Jihan pun menurunkan Wina dan menggandeng tangan Wina, lalu mengarahkan tangan Wina untuk berpegangan pada jaring-jaring pagar pembatas.Wina refleks menoleh ke Jihan dan bertanya, "Kamu ... mau ngapain?"Jihan mulai melucuti pakaian Jihan dan bergerak mendekati punggung Wina, lalu berbisik, "Cengkeram yang kuat."Setelah itu, Jihan mematikan lampu. Seluruh ruangan menjadi gelap dan hanya ada cahaya remang-remang dari penampakan Bima Sakti di bawah kaki mereka.Wina hendak menoleh menatap Jihan, tetapi tangan Jihan yang besar mendadak mengangkat pinggang Wina sementara tangan Jihan yang satu lagi menyusup ke dalam ....Wina akhirnya tahu kenapa Jihan menyuruhnya mencengkeram pagar pembatas ini kuat-kuat. Jika dia tidak melakukannya, dia pasti akan terjatuh dengan lemas ke atas lantai ....Sebenarnya, Wina akan tetap terjatuh lemas ke atas lantai seandainya Jihan tidak memegang pinggangnya. Pria satu ini benar-benar mesum ...."Zeno nggak mau."Di saat Wina nyaris terlena, suara Jihan y
Tangan Jihan yang sedang memainkan rambut Wina sontak berhenti bergerak, dia menyadari bahwa dia baru saja menggali kuburannya sendiri."Nggak bakalan."Sayangnya, jawaban Jihan tidak terdengar meyakinkan."Kenapa nggak bakalan?"Wina mengangkat jarinya untuk mendaftar kesalahan Jihan dulu."Kamu dulu berpegangan tangan dengan Winata.""...""Kamu bahkan membawanya ke rumah sakit.""...""Lalu ...."Jihan segera menghentikan Wina. "Tadi 'kan kamu tanya apa aku akan meniduri wanita lain, aku bilang nggak bakalan dan aku juga nggak pernah melakukannya. Dulu aku begitu cuma buat bersenang-senang.""Jadi, maksudmu Zeno juga hanya bersenang-senang, tapi dia lebih menyukainya daripada kamu?" tanya Wina."Bukan begitu maksudku," jawab Jihan dengan panik. "Aku juga nggak tahu apa yang ada dalam pikiran Zeno. Lagian, kamu nggak seharusnya membandingkanku dengan Zeno."Wina mendengus dengan dingin, lalu mendorong Jihan menjauh dan berguling ke samping. Dia berbaring di tepi tempat tidur. "Sudahl
Demi menemukan Zeno, Jodie sampai mengadakan sayembara dan mengeluarkan surat perintah pencarian, tetapi sayangnya tidak kunjung ketemu. Pada akhirnya, Jodie yang marah pun memutuskan untuk ke Bundaran Blue Bay lagi dan menemui Jihan ....Begitu turun dari mobil, dia malah bertemu dengan Vian dan Valeria yang datang untuk meminta maaf. "Loh, Vian? Ngapain kamu di sini?"Vian dan Valeria menggunakan jalan lain, jadi mereka tidak melihat mobil Jodie. Seandainya mereka lihat, mereka tidak mungkin muncul di depan Jodie.Jodie sebenarnya sudah mencurigai identitas Vian. Bagaimanapun juga, dia sedang menyelidiki tentang Organisasi Shallon dan Vian berulang kali mencoba balas dendam padanya.Sekarang karena Vian tiba-tiba muncul di Bundaran Blue Bay dan bertemu dengan Jodie, Jodie pasti akan mencurigai Jihan.Valeria dan Jodie juga pernah bersitegang, tetapi belum pernah bertemu. Valeria segera meraih tangan Vian dan berkata dengan manja, "Kak Vian, Kakak bilang pemandangan di sini bagus dan
