Beranda / Pendekar / Panglima Kalamantra / 9| Pendekar Merah

Share

9| Pendekar Merah

Penulis: Roe_Roe
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Malam hari di Kota Lamma terasa begitu mencekam. Sejak sore tak ada seorang pun yang terlihat keluar rumah. Semua orang takut dengan teror yang dilakukan oleh sosok bertopeng yang mengaku menjadi Panglima Karang si legenda. Tak ada yang tahu apa motif dan alasannya menyerang warga kota secara acak.

Pada salah satu jalan kota yang lengang, terdapat sesosok pria berpakaian serba hitam yang mengenakan topeng iblis merah. Sosok bertopeng itu berdiri di ujung jalan untuk mengadang seorang pria berambut merah yang sedang melintas di sana. Mereka saling berhadapan.

“Lepas saja topengmu, Panglima Karang palsu!” ujar si pria berambut merah yang sedang melintas sambil menarik celurit dari balik punggungnya.

“Cih, orang dusun, Bengal! Sudah kukatakan akan kubunuh siapa saja yang kutemui di jalan!” ujar sosok bertopeng yang mengaku sebagai Panglima Karang.

Mereka berdua berlari mendekat untuk saling menerjang dengan senjata masing-masing.

Tak! Dua bilah celurit tersilang untuk menahan ayunan peda
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Panglima Kalamantra    10: Siulan Magis

    Rion berlari ke kamar penginapannya dan membuka pintu geser dari bambu berlapis kertas itu dengan terengah-engah. Dia berlari cukup jauh untuk mengejar Nara dan mencegah dari berbuat sesukanya.“Apa yang kau lakukan di kamarku?” Rion membeliak tak percaya.Nara sedang melepas kemejanya saat Rion membuka pintu tanpa peringatan. Gadis itu cepat-cepat meraih kemejanya lagi dan menutupi tubuh sekenanya.“Dasar, pria mesum!” teriak Nara sambil melemparkan belati ke arah Rion.Pemuda itu cepat-cepat menutup pintu lagi hingga belati itu tertancap ke sana. Rion menghela napas lega di luar pintu kamar. Dia sudah siap memuntahkan beragam umpatan dan makian, tapi urung saat sudut matanya menangkap kehadiran Anila di ujung lorong. Wajah perempuan itu tersembunyi sebagian dalam kegelapan. Di kedua tangannya, dia membawa yukata, selimut tambahan, dan handuk bersih.Rion berusaha menjelaskan sesuatu pada Anila, tapi perempuan itu cepat-cepat pergi dari sana tanpa menoleh pada Rion setelah menyerahka

  • Panglima Kalamantra    11: Pecahan Batu Milik Panglima Karang

    Tali tambang terputus dan pria itu jatuh terjungkal ke tanah dengan suara debum yang menyakitkan. Tiba-tiba muncul dari balik semak-semak sebuah kusarigama—rantai panjang dengan arit sebagai pemberat di ujungnya. Kusarigama itu melayang ke arah Rion untuk menghalangi pemuda itu mendekati si pria yang akan bunuh diri. Seorang ninja berdiri di sana menggenggam ujung rantai kusarigama. Seluruh tubuhnya tertutup pakaian hitam dan hanya menyisakan sepasang mata yang sipit.“Pria itu milikku!” ujar si ninja.Rion hanya meneleng. Sudut matanya menangkap pergerakan pria yang baru dia selamatkan merangkak mengendap-endap untuk melarikan diri sambil membawa satu celuritnya. Sesaat, Rion terkejut mengenali wajah pria itu yang terlihat masih sangat muda.Pecahan batu yang terkalung di leher Rion terasa berdenyut. Refleks dia mengusapnya dan terasa panas. “Ada apa ini? Siapa di antara pria ini memiliki pecahan batu yang sama? Kata singa jantan itu, batu ini akan menuntunku pada pemilik yang lain.”

