"Bukannya aku nggak percaya padamu, aku hanya merasa takut saja. Kalau kamu benar-benar berjanji untuk nggak selingkuh setelah menikah nanti, tunggulah beberapa saat sebelum kamu mengejar Sara. Jangan memaksanya sekarang."Mendengar hal tersebut, Jefri pun merasa agak terkejut dan mengangkat kepalanya."Kak Wina, bukankah kamu memanggilku untuk membujukku agar aku nggak lagi mendekati Sara?"Wajah Wina yang lembut menunjukkan senyuman yang tenang dan anggun."Aku memang masih mengatakan hal yang sama. Semuanya tergantung pada dirimu. Selama kamu memperlakukan Sara dengan tulus dan Sara juga bersedia untuk bersamamu, tentu saja aku juga nggak akan menghalangimu."Jefri tidak menyangka jika Wina akhirnya mau memahaminya. Bibir Jefri yang awalnya mengerucut, sekarang berganti menyunggingkan senyuman tipis."Terima kasih, Kak Wina."Wina tersenyum dan menggelengkan kepalanya."Masuklah dan temani dia. Aku akan mencari kakakmu. Aku nggak tahu ke mana dia pergi."Setelah berkata seperti itu,
Alta memberi tahu Wina jika Jihan pergi untuk mengurus sesuatu dan memintanya menunggu di rumah sakit sebentar.Wina memilih tempat duduk di pojokan dan duduk di sebelah Alta. Dia tidak memainkan ponselnya dan hanya duduk tenang begitu saja.Saat keluar dari lift, Jihan melihat sosok cantik yang tengah menunggunya di kejauhan. Langkah kaki Jihan pun perlahan berhenti.Wina merasa ada seseorang yang tengah memperhatikan dirinya. Dia pun tanpa sadar mengangkat kepalanya. Baru pada saat itulah Wina melihat Jihan sedang berdiri di kejauhan.Wina buru-buru berdiri dan berjalan menghampiri Jihan. Saat mendekat, barulah Wina menyadari jika ada yang tidak beres pada ekspresi wajah Jihan."Sayang, kamu kenapa?"Berhadapan dengan mata yang jernih itu, Jihan tidak berani untuk menatapnya barang sesaat saja. Oleh karena itu, Jihan pun langsung mengalihkan pandangannya dari Wina.Menyadari sikap Jihan yang tidak wajar, Wina langsung berjinjit dan menangkupkan kedua tangannya pada wajah yang tampan
Saat tiba di rumah sakit sambil membawa kotak penghangatnya, Wina melihat sekelompok anggota keluarga yang menghalangi pintu masuk.Para petugas rumah sakit menenangkan keluarga tersebut dan meminta mereka untuk tidak terlalu emosional.Akan tetapi, orang-orang itu tidak peduli. Mereka mengangkat spanduk tinggi-tinggi dan berteriak dengan sekuat tenaga."Dokter nggak bermoral, serahkan nyawamu!""Dokter nggak bermoral, serahkan nyawamu!"Wina mengira mereka melakukannya karena malapraktik yang menimpa orang lain. Namun, setelah melihat foto Sandy di spanduk tersebut, barulah Wina mengetahui jika seluruh anggota keluarga tersebut datang kemari karena Sandy.Wina merasa agak terkejut. Setelah melecehkan Sara semalam, Sandy langsung dilempar dari lantai paling atas Hotel Branco International dan tidak ada yang menggubrisnya. Lantas, kenapa tiba-tiba saja dia dituduh melakukan malapraktik?"Lihatlah beritanya, Nyonya."Saat Wina tengah merasa bingung, Alta menyerahkan ponselnya kepada Wina
Ivan mengalami depresi berat.Sara mengetahuinya.Jihan juga mengetahuinya.Rona merah di wajah Wina sedikit demi sedikit mulai memudar. Tangannya yang putih polos terasa agak lemas dan dia berpegangan pada dinding."Nona Wina, depresi berat itu mematikan. Menurutmu, berapa lama lagi Ivan mampu untuk bertahan?"Sandy tidak melewatkan rasa terkejut dan terperangah yang muncul di mata Wina.Sandy sangat senang, Sara mengajaknya untuk menemui Ivan waktu itu. Jika tidak, Sandy tidak akan punya kesempatan untuk melancarkan serangan balik pada Jihan.Awalnya Sandy tidak ingin mengatakannya secara terang-terangan. Akan tetapi, Jihan memperlakukan dan menghukumnya seperti ini. Jadi, kenapa dia mesti membiarkan Jihan untuk bersenang-senang?Sandy hanya ingin menciptakan kesalahpahaman di antara Wina dan Jihan. Dia ingin memisahkan Wina dan Jihan, membuat Jihan mengalami depresi seperti Ivan, lalu menemui ajalnya.Memikirkan hal tersebut, Sandy pun mencibir dan melangkah maju."Nona Wina, Ivan m
