Rion bersama sang singa memacu kecepatan untuk mencari sumber teriakan. Udara terasa begitu lembap. Jalan-jalan yang lengang dipenuhi dengan guguran dedaunan cokelat kekuningan di sepanjang kiri dan kanan dari pepohonan yang meranggas.
Rion menunggangi singanya. Dia menyembunyikan wajah di bawah topi lebar. Mereka baru saja melintasi jembatan beton yang menjadi batas pemisah antara dua wilayah.
“Di mana kita sekarang?”
“Entahlah,” ujar sang singa acuh tidak acuh. “Bukankah kau harus fokus pada tujuanmu? Kenapa kau malah ke sini? Tujuan kita di arah sebaliknya.”
“Sudah kukatakan. Aku mendengar seseorang berteriak!”
“Mungkin hanya suara angin. Sepertinya tidak ada makhluk hidup di sini. Karena tidak ada air sama sekali.”
Air sungai di bawah jembatan itu mengering dan hanya menyisakan bebatuan serta tumpukan sampah yang menguarkan aroma busuk.
“Kau yakin akan masuk ke wilayah ini?” tanya sang singa. “Maka kita akan semakin jauh dari tujuan. Kita harus menemukan Panglima Karang. Seharusnya dia ada di kota berikutnya. Aku dengar dia menjadi buronan di sana.”
“Kita lihat-lihat sebentar. Untuk memastikan bahwa suara yang aku dengar tadi memang betul hanya suara angin.”
Mereka lanjut berjalan. Setetes kecil air jatuh ke punggung tangan Rion yang terbungkus sarung tangan kulit hitam. Dia mendongak, menatap kubah langit pekat dengan sepasang mata memicing. Satu sudut bibirnya tersungging.
“Kau bercanda denganku?” gumamnya lirih. “Hujan di tengah kemarau panjang?”
Rion dan singanya melintasi gapura kayu lapuk yang masih menyisakan tulisan dengan cat hitam pudar, Kota Pelabuhan Tua Grisse.
Di kejauhan terdengar suara gemuruh angin disusul hujan yang berjatuhan dari arah perbukitan kapur. Tanah kering dan berdebu di sepanjang jalan itu menguarkan aroma masam dari siraman hujan pertama setelah dilanda kemarau yang berkepanjangan.
Rion dan singanya terus melaju di bawah guyuran hujan lebat. Sesekali singa itu mengerang, mungkin terlalu senang seperti halnya Rion. Hidung dan mulut mereka mengembuskan napas lelah. Seketika napas mereka berubah menjadi uap tipis di antara derai hujan.
“Kau yakin ini bukan hujan tipuan?” desis sang singa.
“Apakah ada hal yang seperti itu?”
“Ada beberapa penyihir yang memiliki kemampuan untuk membuat tipuan seperti ini. Karena hujan memang sudah berbulan-bulan tidak ada. Hampir di seluruh wilayah negeri. Maka sangat aneh jika hujan tiba-tiba muncul. Waspadalah, bisa saja ini hanya jebakan.”
Kota pelabuhan Grisse terdiri dari perbukitan kapur yang pernah menjadi pusat industri terbesar di negeri Kalamantra. Bekas-bekas kedigdayaannya masih melekat jelas. Tak jauh dari gapura kayu yang lapuk, berdiri bekas stadion sepak bola megah yang kini hanya menyisakan bangku-bangku karatan dengan jajaran batu nisan di tengah-tengah lapangan.
“Sejak beberapa tahun yang lalu, kota pelabuhan Grisse dihancurkan dan dikuasai oleh para bandit dan bajak laut dari kepulauan utara. Kota tua bersejarah ini, kini menjadi momok yang ditakuti oleh para musafir dan pedagang. Pelabuhan dagang terbesar di Kalamantra ini menjadi mati karena tak ada kegiatan. Kota pelabuhan tua Grisse sendiri adalah gerbang utama yang menghubungkan kawasan utara dengan wilayah negeri Kalamantra yang lain.“
“Wow!” gumam Rion.
“Aku hanya penasaran apa kau juga tidak memiliki ingatan tentang hal ini?”
Rion menggeleng.