Jodie menyimpulkan bahwa kedua orang ini justru mengenal Jihan dan sangat akrab dengannya. "Vian, lebih baik jelaskan kepadaku. Kalau aku sendiri yang tahu, aku pasti akan mengungkapkan identitasmu kepada dunia!"Vian sontak menjadi agak panik, tetapi dia berusaha menjaga ekspresinya agar tetap tenang. "Jodie, memangnya kamu punya bukti kalau aku ini anggota Organisasi Shallon? Memangnya kamu pernah melihatku berinteraksi dengan mereka?"Jodie memasukkan tangannya ke dalam saku, lalu mengangkat dagunya dan menatap Vian. "Aku pernah melihat namamu di daftar anggota Organisasi Shallon."Vian pun mencibir dengan dingin, "Kamu juga anak dari keluarga bangsawan. Kamu harusnya tahu betul bahwa nama anak-anak keluarga bangsawan lainnya akan ditambahkan ke daftar anggota Organisasi Shallon sebagai pengecoh. Sekalipun namaku ada di dalam daftar yang kamu lihat, bagaimana bisa kamu yakin aku ini anggota Organisasi Shallon?"Organisasi Shallon cukup berhati-hati dalam melakukan segala sesuatu. Na
Jodie sontak menjadi lebih tenang. Seingatnya dari hasil penyelidikan, anggota Organisasi Shallon biasanya bertindak secara rahasia dan tidak pernah terang-terangan.Namun, mereka hanya memakai topeng saat beraktivitas. Saat melepas topeng, mereka juga tetap bisa saling berinteraksi. Jadi, bagi yang belum pernah melihat wajah asli para anggota, mana mungkin bisa mengenali mereka di saat mereka melepas topeng masing-masing?Itu sebabnya Jodie masih ragu meskipun Vian sudah berkata seperti itu."Nggak peduli apa yang kamu katakan, pokoknya sekarang aku curiga kamu dan Jihan sama-sama anggota Organisasi Shallon!""Anggota organisasi apaan?"Tiba-tiba, terdengar suara dingin Jihan dari belakang mereka.Mereka semua menoleh menatap ke arah sumber suara. Jihan sedang berjalan menghampiri mereka.Ketika pria setinggi 190 sentimeter itu berdiri di depan mereka di bawah terik matahari sore, bayangan besar pun muncul yang terkesan sangat mendominasi."Kamu bilang apa barusan?"Jodie-lah yang ber
Jihan segera turun tangan menyelesaikan masalah tersebut.Ketika Jodie mendapat informasi bahwa Vian bukanlah anggota Organisasi Shallon, dia benar-benar bingung.Jodie pun melirik ke arah Jihan. Ini adalah Kota Aster, wilayah kekuasaan Jihan.Namun, yang menyampaikan informasi tersebut adalah petugas polisi dari luar negeri yang khusus menyelidiki Organisasi Shallon dan tidak terlibat dalam penyelidikan dalam negeri.Jihan memang memiliki jaringan intelijen yang luas, tetapi tidak mungkin sampai sehebat ini, bukan?Lagi pula, Jodie juga tidak melihatnya menelepon siapa-siapa.Tidak mungkin Jihan sudah tahu sebelumnya, lalu datang ke kantor polisi untuk berpura-pura dan mengatur segalanya sebelumnya, bukan?Jodie benar-benar kebingungan. Seandainya saja dia tahu akan jadi begini, dia tidak akan memperingatkan musuh. Seharusnya dia mengikuti Vian untuk menyelidiki Jihan dulu, baru bertindak. Tentu itu lebih baik daripada menyimpan berbagai macam informasi tanpa mengetahui mana yang akur
Cessa menampar wajah Zeno dengan sekuat tenaga, sampai-sampai sudut mulut Zeno meneteskan darah.Awalnya, Cessa ingin menampar Zeno berkali-kali, tetapi begitu melihat darah yang menetes itu, tangannya yang terangkat sontak berhenti bergerak."Kenapa nggak menghindar?""Aku bersalah, jadi sudah seharusnya dipukul."Zeno menyeka darah dari sudut bibirnya dan menengadah menatap Cessa yang terlihat sangat marah."Maafkan aku. Seharusnya aku nggak memanfaatkanmu. Aku yang salah."Cessa pun menampar wajah Zeno lagi!"Apa satu-satunya kesalahan yang kamu lakukan adalah memanfaatkanku?"Zeno memegangi pipinya yang sakit dan menatap Cessa dengan bingung."Kayaknya cuma itu yang kulakukan?""Cuma itu?"Mata Cessa pun perlahan-lahan menjadi berkaca-kaca."Kamu bahkan berbohong padaku tentang namamu. Pernahkah kamu memikirkan perasaanku?"Zeno sontak tertegun sejenak. Dia hendak menjelaskan, tetapi kemudian mengurungkan niatnya. Sepertinya dia tidak perlu lagi membela diri."Maaf, ini salahku, ak
