Serangan terjadi di klan Kalingga. Rion mendapat tugas jaga di luar. Setelah mendapat kabar ayahnya terluka, dia segera berlari dan menerabas semak belukar.
Rion melompati pagar rendah dari bambu dan menerbangkan segumpal debu yang beraroma masam. Tubuh rampingnya menyelinap di sela-sela tanaman singkong yang kurus hingga berhasil tiba di sebuah bangunan bekas perpustakaan kota yang dindingnya jebol sebelah. Dia menaiki satu persatu anak tangga hingga tiba ke lantai tiga. Di sana sudah berkumpul anggota tetua Klan Kalingga dalam suasana bisu yang mencekam.
Mata Rion merebakkan air mata. Dia selalu membayangkan hal ini akan terjadi. Pada kenyataannya, Rion tak pernah siap dan tak cukup keyakinan diri. Kerumuman itu terpisah antara laki-laki dan perempuan. Saat sadar Rion tiba di sana, mereka membelah diri untuk memberi pemuda itu jalan.
“Ayah? Apa ayahku baik-baik saja?” desak Rion.
“Kau pikir aku akan mati semudah itu? Uhuk-uhuk....”
Seorang pria kurus berambut ikal tengah berbaring tengkurap menahan sakit di atas dipan. Kaki hingga ke pinggangnya tertutup selimut katun. Tubuh bagian atas Hara terbebat oleh kain putih yang masih sedikit merembeskan darah dari lukanya yang terbungkus. Sesekali pria itu terbatuk. Rion meringsek maju dan berlutut di samping tempat tidurnya.
“Ayah?” Rion begitu menderita. Dia menggenggam erat tangan Hara. “Aku menyesal tak bisa melindungimu!”
Sang ayah yang kepalanya miring di permukaan tilam tanpa bantal tersenyum lemah pada putranya. “Aku dan para tetua sudah memutuskan untuk melakukan pergantian kepemimpinan di tubuh klan Kalingga—pengendali burung. Para tetua sepakat untuk menunjuk Kamatsura Taka dari keluarga Kamatsura sebagai penggantiku dalam memimpin klan ini!”
Rion membeliak tanpa suara di samping tubuh sang ayah. Mata biru mudanya meredup. Dia begitu sedih karena permintaan itu menandakan ayahnya tak akan bertahan lebih lama.
Bisik-bisik dan gumanan merebak di belakangnya yang menganggap keputusan Bagaspati Hara sudah sangat tepat. Taka adalah seorang pemuda yang kuat dan cerdas. Dia selalu berhasil memimpin penyerangan-penyerangan kecil ke kubu bandit utara yang bermarkas di Grisse untuk mengukuhkan kedudukan klan Kalingga akhir-akhir ini. Puncaknya, mereka mengirim satu batalion untuk menundukkan Kalingga.
Kamatsura Taka yang ada di sana ikut berlutut dan menunduk di samping Rion untuk memberi hormat dan menerima tugas dari Bagaspati Hara.
“Dan kau, Bagaspati Rion, aku menunjukmu sebagai Panglima Burung (panglima tertinggi) dalam pasukan Kalingga!”
Rion mengatup rapat. ‘Bukan itu yang aku inginkan,’ ingin pemuda itu berteriak. ‘Kepemimpinan klan Kalingga yang aku inginkan. Bukan hanya menjadi seorang panglima perang, tapi sebagai pemimpin utama!’
“Hara, tidakkah ini terlalu tergesa-gesa?” sergah seorang pria berkepala botak yang usianya tak lebih tua dari ayah Rion. “Kita tahu Rion anakmu, tapi tak ada aturan bahwa pemimpin klan harus menunjuk anak keturunannya untuk menempati posisi penting!”
“Betul ... betul ...,” gumam yang lain.
“Masih banyak pemuda Kalingga yang memiliki kekuatan dan kemampuan memadahi. Mereka bahkan lebih baik dan lebih siap daripada Rion!” ujar yang lain.
Gumaman kembali membuncah.
