Beranda / Pendekar / Panglima Kalamantra / BAB 2| Pendekar yang Hilang Ingatan

Share

BAB 2| Pendekar yang Hilang Ingatan

Penulis: Roe_Roe
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

“Di mana aku? Kenapa aku berada di sini?”

Kepalanya terasa ditusuk-tusuk dan sakit luar biasa. Dengan tangan masih gemetar hebat, dia pegangi kepalanya yang berdenyut. Ada cairan hangat mengalir di belakang kepalanya. Dia mengusapkan tangan dan darah merah melekat di telapaknya.

“Apa aku terbentur?”

Pria itu tidak ingat bagaimana dia bisa terluka dan jatuh ke sana. Satu-satunya petunjuk yang dia miliki adalah kalung di lehernya. Sebuah pecahan batu pipih dengan ukiran-ukiran simbol terkalung di lehernya. Di sisi lain pecahan batu itu terukir kata RION.

“RION? Apa itu namaku?” Dia usapkan jempol ke permukaan ukiran huruf-huruf itu.

Tiba-tiba sekawanan burung datang dan mengerumuni tubuh Rion. Rion menjerit dan menghalau kepakan serta cakaran burung-burung itu. Sebuah potongan kenangan muncul di pikirannya. Seseorang mendorongnya dari puncak tebing.

“Temukan tujuh dewa perang yang hilang!” bisik burung-burung itu di antara kepakan sayapnya.

Rion menyilangkan kedua lengan untuk melindungi wajah dan kepala dari serangan burung-burung. Tak lama, burung-burung itu pergi begitu saja. Di salah satu dahan pohon ada seekor elang yang mengawasinya dengan sepasang mata tajam.

“Apa yang baru saja terjadi? Kenapa burung-burung itu seakan membisikkan sesuatu padaku? Siapa tujuh dewa perang yang hilang?” Rion mengusapkan kedua telapak tangannya ke wajah dengan putus asa.

Rion duduk di sebuah batu besar sambil memegangi kedua lututnya yang gemetar. Dia terbangun setelah pingsan entah berapa lama. Pria berambut hitam dan panjang itu kebingungan.

Lamunan Rion dibuyarkan oleh sebuah suara gerisik tak jauh dari tempatnya berada. Rion waspada sambil menggenggam sebongkah batu tajam untuk perlindungan.

Rion berada di belantara hutan. Dia ketakutan. Kepalanya menoleh ke kiri untuk mendengarkan. Hanya ada suara kesiur angin yang menerpa dedaunan. Dia meneleng ke kanan. Ada suara-suara keretak ranting kayu yang terinjak samar. Suara itu mendekat ke arahnya.

“Tunjukkan dirimu!” teriak Rion. “Siapa di sana?”

Suasana kembali sepi. Rion mendengarkan lagi dengan seksama. Suara kesiur angin dan gesekan dedaunan di atas kepalanya menutupi suara-suara yang ingin dia dengarkan.

Woosshh!

Sebuah belati memelesat dan Rion refleks miring beberapa senti untuk menghindar.

“Bagaimana bisa?” Rion terkejut dengan kecepatan refleksnya sendiri.

Rion memejamkan mata dan mulai berkonsentrasi untuk mendengarkan suara-suara yang mendekat ke arahnya. Sepasang mata birunya terbuka. Satu belati melayang lagi. Kali ini, dia halau dengan tendangan.

Sekelebat saja Rion melihat pergerakan sesosok manusia. Dia melompat dari pohon di belakang Rion dan menjauh. Rion memburu sosok itu dengan kecepatan penuh. Sosok itu pun berlari dengan kecepatan yang tak kalah gesit.

Rion terkejut. Dia tidak ingat jika pernah menguasai jenis bela diri apa pun. Akan tetapi, otot-otot tubuhnya seakan bergerak secara naluri untuk bertahan dan melindungi dirinya dari serangan.

“Siapa aku sebenarnya? Siapa orang yang menyerangku?”

Rion terus memburu sosok itu untuk mencari tahu kenapa dia diserang. Di atas kepalanya, sejumlah burung turut berterbangan bersama laju lari Rion.

“Kenapa burung-burung ini terus mengikutiku?”

Burung-burung itu terbang memelesat. Mereka ikut memburu sosok yang Rion kejar. Tercipta badai burung di tengah-tengah hutan. Rion sekali lagi ternganga. Karena burung-burung itu seakan membantunya.