"Zenora!"Saat Zeno hendak melompat dari ambang jendela, Cessa mencengkeram lengan pria itu dengan secepat kilat.Cessa menarik Zeno kembali ke dalam ruangan, lalu mengepalkan tinjunya dan memukuli pria itu.Zeno menatap ke arah pengawal yang bergegas mendekat. Dia segera menangkap tinju Cessa.Cessa berusaha keras untuk menarik tangannya, tetapi Zeno ternyata sangat kuat.Cessa tidak bisa melepaskan tangannya dari cengkeraman Zeno."Kenapa kamu ...."Bukankah Zeno selalu kalah darinya?Zeno mencengkeram tinju Cessa dengan satu tangan, sementara tangannya yang satu lagi merangkul pinggang Cessa. Zeno pun mendekap Cessa dan membawanya masuk ke kamar mandi.Setelah memisahkan diri dari para pengawal itu, Zeno yang menggendong Cessa pun berbalik badan dan menindih Cessa ke daun pintu sambil menatapnya."Bukannya aku nggak bisa mengalahkanmu, tapi aku nggak ingin menyerangmu ...."Setelah itu, Zeno memegang wajah Cessa dan mencium bibirnya.Cessa sontak berdiri termangu, dia bahkan sampai
Lama sekali Jodie hanya tertegun setelah menerima berita kematian Wina, tetapi akhirnya bergegas dan mengantar kepergian Wina ke tempat peristirahatan terakhirnya. Setelah semua orang meninggalkan pemakaman, Jodie mengelus batu nisan Wina dengan penuh rindu."Wina."Jodie perlahan berjongkok sambil bertopang pada batu nisan Wina dan menatap wajah Wina dalam foto dengan matanya yang sudah menua ...."Nggak disangka, ya?""Ternyata begitu aku jatuh cinta, rasa cintaku bisa bertahan selama ini," gumam Jodie sambil mengangkat alisnya. "Aku saja nggak tahu kalau aku ternyata tipe orang yang sepenyayang ini."Jodie menatap foto itu dan tersenyum. "Sampai-sampai ... aku merasa nggak ada satu wanita lain pun yang menarik perhatianku. Tuh Wina, aku nggak kalah dari Jihan, 'kan?"Namun, yang menjawab Jodie adalah bunyi kepak sayap burung yang terbang di pemakaman. Setelah semua binatang itu pergi, yang tersisa hanyalah keheningan. Sama heningnya seperti rasa cinta yang selama ini Jodie pendam da
Sebelum kehidupan Wina berakhir, yang terlintas di benaknya adalah rasa cinta yang Jihan sembunyikan selama lima tahun itu ....Saat membalikkan tubuhnya dan bangun, Wina bisa melihat tubuhnya dipeluk dengan erat oleh sepasang lengan yang kuat dan bertenaga. Jika itu bukan cinta, lantas apa ....Wina juga bisa melihat suasana makan di akhir pekan itu dengan jelas. Jihan yang duduk di depannya sesekali melirik Wina melalui ekor matanya. Jika itu bukan karena Jihan sudah lama menyukainya waktu, lantas apa ....Apalagi setelah Jihan selesai melakukannya. Dia akan menggendong dan membiarkan Wina berbaring tengkurap, lalu mengusap-usap punggung Wina untuk menidurkannya seperti anak kecil ....Rasa cinta Jihan terwujud dalam hal-hal kecil. Mungkin sekilas tidak terlihat jelas cinta macam apa itu dan hanya Jihan sendiri yang tahu betapa dia menyayangi dan mencintai Wina ....Mata Wina tidak bisa lagi terbuka, rasanya jiwanya tersedot keluar. Dia tidak punya tenaga lagi untuk bangkit, dia juga