  • Panglima Kalamantra    12: Sabrang Wasa Penyihir Gugur Raga

    Rion dapat melihat pergerakan pemuda berpakaian jembel itu yang menyelinap pergi ketika dia sibuk mengendalikan burung-burung. Satu celuritnya masih dibawa kabur oleh pemuda itu. Selagi ada kesempatan, Rion memburu dan menyusul pemuda itu.“Kau mengikutiku, bukan? Sejak pertama aku menginjakkan kaki di hutan Lamma, kau terus mengikutiku sampai ke kota!” suara Rion menggema.Dia berdiri di bawah air terjun. Di puncak tebing tempat muasal air terjatuh, seekor elang bertengger di dahan pohon yang landai. Rion dan elang itu saling menatap.“Dan kau adalah Panglima Karang!“ Rion mencebik, “Ternyata, kau bahkan sudah mengawasiku sejak memasuki Kota Poral di utara Lamma!” Rion teringat pada pemuda itu yang berpura-pura menjadi pengemis. Dia pernah melihat pakaian yang sama saat tiba di Kota Poral sebelum memasuki hutan Lamma.Rion tak tahu pemuda jembel itu mendengar suaranya atau tidak. Dia tahu satu hal yang pasti, semakin mencari semakin banyak dia menemukan pertanyaan-pertanyaan yang tak

  • Panglima Kalamantra    13: Karuna Si Rambut Emas

    Jauh di luar Kota Lamma terdapat sebuah padepokan tua yang terlihat lama tak terurus. Rumput dan ilalang tumbuh tinggi menyelimuti di segala sisi. Padepokan itu dulunya adalah sebuah bangunan sekolah yang sudah tak digunakan. Sisa-sisa palang nama sekolah masih tertancap di depan gapura. Atapnya yang rusak sebagian sudah ditutup dengan welit dan dindingnya yang jebol sudah ditambal dengan papan kayu beraneka bentuk dan ukuran.Sejumlah anak-anak berusia tujuh sampai dua belas tahun terlihat sibuk berlarian, bermain sepak bola, dan berlatih pencak silat di sana. Mereka adalah anak-anak yatim korban perang dan perbudakan antar klan.Seorang pemuda berpakaian jembel baru tiba di sana dan melintasi gapura yang terbuat dari bambu setinggi pinggang pria dewasa sambil membawa sekantung roti. Anak-anak lebih muda yang sedang bermain sepak bola yang terbuat dari rotan itu segera berlari dan menghambur ke arah si pemuda.“Karuna, apa yang kau bawa itu?” teriak anak-anak yang semakin banyak berd

  • Panglima Kalamantra    14: Niat yang Tak Tulus

    Karuna berdiri di depan pintu sambil mengawasi anak-anak masuk ke ruangan satu persatu. Dia bantu naikkan anak yang lebih kecil dengan mengangkatnya menggunakan satu tangan. Tiba-tiba gerakannya terhenti dan berdiri tegak. “Berhentilah memaksaku. Aku tak ada urusan dengan kalian!” ujarnya sambil menginjakkan satu kaki di undakan dan bersiap masuk.Rion berdiri tak jauh di belakangnya.“Kau egois, Panglima Karang! Kau ingin bunuh diri dan meninggalkan anak-anak ini sendirian di sini?” ungkap Rion berapi-api.Pemuda berpakaian jembel itu urung masuk. Dia turunkan kaki kembali dan berbalik menatap Rion. “Aku bukan Panglima Karang. Aku hanya seorang pemuda miskin yang sudah lelah dengan kehidupan ini.” Dia berbalik dan menaiki undakan.“Penolakan dan penyangkalan tak akan mengubahmu menjadi orang lain!” ujar Rion.Tangan Karuna memegangi erat pintu papan yang hendak dia tutup. Sepasang matanya menyipit menembusi Rion yang berdiri tegang di halaman.“Pemuda yang naif!” desis Karuna. “Jika

  • Panglima Kalamantra    15: Samurai Berhati Biru

    Darda memperhatikan keponakannya yang sedari tadi terus mengawasi jalan di depan penginapan dari balik jendela. Dia mencoba menarik perhatian Anila dengan memukul-mukulkan alu ke mangkuk keramik yang digunakan untuk menumbuk obat hingga cukup berisik, tapi gadis itu seakan tak mendengarkan apalagi terganggu. “Ke mana pikiranmu itu pergi, Anila?” Darda terus sibuk menumbuk ramuan obatnya. “Kenapa dia belum juga kembali, Paman? Apa sesuatu terjadi padanya?” Anila menggigit bibir sambil mengusap-usap lengan kirinya yang diperban. Darda akhirnya mengalah. Dia singkirkan tumbukan obatnya dan berjalan mendekati gadis itu. Pria paruh baya itu melepas ikatan setangan pada kepala dan menyeduh dua cangkir teh hijau. Dia sodorkan satu pada Anila yang diterima masih dengan pandangan menatap jalan setapak di depan penginapan mereka. “Sudah kukatakan, bukan? Jangan menaruh hati pada para pujangga. Karena mereka akan mel