Woosssh!

Klap... Klap... Klap...

Suara kepakan sayap-sayap burung menggema ke penjuru hutan. Pria yang Rion kejar dikepung oleh burung-burung.

Woossshh!

Dia berhasil keluar dari selubung burung seperti seekor kupu-kupu yang baru muncul dari kepompong. Dia lemparkan belati tepat ke dada Rion.

Slaap! Blessh...

Rion terlambat menghindar dan belati menancap di bawah bahu kirinya.

Sraaak...

Rion terdorong. Bukan hanya belati yang menghunus dadanya, tapi juga sebuah kekuatan besar mendorongnya hingga terjengkang.

Klap... Klap... Klap...

Burung-burung yang semula membantu Rion, kini berbalik menyerang Rion atas perintah sosok misterius itu.

“Orang itu bisa mengendalikan burung. Siapa dia?”

“Aku harus membuat perhitungan denganmu, pengendali burung!” cibir pria bertubuh kecil berpakaian jembel yang dikejar Rion.

“Siapa kau?” teriak Rion sambil menahan luka di dada. “Apa kau mengenalku? Kenapa kau ingin membunuhku?”

“Kau sudah melalaikan tugas dan tanggung jawabmu sebagai seorang dewa perang. Sudah terlalu banyak nyawa yang melayang karena sikap pengecutmu! Kau bahkan berpikir untuk melarikan diri dengan membiarkan dirimu jatuh ke jurang? Maka, kau harus membayarnya dengan kehidupanmu!”

Rion kebingungan. “Kenapa aku harus bunuh diri dengan melompat dari tebing?”

Dalam ingatan Rion, dia tidak bunuh diri, tapi didorong oleh seseorang dari puncak tebing.  Napas Rion sesak dengan dada yang berdentum-dentum. Dia menggertakkan gigi sambil mencengkeram gagang belati yang menancap di dada kiri.

Dengan sekuat tenaga, Rion mencabut belati di dadanya. Rasanya sakit luar biasa. Darah merembes dari luka yang menganga.

“Kau tahu siapa aku? Bisa kau jelaskan padaku apa yang sebenarnya terjadi?” Rion memucat menahan luka di dadanya. “Siapa itu tujuh dewa perang?”

Pria bertubuh kecil, berjenggot putih panjang, dan berambut yang juga putih awut-awutan itu mengira Rion hanya sedang berpura-pura. Dia kembali memutar kedua tangannya dan memanggil burung-burung untuk menyerang Rion.

Wooss... Wooss...

Rion diselimuti burung-burung. Tubuhnya terangkat dari tanah lalu diempaskan hingga menumbuk sebatang pohon besar.

Bruk! Rion jatuh terduduk. Hoek! Darah munyembur dari mulutnya.

“Kau... ingin membunuhku?” desis Rion di tengah muntahan darahnya dengan putus asa. “Apa salahku?”

“Kau harus hidup untuk membayar kesalahanmu!”

Rion membeliak.

Pria bertubuh kecil dengan punggung sedikit bungkuk itu kembali menggerakkan tangannya. Dia memanggil seekor elang berukuran raksasa. Dengan sejumlah ucapan mantra dan gerakan tangan yang membentuk sebuah simbol, elang raksasa itu menghantam tubuh Rion. Kekuatan hantamannya setara dengan pukulan batu besar.

Rion merasa tubuhnya remuk dan dicabik-cabik. “Beginikah rasanya kematian itu?”

Perlahan-lahan, Rion kehilangan kesadaran. Di tengah-tengah ambang kesadarannya, Rion masih sempat melihat rambut hitam panjangnya berubah menjadi merah darah.

Sepasang mata Rion membeliak. Warna biru langit pada mata Rion juga berubah menjadi merah darah.

Rion berteriak kesakitan. Burung-burung dan binatang berlarian karena teriakannya. Rion bisa melihat elang raksasa memasuki tubuhnya, menembus dadanya, dan terasa keluar melalui punggung.

Suasana menjadi senyap, seakan-akan waktu berhenti berputar. Rion terjatuh ke permukaan tanah masam dan lembap di tengah hutan.

Selama beberapa saat, dia terbaring dalam keadaan sekarat. Jemari tangannya mulai bergerak tapi lemah sekali.

Pria berpakaian jembel itu berjalan mendekati Rion.