Wina mengelus bagian belakang kepala Delwyn, ekspresinya terlihat sangat tenang seolah-olah dia sudah berdamai dengan kenyataan. "Kapan kamu akan menikah?"Tubuh Delwyn sontak menegang, air mata menggenangi pelupuk matanya. Dia pun perlahan menengadah dan melepaskan Wina. "Ibu ... aku ... aku belum bertemu dengan gadis yang kusuka."Wina bisa melihat pantulan dirinya dari bola mata Delwyn, jadi dia menyentuh wajah putranya. "Kamu lihat sendiri betapa menderitanya ibumu tetap bertahan hidup. Masa kamu nggak mau membiarkan Ibu menyusul ayahmu?"Sewaktu kecil Delwyn dikekang oleh orang tuanya, tetapi sekarang setelah besar, giliran dia yang mengekang orang tuanya. Karena hanya pengekangan ini saja yang bisa mencegah Delwyn menjadi yatim piatu. Jadi ... biarkan Delwyn menjadi egois untuk kali ini saja ....Delwyn meraih lengan Wina dan memohon, "Ibu, tolong tunggu sebentar lagi. Aku akan menemukan gadis yang kusuka dan menikahinya, oke?"Wina tidak tega menyakiti hati putranya, jadi dia me
Demi putranya, Wina sama sekali tidak mengikuti Jihan. Namun, rambut Wina mendadak beruban dalam satu malam dan wajahnya seolah menua sepuluh tahun. Kerutannya sontak tampak lebih kentara, tatapan matanya selalu terlihat kosong.Di depan makam Jihan, Wina meminta Jihan untuk menunggunya. Sekarang Wina sudah punya anak, jadi dia tidak bisa melakukan sesuatu dengan asal. Nanti setelah putra mereka menikah, barulah Wina akan pergi menyusul Jihan. Jika Jihan ternyata tidak menunggunya, Wina akan menarik kembali janjinya tentang kehidupan selanjutnya sehingga mereka tidak akan pernah bertemu lagi ....Wina tidak menghadiri pemakaman Jihan. Itu sebabnya dia akhirnya terbangun, lalu berjalan ke makam Jihan dengan tubuh yang terhuyung-huyung. Tidak ada yang tahu tentang apa yang Wina katakan kepada Jihan, selain Delwyn yang memapah ibunya untuk menemui ayahnya ....Malam itu, Wina tiba-tiba pingsan di salju dan segera dibawa ke rumah sakit untuk diberikan pertolongan pertama. Wina baru sadar s
Bulu mata Wina tampak bergetar. Dia mengangkat matanya yang terkesan kosong dan menatap ke kejauhan. "Nggak, aku nggak akan ke mana-mana. Kami akan tetap di sini sampai aku ikut mati beku. Nggak akan ada yang bisa memisahkan kami."Semua orang sontak merasa tercekat. Mereka semua bergegas membujuk Wina agar jangan melakukan hal bodoh, tetapi Wina tidak mengacuhkan semua omongan mereka. Dia hanya duduk diam di sana sambil memeluk Jihan, menunggu ajal menjemputnya.Delwyn akhirnya menggenggam tangan Wina dengan erat sehingga pandangan Wina beralih kepadanya. "Ibu, aku tahu betapa Ibu mencintai Ayah dan Ibu pasti sulit menerima kenyataan ini, tapi tolong jangan lakukan hal bodoh. Aku sudah kehilangan Ayah dan aku nggak bisa kalau harus kehilangan Ibu juga ...."Suara putranya membuat Wina akhirnya perlahan menatap Delwyn. Wina menyentuh wajah Delwyn yang tampak begitu mirip dengan Jihan, lalu tersenyum kecil dengan senang ...."Ibu sudah lama mempersiapkan diri untuk kematian ayahmu. Kare
Air mata Wina pun mendadak mengalir turun. Tidak ada tangisan yang memilukan hati, hanya keheningan dan bibir Wina yang terbuka. Wina ingin mengatakan sesuatu, tetapi sepertinya dia sudah mengatakan semua yang ingin dia katakan kepada Jihan. Pada akhirnya, Wina hanya menurunkan pandangannya menatap wajah Jihan yang sudah pucat itu ...."Bodoh. Mau seberapa banyak pun darahmu mengalir keluar, kamu tetap suamiku. Mana mungkin aku takut? Aku nggak takut. Kenapa kamu malah pergi ke tempat seperti ini sendirian?"Yang membuat Wina merasa begitu getir adalah karena dia tidak sempat berpamitan untuk terakhir kalinya. Namun, Jihan sama sekali tidak memikirkan rasa penyesalan Wina dan fokus ingin menyembunyikan kondisinya dari Wina ....Lantas, bagaimana jika ... Wina tidak mengenali tiruan Jihan? Apa itu berarti Wina tidak akan pernah menemukan tubuh Jihan? Apa itu berarti Jihan akan selamanya terkubur beku di bawah salju ....Jihan sudah mempersiapkan segala sesuatunya sebelum ajal menjemputn
