala Hartono.“Ke kantor, Jun?” tanya Hartono ketika melihat Juna sudah berpakaian rapi, keluar dari dalam rumah.“Iya, Pa. Pergi dulu, ya, Pa!” Juna pamit.“Jun, jangan lupa jenguk Nita!” Hartono tak lupa meneriakkan itu sebelum Juna masuk ke mobil.Sahutan keluar dari Juna, “Ya, Pa.”Namun, di hatinya, Juna mencemooh Hartono. ‘Kamu pikir aku punya waktu untuk putri jahatmu? Yah, kamu juga sama jahatnya seperti putrimu, Har!’Setelah tiba di kantor, Juna hanya mengurus hal-hal kecil dan kemudian bergegas keluar lagi untuk menemui Saini dan timnya sebelum dia bertemu pengacara perceraiannya, Jansen
Pertanyaan semacam itu sudah diantisipasi Juna sejak dia mengajak Dharma pergi.“Pengacara saya sudah memasukkan berkas perceraian siang ini, Om.” Juna berkata.Segera saja Rinjani memekik kecil sambil tersenyum lebar.“Kamu ini, sudah kubilang tak perlu kaku begitu.” Dharma mengomeli Juna. “Hm, jadi, sudah mantap cerai, yah?”“Iya, Om. Aku memang ingin melakukan itu. Hubungan kami sudah tak bisa tertolong lagi.” Juna menuruti kemauan Dharma untuk tidak kaku pada Beliau.“Apa Hartono tidak mengamuk nanti?” Dharma tidak melupakan mengenai ayah mertua Juna. “Dia ‘kan sayang sekali ke putrinya.”Rinjani di samping Juna, menggigit bibirnya sendiri, tegang menantikan jawaban dari Juna.“Aku pikir, papa Har harus menerima kenyataan bahwa aku dan Lenita sudah tidak bisa lagi bersatu. Aku yakin papa akan mengerti dan memahami situasi dan kondisiku.” Juna memperhalus ucapannya.Di hatinya, Juna membatin, ‘Hartono saja bisa nekat memperistri Wenti saat Leila masih hidup dan tidak memiliki cacat
Juna tidak sempat mengelak pisau yang ditusukkan padanya. Gerakan Bobby terlalu cepat dan tidak terduga.“Heh?” Bobby kaget sekaligus bingung. Ujung pisau lipatnya tidak bisa mengujam perut Juna?Meski begitu, Juna melotot tajam ke pisau yang gagal menembus perutnya, lalu beralih ke Bobby.“Rupanya kau ingin main kotor, Pak Bobby?” Suara Juna dalam dan berat ketika mengatakannya.Wajahnya menunjukkan amarah yang ditahan sekuat tenaga. Ingin sekali dia mencabik-cabik Bobby, tapi tak boleh! Dia bisa dituntut kalau melakukan kekerasan langsung ke pria itu.“Aku … itu ….” Bobby bingung harus menjawab apa.Mata Bobby tertuju bergantian ke perut Juna dan wajah pria muda yang hendak dia celakai itu.“Ini bisa aku tambahkan ke kasus kalian, nih!” Lalu Juna terkekeh. “Bos besar Semesta Group melakukan tindakan seperti ini.”Alangkah terpukulnya mental Bobby menden
“Aku yakin pasti nantinya Nik akan digiring untuk berkenalan lalu berkencan dengan pria itu. Sialan!” Juna menggeram pelan di meja tak jauh dari Anika duduk bersama dengan 3 lainnya.Seperti yang diduga Juna, Anika memang dikenalkan pada pria yang dinyatakan sebagai keponakan teman mantan kakak iparnya.“Anika.” Tak bisa mengelak, Anika menerima uluran tangan dari pria muda tadi.“Edward Suhendar. Panggil saja Edi.” Pria itu menjabat erat tangan Anika sembari tersenyum lebar dan minatnya mulai terbit melihat kecantikan Anika.Sementara Edi menatap seolah hendak melahap Anika, justru Anika tertunduk tanpa senyum. Dia risih dengan tatapan intens Edi padanya.“Edi ini ponakan aku yang paling dibanggakan di keluarga besarku, Lis!” Teman mantan kakak ipar Anika berceloteh setelah Anika dan Edi selesai berkenalan dan duduk. “Umurnya baru 32 tahun, tapi sudah bisa mengelola toko elektronik punya papany