Rion melihat sosok itu mengangkat sebuah pedang yang bilahnya berkilat diterpa cahaya. Dia menghunuskan pedang ke punggung Rion dengan senyum kemenangan.

Blesh!

Rion memekik lagi saat dia merasakan dingin logam tajam menembus tubuhnya dengan rasa sakit yang luar biasa.

Rion mencium aroma amis darah dengan napasnya yang terputus-putus. Rion merintih kesakitan. Otot-otot tubuhnya terasa kaku hingga tak mampu digerakkan.

Kelopak mata rion dengan bulu mata merah perlahan mengatup. Bagian kemeja di perut dan dadanya terasa lembap oleh genangan darah dari tubuhnya sendiri.

“Aku akan mati,” bisiknya. “Aku akan mati tanpa mengetahui sebab kematianku!”

Rion mengepalkan tangan. Dedaunan dan mulsa tergenggam tanpa sengaja. Dia menitikkan air mata dan perlahan-lahan terpejam.

Pria bertubuh kecil itu menjambak rambut Rion hingga kepalanya yang terkulai tak berdaya terangkat. Dia tersenyum puas.

Pengemis tua itu pergi meninggalkan Rion sendirian yang terkapar dengan pedang masih tertancap di punggungnya. Dia mencabut potongan batu pipih di leher Rion dan menuliskan sebuah mantra di sana.

“Temukan mereka, maka kau akan kembali seperti sediakala!”

Bab terkait

  • Panglima Kalamantra    BAB 3| Singa Pelindung

    “Aakh,” rintih Rion sambil berusaha bangkit, tapi punggungnya begitu kaku. Dengan ditopang oleh kedua tangan berototnya, perlahan-lahan dia mulai merangkak hingga membuat rambut panjangnya berjatuhan ke bahu dan dada. Rion berhenti dan menggenggam ujung rambutnya sendiri.“Kenapa? Apa yang terjadi padaku?” Dia jumput dan periksa dengan seksama rambut hitamnya yang tiba-tiba berubah menjadi merah terang saat diterpa matahari.Rion memandangi kedua telapak tangannya yang dipenuhi darah kering dan meraba-raba sekujur tubuhnya untuk memeriksa luka. Dia teringat pada pedang yang ditancapkan oleh pengemis tua itu ke punggungnya.Pemuda itu segera meraba punggung dan tidak ada apa pun di sana. Dia meraba perut yang dalam ingatannya pedang itu menembus dari punggung hingga ke perut. Rion bahkan membuka kemejanya yang basah penuh darah hingga perut dan dada bidangnya terpampang.“Tak ada bekas luka sama sekali di sana,” bisiknya.Semua masih seperti sediakala. Namun, begitu Rion memeriksa tan

  • Panglima Kalamantra    BAB 4| Bandit Utara

    Rion bersama sang singa memacu kecepatan untuk mencari sumber teriakan. Udara terasa begitu lembap. Jalan-jalan yang lengang dipenuhi dengan guguran dedaunan cokelat kekuningan di sepanjang kiri dan kanan dari pepohonan yang meranggas.Rion menunggangi singanya. Dia menyembunyikan wajah di bawah topi lebar. Mereka baru saja melintasi jembatan beton yang menjadi batas pemisah antara dua wilayah.“Di mana kita sekarang?”“Entahlah,” ujar sang singa acuh tidak acuh. “Bukankah kau harus fokus pada tujuanmu? Kenapa kau malah ke sini? Tujuan kita di arah sebaliknya.”“Sudah kukatakan. Aku mendengar seseorang berteriak!”“Mungkin hanya suara angin. Sepertinya tidak ada makhluk hidup di sini. Karena tidak ada air sama sekali.”Air sungai di bawah jembatan itu mengering dan hanya menyisakan bebatuan serta tumpukan sampah yang menguarkan aroma busuk.“Kau yakin akan masuk ke wilayah ini?” tanya sang singa. “Maka kita akan semakin jauh dari tujuan. Kita harus menemukan Panglima Karang. Seharusn

