Sandy terang-terangan mengakui ambisinya dan membuat Jihan menyeringai kecil."Meskipun kamu begitu ingin mendapatkan penghargaan kedokteran, sayang sekali, aku nggak membiarkanmu mendapatkannya."Kata-kata kejam seperti itu membuat wajah Sandy memerah karena marah."Apa hakmu melakukan itu!"Jihan mengangkat tangannya, pisau di tangannya langsung berkilau karena tepat di bawah cahaya."Karena hidup, mati dan masa depanmu ada di tanganku."Cahaya yang terpantul dari pisau itu masuk ke Sandy, menyebabkan dia secara refleks menutup mata.Begitu matanya tertutup, Sandy dapat merasakan pergelangan tangannya digores pisau.Setelah dia membuka mata, dia pun melihat darah merah cerah muncrat dari kulit pergelangan tangannya.Sementara orang yang menggores sama sekali tidak berkedip saat melihat darah tersebut. Dia seolah-olah tidak peduli akan nyawa Sandy.Sandy seketika ketakutan. Dia awalnya mengira Jihan hanya mengancamnya, tidak akan serius melakukannya.Menyaksikan ini, Riko juga ketakut
"Apa hakmu untuk ikut campur urusanku dengan Sara!"Sandy menutupi pergelangan tangannya, mengangkat kepalanya dan menghardik Jihan. Sepasang matanya terlihat sangat merah.Jihan sudah merekam pengakuan kejahatannya dan akan mengirimnya ke anggota keluarga dan murid-murid Pak Latief.Hal tersebut saja dengan memutus jalur pelariannya. Sekalipun dia diizinkan kembali ke negaranya, dia tidak akan bisa lepas dari kecaman orang-orang.Jihan sudah begitu kejam, tetapi sekarang masih ingin memberinya pelajaran untuk membantu Sara."Hakku?"Jihan yang tampak malas itu memiringkan kepalanya sedikit, lalu memberi isyarat dengan tangannya yang memakai sarung tangan putih ke arah pengawal yang menginjak Sandy.Kedua pengawal yang berdiri di sisi kiri dan kanan Sandy itu langsung mengerti. Setelah mengangkat Sandy berdiri, mereka mendorongnya jatuh ke depan Jihan. Sebelum Sandy bisa bangun, sebuah tamparan langsung mendarat di wajahnya.Kekuatan telapak tangan yang besar itu seketika membuat pipi
Tanpa menghiraukan luka akibat pisau di pergelangan tangannya, Sandy mengulurkan tangan dan meraih kaki celana Lilia. Sambil mengangkat kepalanya tinggi-tinggi, Sandy dengan penuh semangat menatap Lilia yang menjulang tinggi di atasnya."Cepat katakan padaku, apa yang sebenarnya terjadi?"Sekarang, Lilia begitu membenci Sandy. Melihatnya saja, sudah membuat Lilia merasa muak. Tanpa pikir panjang, Lilia langsung menendang Sandy pergi."Lantaran dirimu, dia hampir mati di taman malam ini!"Sandy merasa Lilia berbohong kepadanya. Namun, ketika melihat mata Lilia yang penuh amarah kepada dirinya, Sandy akhirnya merasa jika Lilia sepertinya tidak sedang berbohong."Apa dia baik-baik saja?"Sampai saat ini, Sandy masih menyukai Sara. Hanya saja, ego keinginannya jauh lebih besar dibanding rasa cintanya kepada Sara. Oleh karena itu, Sandy tetap merasa khawatir jika mendengar sesuatu terjadi pada Sara."Dia mau baik-baik saja atau nggak, semua itu nggak ada urusannya denganmu.Wajah Lilia yang
Jihan sudah siap secara mental. Akan tetapi, saat Sandy membuka mulutnya, Jihan masih terpaku di tempat seperti tersambar petir."Ivan mengalami depresi berat karena merindukan istrimu. Dia jatuh sakit karena memikirkannya."Sandy memperhatikan sosok yang tidak berani bergerak itu. Dia mengangkat alisnya dan tertawa terbahak-bahak."Jihan, kamu mewakili Sara untuk menghakimiku. Lantas siapa yang akan mewakili Ivan untuk menghakimimu?""Kamu merampas wanita yang paling dicintai Ivan dan hidup dalam damai. Sementara, Ivan hidup di neraka selamanya."Suara muram Sandy yang terdengar berturut-turut di belakangnya, membuat wajah Jihan perlahan-lahan menjadi memucat.Daris mungkin tidak mendengarnya. Jihan pun berbalik dan bergegas menghampiri Sandy. Dia memelintir kerah pakaian Sandy dan meninjunya hingga jatuh pingsan.Setelah melemparkan Sandy yang jatuh pingsan ke lantai seperti ayam, Daris pun mendekati Jihan dan menghiburnya dengan tenang."Pak Jihan, yang dikatakan Sandy itu nggak bis