“Sini, Nik! Ke sini saja agar obrolan kita tidak mengganggu kakakmu,” panggil Juna ke Anika secara provokatif seakan tidak memandang mantan kakak ipar Anika.“Mbak? Aku ke sana, yah!” Anika juga sudah jengah dengan Edi, maka itu dia ingin ke sisi Juna secepatnya.Selain itu, Anika juga kecewa dengan mantan kakak iparnya yang secara sembarangan memperkenalkan dia ke lelaki lain tanpa bertanya dulu kepadanya.“Hgh, ya sudah, sana ke temanmu!” Sepertinya mantan kakak ipar Anika sudah menyerah dan membiarkan saja daripada berlama-lama jadi tontonan orang di sana.Ada senyum halus nan tipis dari bibir Anika mendengar persetujuan mantan kakak iparnya. Dia bergegas ke sebelah Juna karena pria pujaannya yang menepuk kursi sebelah, mengisyaratkan dia harus duduk di sana.“Nik.” Juna menyapa sambil memulaskan senyuman di wajah gantengnya.“Iya, Mas.” Mata Anika berbinar senang meski sikapnya
“Masih tinggal dengan orang tuamu?” Wajah Edi seketika penuh akan cemoohan ke Juna. “Memangnya kau ini umur berapa masih semanja itu? Berlindung terus di bawah ketiak orang tua!”Edi merasa memiliki amunisi baru untuk menjatuhkan Juna di depan Anika.“Umurku hampir 30 tahun. Saat ini orang tuaku masih membutuhkan aku, makanya aku mau tak mau, tetap tinggal bersama mereka.” Juna tetap tenang menjawab Edi.Di meja samping, terlihat tatapan jijik dari mantan kakak ipar Anika.“Sepertinya kamu tidak malu setua itu masih tinggal dengan orang tua.” Celaan juga didapatkan Juna dari mantan kakak ipar Anika.Bahkan, suaranya sengaja dikeraskan agar pengunjung lain bisa mendengar. Terbukti dengan beberapa dari mereka mulai menoleh ke Juna yang sedang jadi pusat pembicaraan.Anika sudah ingin bicara membela Juna, tapi tangannya disentuh ringan oleh Juna, menandakan untuk tidak bicara.“Nanti kalau memang aku sudah mendapatkan wanita yang aku cintai, aku pasti akan beli berapa pun apartemen yang
“Tak mau … pokoknya aku tak mau. Sekarang aku tak mau siput, tak suka siput!” Anika tak peduli dan terus saja mengucapkannya sambil menggeleng putus asa seraya menatap mantan kakak iparnya.“Iya sudah, tak apa kalau tak mau. Tak akan ada yang memaksamu, kok.” Juna menanggapi sambil tersenyum.Ucapan Juna mengisyaratkan agar Edi tahu diri dan tak perlu menyodorkan siput tadi, sehebat dan semewah apa pun olahan itu.“Aku … benar-benar tidak bisa makan yang seperti itu, Mas.” Wajah Anika malah berubah pucat dan memegangi baju Juna.Dari sini saja sudah terlihat dengan jelas betapa Anika jijik pada siput dan sejenisnya.“Maaf, aku benar-benar minta maaf.” Anika bicara ke Edi yang wajahnya mencelos karena kecewa.Padahal Edi sengaja memesan makanan paling mahal di restoran itu untuk menunjukkan kastanya. Tapi justru bumerang untuk dirinya.“Um, ya sudah, mau bagaimana lagi?” Edi canggung menarik tangannya kembali.“Sudah, sudah, ayo makan saja yang ada di piringmu, tak usah menggubris lain
“Hm? Orang pembawa sial? Pembawa maut atau bencana? Semacam orang terkutuk?” Nyai Wungu mengeluarkan suara manusia sambil memiringkan kepalanya yang lumayan pipih untuk berpikir.Juna dan Anika sama-sama menunggu jawaban Nyai Wungu.“Setahu hamba memang ada orang seperti itu, tapi karena dia seorang pendosa besar yang tidak direstui semesta, makanya dia akan membawa banyak bencana ke mana pun dia pergi.” Nyai Wungu mengungkap apa yang dia ketahui.Juna dan Anika saling berpandangan satu sama lain usai mendengar jawaban Nyai Wungu.“Nah, Nik, sudah dengar sendiri dari Nyai Wungu, ‘kan? Dia ini termasuk jin tua dan tentu sudah banyak mengetahui rahasia alam ini.” Juna lega karena dari jawaban Nyai Wungu, tidak ada yang perlu dikhawatirkan.Anika memandangi Juna tanpa tahu harus berkata apa mengenai itu.“Aku percaya dan yakin, kamu bukan pendosa besar sampai harus ditolak semesta, Nik.” Juna melanjutkan. “Maka dari itu, tidak perlu lagi merasa dirimu ini pembawa bencana.”Meski sudah di