  • Panglima Kalamantra    BAB 5| Gadis Pemilik Dua Pedang

    “Hei!” Rion berteriak sambil mengulurkan tangannya. Dengan susah payah, Rion berhasil membawa gadis itu kembali ke atas. “Kau baik-baik saja?”Gadis itu basah kuyup dan tubuhnya menggigil. Dia tidak menjawab tapi malah mengayunkan pedang pada Rion.“Kau! Bandit utara, serahkan ayahku!”Rion mundur sambil mengangkat kedua tangan. Dia bersiap mencabut celurit dari balik punggungnya.“Apa kau tadi yang berteriak meminta tolong?”“Cih, kau pikir aku membutuhkan pertolongan?” desis gadis itu. Dia tampak tangguh dan sangat waspada.“Oh, jelas sekali kau membutuhkan pertolongan, Nona!” sindir sang singa. “Kau berteriak seperti anak ayam yang kedinginan. Dan lihatlah sekarang! Kau malah menodongkan senjata pada orang yang telah menolongmu? Tidak tahu diri!”“SINGA?” jerit gadis itu. “Bisa bicara?”Gadis itu semakin panik. Dia ayunkan pedang pada singa dan juga Rion secara bergantian.“Hei, itu berbahaya!” teriak sang singa.“Nona, tenanglah! Kami bukan bagian dari bandit utara seperti yang ka

  • Panglima Kalamantra    BAB 6| Mencari Panglima Karang

    Tabir kabut pagi masih mengambang dengan pekat. Usai berhasil lepas dari kekangan Nara, Rion melanjutkan perjalanan bersama sang singa. Kini dia berada di persimpangan sebuah jalan.“Kau yakin Panglima Karang yang akan kita cari ada di sana?”“Yeah, sudah kukatakan berulang kali. Aku mendengar dia menjadi buronan di sana. Kita harus mendapatkannya lebih dulu sebelum orang lain.”Rion harus memutuskan memilih jalur kanan ataukah kiri. Dia tahu, keberuntungan berada di satu sisi dan nasib malang di jurusan yang lain. Pada saat-saat seperti itu, ingin sekali rasanya dia melempar dadu untuk menentukan ke mana harus pergi. Pada sebuah dadu, seperti juga dirinya, akan selalu ada kemungkinan.Pemuda itu mengikuti suara burung pagi yang berkicau di antara selimut kabut. Sang elang memelesat di atas. Rion bisa merasakan kepakan sayapnya. Dia memeluk leher singa raksasanya dan memerintahkan agar pergi ke kanan. Singa itu berlari dengan kecepatan tinggi. Rion merasa nyaman sekali menunggangi tub

  • Panglima Kalamantra    BAB 7| Teror di Kota Lamma

    Suara kentongan bambu yang dipukul terdengar semakin riuh. Para warga mulai berdatangan dengan membawa senjata masing-masing untuk memburu si panglima karang yang telah membantai sejumlah warga secara acak.Pria bertopeng itu mundur dan melarikan diri sambil berteriak lantang, “Ini hanya peringatan untuk kalian! Aku adalah Panglima Karang sang legenda. Dengan jurus pedang karang, aku bisa membunuh kalian dengan sangat mudah! Haha....”Perempuan yang meringkuk tak berdaya itu berusaha mengejar, “Tunggu! Kau tidak bisa pergi begitu saja!”Rion menahan perempuan itu. “Nona, kau terlalu ceroboh melawan orang seperti itu sendirian.”“Tapi, dia telah menyebarkan fitnah! Jurus pedang karang yang dia sebutkan adalah jurus yang diciptakan oleh ayahku dan tidak ada hubungannya dengan klan Karang atau Panglima Karang yang melegenda itu. Tidak mungkin kami menjadi seorang pembantai!”Rion mengerti kegelisahan perempuan itu. Dia juga sadar kalau sosok bertopeng itu adalah Panglima Karang palsu.

  • Panglima Kalamantra    8| Pertaruhan Masa Depan

    Selter Agung, dua minggu yang lalu.Suara raungan dan erangan terdengar nyaring memekakkan telinga. Ruang bawah tanah puri utama seketika menjadi sangat mencekam. Dua orang samurai yang bertugas menjaga pintu menuju ke penjara bawah tanah saling melirik dengan tawa lemah dan wajah ketakutan.“Aku lebih takut pada perempuan Yanbian itu daripada para penghuni penjara bawah tanah!” ujar seorang penjaga.“Siapa yang mengumpulkan para penjahat berbahaya itu di bawah tanah?” tanya seorang yang lain.“Kau pikir itu Shogun Sakka Kodaichi? Kau salah! Siapa lagi kalau bukan ....”Brakk ... pintu terbuka. Keiko berdiri di sana dengan aroma anyir darah dan peluh di sekitar wajahnya. Rambut panjang perempuan itu menjadi sedikit kusut dan berantakan. Salah seorang penjaga mengulurkan sapu tangan katun bersulam bunga plump yang diterima Keiko dengan wajah datar. Dia seka darah pada pedangnya menggunakan sapu tangan itu.“Bawa tabib dari balai pengobatan ke sini! Dan jangan pernah berikir untuk melep

