Jihan menatap Wina dengan penuh kasih sayang. "Biarkan aku menemanimu selama kamu di Walston."Sorot mata Wina langsung terlihat kaget, akal sehatnya pun kembali. "Itu bukan tindakan yang pantas, Tuan Jihan."Kali ini Wina memang terlibat dengan Jihan lagi karena meminum sesuatu yang tidak seharusnya dia minum, tetapi masalah ini tidak perlu diperpanjang.Jihan pun menyunggingkan seulas senyuman getir. "Kamu takut suamimu yang berada di rumah keberatan, Nona Wina?"Wina menggelengkan kepalanya dengan pelan sambil menjawab, "Tuan Jihan, aku merasa sangat lelah saat mencintaimu. Aku nggak mau jatuh ke lubang yang sama."Begitu mendengar kata-kata "mencintaimu" terlontar dari mulut Wina, jantung Jihan pun seolah berhenti berdetak selama sepersekian detik. Matanya tampak agak berkaca-kaca. "Wina, aku sudah bertahun-tahun menunggu kamu bilang begitu ...."Wina pun balas menatap Jihan, lalu berkata sambil tersenyum, "Aku juga sudah menunggu bertahun-tahun untuk mendengarmu mengatakan kamu me
Dari responsnya yang hanya diam, Jihan langsung tahu jawaban Wina.Dia pun menekan tombol bantuan di bagian kepala ranjang rumah sakit.Si kepala rumah sakit segera berjalan masuk. "Ada apa, Pak Jihan?"Jihan duduk bersandar di sofa sambil menatap ekspresi si kepala rumah sakit yang tampak agak panik, lalu berkata dengan suara dingin, "Periksa sekujur tubuhnya apa ada organ yang rusak gara-gara obat itu atau nggak."Awalnya, si kepala rumah sakit ingin mengatakan bahwa obat perangsang seperti itu tidak akan merusak organ.Wina juga merasa tidak perlu, tetapi belum sempat dia mengatakan apa-apa, si kepala rumah sakit sudah berbalik dan berjalan keluar dari kamar rawatnya.Kepala rumah sakit saja tidak berani membantah perintah dari si pemegang saham utama. Dia langsung meminta setiap departemen rumah sakit untuk mengirimkan dokter terbaik guna memeriksa kondisi tubuh Wina.Berkat pemeriksaan yang menyeluruh dan saksama, semua gangguan dalam tubuh Wina pun terdeteksi, termasuk anemianya.
"Aku bisa jalan sendiri, tolong turunkan aku."Wina tidak terluka parah sampai perlu digendong.Wina meronta turun, tetapi Jihan merekatkan pelukannya, Wina pun tidak bisa berkutik.Jihan menggendongnya sampai keluar rumah sakit dan memasukkannya ke dalam mobil."Walston nggak aman, aku antar kamu pulang ya."Setelah Jihan memakaikan sabuk pengaman untuk Wina, dia memberi isyarat pada sopir untuk turun dari mobil.Sopir itu karyawan perusahaan cabang Walston. Dia tidak mengerti dan bingung dengan sikap Jihan.Sopir itu menatap Wina beberapa kali sampai akhirnya tersadar bahwa CEO-nya ingin berduaan saja dengan wanita itu. Barulah setelah itu si sopir turun.Jihan menatap sopir itu dengan dingin, lalu berkata, "Jangan datang lagi."Si sopir mematung di tempat. Maksudnya ... jangan datang ke sini lagi, atau jangan datang bekerja lagi?Dia menatap ke arah mobil yang sedang melaju pergi, menggaruk kepalanya dan berpikir lama. Akhirnya menemukan jawabannya ...."Sial, aku dipecat!"Jihan me
Saat melihat laci yang sudah kosong itu, Wina sontak merasa putus asa.Buku sketsa peninggalan kakaknya itu sudah lenyap.Wina menatap laci itu selama beberapa detik, lalu berbalik badan dan berjalan menghampiri Sam. Wina mulai menganalisis situasi dengan tenang."Pencuri biasanya cuma tertarik dengan uang, tapi mereka malah mencuri sketsa kita. Itu berarti mereka memang berniat mencuri sketsanya. Apa ada orang di industri ini yang mungkin menginginkan buku sketsa Vera?"Sam yang sedang mengirimkan foto kuas emasnya kepada polisi pun sontak terdiam mendengar pertanyaan Wina.Dia menatap Wina, lalu menjawab, "Ada banyak arsitek yang menginginkan buku sketsa Vera, tapi kalau sampai datang ke Walston untuk mencurinya ...."Seolah menyadari sesuatu, Sam pun langsung memberikan nama beberapa arsitek kepada pihak kepolisian dan meminta polisi untuk memeriksa orang-orang itu.Setelah mendapatkan petunjuk, para polisi itu pun berjalan pergi. Sam menghampiri Wina."Hotel ini sudah nggak aman la