“Di pulau utara yang terpisah dari negeri Kalamantra ada penguasa baru yang bertangan besi bernama Omkara. Dia mendirikan sebuah kastil dan benteng dengan persenjataan kuat. Para pasukan dan pengawalnya terdiri dari para bandit dan bajak laut yang terkenal bengis. Sayangnya, wilayah pesisir itu tak banyak memiliki sumber daya alam. Sumber pendapatan mereka datang dari perdagangan antar negeri di pelabuhannya.“
“Dia terdengar sangat jahat.”
“Omkara berencana ingin menguasai dan menyatukan negeri-negeri di seluruh bekas kerajaan Kalamantra di bawah kakinya. Beberapa bulan yang lalu, mereka mulai menyerang wilayah klan Sakheti yang selama turun-temurun menjadi penguasa dan pelindung kota pelabuhan tua Grisse beserta empat kota lainnya yang masuk dalam wilayah perlindungan mereka.”
“Apakah semua itu berhubungan dengan tujuanku? Untuk menemukan tujuh panglima kalamantra yang hilang?”
Mereka berpapasan dengan seorang pria tua jembel bermantel jerami dan bercapil bambu yang berjalan sambil menggendong tembikar. Pria tua itu baru keluar dari stadion, mungkin untuk mengunjungi makam atau untuk menambah jumlah nisan di sana. Dia sama sekali tidak terpengaruh dengan singa yang Rion kendarai.
“Hei, Anak Muda!” sapa pria tua itu. “Sebaiknya kau kembali atau mencari jalan lain! Tak ada apa pun yang tersisa dari kota ini! Kami semua pergi karena akan terjadi perang di pelabuhan,” ujar sang pria tua yang berjalan menuju ke arah jembatan beton. “Aku sendiri akan pergi ke timur untuk meminta perlindungan. Mereka bilang di sana telah bangkit si pemilik ajian pancasona sang juru selamat!” ujarnya sambil terus berjalan terbungkuk-bungkuk.
Rion dan singanya terus saja melaju dan mengabaikan ucapan sang pria tua.
“Hei, kau tak dengarkan aku? Di sana terlalu berbahaya! Semua orang sudah pergi ke selatan dan timur. Tak ada lagi tempat di utara dan di barat. Semua sudah dikuasai para bandit-bandit itu. Perang akan pecah!” teriak sang pria tua dengan putus asa.
Rion akhirnya menoleh ke arah pria tua itu sebelum meminta sang singa berlari lebih cepat untuk melintasi bukit pertama.
“Aku hanya ingin melihat-lihat. Aku akan baik-baik saja!”
Mereka naik ke bukit untuk bisa melihat seluruh wilayah dengan jelas. Di sana ada bekas perumahan elit yang kini terlihat mengenaskan. Atap-atap dan dinding bangunan banyak yang roboh. Tumpukan sampah terhampar di setiap sudut. Rumput-rumput dan tanaman liar tumbuh di setiap celah.
Sesosok mayat digantung di salah satu dahan pohon angsana, menjadi penanda bahwa kota itu sudah dikuasi oleh para bandit utara. Pada badan mayat itu terkait papan bergambar lingkaran berwarna merah dengan kobaran api di sekitarnya—matahari yang membara. Mayat yang sudah mengering itu menguarkan aroma busuk saat tertimpa hujan pertama.
“Kau bisa menggunakan senjatamu?” tanya sang singa.
“Maksudmu celurit yang kau beri padaku? Entahlah. Aku pikir tidak pernah menggunakan senjata apa pun sebelumnya.”
“Cobalah, seharusnya kau mampu. Turunkan pria itu.”
“Bagaimana caranya? Memanjat pohon?”
“Ikuti saja apa yang dikatakan oleh tubuh dan nalurimu!”
Rion menurunkan pinggiran topinya untuk memberi hormat pada sang mayat hingga menutupi hampir sebagian wajah. Dia menarik salah satu celurit dari sabuk di punggung. Dengan berpijak pada punggung singa, Rion melompat sambil menyabet tali tambang yang mengikat mayat itu. Tali terputus dan Rion mendarat dengan mulus ke tanah sambil memutar celuritnya. Dia menyarungkannya kembali ke punggung.
“Wow! Apakah ini sungguh aku?”
“Meski kau tidak ingat sama sekali, seharusnya tubuhmu masih mampu mengingat jika kau memang bisa menggunakan senjata dan memiliki kemampuan bela diri.”