Saat Delwyn meraih tangan Jihan dengan gemetar, Wina sontak menengadah seolah mendapatkan firasat. Dia melihat ke arah Delwyn sekilas, lalu bergegas merangkak menghampiri putranya dengan rambut acak-acakan seperti orang gila.Wina tetap tidak menangis. Dia bahkan menyentuh tangan yang kaku dan putih membeku itu dengan tatapan tegas, lalu menurunkan pandangannya yang bergetar dan menggali salju yang menutupi tubuh Jihan dengan tangannya yang sudah berdarah.Salju yang menumpuk di gunung lebih dalam, setiap lapisannya mengubur Jihan. Wina berusaha dengan sekuat tenaga untuk mengeluarkan suaminya dari dalam salju, lalu akhirnya melihat wajah Jihan yang berlumuran darah. Tidak ada rona kemerahan apa pun di wajah yang tampan itu, hanya ada noda darah dan salju yang menghiasi ....Delwyn menatap sosok ayahnya dengan tidak percaya. Dia pun jatuh terduduk, hatinya terasa remuk redam. Langit seolah mendadak runtuh dan hanya ada kegelapan tak berujung yang menyelimuti ...."Delwyn.""Tolong Ibu,
Wina yang sedang mencari ke mana-mana sontak berhenti melangkah, rasanya dia seperti mendengar ada yang memanggil namanya. Wina pun menoleh dengan tatapan kosong, tetapi terlihat jelas hanya ada dia di sini.Wina berdiri dalam diam, lalu memegangi dadanya yang berdetak dengan begitu kuat. Tiba-tiba, hatinya terasa tersayat seolah-olah dia akan kehilangan sesuatu. Saking sakitnya, Wina sampai membungkukkan tubuhnya. Akan tetapi, rasa sakit itu tidak kunjung hilang ....Firasatnya mengatakan bahwa sesuatu terjadi pada Jihan. Di saat Wina ingin kembali mencari Jihan, tiba-tiba sosok Jihan yang tampan muncul di hadapannya sambil membawa sebuket mawar."Sayang, kok kamu di sini? 'Kan sudah kubilang tunggu aku?"Begitu melihat Jihan tampak baik-baik saja, jantung Wina yang semula berdegap kencang mendadak menjadi tenang kembali.Wina langsung melempar payungnya dan melompat memeluk Jihan dengan gembira.Wina menghela napas lega saat merasakan hangat tubuh dan napas Jihan."Sayang, kamu tahu
Saat melihat Jihan berdiri sempoyongan dan mengerahkan sedikit tenaga untuk melambaikan tangannya, Jefri akhirnya tidak tahan lagi. Dia menggertakkan gigi dan berlari secepat mungkin ke dasar Gunung Kiron ...."Kak Jihan, aku panggil dokter dulu, terus menyuruh robot itu naik gunung dan baru setelah itu aku akan menjemputmu! Kakak berdiri saja di sana dan tunggu aku, ya! Aku akan segera kembali!"Jalan gunung di malam hari memang tidak dapat diprediksi, salju yang turun dari langit seolah menjadi sumber penerangan. Jefri merasa seperti sedang berjalan di siang hari. Namun, saking langkahnya terburu-buru, Jefri sampai beberapa kali jatuh tersungkur ke atas tanah dan dia bahkan tidak tahu berjalan ke arah mana ....Jihan memandangi punggung Jefri yang berangsur-angsur menghilang dari pandangannya, lalu memegangi dadanya. Dia bisa merasakan detak jantungnya yang perlahan melambat. Jihan berdiri diam sambil merasakan bagaimana nyawanya meregang ....Entah berapa lama waktu berlalu, yang je