Bagaspati Hara terbatuk beberapa kali lalu berujar tegas. “Bawa kemari para pemuda yang kalian sebutkan itu! Tunjukkan padaku kemampuan mereka sebagai pewaris murni darah Kalingga. Apakah ada di antara mereka yang mampu berkomunikasi dan mengendalikan burung-burung liar di luar sana?”
Suasana seketika senyap dan menegang. Kamatsura Taka yang ditunjuk sebagai pemimpin baru pun tak memiliki kemampuan itu.
“Aku menunjuk Taka sebagai pemimpin karena dia memang pemuda yang cerdas dan ahli dalam membuat strategi perang. Karakternya sangat sesuai untuk menjadi seorang pemimpin. Akan tetapi, itu saja tidak cukup. Klan kita membutuhkan seorang panglima dengan kemampuan khas yang seharusnya dimiliki oleh seorang Kalingga sejati—mengendalikan dan berkomunikasi dengan burung. Karena itulah ruh dari klan kita! Simbol kepemimpinan tujuh panglima legenda di negeri Kalamantra!”
Bantahan datang dari keluarga yang berbeda. “Mungkin saja para pemuda ini memang belum waktunya mewarisi kemampuan memanggil dan mengendalikan burung. Kita hanya perlu terus berusaha agar nenek moyang menurunkan kemampuannya pada klan kita!”
“Apakah kau pikir anakku tidak mempunyai kesempatan yang sama?” desis Hara. “Aku tahu saat pertama kali melihat matanya di hari gerhana dia dilahirkan. Rion yang akan memimpin Kalingga bahkan Kalamantra bersama tujuh panglima lainnya suatu saat nanti!” ujar hara penuh keyakinan.
Rion selalu membenci suasana pertikaian yang disebabkan oleh kelemahan dirinya. Dia mendesak sang ayah agar menyudahi hal itu. Rion hanya memikirkan kesehatan ayahnya. Dia bahkan gagal untuk membawa ahli pengobatan dari Sakheti.
“Rion memang memiliki darah campuran! Kenyataannya, dia yang mewarisi kemampuan itu. Dia bisa berkomunikasi dengan para burung!” ujar sebuah suara.
Kerumunan itu membalik badan dan melihat siapa yang berbicara. Dia adalah Bagaspati Seno, paman Rion yang baru tiba dengan pedang di tangan.
“Rion sudah memiliki kemampuan itu sejak dia dilahirkan! Dan Hara sengaja menyembunyikannya dari kita selama ini!”
“Apa?” Semua orang yang ada di sana menganga tak percaya.
“Rion bahkan yang memanggil burung-burung itu saat serangan terjadi kemarin,” lanjut Seno yang dibenarkan oleh Taka yang melihat semua kejadian itu dengan mata kepalanya sendiri.
Bagaspati Hara mengangkat satu telapaknya untuk menenangkan anggota klan yang lain. “Kita tidak punya banyak waktu untuk berdebat. Ada masalah yang lebih mendesak dan penting untuk kita selesaikan. Kita tahu burung-burung di luar sana semakin gelisah dari hari ke hari. Pertanda ini tak bisa kita abaikan begitu saja. Sepanjang tahun ini kita memang masih mampu menghalau serangan dari bandit utara yang menginginkan kemampuan khas para pemimpin klan, meski kita babak belur juga dibuatnya.”
“Tak butuh waktu lama bagi mereka untuk mengumpulkan kekuatan baru yang lebih besar. Kita harus menyiapkan strategi,” lanjut Bagaspati Hara.
“Apa kau sudah mendengarnya, Kak?” tanya Bagaspati Seno.
Hara mengangguk. “Burung-burung itu terbang dari tempat-tempat jauh untuk mengumpulkan kabar berita. Kemunculan dan serangan-serangan yang dilancarkan oleh bandit utara atas perintah Omkara bukan tanpa sebab. Mereka meyakini legenda tujuh panglima Kalamantra itu sungguh ada. Mereka berkeliling ke pejuru negeri Kalamantra untuk mengumpulkan orang-orang sakti dan berusaha membangkitkan sang ketujuh panglima legenda itu untuk memanfaatkan kekuatannya.”