  • Panglima Kalamantra    9| Pendekar Merah

    Malam hari di Kota Lamma terasa begitu mencekam. Sejak sore tak ada seorang pun yang terlihat keluar rumah. Semua orang takut dengan teror yang dilakukan oleh sosok bertopeng yang mengaku menjadi Panglima Karang si legenda. Tak ada yang tahu apa motif dan alasannya menyerang warga kota secara acak.Pada salah satu jalan kota yang lengang, terdapat sesosok pria berpakaian serba hitam yang mengenakan topeng iblis merah. Sosok bertopeng itu berdiri di ujung jalan untuk mengadang seorang pria berambut merah yang sedang melintas di sana. Mereka saling berhadapan.“Lepas saja topengmu, Panglima Karang palsu!” ujar si pria berambut merah yang sedang melintas sambil menarik celurit dari balik punggungnya.“Cih, orang dusun, Bengal! Sudah kukatakan akan kubunuh siapa saja yang kutemui di jalan!” ujar sosok bertopeng yang mengaku sebagai Panglima Karang.Mereka berdua berlari mendekat untuk saling menerjang dengan senjata masing-masing.Tak! Dua bilah celurit tersilang untuk menahan ayunan peda

  • Panglima Kalamantra    10: Siulan Magis

    Rion berlari ke kamar penginapannya dan membuka pintu geser dari bambu berlapis kertas itu dengan terengah-engah. Dia berlari cukup jauh untuk mengejar Nara dan mencegah dari berbuat sesukanya.“Apa yang kau lakukan di kamarku?” Rion membeliak tak percaya.Nara sedang melepas kemejanya saat Rion membuka pintu tanpa peringatan. Gadis itu cepat-cepat meraih kemejanya lagi dan menutupi tubuh sekenanya.“Dasar, pria mesum!” teriak Nara sambil melemparkan belati ke arah Rion.Pemuda itu cepat-cepat menutup pintu lagi hingga belati itu tertancap ke sana. Rion menghela napas lega di luar pintu kamar. Dia sudah siap memuntahkan beragam umpatan dan makian, tapi urung saat sudut matanya menangkap kehadiran Anila di ujung lorong. Wajah perempuan itu tersembunyi sebagian dalam kegelapan. Di kedua tangannya, dia membawa yukata, selimut tambahan, dan handuk bersih.Rion berusaha menjelaskan sesuatu pada Anila, tapi perempuan itu cepat-cepat pergi dari sana tanpa menoleh pada Rion setelah menyerahka

Bab terbaru

  • Panglima Kalamantra    25: Segel Kutukan

    “Ayaah!” teriak Lilian. “Di mana kauu...?”Di tengah-tengah lautan pertempuan antara klan kultivasi dengan pasukan mayat hidup itu, seorang pria tua dengan jenggot putih panjang tertatih mencari keberadaan putrinya.“Ayah!” teriak Lilian sekali lagi.Tuan Besar Zang mengikuti sumber suara sang putri. Dia berjalan mendekati arah Lilian berada meski di sekitarnya ada banyak sekali hujan anak panah, tebasan pedang, dan hunusan tombak. Dia berusaha mengindari mereka semua sebisa mungkin.“Ayah! Pergi dari sana!” Lilian panik seketika mendapati sang ayah mendekat dengan tubuh yang tak terlihat baik-baik saja.“Pandai sekali dia memainkan peran,” sengih Eknath begitu melihat Tuan Besar Zang muncul di sana meski sudah sangat terlambat.Sejumlah pasukan mayat hidup menyerang siapa saja yang masih menjadi manusia. Mereka semakin brutal. Tuan