“Tapi, kenapa celurit? Aku lebih senang jika kau memberiku pedang.”
Mayat yang membusuk itu jatuh berdebum ke tanah. Tak ada yang bisa Rion lakukan. Setelah melepas papan yang dipanahkan ke dada mayat, dia menutupinya menggunakan dedaunan dan rerumputan sebagai tanda penghormatan.
Dia dan singa jantan bersuara perempuan itu terus berjalan mengikuti aspal yang berlubang-lubang menuju puncak bukit kapur pertama. Tapak kaki singa menggilas kerikil dan bebatuan yang mulai digenangi air. Mantel hitam yang dikaitkan ke bahu Rion cukup melindungi sebagian tubuhnya dari basah.
“Aku tahu kau lelah, tapi bisakah kita berjalan sedikit lebih jauh? Aku ingin memastikan bahwa memang tidak ada apa pun di sini,” pinta Rion.
Dari arah puncak bukit terdengar gemuruh tapak kaki kuda berkecipak dengan air yang mendekat ke arahnya. Rion itu menyelipkan tangan kanan ke balik punggung dan bersiap mencabut celuritnya lagi.
Lima penunggang kuda bertopeng iblis merah berdiri berjajar mengadang Rion dan singanya.
“Siapa kau? Berani sekali masuk ke wilayah ini!” pekik seorang pria yang di punggungnya terdapat busur dan panah.
“Singa? Tunggangan yang cukup aneh!” gumam yang lain.
Kuda-kuda mereka mulai gelisah saat melihat singa yang ditunggangi Rion.
“Sepertinya mayat di pohon itu membutuhkan seorang pasangan!” cibir yang lain dengan suara serak dan berat.
Rion memperhatikan satu persatu sosok kelima pengadangnya yang bertopeng iblis merah di bawah guyuran hujan. Pada lengan tangan kanan mereka yang telanjang, tertoreh rajah lingkaran berwarna merah dengan kobaran api di sekitarnya—matahari yang membara. Salah satu dari mereka tampaknya membawa tawanan. Seorang gadis yang pingsang dan diikat di bagian punggung seekor kuda.
Salah seorang gerombolan bertopeng itu menarik anak panah dari punggung dan membidikkannya tepat pada leher Rion.
Plash! Panah terbang dan tembus ke batang lehernya.
Rion roboh dan jatuh dari kudanya.
“Dasar bodoh!” gerutu sang singa. “Kenapa kau tidak mengelak?” Singa itu hanya melirik pada Rion yang tumbang dengan anak panah menancap di lehernya.
Kelima bandit bertopeng iblis merah itu tertawa puas. Rion yang kaget tiba-tiba merangkak dan mulai mencabut anak panah dari lehernya dengan suara keretak yang menyakitkan.
Kelima bandit itu menganga dan mulai memucat. Rion berhasil mencabut lepas anak panah yang menembusi lehernya. Luka pada leher itu perlahan kembali menutup dan darah yang merembes tersiram air hujan hingga luruh ke permukaan tanah, hilang tak berbekas. Semua terjadi begitu cepat dan Rion kembali pulih seperti sedia kala seakan tak pernah terjadi apa-apa.
“Pe-penyihir!” pekik salah seorang dari kelima bandit bertopeng itu dengan tubuh gemetar.
Mereka mulai panik dan mengacungkan senjata masing-masing. Anak panah kedua kembali melesat. Kali ini dihalaunya anak panah itu menggunakan celurit yang ditarik dengan cepat dari balik punggung. Dua penunggang kuda melarikan diri menyisakan tiga bandit paling depan. Dia juga meninggalkan sang tawanan yang masih terikat di atas punggung kuda.
“Sial! Kita tidak bisa kembali dengan membawa corengan di muka!” desis sang bandit yang bertubuh kekar.
Mereka bertiga turun dari kudanya dan mulai mengepung Rion dengan pedang, parang, dan tombak bermata dua. Rion berdiri di antara mereka bertiga di bawah guyuran hujan yang semakin lebat. Di langit, kilat dan petir mulai menyambar. Kedua tangan Rion menggenggam erat celurit Madura yang terkenal akan ketajaman bilahnya.