  • Panglima Kalamantra    16: Kecupan Perpisahan

    Dada Rion berdentam-dentam. Rasa panas menjalar dari bibir yang dikecup Nara ke sekujur tubuhnya. Nara mundur tanpa berkata-kata dan berjalan meninggalkan Rion dengan kepala menunduk menahan malu.“Nara!” Rion mencoba memburu gadis itu.“Berhenti di sana!” Nara berdiri membelakangi Rion. “Itu hanya ucapan terima kasih, tak lebih. Mungkin kita harus berpisah di sini. Aku harus melanjutkan perjalanan untuk menyelesaikan misiku.” Tanpa menoleh lagi, gadis itu berlari meninggalkan Rion dan menghilang ditelan kegelapan malam.“Bagaimana dengan aku sendiri? Tujuanku sampai ke sini untuk menemukan dan membawa panglima karang?” tangan pemuda itu terkepal di samping tubuhnya.***“Aaarrggh!” pekik Keiko sambil memukulkan tinju ke meja hingga urat-urat di lehernya saling bertonjolan. Wajah putih perempuan itu menjadi merah padam. Dia dorong sekuat tenaga meja yang ada di depannya hingga terjungkal bersama seluruh isinya. Sejumlah samurai yang menjadi anak buahnya mundur untuk menghindar.Merasa

  • Panglima Kalamantra    17: Sabetan Kapak Raksasa

    Para pria bertopeng merah itu tengah duduk-duduk di serambi dan halaman padepokan. Salah satu pria yang di dadanya tertoreh rajah matahari terbakar memukulkan tongkat panjang ke kerangkeng kayu dan mengancam anak-anak itu hingga mereka terdiam.Karuna merasa terusik dan tak terima. Dia berlari ke gapura padepokan seperti menantang singa yang sedang lapar. Pemuda itu sangat marah begitu melihat anak-anak asuhnya dimasukkan ke kandang seperti binatang yang akan diperjual-belikan. Dia menghampiri sang pimpinan bandit yang duduk tak jauh dari pohon ketapang.“Tarik!” perintah sang pimpinan bandit.Sejumlah bandit bertopeng merah itu menarik sebuah tali tambang yang tersembunyi di antara dedaunan kering. Karuna terjebak. Satu kakinya terjerat tali tambang hingga dia terseret dan tergantung secara terbalik di dahan pohon ketapang. Pemuda itu berayun-ayun dengan mulut yang tak henti mengumpat.Pimpinan bandit bertopeng merah mendekat. Pria itu berkacak pinggang sambil mendongak ke arah Karun

Bab terbaru

  • Panglima Kalamantra    25: Segel Kutukan

    “Ayaah!” teriak Lilian. “Di mana kauu...?”Di tengah-tengah lautan pertempuan antara klan kultivasi dengan pasukan mayat hidup itu, seorang pria tua dengan jenggot putih panjang tertatih mencari keberadaan putrinya.“Ayah!” teriak Lilian sekali lagi.Tuan Besar Zang mengikuti sumber suara sang putri. Dia berjalan mendekati arah Lilian berada meski di sekitarnya ada banyak sekali hujan anak panah, tebasan pedang, dan hunusan tombak. Dia berusaha mengindari mereka semua sebisa mungkin.“Ayah! Pergi dari sana!” Lilian panik seketika mendapati sang ayah mendekat dengan tubuh yang tak terlihat baik-baik saja.“Pandai sekali dia memainkan peran,” sengih Eknath begitu melihat Tuan Besar Zang muncul di sana meski sudah sangat terlambat.Sejumlah pasukan mayat hidup menyerang siapa saja yang masih menjadi manusia. Mereka semakin brutal. Tuan