Bagian rawat inap. Ruang rawat inap di lantai tujuh.Wina mengambil kapas, membasahinya dengan obat, dan mengusapkannya ke lengan Sara.Mungkin Wina terlalu berlebihan dalam mengerahkan tenaganya, sehingga membuat Sara mendesis kesakitan. Tangan Wina langsung berhenti bergerak. "Maafkan aku."Sara ingin mengatakan tidak apa-apa. Akan tetapi, Jefri yang duduk di sebelahnya tiba-tiba mengambil kapas dari tangan Wina dan berkata, "Biar aku saja yang melakukannya."Wina dan Sara sama-sama terkejut untuk sesaat. Namun, Jefri sama sekali tidak peduli. Dia mengambil kapas itu dan berkonsentrasi untuk membantu Sara mengoleskan obat.Jefri melakukannya dengan begitu lembut karena takut menyakiti Sara. Melihat Jefri seperti itu, Sara pun akhirnya angkat bicara dengan lembut, setelah sebelumnya merasa ragu-ragu selama beberapa saat."Tuan Muda Jefri, sudah ada Wina yang menemaniku di sini. Kamu bisa pulang duluan."Sara sudah berkali-kali mengatakan hal yang sama. Akan tetapi, Jefri menolak untuk
"Bukannya aku nggak percaya padamu, aku hanya merasa takut saja. Kalau kamu benar-benar berjanji untuk nggak selingkuh setelah menikah nanti, tunggulah beberapa saat sebelum kamu mengejar Sara. Jangan memaksanya sekarang."Mendengar hal tersebut, Jefri pun merasa agak terkejut dan mengangkat kepalanya."Kak Wina, bukankah kamu memanggilku untuk membujukku agar aku nggak lagi mendekati Sara?"Wajah Wina yang lembut menunjukkan senyuman yang tenang dan anggun."Aku memang masih mengatakan hal yang sama. Semuanya tergantung pada dirimu. Selama kamu memperlakukan Sara dengan tulus dan Sara juga bersedia untuk bersamamu, tentu saja aku juga nggak akan menghalangimu."Jefri tidak menyangka jika Wina akhirnya mau memahaminya. Bibir Jefri yang awalnya mengerucut, sekarang berganti menyunggingkan senyuman tipis."Terima kasih, Kak Wina."Wina tersenyum dan menggelengkan kepalanya."Masuklah dan temani dia. Aku akan mencari kakakmu. Aku nggak tahu ke mana dia pergi."Setelah berkata seperti itu,
Alta memberi tahu Wina jika Jihan pergi untuk mengurus sesuatu dan memintanya menunggu di rumah sakit sebentar.Wina memilih tempat duduk di pojokan dan duduk di sebelah Alta. Dia tidak memainkan ponselnya dan hanya duduk tenang begitu saja.Saat keluar dari lift, Jihan melihat sosok cantik yang tengah menunggunya di kejauhan. Langkah kaki Jihan pun perlahan berhenti.Wina merasa ada seseorang yang tengah memperhatikan dirinya. Dia pun tanpa sadar mengangkat kepalanya. Baru pada saat itulah Wina melihat Jihan sedang berdiri di kejauhan.Wina buru-buru berdiri dan berjalan menghampiri Jihan. Saat mendekat, barulah Wina menyadari jika ada yang tidak beres pada ekspresi wajah Jihan."Sayang, kamu kenapa?"Berhadapan dengan mata yang jernih itu, Jihan tidak berani untuk menatapnya barang sesaat saja. Oleh karena itu, Jihan pun langsung mengalihkan pandangannya dari Wina.Menyadari sikap Jihan yang tidak wajar, Wina langsung berjinjit dan menangkupkan kedua tangannya pada wajah yang tampan
Saat tiba di rumah sakit sambil membawa kotak penghangatnya, Wina melihat sekelompok anggota keluarga yang menghalangi pintu masuk.Para petugas rumah sakit menenangkan keluarga tersebut dan meminta mereka untuk tidak terlalu emosional.Akan tetapi, orang-orang itu tidak peduli. Mereka mengangkat spanduk tinggi-tinggi dan berteriak dengan sekuat tenaga."Dokter nggak bermoral, serahkan nyawamu!""Dokter nggak bermoral, serahkan nyawamu!"Wina mengira mereka melakukannya karena malapraktik yang menimpa orang lain. Namun, setelah melihat foto Sandy di spanduk tersebut, barulah Wina mengetahui jika seluruh anggota keluarga tersebut datang kemari karena Sandy.Wina merasa agak terkejut. Setelah melecehkan Sara semalam, Sandy langsung dilempar dari lantai paling atas Hotel Branco International dan tidak ada yang menggubrisnya. Lantas, kenapa tiba-tiba saja dia dituduh melakukan malapraktik?"Lihatlah beritanya, Nyonya."Saat Wina tengah merasa bingung, Alta menyerahkan ponselnya kepada Wina