Bagaspati Hara menatap bergantian pada Taka dan Rion yang masih berlutut di depannya. “Jika saja mereka lebih dulu berhasil mengumpulkan tujuh panglima legenda, maka dapat dipastikan dunia akan tunduk dan hancur di bawah tangan besinya.”
“Siapa Omkara ini, Ayah?”
“Tak ada yang tahu siapa dia. Kita hanya perlu mencegah tujuannya dan orang lain yang sepemikiran dengannya.”
“Atau kita harus mendahuluinya untuk menemukan tujuh panglima legenda itu,” sambung Taka.
Hara mengerjapkan matanya tanda setuju dengan Taka.
“Rion, ini adalah tugas pertamamu sebagai seorang panglima burung dari Kalingga. Kau harus bisa mencari dan menyatukan ketujuh panglima kalamantra yang hilang, seperti yang dilakukan oleh moyang kita.”
Semua orang terksesiap.
“Bagaimana mungkin pemuda lemah seperti dia menjadi seorang panglima burung dan memimpin Kalingga?” protes sebuah suara.
Selama ini, Rion selalu menjadi olok-olokan dan dijauhi oleh anggota klannya karena dianggap memiliki darah ‘batara’—pembawa sial. Dia lahir pada saat gerhana matahari total terjadi. Berdasarkan kepercayaan dan mitos yang terjadi, bayi yang lahir pada waktu itu akan mewarisi darah batara yang akan membawa kesialan.
Ketakutan mereka didukung oleh warna mata pemuda itu yang berbeda dari warna mata orang Kalingga pada umumnya. Oleh karena itu, Hara memutuskan untuk menyembunyikan Rion di hutan dekat perbatasan wilayah klan Saifi Angin bersama istrinya sampai dia cukup umur.
“Kalau begitu, jika Rion mampu mengumpulkan ketujuh panglima kalamantra, kalian harus menerimanya menjadi pemimpin klan kita!”
Hara menantang seluruh anggota klan yang terus menolak mengakui kekuatan tersembunyi yang dimiliki Rion.
“Tapi, jika ternyata dia gagal, kau harus menyerahkan kepemimpinan klan ini pada putraku—Kamatsura Taka!” teriak salah satu tetua yang ikut menghadiri pertemuan itu.
Sudah diputuskan dan disepakati oleh para tetua. Rion harus menemukan ketujuh panglima kalamantra untuk memenuhi harapan ayahnya. Jika dia gagal, maka anak keturunan Bagaspati Hara harus diusir selamanya dari Kalingga.
Kerumunan itu membubarkan diri. Hara menepuk pundak putranya. “Aku tahu kau mampu! Ada sesuatu yang istimewa di dalam dirimu. Pergi dan temukan ketujuh panglima Kalamantra. Satukan kekuatan mereka untuk kembali menjaga dan melindungi negeri ini dari kehancuran.”
“Bagaimana mungkin, Ayah?” desak Rion. Sayangnya, tak ada jawaban dari Hara. Pria itu terlelap dalam tidur panjangnya.
Sang paman menepuk bahu Rion. “Kau tak akan pernah tahu sebelum kau mencobanya! Nasib keluarga kita ada di tanganmu. Pergilah, kami akan menunggumu di sini.”
Tanpa pikir panjang lagi, Rion bangkit meraih celurit dan mantel hitamnya. Sebelum pergi, dia menoleh pada sang paman yang masih meringkuk di depan perapian. “Aku akan kembali membawa mereka. Akan aku kembalikan kehormatan keluarga Bagaspati!”
Rion melakukan perjalanan panjang untuk mencari ketujuh panglima kalamantra yang digadang-gadang kekuatan mereka akan mampu menyelamatkan dunia dari kejahatan Omkara. Saat tiba di suatu kota, sekelompok bandit menghadang dan menyerang Rion.