  • Panglima Kalamantra    24: Terkuaknya Sosok Berkecapi

    Melihat kemunculan Lilian bersama pusaka mata naga membuat seluruh anggota klan kultivasi yang lain tertarik. Mereka tak lagi berpura-pura bergabung dalam pemberontakan untuk melawan klan Wan. Tujuan mereka sebenarnya adalah ingin merebut pusaka mata naga.“Aku... tak bisa bergerak.” Eknath terjatuh ke tanah.“Brengsek! Segel itu memakan energinya,” gumam Karuna yang berdiri di luar segel ciptaan Lilian.Traaang!Lilian mengayunkan lagi dawai kecapinya ke arah Eknath yang terjebak. Pria itu muntah darah akibat cambukan dawai iblis Lilian tepat ke pusat inti energinya.“Jangan sakiti dia!” teriak Karuna marah.Lilian berhenti memainkan kecapinya dan berdiri menatap mereka berdua. Dia ulurkan tangan ke depan dan menyerap seluruh energi yang terjerat di dalam segel. Warna merah segel memudar seiring dengan keluarnya energi gelap di dalam tubuh Eknath.

  • Panglima Kalamantra    23: Pasukan Iblis Kabut

    “Siapa pun tolong aku!”Para mayat hidup yang terdiri dari pasukan Wan berlarian memburu Tuan Muda Wan. Jumlah mereka semakin banyak. Tuan Muda Wan terus berlari tapi tak ada tempat perlindungan untuknya.“Akan aku bayar kalian dengan apa saja kalau bisa menyelamatkanku!” Pria itu sangat ketakutan sampai tak bisa lagi berlari.Napas Tuan Muda Wan terengah- engah. Ketakutannya tiba-tiba berbalik menjadi keberanian saat dia teringat pada sesuatu yang dia miliki. Pria itu merogoh baju dan mengeluarkan sebuah kantung khusus penyimpan pusaka.Para mayat hidup itu seketika terhenti begitu kantung di tangan Tuan Muda Wan terbuka segelnya. Tuan Muda Wan mengeluarkan sesuatu yang bercahaya dengan warna hitam pekat di dalamnya. Masing-masing benda yang keluar dari kantung melayang di permukaan tangannya dan bersatu membentuk sebuah bongkahan bola yang kehilangan satu bagian.“Pusaka

  • Panglima Kalamantra    22: Pasukan Ngengat

    Perempuan itu berlari ketakutan. Dia mencari pertolongan pada siapa saja yang masih hidup di sana. Tapi, rumah mewah itu sangat lengang dan gelap. Di sepanjang dia berlari hanya menemukan mayat para penjaga yang ditempatkan Tuan Muda Wan di sana.Di kejauhan terdengar suara kecapi mengalun rendah dan merdu. Perempuan itu berhenti dan menegang seketika. Dia raba tengkuknya yang meremang.“Suara apa ini?” Matanya melotot lebar dan berputar-putar di lorong antara taman dan rumah utama.Suara kecapi itu semakin keras dan mendekat. Dia menatap ke langit yang mendung dan bulan purnama yang tertutup awan.Traaang!Gema kecapi tiba-tiba meninggi dengan kasar. Perempuan itu panik. Seiring dengan alunan kecapi yang menggila, di sekitarnya para mayat pasukan Wan yang bergelimpangan mulai bergerak-gerak. Mayat-mayat itu seperti boneka marionate yang digerakkan oleh benang tak kasatmata.Perem

  • Panglima Kalamantra    21: Penjaga yang Mati

    Saat pengintai itu akan berbalik pergi, sebuah tombak meluncur di depan kakinya. Dia terduduk dan mundur dengan wajah pucat. Dari belakang, seorang pria menghunuskan pedang dari punggung menembus dada sang mata-mata.“Hah, kau mau memata-matai kami?” seringai pria yang berdiri di depannya sambil mencabut tombak yang sebelumnya dia lemparkan.Mata-mata dari klan Wan itu muntah darah dan mati seketika.Mereka terlambat, rekan sang mata-mata sudah melemparkan mantra ke langit untuk memberi tahu pasukan yang lain keberadaan para pemberontak di sana. Pria bertombak menghunus jantung sang pengirim pesan.Seluruh anggota pasukan pemberontak menyadari mantra yang terbang itu akan datang membawa pasukan klan Wan untuk menyerang markas mereka. Seluruh anggota pasukan pemberontak bersiap untuk menghadapi serangan.Di markas pusat klan Wan, Tuan Muda Wan terlihat gelisah dan ketakutan. Selama tiga malam