Ketiga bandit itu menyerang bersama-sama dari arah yang berbeda. Dengan kecepatan yang luar biasa, Rion berlari menerjang para bandit itu seakan-akan tubuhnya bisa menghilang di antara guyuran hujan.
‘Apa-apan ini? Bagaimana aku bisa melakukan semua ini bahkan tanpa berpikir?’ Rion kaget dengan kemampuan dirinya sendiri.
Dua bandit yang berdiri berdekatan dengan awas, tiba-tiba perutnya koyak. Saat mereka sadar, Rion sudah berdiri di belakangnya dengan dua bilah celurit berdarah-darah. Kedua pria itu tumbang.
Bandit ketiga mulai mengamuk dan mengayun-ayunkan tombaknya, tapi Rion sudah hilang lagi dari pandangan. Bandit bertombak itu merasakan embusan angin cepat di telinga kirinya dan Rion sudah berdiri di samping sambil mengalungkan bilah tajam celurit ke lehernya. Tatapan matanya begitu tajam dan mengerikan.
“Kalian tak layak hidup sebagai manusia!” ditariknya celurit itu hingga mengoyak kerongkongan sang bandit.
Rion berdiri di tengah-tengah tubuh para bandit yang terkapar dengan napas terengah. Kedua tangannya yang menggenggam celurit berdarah terkulai di samping tubuh. Darah menetes-netes dari ujung bilah celurit yang tersiram hujan. Kepalanya mendongak dengan mulut sedikit menganga berusaha meraup air hujan pertama sebanyak-banyaknya.
Topi lebar Rion terlepas dari kepala dan menampakkan rambut perak kebiruan sepunggung. Matanya terbuka, memperlihatkan sepasang warna merah darah yang berangsur-angsur memudar menjadi ungu pekat lalu biru muda.
Cetaarr!
Petir menyambar membuat kuda-kuda yang terlepas dari tuannya berlarian. Rion melihat kuda yang membawa tawanan itu juga kabur ketakutan. Sang tawanan yang terikat di atas punggung kuda terlempar dan jatuh ke tebung.
“TOLONG!”
Seorang gadis menjerit dan memekik. Rion gelagapan dibuatnya. Sosok yang berteriak itu ternyata seorang gadis yang kini bergelantungan di tebing. Dia hampir jatuh ke jurang.
“Hei!” Rion berteriak sambil mengulurkan tangannya. Dengan susah payah, Rion berhasil membawa gadis itu kembali ke atas. “Kau baik-baik saja?”Gadis itu basah kuyup dan tubuhnya menggigil. Dia tidak menjawab tapi malah mengayunkan pedang pada Rion.“Kau! Bandit utara, serahkan ayahku!”Rion mundur sambil mengangkat kedua tangan. Dia bersiap mencabut celurit dari balik punggungnya.“Apa kau tadi yang berteriak meminta tolong?”“Cih, kau pikir aku membutuhkan pertolongan?” desis gadis itu. Dia tampak tangguh dan sangat waspada.“Oh, jelas sekali kau membutuhkan pertolongan, Nona!” sindir sang singa. “Kau berteriak seperti anak ayam yang kedinginan. Dan lihatlah sekarang! Kau malah menodongkan senjata pada orang yang telah menolongmu? Tidak tahu diri!”“SINGA?” jerit gadis itu. “Bisa bicara?”Gadis itu semakin panik. Dia ayunkan pedang pada singa dan juga Rion secara bergantian.“Hei, itu berbahaya!” teriak sang singa.“Nona, tenanglah! Kami bukan bagian dari bandit utara seperti yang ka
Tabir kabut pagi masih mengambang dengan pekat. Usai berhasil lepas dari kekangan Nara, Rion melanjutkan perjalanan bersama sang singa. Kini dia berada di persimpangan sebuah jalan.“Kau yakin Panglima Karang yang akan kita cari ada di sana?”“Yeah, sudah kukatakan berulang kali. Aku mendengar dia menjadi buronan di sana. Kita harus mendapatkannya lebih dulu sebelum orang lain.”Rion harus memutuskan memilih jalur kanan ataukah kiri. Dia tahu, keberuntungan berada di satu sisi dan nasib malang di jurusan yang lain. Pada saat-saat seperti itu, ingin sekali rasanya dia melempar dadu untuk menentukan ke mana harus pergi. Pada sebuah dadu, seperti juga dirinya, akan selalu ada kemungkinan.Pemuda itu mengikuti suara burung pagi yang berkicau di antara selimut kabut. Sang elang memelesat di atas. Rion bisa merasakan kepakan sayapnya. Dia memeluk leher singa raksasanya dan memerintahkan agar pergi ke kanan. Singa itu berlari dengan kecepatan tinggi. Rion merasa nyaman sekali menunggangi tub