“Siapa kalian?”
“Kami dari kelompok bandit utara!”
“Aku tidak punya harta!” ujar Rion. “Kalian salah memilih korban.”
“Kami tidak membutuhkan uangmu, tapi kami menginginkan kepalamu!” teriak sang pimpinan bandit.
Salah satu dari mereka menunjukkan gambar sketsa wajah Rion.
“Seseorang membayar kami dengan sangat mahal untuk membunuhmu! Ha ha ha... sepertinya seseorang ingin agar kau tidak pernah kembali ke Kalingga apa pun yang terjadi.”
“Brengsek!” teriak Rion.
Para bandit itu mengepung Rion yang hanya sendrian.
“Di mana aku? Kenapa aku berada di sini?”Kepalanya terasa ditusuk-tusuk dan sakit luar biasa. Dengan tangan masih gemetar hebat, dia pegangi kepalanya yang berdenyut. Ada cairan hangat mengalir di belakang kepalanya. Dia mengusapkan tangan dan darah merah melekat di telapaknya.“Apa aku terbentur?”Pria itu tidak ingat bagaimana dia bisa terluka dan jatuh ke sana. Satu-satunya petunjuk yang dia miliki adalah kalung di lehernya. Sebuah pecahan batu pipih dengan ukiran-ukiran simbol terkalung di lehernya. Di sisi lain pecahan batu itu terukir kata RION.“RION? Apa itu namaku?” Dia usapkan jempol ke permukaan ukiran huruf-huruf itu.Tiba-tiba sekawanan burung datang dan mengerumuni tubuh Rion. Rion menjerit dan menghalau kepakan serta cakaran burung-burung itu. Sebuah potongan kenangan muncul di pikirannya. Seseorang mendorongnya dari puncak tebing.“Temukan tujuh dewa perang yang hilang!” bisik burung-burung itu di antara kepakan sayapnya.Rion menyilangkan kedua lengan untuk melindung
“Aakh,” rintih Rion sambil berusaha bangkit, tapi punggungnya begitu kaku. Dengan ditopang oleh kedua tangan berototnya, perlahan-lahan dia mulai merangkak hingga membuat rambut panjangnya berjatuhan ke bahu dan dada. Rion berhenti dan menggenggam ujung rambutnya sendiri.“Kenapa? Apa yang terjadi padaku?” Dia jumput dan periksa dengan seksama rambut hitamnya yang tiba-tiba berubah menjadi merah terang saat diterpa matahari.Rion memandangi kedua telapak tangannya yang dipenuhi darah kering dan meraba-raba sekujur tubuhnya untuk memeriksa luka. Dia teringat pada pedang yang ditancapkan oleh pengemis tua itu ke punggungnya.Pemuda itu segera meraba punggung dan tidak ada apa pun di sana. Dia meraba perut yang dalam ingatannya pedang itu menembus dari punggung hingga ke perut. Rion bahkan membuka kemejanya yang basah penuh darah hingga perut dan dada bidangnya terpampang.“Tak ada bekas luka sama sekali di sana,” bisiknya.Semua masih seperti sediakala. Namun, begitu Rion memeriksa tan
Rion bersama sang singa memacu kecepatan untuk mencari sumber teriakan. Udara terasa begitu lembap. Jalan-jalan yang lengang dipenuhi dengan guguran dedaunan cokelat kekuningan di sepanjang kiri dan kanan dari pepohonan yang meranggas.Rion menunggangi singanya. Dia menyembunyikan wajah di bawah topi lebar. Mereka baru saja melintasi jembatan beton yang menjadi batas pemisah antara dua wilayah.“Di mana kita sekarang?”“Entahlah,” ujar sang singa acuh tidak acuh. “Bukankah kau harus fokus pada tujuanmu? Kenapa kau malah ke sini? Tujuan kita di arah sebaliknya.”“Sudah kukatakan. Aku mendengar seseorang berteriak!”“Mungkin hanya suara angin. Sepertinya tidak ada makhluk hidup di sini. Karena tidak ada air sama sekali.”Air sungai di bawah jembatan itu mengering dan hanya menyisakan bebatuan serta tumpukan sampah yang menguarkan aroma busuk.“Kau yakin akan masuk ke wilayah ini?” tanya sang singa. “Maka kita akan semakin jauh dari tujuan. Kita harus menemukan Panglima Karang. Seharusn