Setelah akhirnya berhasil lepas dari gendongan Jihan, Wina pun mundur selangkah. Dia menempelkan tubuhnya di dinding lift dan menatap Jihan sambil bertanya, "Kamu mau membawaku ke mana?"Sikap Wina yang begitu waspada pun membuat sorot mata Jihan menjadi lebih serius. "Ke vilaku.""Kamu ngerti nggak sih maksudku waktu di rumah sakit?" tanya Wina dengan frustrasi.WIna tidak ingin mereka saling berhubungan lagi, tetapi sekarang Jihan malah meminta Wina untuk pergi ke vilanya?Jihan pun balas menatap Wina selama beberapa detik, lalu berkata, "Ngerti, tapi memangnya kamu bisa ke mana lagi dengan situasimu yang kayak gini?"Pertanyaan Jihan seolah menohok jantung Wina. Dia pun terdiam dengan sangat canggung, lalu akhirnya berkata, "Biar solusinya kupikirkan dengan temanku.""Apanya memikirkan solusi, dia saja nggak bisa melindungi dirinya sendiri," cibir Jihan.Wina hendak membela diri, tetapi dia tahu ucapan Jihan ada benarnya. Biarpun begitu ...."Aku ....""Wina, kamu nggak aman tinggal
Suara Jihan yang sengaja direndahkan terdengar agak memikat seolah-olah pria itu memang berniat menggoda Wina.Wina tetap berdiri diam, lalu menggelengkan kepalanya dengan pelan."Nggak ada hubungannya dengan dia."Wina sudah mengatakannya dengan jelas sewaktu di rumah sakit. Wina menolak Jihan karena merasa terlalu lelah mencintai Jihan.Selama ini, rasanya mereka selalu menempuh jalan yang berbeda. Sering sekali mereka saling mencurigai dan mengetes.Walaupun penyebabnya hanyalah kesalahpahaman, tidak dapat dipungkiri Wina memang merasa frustrasi dan putus asa.Dia masih ingat betapa menyiksanya dulu saat tidak bisa melepaskan Jihan, jadi Wina merasa terlalu takut untuk kembali jatuh cinta.Jihan berharap bisa melihat sorot cemburu dalam tatapan Wina, tetapi tidak menemukannya. Sepertinya, alasannya memang bukan karena Olivia.Jihan pun sedikit menjauhkan tubuhnya, sorot matanya yang dingin terlihat kecewa. "Kayaknya kamu memang sudah nggak peduli lagi denganku."Wina balas melirik J
Amarah Jihan yang semula sudah reda pun mendadak meledak lagi.Dia langsung mencengkeram tangan Wina dan menariknya masuk ke dalam mobil lagi, lalu menatap Wina dengan mata yang menyalang marah."Wina! Sudah kubilang 'kan jalanan Walston itu nggak aman! Kamu ini mendengarkanku nggak sih!""Eh, aku ...."Begitu Wina membuka mulut, Jihan langsung menyela, "Aku tahu kamu nggak mau ke vilaku, tapi apa kamu pernah memikirkan siapa lagi yang kamu kenal di Walston dan ke mana kamu bisa pergi?"Nada bicara Jihan yang kesal terdengar bercampur dengan frustrasi. "Kenapa sih sudah seperti ini saja kamu nggak mau menerima bantuanku? Kamu sebegitunya membenciku?"Jihan sudah berulang kali berusaha dengan keras dan menyatakan perasaannya, tetapi berulang kali pula Wina menolak. Kenapa di saat Wina membutuhkan bantuan dia tetap menolak bantuan Jihan?Apa jangan-jangan Wina tidak memedulikan rasa cinta Jihan dan memandang rendah dirinya karena sudah tidak mencintainya lagi?Wina balas menatap Jihan de
Wina sontak teringat dengan kesalahannya kemarin malam, wajahnya langsung menjadi merah padam.Jihan refleks menyentuh pipi Wina yang terasa panas."Nona Wina, kamu sudah bersalah pada Ivan sejak momen melanggar batasan denganku, jadi ngapain masih ngerasa malu?"Setelah itu, Jihan pun langsung menggendong Wina dan berjalan menuju kamar mandi tanpa repot-repot menunggu respons Wina.Jihan meletakkan Wina di dalam bak mandi, lalu berkata, "Kamu kelihatannya capek banget, tidurlah dengan nyenyak habis mandi."Jihan mengambil handuk mandi yang pelayannya serahkan, meletakkannya di rak kamar mandi, kemudian berbalik badan dan berjalan keluar.Wina menatap pintu kamar mandi yang ditutup, lalu menghela napas dengan ebrat.Ucapan Jihan ada benarnya. Dia memang sudah melakukan semua yang harus dilakukan. Sekalipun Wina tidak ingin berurusan apa-apa lagi dengan Jihan, kenyataannya tidak akan berubah.Memikirkan semua ini membuat suasana hati Wina jadi buruk, rasanya dia merasa sangat lelah.Win