"Aku nggak punya hubungan apa pun dengannya.""Kenapa bertanya seperti itu?" tanya Wina berpura-pura tenang untuk menyembunyikan rasa paniknya."Aku curiga kamu adalah istri Pak Jihan yang selalu misterius itu," jawab Andrew dengan jujur.Masalahnya, kenapa istri yang misterius itu selalu saja menghindar bertemu dengan Andrew?Andrew tidak mengerti, tetapi Wina juga tidak mau memberitahunya. "Kalau memang aku ini istrinya, untuk apa juga aku masih menjalankan proyek ke luar begini? Sudah pasti aku akan duduk manis di rumah dan menikmati jadi istri orang kaya."Andrew pun tertawa dan memutuskan untuk tidak bertanya lebih lanjut. "Tolong jangan masukkan pertanyaanku ke dalam hati, Nona Vera. Aku cuma penasaran karena aku merasa sosokmu dari belakang agak mirip dengannya.""Ya, nggak apa-apa," jawab Wina sambil ikut tersenyum, ekspresinya tetap terlihat biasa saja."Biar kuantar kalian keluar," kata Andrew sambil membuat gestur mempersilakan.Wina mengangguk. "Oke."Setelah mengantar Wina
Setelah keluar dari rumah Keluarga Ivoron, Wina langsung menuju mobil Jihan.Begitu masuk, dia langsung memeluk pinggang Jihan dan menempel di dada Jihan. Wina menghirup aroma tubuh Jihan yang familier, sekujur tubuhnya yang semula tegang perlahan menjadi lebih rileks."Sayang, waktu itu Andrew melihat punggungku. Sekarang dia mulai mencurigaiku."Jihan balas merangkul pinggang Wina dan menggendongnya dari samping, lalu memangku istrinya itu."Jangan takut."Ucapan Jihan itu langsung membuat Wina yang takut identitasnya ketahuan kembali tenang.Dia mengangkat dagunya sementara Jihan menundukkan kepalanya, bibir mereka pun bersentuhan.Jihan tersenyum kecil, sedangkan Wina tersenyum bahagia."Kebetulan sekali."Jihan pun menengadah menatap kursi di barisan depan.Begitu menyadari tatapan Jihan dari kaca spion, si sopir langsung menurunkan kaca pemisah dengan kursi belakang.Sam yang duduk di kursi di samping pengemudi dan terhalang oleh kaca pemisah itu pun memutar bola matanya sebanyak
Begitu mendengar kata "pergi", rasanya jantung Wina sudah seperti berhenti berdetak selama sepersekian detik. "Mau ke mana?"Jihan mengusap wajah Wina, rasanya dia tidak ingin berpisah. "Nanti kukasih tahu pas sudah pulang."Jihan merasa tidak nyaman untuk memberi tahu Wina karena ada pihak luar bersama mereka di dalam mobil. Wina langsung menduga ini ada hubungannya dengan Organisasi Shallon, jadi dia tidak berkomentar apa-apa.Wina jarang sekali diam seribu bahasa setelah mereka menikah, ini adalah kali pertama. Begitu Jihan bilang akan pergi, Wina langsung memasang benteng di sekelilingnya seolah-olah Jihan berniat meninggalkannya.Reaksi Wina ini membuat Jihan jadi merasa agak gelisah. Dia pun menarik ujung pakaian Wina. "Wina ...."Namun, Wina mengabaikan Jihan. Dia menoleh menatap ke luar jendela mobil. Saat ini, cuma ada rasa takut yang memenuhi benaknya. Wina memang tidak tahu apa misi dari Organisasi Shallon, tetapi dia tahu bahwa sesuatu yang bersifat sangat rahasia pasti uju
Wina tidak tahu seberapa dalam pemikiran Jihan, dia cuma mengkhawatirkan keselamatan suaminya. "Sebelumnya kamu cuma butuh satu dua hari untuk menunaikan misimu, tapi kali ini sampai sebulan. Pasti misimu kali ini berbahaya banget, 'kan?""Ya, sedikit, tapi kamu harus percaya padaku kalau aku nggak akan kenapa-kenapa," hibur Jihan dengan tenang."Kalau gitu, ajak aku sekalian," sahut Wina dengan tidak percaya."Wina, nggak etis mengajakmu di saat yang ada di sekelilingku semuanya laki-laki," jawab Jihan sambil mengelus rambut Wina dengan tidak berdaya.Wina juga tahu Jihan tidak mungkin mengajaknya ikut serta, dia cuma mengutarakan keegoisannya.Namun, Wina juga sadar dia tidak bisa membiarkan keegoisannya mempersulit Jihan.Tubuh Wina jadi terasa agak lemas. Dia mencengkeram kerah kemeja Jihan, lalu menempelkan pipinya di dada Jihan. "Aku nggak berguna banget, ya."Wina tidak bisa membantu Jihan, dia cuma bisa tinggal di rumah dan menjadi istri manja yang menunggu suaminya pulang."Hi