“Hei!” Rion berteriak sambil mengulurkan tangannya. Dengan susah payah, Rion berhasil membawa gadis itu kembali ke atas. “Kau baik-baik saja?”Gadis itu basah kuyup dan tubuhnya menggigil. Dia tidak menjawab tapi malah mengayunkan pedang pada Rion.“Kau! Bandit utara, serahkan ayahku!”Rion mundur sambil mengangkat kedua tangan. Dia bersiap mencabut celurit dari balik punggungnya.“Apa kau tadi yang berteriak meminta tolong?”“Cih, kau pikir aku membutuhkan pertolongan?” desis gadis itu. Dia tampak tangguh dan sangat waspada.“Oh, jelas sekali kau membutuhkan pertolongan, Nona!” sindir sang singa. “Kau berteriak seperti anak ayam yang kedinginan. Dan lihatlah sekarang! Kau malah menodongkan senjata pada orang yang telah menolongmu? Tidak tahu diri!”“SINGA?” jerit gadis itu. “Bisa bicara?”Gadis itu semakin panik. Dia ayunkan pedang pada singa dan juga Rion secara bergantian.“Hei, itu berbahaya!” teriak sang singa.“Nona, tenanglah! Kami bukan bagian dari bandit utara seperti yang ka
Tabir kabut pagi masih mengambang dengan pekat. Usai berhasil lepas dari kekangan Nara, Rion melanjutkan perjalanan bersama sang singa. Kini dia berada di persimpangan sebuah jalan.“Kau yakin Panglima Karang yang akan kita cari ada di sana?”“Yeah, sudah kukatakan berulang kali. Aku mendengar dia menjadi buronan di sana. Kita harus mendapatkannya lebih dulu sebelum orang lain.”Rion harus memutuskan memilih jalur kanan ataukah kiri. Dia tahu, keberuntungan berada di satu sisi dan nasib malang di jurusan yang lain. Pada saat-saat seperti itu, ingin sekali rasanya dia melempar dadu untuk menentukan ke mana harus pergi. Pada sebuah dadu, seperti juga dirinya, akan selalu ada kemungkinan.Pemuda itu mengikuti suara burung pagi yang berkicau di antara selimut kabut. Sang elang memelesat di atas. Rion bisa merasakan kepakan sayapnya. Dia memeluk leher singa raksasanya dan memerintahkan agar pergi ke kanan. Singa itu berlari dengan kecepatan tinggi. Rion merasa nyaman sekali menunggangi tub
Suara kentongan bambu yang dipukul terdengar semakin riuh. Para warga mulai berdatangan dengan membawa senjata masing-masing untuk memburu si panglima karang yang telah membantai sejumlah warga secara acak.Pria bertopeng itu mundur dan melarikan diri sambil berteriak lantang, “Ini hanya peringatan untuk kalian! Aku adalah Panglima Karang sang legenda. Dengan jurus pedang karang, aku bisa membunuh kalian dengan sangat mudah! Haha....”Perempuan yang meringkuk tak berdaya itu berusaha mengejar, “Tunggu! Kau tidak bisa pergi begitu saja!”Rion menahan perempuan itu. “Nona, kau terlalu ceroboh melawan orang seperti itu sendirian.”“Tapi, dia telah menyebarkan fitnah! Jurus pedang karang yang dia sebutkan adalah jurus yang diciptakan oleh ayahku dan tidak ada hubungannya dengan klan Karang atau Panglima Karang yang melegenda itu. Tidak mungkin kami menjadi seorang pembantai!”Rion mengerti kegelisahan perempuan itu. Dia juga sadar kalau sosok bertopeng itu adalah Panglima Karang palsu.