Suara kentongan bambu yang dipukul terdengar semakin riuh. Para warga mulai berdatangan dengan membawa senjata masing-masing untuk memburu si panglima karang yang telah membantai sejumlah warga secara acak.Pria bertopeng itu mundur dan melarikan diri sambil berteriak lantang, “Ini hanya peringatan untuk kalian! Aku adalah Panglima Karang sang legenda. Dengan jurus pedang karang, aku bisa membunuh kalian dengan sangat mudah! Haha....”Perempuan yang meringkuk tak berdaya itu berusaha mengejar, “Tunggu! Kau tidak bisa pergi begitu saja!”Rion menahan perempuan itu. “Nona, kau terlalu ceroboh melawan orang seperti itu sendirian.”“Tapi, dia telah menyebarkan fitnah! Jurus pedang karang yang dia sebutkan adalah jurus yang diciptakan oleh ayahku dan tidak ada hubungannya dengan klan Karang atau Panglima Karang yang melegenda itu. Tidak mungkin kami menjadi seorang pembantai!”Rion mengerti kegelisahan perempuan itu. Dia juga sadar kalau sosok bertopeng itu adalah Panglima Karang palsu.
Selter Agung, dua minggu yang lalu.Suara raungan dan erangan terdengar nyaring memekakkan telinga. Ruang bawah tanah puri utama seketika menjadi sangat mencekam. Dua orang samurai yang bertugas menjaga pintu menuju ke penjara bawah tanah saling melirik dengan tawa lemah dan wajah ketakutan.“Aku lebih takut pada perempuan Yanbian itu daripada para penghuni penjara bawah tanah!” ujar seorang penjaga.“Siapa yang mengumpulkan para penjahat berbahaya itu di bawah tanah?” tanya seorang yang lain.“Kau pikir itu Shogun Sakka Kodaichi? Kau salah! Siapa lagi kalau bukan ....”Brakk ... pintu terbuka. Keiko berdiri di sana dengan aroma anyir darah dan peluh di sekitar wajahnya. Rambut panjang perempuan itu menjadi sedikit kusut dan berantakan. Salah seorang penjaga mengulurkan sapu tangan katun bersulam bunga plump yang diterima Keiko dengan wajah datar. Dia seka darah pada pedangnya menggunakan sapu tangan itu.“Bawa tabib dari balai pengobatan ke sini! Dan jangan pernah berikir untuk melep
Malam hari di Kota Lamma terasa begitu mencekam. Sejak sore tak ada seorang pun yang terlihat keluar rumah. Semua orang takut dengan teror yang dilakukan oleh sosok bertopeng yang mengaku menjadi Panglima Karang si legenda. Tak ada yang tahu apa motif dan alasannya menyerang warga kota secara acak.Pada salah satu jalan kota yang lengang, terdapat sesosok pria berpakaian serba hitam yang mengenakan topeng iblis merah. Sosok bertopeng itu berdiri di ujung jalan untuk mengadang seorang pria berambut merah yang sedang melintas di sana. Mereka saling berhadapan.“Lepas saja topengmu, Panglima Karang palsu!” ujar si pria berambut merah yang sedang melintas sambil menarik celurit dari balik punggungnya.“Cih, orang dusun, Bengal! Sudah kukatakan akan kubunuh siapa saja yang kutemui di jalan!” ujar sosok bertopeng yang mengaku sebagai Panglima Karang.Mereka berdua berlari mendekat untuk saling menerjang dengan senjata masing-masing.Tak! Dua bilah celurit tersilang untuk menahan ayunan peda
Rion berlari ke kamar penginapannya dan membuka pintu geser dari bambu berlapis kertas itu dengan terengah-engah. Dia berlari cukup jauh untuk mengejar Nara dan mencegah dari berbuat sesukanya.“Apa yang kau lakukan di kamarku?” Rion membeliak tak percaya.Nara sedang melepas kemejanya saat Rion membuka pintu tanpa peringatan. Gadis itu cepat-cepat meraih kemejanya lagi dan menutupi tubuh sekenanya.“Dasar, pria mesum!” teriak Nara sambil melemparkan belati ke arah Rion.Pemuda itu cepat-cepat menutup pintu lagi hingga belati itu tertancap ke sana. Rion menghela napas lega di luar pintu kamar. Dia sudah siap memuntahkan beragam umpatan dan makian, tapi urung saat sudut matanya menangkap kehadiran Anila di ujung lorong. Wajah perempuan itu tersembunyi sebagian dalam kegelapan. Di kedua tangannya, dia membawa yukata, selimut tambahan, dan handuk bersih.Rion berusaha menjelaskan sesuatu pada Anila, tapi perempuan itu cepat-cepat pergi dari sana tanpa menoleh pada Rion setelah menyerahka