  • Panglima Kalamantra    24: Terkuaknya Sosok Berkecapi

    Melihat kemunculan Lilian bersama pusaka mata naga membuat seluruh anggota klan kultivasi yang lain tertarik. Mereka tak lagi berpura-pura bergabung dalam pemberontakan untuk melawan klan Wan. Tujuan mereka sebenarnya adalah ingin merebut pusaka mata naga.“Aku... tak bisa bergerak.” Eknath terjatuh ke tanah.“Brengsek! Segel itu memakan energinya,” gumam Karuna yang berdiri di luar segel ciptaan Lilian.Traaang!Lilian mengayunkan lagi dawai kecapinya ke arah Eknath yang terjebak. Pria itu muntah darah akibat cambukan dawai iblis Lilian tepat ke pusat inti energinya.“Jangan sakiti dia!” teriak Karuna marah.Lilian berhenti memainkan kecapinya dan berdiri menatap mereka berdua. Dia ulurkan tangan ke depan dan menyerap seluruh energi yang terjerat di dalam segel. Warna merah segel memudar seiring dengan keluarnya energi gelap di dalam tubuh Eknath.

  • Panglima Kalamantra    23: Pasukan Iblis Kabut

    “Siapa pun tolong aku!”Para mayat hidup yang terdiri dari pasukan Wan berlarian memburu Tuan Muda Wan. Jumlah mereka semakin banyak. Tuan Muda Wan terus berlari tapi tak ada tempat perlindungan untuknya.“Akan aku bayar kalian dengan apa saja kalau bisa menyelamatkanku!” Pria itu sangat ketakutan sampai tak bisa lagi berlari.Napas Tuan Muda Wan terengah- engah. Ketakutannya tiba-tiba berbalik menjadi keberanian saat dia teringat pada sesuatu yang dia miliki. Pria itu merogoh baju dan mengeluarkan sebuah kantung khusus penyimpan pusaka.Para mayat hidup itu seketika terhenti begitu kantung di tangan Tuan Muda Wan terbuka segelnya. Tuan Muda Wan mengeluarkan sesuatu yang bercahaya dengan warna hitam pekat di dalamnya. Masing-masing benda yang keluar dari kantung melayang di permukaan tangannya dan bersatu membentuk sebuah bongkahan bola yang kehilangan satu bagian.“Pusaka

  • Panglima Kalamantra    22: Pasukan Ngengat

    Perempuan itu berlari ketakutan. Dia mencari pertolongan pada siapa saja yang masih hidup di sana. Tapi, rumah mewah itu sangat lengang dan gelap. Di sepanjang dia berlari hanya menemukan mayat para penjaga yang ditempatkan Tuan Muda Wan di sana.Di kejauhan terdengar suara kecapi mengalun rendah dan merdu. Perempuan itu berhenti dan menegang seketika. Dia raba tengkuknya yang meremang.“Suara apa ini?” Matanya melotot lebar dan berputar-putar di lorong antara taman dan rumah utama.Suara kecapi itu semakin keras dan mendekat. Dia menatap ke langit yang mendung dan bulan purnama yang tertutup awan.Traaang!Gema kecapi tiba-tiba meninggi dengan kasar. Perempuan itu panik. Seiring dengan alunan kecapi yang menggila, di sekitarnya para mayat pasukan Wan yang bergelimpangan mulai bergerak-gerak. Mayat-mayat itu seperti boneka marionate yang digerakkan oleh benang tak kasatmata.Perem

  • Panglima Kalamantra    21: Penjaga yang Mati

    Saat pengintai itu akan berbalik pergi, sebuah tombak meluncur di depan kakinya. Dia terduduk dan mundur dengan wajah pucat. Dari belakang, seorang pria menghunuskan pedang dari punggung menembus dada sang mata-mata.“Hah, kau mau memata-matai kami?” seringai pria yang berdiri di depannya sambil mencabut tombak yang sebelumnya dia lemparkan.Mata-mata dari klan Wan itu muntah darah dan mati seketika.Mereka terlambat, rekan sang mata-mata sudah melemparkan mantra ke langit untuk memberi tahu pasukan yang lain keberadaan para pemberontak di sana. Pria bertombak menghunus jantung sang pengirim pesan.Seluruh anggota pasukan pemberontak menyadari mantra yang terbang itu akan datang membawa pasukan klan Wan untuk menyerang markas mereka. Seluruh anggota pasukan pemberontak bersiap untuk menghadapi serangan.Di markas pusat klan Wan, Tuan Muda Wan terlihat gelisah dan ketakutan. Selama tiga malam