Selter Agung, dua minggu yang lalu.Suara raungan dan erangan terdengar nyaring memekakkan telinga. Ruang bawah tanah puri utama seketika menjadi sangat mencekam. Dua orang samurai yang bertugas menjaga pintu menuju ke penjara bawah tanah saling melirik dengan tawa lemah dan wajah ketakutan.“Aku lebih takut pada perempuan Yanbian itu daripada para penghuni penjara bawah tanah!” ujar seorang penjaga.“Siapa yang mengumpulkan para penjahat berbahaya itu di bawah tanah?” tanya seorang yang lain.“Kau pikir itu Shogun Sakka Kodaichi? Kau salah! Siapa lagi kalau bukan ....”Brakk ... pintu terbuka. Keiko berdiri di sana dengan aroma anyir darah dan peluh di sekitar wajahnya. Rambut panjang perempuan itu menjadi sedikit kusut dan berantakan. Salah seorang penjaga mengulurkan sapu tangan katun bersulam bunga plump yang diterima Keiko dengan wajah datar. Dia seka darah pada pedangnya menggunakan sapu tangan itu.“Bawa tabib dari balai pengobatan ke sini! Dan jangan pernah berikir untuk melep
Malam hari di Kota Lamma terasa begitu mencekam. Sejak sore tak ada seorang pun yang terlihat keluar rumah. Semua orang takut dengan teror yang dilakukan oleh sosok bertopeng yang mengaku menjadi Panglima Karang si legenda. Tak ada yang tahu apa motif dan alasannya menyerang warga kota secara acak.Pada salah satu jalan kota yang lengang, terdapat sesosok pria berpakaian serba hitam yang mengenakan topeng iblis merah. Sosok bertopeng itu berdiri di ujung jalan untuk mengadang seorang pria berambut merah yang sedang melintas di sana. Mereka saling berhadapan.“Lepas saja topengmu, Panglima Karang palsu!” ujar si pria berambut merah yang sedang melintas sambil menarik celurit dari balik punggungnya.“Cih, orang dusun, Bengal! Sudah kukatakan akan kubunuh siapa saja yang kutemui di jalan!” ujar sosok bertopeng yang mengaku sebagai Panglima Karang.Mereka berdua berlari mendekat untuk saling menerjang dengan senjata masing-masing.Tak! Dua bilah celurit tersilang untuk menahan ayunan peda
“Ayaah!” teriak Lilian. “Di mana kauu...?”Di tengah-tengah lautan pertempuan antara klan kultivasi dengan pasukan mayat hidup itu, seorang pria tua dengan jenggot putih panjang tertatih mencari keberadaan putrinya.“Ayah!” teriak Lilian sekali lagi.Tuan Besar Zang mengikuti sumber suara sang putri. Dia berjalan mendekati arah Lilian berada meski di sekitarnya ada banyak sekali hujan anak panah, tebasan pedang, dan hunusan tombak. Dia berusaha mengindari mereka semua sebisa mungkin.“Ayah! Pergi dari sana!” Lilian panik seketika mendapati sang ayah mendekat dengan tubuh yang tak terlihat baik-baik saja.“Pandai sekali dia memainkan peran,” sengih Eknath begitu melihat Tuan Besar Zang muncul di sana meski sudah sangat terlambat.Sejumlah pasukan mayat hidup menyerang siapa saja yang masih menjadi manusia. Mereka semakin brutal. Tuan
Melihat kemunculan Lilian bersama pusaka mata naga membuat seluruh anggota klan kultivasi yang lain tertarik. Mereka tak lagi berpura-pura bergabung dalam pemberontakan untuk melawan klan Wan. Tujuan mereka sebenarnya adalah ingin merebut pusaka mata naga.“Aku... tak bisa bergerak.” Eknath terjatuh ke tanah.“Brengsek! Segel itu memakan energinya,” gumam Karuna yang berdiri di luar segel ciptaan Lilian.Traaang!Lilian mengayunkan lagi dawai kecapinya ke arah Eknath yang terjebak. Pria itu muntah darah akibat cambukan dawai iblis Lilian tepat ke pusat inti energinya.“Jangan sakiti dia!” teriak Karuna marah.Lilian berhenti memainkan kecapinya dan berdiri menatap mereka berdua. Dia ulurkan tangan ke depan dan menyerap seluruh energi yang terjerat di dalam segel. Warna merah segel memudar seiring dengan keluarnya energi gelap di dalam tubuh Eknath.