Berkat penghiburan dari Jihan, Wina pun menangis hingga jatuh tertidur. Dia bermimpi Jihan yang berlumuran darah berjalan melewatinya. Wina berusaha sebisa mungkin untuk menangkap Jihan, tetapi dia bahkan tidak mampu menyentuh sudut pakaian Jihan ....Wina sontak terbangun dari mimpi buruknya. Begitu membuka matanya dan tidak melihat sosok Jihan, jantungnya langsung terasa seperti berhenti berdetak sesaat. Apa secepat itu Jihan pergi? Tanpa mengucapkan selamat tinggal kepadanya atau memeluknya? Jihan pergi begitu saja?"Jihan!"Bukannya Jihan bilang baru akan pergi sepuluh hari lagi? Kenapa sosoknya sudah lenyap dari pandangan secepat ini!Wina menyibakkan selimutnya dengan gelisah, dia segera menurunkan kakinya dari atas kasur. Namun, sebelum kakinya menyentuh lantai, seorang pria yang tampak berwibawa dan bermartabat pun masuk ke kamar dan bergegas menghampiri Wina. Pria itu mengulurkan tangannya untuk menopang kaki Wina dan meletakkannya kembali ke atas tempat tidur."Lantainya ding
Hujan baru berhenti turun keesokan paginya.Jihan menunduk menatap Wina yang berada dalam pelukannya selama beberapa saat, lalu perlahan melepaskan Wina.Jihan pikir Wina sedang tidur, jadi dia menyibakkan selimut dan mengambil pakaiannya, lalu berjalan keluar dengan tenang ....Wina yang sedang berbaring miring di atas tempat tidur pun membuka matanya dan menatap punggung Jihan yang tinggi dan tegap ....Wina bisa mendengar Jihan menyuruh Paman Rudi untuk menjaganya baik-baik, Jihan juga menyuruh Alta untuk melindunginya. Wina juga mendengar Jihan melarang Gisel curi-curi memakan makanan ringan, sekaligus mengingatkan Gisel untuk patuh kepada Wina ....Wina tahu Jihan sedang mengucapkan kata-kata terakhir. Namun, sekarang dia jauh lebih tenang dibandingkan saat dia sibuk menangis dan merajuk sepuluh hari yang lalu. Sepertinya, Wina sudah bisa menerima kenyataan bahwa Jihan akan pergi.Wina berbaring dalam diam selama beberapa saat, lalu mencari tumpuan dan memaksakan tubuhnya yang ter
Jefri segera mengikuti Jihan ke ruang kerja sambil mengernyit. Dia duduk berhadapan dengan Jihan di meja kerja, lalu Jihan membuka laci dan menyerahkan dua lembar amplop kepada Jefri."Kalau aku nggak kembali dalam sebulan, berikan surat ini kepada Wina."Amplop itu berwarna merah muda, di dalamnya ada surat yang Jihan tulis sendiri. Jefri tidak tahu apa isinya. Dia hanya mengulurkan tangannya mengambil amplop itu, lalu menengadah dan menatap Jihan dengan bingung."Kak Jihan mau ke mana?"Jihan meremas amplop putih yang dia pegang seolah sedang ragu, lama sekali dia tidak memberikan jawaban apa pun. Saat Jefri hendak bertanya lagi, Jihan tiba-tiba menyerahkan amplop itu kepada Jefri seolah-olah sudah memantapkan hati."Kalau aku nggak kembali dalam tiga bulan, berikan surat ini kepada Ivan."Tentu saja Jefri tahu hubungan antara Ivan dan Wina. Kenapa Jihan mendadak menyebut soal Jihan dan meninggalkan surat? Bahkan orang bodoh sekalipun tahu bahwa Jihan sedang meninggalkan Kata-kata te
Jihan berjalan menuruni tangga berbentuk spiral dan melihat Wina berdiri termangu di ruang makan. Dia segera berjalan mendekat dan mengambil panci sup itu dari tangan Wina. "Sayang, mulai sekarang biar para pelayan saja yang melakukan hal semacam ini. Kamu nggak usah menyajikan sendiri, nanti tanganmu bisa terbakar."Nada suara Jihan yang penuh kasih sayang dan lembut itu menyentuh hati Wina. Wina menahan rasa tidak rela yang tumbuh dalam hatinya, lalu mengiakan dengan patuh, "Oke ...."Jihan meletakkan panci sup, ekor matanya menyadari kehadiran Vian dan Valeria. Gerakan Jihan terhenti sesaat, lalu dia menggenggam tangan Wina sambil berkata, "Wina, aku harus pergi. Kamu ... baik-baik ya di rumah."Wina pikir dia sudah siap, tetapi begitu mendengar kata-kata Jihan, matanya tetap saja berkaca-kaca.Wina tidak ingin Jihan melihat air matanya, jadi dia segera menunjuk ke arah piring di atas meja dan memalingkan pandangannya. "Sayang, aku sengaja masak itu buatmu. Kamu makan dulu baru perg