Tali tambang terputus dan pria itu jatuh terjungkal ke tanah dengan suara debum yang menyakitkan. Tiba-tiba muncul dari balik semak-semak sebuah kusarigama—rantai panjang dengan arit sebagai pemberat di ujungnya. Kusarigama itu melayang ke arah Rion untuk menghalangi pemuda itu mendekati si pria yang akan bunuh diri. Seorang ninja berdiri di sana menggenggam ujung rantai kusarigama. Seluruh tubuhnya tertutup pakaian hitam dan hanya menyisakan sepasang mata yang sipit.“Pria itu milikku!” ujar si ninja.Rion hanya meneleng. Sudut matanya menangkap pergerakan pria yang baru dia selamatkan merangkak mengendap-endap untuk melarikan diri sambil membawa satu celuritnya. Sesaat, Rion terkejut mengenali wajah pria itu yang terlihat masih sangat muda.Pecahan batu yang terkalung di leher Rion terasa berdenyut. Refleks dia mengusapnya dan terasa panas. “Ada apa ini? Siapa di antara pria ini memiliki pecahan batu yang sama? Kata singa jantan itu, batu ini akan menuntunku pada pemilik yang lain.”
Rion dapat melihat pergerakan pemuda berpakaian jembel itu yang menyelinap pergi ketika dia sibuk mengendalikan burung-burung. Satu celuritnya masih dibawa kabur oleh pemuda itu. Selagi ada kesempatan, Rion memburu dan menyusul pemuda itu.“Kau mengikutiku, bukan? Sejak pertama aku menginjakkan kaki di hutan Lamma, kau terus mengikutiku sampai ke kota!” suara Rion menggema.Dia berdiri di bawah air terjun. Di puncak tebing tempat muasal air terjatuh, seekor elang bertengger di dahan pohon yang landai. Rion dan elang itu saling menatap.“Dan kau adalah Panglima Karang!“ Rion mencebik, “Ternyata, kau bahkan sudah mengawasiku sejak memasuki Kota Poral di utara Lamma!” Rion teringat pada pemuda itu yang berpura-pura menjadi pengemis. Dia pernah melihat pakaian yang sama saat tiba di Kota Poral sebelum memasuki hutan Lamma.Rion tak tahu pemuda jembel itu mendengar suaranya atau tidak. Dia tahu satu hal yang pasti, semakin mencari semakin banyak dia menemukan pertanyaan-pertanyaan yang tak
“Ayaah!” teriak Lilian. “Di mana kauu...?”Di tengah-tengah lautan pertempuan antara klan kultivasi dengan pasukan mayat hidup itu, seorang pria tua dengan jenggot putih panjang tertatih mencari keberadaan putrinya.“Ayah!” teriak Lilian sekali lagi.Tuan Besar Zang mengikuti sumber suara sang putri. Dia berjalan mendekati arah Lilian berada meski di sekitarnya ada banyak sekali hujan anak panah, tebasan pedang, dan hunusan tombak. Dia berusaha mengindari mereka semua sebisa mungkin.“Ayah! Pergi dari sana!” Lilian panik seketika mendapati sang ayah mendekat dengan tubuh yang tak terlihat baik-baik saja.“Pandai sekali dia memainkan peran,” sengih Eknath begitu melihat Tuan Besar Zang muncul di sana meski sudah sangat terlambat.Sejumlah pasukan mayat hidup menyerang siapa saja yang masih menjadi manusia. Mereka semakin brutal. Tuan
Melihat kemunculan Lilian bersama pusaka mata naga membuat seluruh anggota klan kultivasi yang lain tertarik. Mereka tak lagi berpura-pura bergabung dalam pemberontakan untuk melawan klan Wan. Tujuan mereka sebenarnya adalah ingin merebut pusaka mata naga.“Aku... tak bisa bergerak.” Eknath terjatuh ke tanah.“Brengsek! Segel itu memakan energinya,” gumam Karuna yang berdiri di luar segel ciptaan Lilian.Traaang!Lilian mengayunkan lagi dawai kecapinya ke arah Eknath yang terjebak. Pria itu muntah darah akibat cambukan dawai iblis Lilian tepat ke pusat inti energinya.“Jangan sakiti dia!” teriak Karuna marah.Lilian berhenti memainkan kecapinya dan berdiri menatap mereka berdua. Dia ulurkan tangan ke depan dan menyerap seluruh energi yang terjerat di dalam segel. Warna merah segel memudar seiring dengan keluarnya energi gelap di dalam tubuh Eknath.