  • Panglima Kalamantra    20: Mantra Pengundang Iblis

    Karuna dan Eknath mendatangi permukiman terdekat. Mereka mengikuti sumber cahaya yang terlihat masih menyala di perbatasan kota.“Sepertinya di sini baik-baik saja....”“Ya, tampaknya mereka hanya menyasar markas pengawas klan Wan.”Saat melintas di salah satu gang permukiman warga, mereka mendengar sebuah keluarga tengah berbincang-bincang.“Sesuatu tengah terjadi di markas pengawas utara juga. Mereka semua menyelamatkan diri ke sini. Begitu yang aku dengar.”“Tak hanya di sana. Aku baru kembali dari timur. Aku lihat di sana juga kacau. Aku segera kembali dan urung melakukan perjalanan. Kata orang-orang semua markas klan Wan dikutuk oleh iblis jahat!”“Aku dengar yang melakukan adalah iblis dari Gunung Iblis! Mereka memburu pemilik pusaka mata naga. Siapa lagi kalau bukan klan Wan yang punya?”“Entahlah. Jika kau me

  • Panglima Kalamantra    19: Kehancuran Misterius di Kota

    “Aku menerimanya!” teriak Eknath setuju dengan penawaran sosok misterius dalam bayangan gelap itu. “Bebaskan aku sekarang! Aku setuju dengan kesepakatan yang kau berikan!”Sosok yang tersembunyi dalam gelap itu menyeringai.“Hei! Lepaskan aku!”“Berikan padaku sumpah jiwa dengan tombak acala ini sebagai jaminannya!” tuntut sang sosok misterius.“Keparat!” umpat Eknath.Dia tak punya pilihan lain. Eknath pun merapal mantra pelepasan jiwa atau merogoh sukma. Kini, separuh jiwanya berada dalam genggaman sosok misterius itu. Jiwa tombak acala adalah separuh kehidupan Eknath. Dia serahkan jiwa tombak itu sebagai jaminan dan akan kembali padanya jika Eknath sudah menyelesaikan kesepakatannya.Jerat-jerat sihir di tubuh Eknath memudar. Dia bisa bangkit dan memijit pergelangan tangannya yang sebelumnya terikat jerat.“ACALA!

  • Panglima Kalamantra    18: Merangkak Menuju Harapan

    Di sebuah taman pribadi yang mewah dan megah dengan banyak tanaman menghiasai, seorang perempuan dalam gaun sutra tipis berjalan dengan talam di tangan. Dia membawa seperangkat alat untuk jamuan teh.Di gazebo ada seorang remaja yang tengah membersihkan pedangnya. Perempuan pembawa baki teh itu mendekat. Dari arah yang berbeda, seorang pria berlari-lari dengan tergesa.“Tuan Muda... Tuan Muda....”Remaja yang duduk di gazebo itu menengok pada sang pria. “Kenapa panik sekali?”“Hosh... Hosh... Anu... Itu... Di depan ada perwakilan dari klan Wan!”Prang!Baki teh yang dibawa perempuan bergaun sutra terjatuh. Remaja yang duduk di gazebo semakin gusar.“Apa lagi sekarang, Kak?” tanyanya pada sang perempuan.“Ini pertanda buruk, Chyou! Apa kau lupa bagaimana klan Zang dibumihanguskan oleh mereka?”“L

  • Panglima Kalamantra    17: Tiga Kekalahan

    “Ke mana kalian akan membawaku?” tutur Lilian lirih saat tubuhnya diseret oleh lima pria anak buah si perempuan bergaun ungu.Perempuan bergaun ungu itu terhenti. Dia tiba-tiba menyeringai karena mempunyai sebuah ide.“Bawa dia ke kawah iblis!”“Tapi, Nona... tempat itu....”“Ini perintah! Apa yang aku ucapkan juga mewakili perintah Tuan Muda Wan!”Kelima pria yang menyeret tubuh Lilian ragu-ragu.“Ka-kami tidak berani!”“Kalian akan mati di sini jika menolak! Bawa dia ke kawah iblis, sekarang!”Kelima pria itu mulai membawa Lilian menuju ke jalan kawah iblis tak jauh dari hutan bambu hitam. Mata Lilian yang bengkak tak bisa melihat dengan jelas. Tapi, hidungnya bisa mencium aroma daun bambu yang basah dan terbakar.Seluruh tanaman di Gunung Iblis didominasi warna hitam dan kelabu. Semuany

DMCA.com Protection Status