  • Panglima Kalamantra    20: Mantra Pengundang Iblis

    Karuna dan Eknath mendatangi permukiman terdekat. Mereka mengikuti sumber cahaya yang terlihat masih menyala di perbatasan kota.“Sepertinya di sini baik-baik saja....”“Ya, tampaknya mereka hanya menyasar markas pengawas klan Wan.”Saat melintas di salah satu gang permukiman warga, mereka mendengar sebuah keluarga tengah berbincang-bincang.“Sesuatu tengah terjadi di markas pengawas utara juga. Mereka semua menyelamatkan diri ke sini. Begitu yang aku dengar.”“Tak hanya di sana. Aku baru kembali dari timur. Aku lihat di sana juga kacau. Aku segera kembali dan urung melakukan perjalanan. Kata orang-orang semua markas klan Wan dikutuk oleh iblis jahat!”“Aku dengar yang melakukan adalah iblis dari Gunung Iblis! Mereka memburu pemilik pusaka mata naga. Siapa lagi kalau bukan klan Wan yang punya?”“Entahlah. Jika kau me

  • Panglima Kalamantra    19: Kehancuran Misterius di Kota

    “Aku menerimanya!” teriak Eknath setuju dengan penawaran sosok misterius dalam bayangan gelap itu. “Bebaskan aku sekarang! Aku setuju dengan kesepakatan yang kau berikan!”Sosok yang tersembunyi dalam gelap itu menyeringai.“Hei! Lepaskan aku!”“Berikan padaku sumpah jiwa dengan tombak acala ini sebagai jaminannya!” tuntut sang sosok misterius.“Keparat!” umpat Eknath.Dia tak punya pilihan lain. Eknath pun merapal mantra pelepasan jiwa atau merogoh sukma. Kini, separuh jiwanya berada dalam genggaman sosok misterius itu. Jiwa tombak acala adalah separuh kehidupan Eknath. Dia serahkan jiwa tombak itu sebagai jaminan dan akan kembali padanya jika Eknath sudah menyelesaikan kesepakatannya.Jerat-jerat sihir di tubuh Eknath memudar. Dia bisa bangkit dan memijit pergelangan tangannya yang sebelumnya terikat jerat.“ACALA!

  • Panglima Kalamantra    18: Merangkak Menuju Harapan

    Di sebuah taman pribadi yang mewah dan megah dengan banyak tanaman menghiasai, seorang perempuan dalam gaun sutra tipis berjalan dengan talam di tangan. Dia membawa seperangkat alat untuk jamuan teh.Di gazebo ada seorang remaja yang tengah membersihkan pedangnya. Perempuan pembawa baki teh itu mendekat. Dari arah yang berbeda, seorang pria berlari-lari dengan tergesa.“Tuan Muda... Tuan Muda....”Remaja yang duduk di gazebo itu menengok pada sang pria. “Kenapa panik sekali?”“Hosh... Hosh... Anu... Itu... Di depan ada perwakilan dari klan Wan!”Prang!Baki teh yang dibawa perempuan bergaun sutra terjatuh. Remaja yang duduk di gazebo semakin gusar.“Apa lagi sekarang, Kak?” tanyanya pada sang perempuan.“Ini pertanda buruk, Chyou! Apa kau lupa bagaimana klan Zang dibumihanguskan oleh mereka?”“L

  • Panglima Kalamantra    17: Tiga Kekalahan

    “Ke mana kalian akan membawaku?” tutur Lilian lirih saat tubuhnya diseret oleh lima pria anak buah si perempuan bergaun ungu.Perempuan bergaun ungu itu terhenti. Dia tiba-tiba menyeringai karena mempunyai sebuah ide.“Bawa dia ke kawah iblis!”“Tapi, Nona... tempat itu....”“Ini perintah! Apa yang aku ucapkan juga mewakili perintah Tuan Muda Wan!”Kelima pria yang menyeret tubuh Lilian ragu-ragu.“Ka-kami tidak berani!”“Kalian akan mati di sini jika menolak! Bawa dia ke kawah iblis, sekarang!”Kelima pria itu mulai membawa Lilian menuju ke jalan kawah iblis tak jauh dari hutan bambu hitam. Mata Lilian yang bengkak tak bisa melihat dengan jelas. Tapi, hidungnya bisa mencium aroma daun bambu yang basah dan terbakar.Seluruh tanaman di Gunung Iblis didominasi warna hitam dan kelabu. Semuany

DMCA.com Protection Status