Alena melihat ke arah orang itu yang dengan wajah tidak bersalahnya muncul di hadapannya. Dia sama sekali tidak memberikan senyumannya karena dia memang tidak mengharapkan kedatangannya. “Jangan memasang wajah seperti itu, Alena,” Orang itu kembali berkata dengan tenangnya. “Untuk apa kamu datang ke sini? Apakah kamu ingin mengacau lagi?” “Sejak kapan aku mengacau? Yang ada aku akan merebutmu kembali dari tangan pamanku.” Alena tersenyum kecut mendengar jawaban orang itu yang tidak lain adalah Theo. Entah mengapa dia tidak bisa hidup tenang bersama Brian. Tadi sang kakak yang datang padanya untuk melepaskan Brian. Sekarang Theo yang ingin merebutnya dari Brian. “Emily, kamu pergilah! Aku akan berusaha membantu kamu dan suamimu,” ucap Brian pada Emily karena dia tidak mau Theo mengacaukan pikiran wanita itu. “Baiklah,” jawab Emily lalu dia pergi meninggalkan ruangan. “Theo, apa yang kalian rencanakan?” tanya Alena setelah melihat Emily sudah tidak ada di ruangan. “Apa ma
"Jangan lakukan itu, Brian!” pinta Alena sembari memegang tangan Brian. Alena tidak ingin jika sang suami kehilangan kontrol dan bisa saja menghabisi Theo dengan tangannya. Dia tidak ingin jika Brian mendapatkan masalah baru dan harus berhadapan dengan saudarinya sendiri. “Pukul! Pukul saja aku, Paman! Aku tidak takut denganmu! Aku tahu jika kamu sudah tidak bisa mempertahankan kekasihku untuk selalu ada di sisimu, kan?!” tantang Theo. Alena langsung menampar pipi kanan Theo. Dia benar-benar sudah merasa muak dengan pria yang ada di depannya. Setiap kali Theo mau bicara maka dia akan menamparnya lagi dan lagi. “Pergi! Apa aku harus mengatakan semua kebencianku padamu!” teriak Alena pada Theo. “Baik! Aku akan pergi! Tapi perlu kamu ingat aku tidak akan pernah menyerah. Aku akan terus berusaha merebutmu kembali dari tangan pamanku. Sebab aku tahu kamu hanya bisa bahagia bersama denganku!” timpal Theo. Lalu pria pergi meninggalkan ruangan. Alena menghela napasnya setelah meliha
Alena berniat mengabaikan panggilan telepon sang ibu. Akan tetapi, ibunya terus saja menghubunginya. Sehingga rasa ingin tahunya semakin besar dengan yang akan disampaikan oleh sang ibu padanya. “Halo,” sapa Alena setelah dia mengangkat teleponnya.
"Bu, jangan lakukan itu!” teriak Caca yang langsung berlari ke arah sang ibu.Alena merasa terkejut saat mendengar teriakan sang suami serta Caca. Dia pun melihat ke arah sang kakak ipar yang sudah mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Rupanya kakak iparnya mengeluarkan sebuah botol obat.
“Semuanya sudah jelas. Kamu tidak perlu lagi menjawab pertanyaanku,” Brian kembali berkata pada Alena yang begitu lama menjawab pertanyaan yang dilayangkan olehnya barusan.Alena menghela napasnya saat mendengar yang dikatakan oleh Brian. Dia melihat sang suami berjalan menuju balkon. Alena pun beranjak dan dia mengikuti suaminya.
“Biarkan aku bicara!” Shinta memotong perkataan Brian.Alena memegang tangan Brian kembali seraya memberikan tanda pada sang suami agar memberikan kesempatan bagi sang kakak ipar untuk bicara. Dia tersenyum saat melihat Brian menganggukkan kepalanya. Lalu dia kembali fokus dengan kakak ipar yang ada di depannya.
"Erica, mengapa kamu semakin menggila seperti ini?” Alena kembali bertanya pada sang kakak. “Kamu yang membuatku seperti ini.”Alena menggelengkan kepalanya dia masih tetap saja mendengar sang kakak menyalahkan dirinya. Namun, dia terus
"Apa yang terjadi? Katakan padaku?!” tukas Alena pada Caca dan juga Carla.“Ikutlah denganku! Nanti akan aku jelaskan,” jawab Caca.Alena pun mengangguk dan dia berjalan ke luar dari kafe bersama Caca dan juga Carla. Meski di dalam benaknya begitu banyak p