Hati Wina langsung tercekat. Ketika dia ingin mengatakan sesuatu, sesosok hitam tiba-tiba bergegas mendekat dan menendang Sandy ke lantai.Kemudian, sosok hitam itu langsung menekan Sandy, mengangkat tinjunya dan menghantamkan tinjunya itu dengan sekuat tenaga ke wajah Sandy."Kamu sudah melecehkan Sara dan masih saja bicara omong kosong di depan Kak Wina. Kamu benar-benar sudah bosan hidup!"Jefri tidak pernah begitu membenci seseorang sampai dia berharap orang itu bisa mati.Jefri hampir tidak memberikan kesempatan pada Sandy untuk melawan. Dia memusatkan seluruh kekuatannya pada tinjunya dan menghantamkannya ke arah Sandy dengan kejam.Sandy sudah terluka akibat pisau. Selain itu, dia juga sudah dipukuli oleh anggota keluarga Pak Latief. Jadi, bagaimana mungkin dia bisa menahan pukulan Jefri?Tak lama kemudian, wajah Sandy menjadi lebam. Sudut mulutnya robek. Dia tidak selamat dari beberapa pukulan yang dilancarkan oleh Jefri, sehingga akhirnya memuntahkan darah.Mungkin karena taku
Setelah menyelesaikan urusan perusahaan, Jihan bergegas kembali ke Bundaran Blue Bay. Dia melihat Wina tengah duduk di ruang tamu dengan kepala menunduk, seolah sedang memikirkan sesuatu.Jihan melepas jaketnya dan menyerahkannya kepada pelayan. Sambil melepaskan ikatan dasinya dengan satu tangan, Jihan pun berjalan menghampiri Wina."Sayang, kenapa kamu nggak menyelesaikan gambar desainmu hari ini?"Biasanya, saat Jihan kembali pada jam-jam sekarang ini, Wina masih berada di ruang kerjanya. Namun, hari ini Wina malah sedang duduk di ruang tamu dalam keadaan bengong. Tentu saja hal ini cukup aneh.Mendengar suara dingin Jihan yang bercampur dengan kelembutan, Wina pun perlahan-lahan mengangkat dagunya yang terkulai itu."Tanganku agak lelah. Jadi, aku nggak buru-buru untuk menggambar."Mendengar hal tersebut, Jihan bahkan tidak jadi melepaskan dasinya. Dia meraih tangan Wina dan membantunya memijat pergelangan tangannya dengan hati-hati."Kalau kamu nggak ingin menyelesaikan proyek yan
Meskipun Jihan tahu jika yang dikatakan Wina itu hanyalah kemarahan belaka, tetap saja dia tidak mampu menahan rasa sakit di dalam hatinya.Wina pelan-pelan mengganti sepatunya dan pergi mengambil pakaian. Jihan bahkan tidak datang untuk menghampirinya. Wina pun menggertakkan giginya dan langsung berjalan keluar.Saat pintu ditutup, Jihan langsung ambruk di atas sofa. Pelipisnya terasa begitu sakit hingga dia tidak bisa bangun untuk mengejar Wina.Jihan memiringkan kepalanya. Melalui jendela yang menjulang sampai ke langit-langit, dia melihat keluar rumah besar itu. Sosok mungil itu menjauh darinya. Entah kenapa, Jihan merasa sangat sedih.Setelah meninggalkan Bundaran Blue Bay, Wina tidak pergi ke mana-mana. Dia hanya mencari tempat yang teduh dan duduk di atas sebuah tunggul pohon, sambil mencerna kemarahan di dalam hatinya.Wina tidak tahu sudah berapa lama dia duduk di sana, sampai dia melihat mobil Jihan melewatinya dengan cepat. Baru pada saat itulah Wina mengangkat kepalanya.Mo
"Kalau kamu ikut pergi, apakah kamu akan …!"Wina merasa agak ragu-ragu. Dia takut penyakit Ivan akan makin memburuk jika Ivan melihat Jihan."Mau nggak mau, kamu harus membawaku bersamamu."Pria yang memeluknya tersebut menunjukkan sedikit kecemburuan yang tersembunyi di matanya yang dingin tersebut."Aku nggak memandangnya seperti itu."Hati Wina terasa hangat. Dia mengulurkan tangan dan mencubit wajah yang begitu tampan itu."Sayang, kamu baik sekali."Suaminya itu terlihat kuat. Namun, sebenarnya dia rela mengalah dalam segala hal untuk Wina.Wina menatap Jihan dengan penuh cinta. Hal itu entah kenapa membuat Jihan merasa aman.Jihan mengangkat tangannya dan meraih tangan yang sedang meraba-raba dan meremas wajahnya itu."Nggak apa-apa kalau kamu memutuskan untuk merawatnya. Tapi …!"Jihan mengangkat dagu Wina. Tatapan yang kuat dan mendominasi muncul di matanya."Malamnya kamu harus kembali kepadaku!"Jihan bisa mengizinkan Wina merawat Ivan di siang hari, tetapi tidak di malam ha