“Siapa pun tolong aku!”Para mayat hidup yang terdiri dari pasukan Wan berlarian memburu Tuan Muda Wan. Jumlah mereka semakin banyak. Tuan Muda Wan terus berlari tapi tak ada tempat perlindungan untuknya.“Akan aku bayar kalian dengan apa saja kalau bisa menyelamatkanku!” Pria itu sangat ketakutan sampai tak bisa lagi berlari.Napas Tuan Muda Wan terengah- engah. Ketakutannya tiba-tiba berbalik menjadi keberanian saat dia teringat pada sesuatu yang dia miliki. Pria itu merogoh baju dan mengeluarkan sebuah kantung khusus penyimpan pusaka.Para mayat hidup itu seketika terhenti begitu kantung di tangan Tuan Muda Wan terbuka segelnya. Tuan Muda Wan mengeluarkan sesuatu yang bercahaya dengan warna hitam pekat di dalamnya. Masing-masing benda yang keluar dari kantung melayang di permukaan tangannya dan bersatu membentuk sebuah bongkahan bola yang kehilangan satu bagian.“Pusaka
Perempuan itu berlari ketakutan. Dia mencari pertolongan pada siapa saja yang masih hidup di sana. Tapi, rumah mewah itu sangat lengang dan gelap. Di sepanjang dia berlari hanya menemukan mayat para penjaga yang ditempatkan Tuan Muda Wan di sana.Di kejauhan terdengar suara kecapi mengalun rendah dan merdu. Perempuan itu berhenti dan menegang seketika. Dia raba tengkuknya yang meremang.“Suara apa ini?” Matanya melotot lebar dan berputar-putar di lorong antara taman dan rumah utama.Suara kecapi itu semakin keras dan mendekat. Dia menatap ke langit yang mendung dan bulan purnama yang tertutup awan.Traaang!Gema kecapi tiba-tiba meninggi dengan kasar. Perempuan itu panik. Seiring dengan alunan kecapi yang menggila, di sekitarnya para mayat pasukan Wan yang bergelimpangan mulai bergerak-gerak. Mayat-mayat itu seperti boneka marionate yang digerakkan oleh benang tak kasatmata.Perem
Saat pengintai itu akan berbalik pergi, sebuah tombak meluncur di depan kakinya. Dia terduduk dan mundur dengan wajah pucat. Dari belakang, seorang pria menghunuskan pedang dari punggung menembus dada sang mata-mata.“Hah, kau mau memata-matai kami?” seringai pria yang berdiri di depannya sambil mencabut tombak yang sebelumnya dia lemparkan.Mata-mata dari klan Wan itu muntah darah dan mati seketika.Mereka terlambat, rekan sang mata-mata sudah melemparkan mantra ke langit untuk memberi tahu pasukan yang lain keberadaan para pemberontak di sana. Pria bertombak menghunus jantung sang pengirim pesan.Seluruh anggota pasukan pemberontak menyadari mantra yang terbang itu akan datang membawa pasukan klan Wan untuk menyerang markas mereka. Seluruh anggota pasukan pemberontak bersiap untuk menghadapi serangan.Di markas pusat klan Wan, Tuan Muda Wan terlihat gelisah dan ketakutan. Selama tiga malam