“Siapa pun tolong aku!”Para mayat hidup yang terdiri dari pasukan Wan berlarian memburu Tuan Muda Wan. Jumlah mereka semakin banyak. Tuan Muda Wan terus berlari tapi tak ada tempat perlindungan untuknya.“Akan aku bayar kalian dengan apa saja kalau bisa menyelamatkanku!” Pria itu sangat ketakutan sampai tak bisa lagi berlari.Napas Tuan Muda Wan terengah- engah. Ketakutannya tiba-tiba berbalik menjadi keberanian saat dia teringat pada sesuatu yang dia miliki. Pria itu merogoh baju dan mengeluarkan sebuah kantung khusus penyimpan pusaka.Para mayat hidup itu seketika terhenti begitu kantung di tangan Tuan Muda Wan terbuka segelnya. Tuan Muda Wan mengeluarkan sesuatu yang bercahaya dengan warna hitam pekat di dalamnya. Masing-masing benda yang keluar dari kantung melayang di permukaan tangannya dan bersatu membentuk sebuah bongkahan bola yang kehilangan satu bagian.“Pusaka
Perempuan itu berlari ketakutan. Dia mencari pertolongan pada siapa saja yang masih hidup di sana. Tapi, rumah mewah itu sangat lengang dan gelap. Di sepanjang dia berlari hanya menemukan mayat para penjaga yang ditempatkan Tuan Muda Wan di sana.Di kejauhan terdengar suara kecapi mengalun rendah dan merdu. Perempuan itu berhenti dan menegang seketika. Dia raba tengkuknya yang meremang.“Suara apa ini?” Matanya melotot lebar dan berputar-putar di lorong antara taman dan rumah utama.Suara kecapi itu semakin keras dan mendekat. Dia menatap ke langit yang mendung dan bulan purnama yang tertutup awan.Traaang!Gema kecapi tiba-tiba meninggi dengan kasar. Perempuan itu panik. Seiring dengan alunan kecapi yang menggila, di sekitarnya para mayat pasukan Wan yang bergelimpangan mulai bergerak-gerak. Mayat-mayat itu seperti boneka marionate yang digerakkan oleh benang tak kasatmata.Perem
Saat pengintai itu akan berbalik pergi, sebuah tombak meluncur di depan kakinya. Dia terduduk dan mundur dengan wajah pucat. Dari belakang, seorang pria menghunuskan pedang dari punggung menembus dada sang mata-mata.“Hah, kau mau memata-matai kami?” seringai pria yang berdiri di depannya sambil mencabut tombak yang sebelumnya dia lemparkan.Mata-mata dari klan Wan itu muntah darah dan mati seketika.Mereka terlambat, rekan sang mata-mata sudah melemparkan mantra ke langit untuk memberi tahu pasukan yang lain keberadaan para pemberontak di sana. Pria bertombak menghunus jantung sang pengirim pesan.Seluruh anggota pasukan pemberontak menyadari mantra yang terbang itu akan datang membawa pasukan klan Wan untuk menyerang markas mereka. Seluruh anggota pasukan pemberontak bersiap untuk menghadapi serangan.Di markas pusat klan Wan, Tuan Muda Wan terlihat gelisah dan ketakutan. Selama tiga malam