Karuna dan Eknath mendatangi permukiman terdekat. Mereka mengikuti sumber cahaya yang terlihat masih menyala di perbatasan kota.“Sepertinya di sini baik-baik saja....”“Ya, tampaknya mereka hanya menyasar markas pengawas klan Wan.”Saat melintas di salah satu gang permukiman warga, mereka mendengar sebuah keluarga tengah berbincang-bincang.“Sesuatu tengah terjadi di markas pengawas utara juga. Mereka semua menyelamatkan diri ke sini. Begitu yang aku dengar.”“Tak hanya di sana. Aku baru kembali dari timur. Aku lihat di sana juga kacau. Aku segera kembali dan urung melakukan perjalanan. Kata orang-orang semua markas klan Wan dikutuk oleh iblis jahat!”“Aku dengar yang melakukan adalah iblis dari Gunung Iblis! Mereka memburu pemilik pusaka mata naga. Siapa lagi kalau bukan klan Wan yang punya?”“Entahlah. Jika kau me
“Aku menerimanya!” teriak Eknath setuju dengan penawaran sosok misterius dalam bayangan gelap itu. “Bebaskan aku sekarang! Aku setuju dengan kesepakatan yang kau berikan!”Sosok yang tersembunyi dalam gelap itu menyeringai.“Hei! Lepaskan aku!”“Berikan padaku sumpah jiwa dengan tombak acala ini sebagai jaminannya!” tuntut sang sosok misterius.“Keparat!” umpat Eknath.Dia tak punya pilihan lain. Eknath pun merapal mantra pelepasan jiwa atau merogoh sukma. Kini, separuh jiwanya berada dalam genggaman sosok misterius itu. Jiwa tombak acala adalah separuh kehidupan Eknath. Dia serahkan jiwa tombak itu sebagai jaminan dan akan kembali padanya jika Eknath sudah menyelesaikan kesepakatannya.Jerat-jerat sihir di tubuh Eknath memudar. Dia bisa bangkit dan memijit pergelangan tangannya yang sebelumnya terikat jerat.“ACALA!
Di sebuah taman pribadi yang mewah dan megah dengan banyak tanaman menghiasai, seorang perempuan dalam gaun sutra tipis berjalan dengan talam di tangan. Dia membawa seperangkat alat untuk jamuan teh.Di gazebo ada seorang remaja yang tengah membersihkan pedangnya. Perempuan pembawa baki teh itu mendekat. Dari arah yang berbeda, seorang pria berlari-lari dengan tergesa.“Tuan Muda... Tuan Muda....”Remaja yang duduk di gazebo itu menengok pada sang pria. “Kenapa panik sekali?”“Hosh... Hosh... Anu... Itu... Di depan ada perwakilan dari klan Wan!”Prang!Baki teh yang dibawa perempuan bergaun sutra terjatuh. Remaja yang duduk di gazebo semakin gusar.“Apa lagi sekarang, Kak?” tanyanya pada sang perempuan.“Ini pertanda buruk, Chyou! Apa kau lupa bagaimana klan Zang dibumihanguskan oleh mereka?”“L
“Ke mana kalian akan membawaku?” tutur Lilian lirih saat tubuhnya diseret oleh lima pria anak buah si perempuan bergaun ungu.Perempuan bergaun ungu itu terhenti. Dia tiba-tiba menyeringai karena mempunyai sebuah ide.“Bawa dia ke kawah iblis!”“Tapi, Nona... tempat itu....”“Ini perintah! Apa yang aku ucapkan juga mewakili perintah Tuan Muda Wan!”Kelima pria yang menyeret tubuh Lilian ragu-ragu.“Ka-kami tidak berani!”“Kalian akan mati di sini jika menolak! Bawa dia ke kawah iblis, sekarang!”Kelima pria itu mulai membawa Lilian menuju ke jalan kawah iblis tak jauh dari hutan bambu hitam. Mata Lilian yang bengkak tak bisa melihat dengan jelas. Tapi, hidungnya bisa mencium aroma daun bambu yang basah dan terbakar.Seluruh tanaman di Gunung Iblis didominasi warna hitam dan kelabu. Semuany