Karuna dan Eknath mendatangi permukiman terdekat. Mereka mengikuti sumber cahaya yang terlihat masih menyala di perbatasan kota.“Sepertinya di sini baik-baik saja....”“Ya, tampaknya mereka hanya menyasar markas pengawas klan Wan.”Saat melintas di salah satu gang permukiman warga, mereka mendengar sebuah keluarga tengah berbincang-bincang.“Sesuatu tengah terjadi di markas pengawas utara juga. Mereka semua menyelamatkan diri ke sini. Begitu yang aku dengar.”“Tak hanya di sana. Aku baru kembali dari timur. Aku lihat di sana juga kacau. Aku segera kembali dan urung melakukan perjalanan. Kata orang-orang semua markas klan Wan dikutuk oleh iblis jahat!”“Aku dengar yang melakukan adalah iblis dari Gunung Iblis! Mereka memburu pemilik pusaka mata naga. Siapa lagi kalau bukan klan Wan yang punya?”“Entahlah. Jika kau me
“Aku menerimanya!” teriak Eknath setuju dengan penawaran sosok misterius dalam bayangan gelap itu. “Bebaskan aku sekarang! Aku setuju dengan kesepakatan yang kau berikan!”Sosok yang tersembunyi dalam gelap itu menyeringai.“Hei! Lepaskan aku!”“Berikan padaku sumpah jiwa dengan tombak acala ini sebagai jaminannya!” tuntut sang sosok misterius.“Keparat!” umpat Eknath.Dia tak punya pilihan lain. Eknath pun merapal mantra pelepasan jiwa atau merogoh sukma. Kini, separuh jiwanya berada dalam genggaman sosok misterius itu. Jiwa tombak acala adalah separuh kehidupan Eknath. Dia serahkan jiwa tombak itu sebagai jaminan dan akan kembali padanya jika Eknath sudah menyelesaikan kesepakatannya.Jerat-jerat sihir di tubuh Eknath memudar. Dia bisa bangkit dan memijit pergelangan tangannya yang sebelumnya terikat jerat.“ACALA!
Di sebuah taman pribadi yang mewah dan megah dengan banyak tanaman menghiasai, seorang perempuan dalam gaun sutra tipis berjalan dengan talam di tangan. Dia membawa seperangkat alat untuk jamuan teh.Di gazebo ada seorang remaja yang tengah membersihkan pedangnya. Perempuan pembawa baki teh itu mendekat. Dari arah yang berbeda, seorang pria berlari-lari dengan tergesa.“Tuan Muda... Tuan Muda....”Remaja yang duduk di gazebo itu menengok pada sang pria. “Kenapa panik sekali?”“Hosh... Hosh... Anu... Itu... Di depan ada perwakilan dari klan Wan!”Prang!Baki teh yang dibawa perempuan bergaun sutra terjatuh. Remaja yang duduk di gazebo semakin gusar.“Apa lagi sekarang, Kak?” tanyanya pada sang perempuan.“Ini pertanda buruk, Chyou! Apa kau lupa bagaimana klan Zang dibumihanguskan oleh mereka?”“L
“Ke mana kalian akan membawaku?” tutur Lilian lirih saat tubuhnya diseret oleh lima pria anak buah si perempuan bergaun ungu.Perempuan bergaun ungu itu terhenti. Dia tiba-tiba menyeringai karena mempunyai sebuah ide.“Bawa dia ke kawah iblis!”“Tapi, Nona... tempat itu....”“Ini perintah! Apa yang aku ucapkan juga mewakili perintah Tuan Muda Wan!”Kelima pria yang menyeret tubuh Lilian ragu-ragu.“Ka-kami tidak berani!”“Kalian akan mati di sini jika menolak! Bawa dia ke kawah iblis, sekarang!”Kelima pria itu mulai membawa Lilian menuju ke jalan kawah iblis tak jauh dari hutan bambu hitam. Mata Lilian yang bengkak tak bisa melihat dengan jelas. Tapi, hidungnya bisa mencium aroma daun bambu yang basah dan terbakar.Seluruh tanaman di Gunung Iblis didominasi warna hitam dan kelabu. Semuany