Tanpa menghiraukan luka akibat pisau di pergelangan tangannya, Sandy mengulurkan tangan dan meraih kaki celana Lilia. Sambil mengangkat kepalanya tinggi-tinggi, Sandy dengan penuh semangat menatap Lilia yang menjulang tinggi di atasnya."Cepat katakan padaku, apa yang sebenarnya terjadi?"Sekarang, Lilia begitu membenci Sandy. Melihatnya saja, sudah membuat Lilia merasa muak. Tanpa pikir panjang, Lilia langsung menendang Sandy pergi."Lantaran dirimu, dia hampir mati di taman malam ini!"Sandy merasa Lilia berbohong kepadanya. Namun, ketika melihat mata Lilia yang penuh amarah kepada dirinya, Sandy akhirnya merasa jika Lilia sepertinya tidak sedang berbohong."Apa dia baik-baik saja?"Sampai saat ini, Sandy masih menyukai Sara. Hanya saja, ego keinginannya jauh lebih besar dibanding rasa cintanya kepada Sara. Oleh karena itu, Sandy tetap merasa khawatir jika mendengar sesuatu terjadi pada Sara."Dia mau baik-baik saja atau nggak, semua itu nggak ada urusannya denganmu.Wajah Lilia yang
Jihan sudah siap secara mental. Akan tetapi, saat Sandy membuka mulutnya, Jihan masih terpaku di tempat seperti tersambar petir."Ivan mengalami depresi berat karena merindukan istrimu. Dia jatuh sakit karena memikirkannya."Sandy memperhatikan sosok yang tidak berani bergerak itu. Dia mengangkat alisnya dan tertawa terbahak-bahak."Jihan, kamu mewakili Sara untuk menghakimiku. Lantas siapa yang akan mewakili Ivan untuk menghakimimu?""Kamu merampas wanita yang paling dicintai Ivan dan hidup dalam damai. Sementara, Ivan hidup di neraka selamanya."Suara muram Sandy yang terdengar berturut-turut di belakangnya, membuat wajah Jihan perlahan-lahan menjadi memucat.Daris mungkin tidak mendengarnya. Jihan pun berbalik dan bergegas menghampiri Sandy. Dia memelintir kerah pakaian Sandy dan meninjunya hingga jatuh pingsan.Setelah melemparkan Sandy yang jatuh pingsan ke lantai seperti ayam, Daris pun mendekati Jihan dan menghiburnya dengan tenang."Pak Jihan, yang dikatakan Sandy itu nggak bis
Bagian rawat inap. Ruang rawat inap di lantai tujuh.Wina mengambil kapas, membasahinya dengan obat, dan mengusapkannya ke lengan Sara.Mungkin Wina terlalu berlebihan dalam mengerahkan tenaganya, sehingga membuat Sara mendesis kesakitan. Tangan Wina langsung berhenti bergerak. "Maafkan aku."Sara ingin mengatakan tidak apa-apa. Akan tetapi, Jefri yang duduk di sebelahnya tiba-tiba mengambil kapas dari tangan Wina dan berkata, "Biar aku saja yang melakukannya."Wina dan Sara sama-sama terkejut untuk sesaat. Namun, Jefri sama sekali tidak peduli. Dia mengambil kapas itu dan berkonsentrasi untuk membantu Sara mengoleskan obat.Jefri melakukannya dengan begitu lembut karena takut menyakiti Sara. Melihat Jefri seperti itu, Sara pun akhirnya angkat bicara dengan lembut, setelah sebelumnya merasa ragu-ragu selama beberapa saat."Tuan Muda Jefri, sudah ada Wina yang menemaniku di sini. Kamu bisa pulang duluan."Sara sudah berkali-kali mengatakan hal yang sama. Akan tetapi, Jefri menolak untuk
"Bukannya aku nggak percaya padamu, aku hanya merasa takut saja. Kalau kamu benar-benar berjanji untuk nggak selingkuh setelah menikah nanti, tunggulah beberapa saat sebelum kamu mengejar Sara. Jangan memaksanya sekarang."Mendengar hal tersebut, Jefri pun merasa agak terkejut dan mengangkat kepalanya."Kak Wina, bukankah kamu memanggilku untuk membujukku agar aku nggak lagi mendekati Sara?"Wajah Wina yang lembut menunjukkan senyuman yang tenang dan anggun."Aku memang masih mengatakan hal yang sama. Semuanya tergantung pada dirimu. Selama kamu memperlakukan Sara dengan tulus dan Sara juga bersedia untuk bersamamu, tentu saja aku juga nggak akan menghalangimu."Jefri tidak menyangka jika Wina akhirnya mau memahaminya. Bibir Jefri yang awalnya mengerucut, sekarang berganti menyunggingkan senyuman tipis."Terima kasih, Kak Wina."Wina tersenyum dan menggelengkan kepalanya."Masuklah dan temani dia. Aku akan mencari kakakmu. Aku nggak tahu ke mana dia pergi."Setelah berkata seperti itu,
Alta memberi tahu Wina jika Jihan pergi untuk mengurus sesuatu dan memintanya menunggu di rumah sakit sebentar.Wina memilih tempat duduk di pojokan dan duduk di sebelah Alta. Dia tidak memainkan ponselnya dan hanya duduk tenang begitu saja.Saat keluar dari lift, Jihan melihat sosok cantik yang tengah menunggunya di kejauhan. Langkah kaki Jihan pun perlahan berhenti.Wina merasa ada seseorang yang tengah memperhatikan dirinya. Dia pun tanpa sadar mengangkat kepalanya. Baru pada saat itulah Wina melihat Jihan sedang berdiri di kejauhan.Wina buru-buru berdiri dan berjalan menghampiri Jihan. Saat mendekat, barulah Wina menyadari jika ada yang tidak beres pada ekspresi wajah Jihan."Sayang, kamu kenapa?"Berhadapan dengan mata yang jernih itu, Jihan tidak berani untuk menatapnya barang sesaat saja. Oleh karena itu, Jihan pun langsung mengalihkan pandangannya dari Wina.Menyadari sikap Jihan yang tidak wajar, Wina langsung berjinjit dan menangkupkan kedua tangannya pada wajah yang tampan
Saat tiba di rumah sakit sambil membawa kotak penghangatnya, Wina melihat sekelompok anggota keluarga yang menghalangi pintu masuk.Para petugas rumah sakit menenangkan keluarga tersebut dan meminta mereka untuk tidak terlalu emosional.Akan tetapi, orang-orang itu tidak peduli. Mereka mengangkat spanduk tinggi-tinggi dan berteriak dengan sekuat tenaga."Dokter nggak bermoral, serahkan nyawamu!""Dokter nggak bermoral, serahkan nyawamu!"Wina mengira mereka melakukannya karena malapraktik yang menimpa orang lain. Namun, setelah melihat foto Sandy di spanduk tersebut, barulah Wina mengetahui jika seluruh anggota keluarga tersebut datang kemari karena Sandy.Wina merasa agak terkejut. Setelah melecehkan Sara semalam, Sandy langsung dilempar dari lantai paling atas Hotel Branco International dan tidak ada yang menggubrisnya. Lantas, kenapa tiba-tiba saja dia dituduh melakukan malapraktik?"Lihatlah beritanya, Nyonya."Saat Wina tengah merasa bingung, Alta menyerahkan ponselnya kepada Wina
Ivan mengalami depresi berat.Sara mengetahuinya.Jihan juga mengetahuinya.Rona merah di wajah Wina sedikit demi sedikit mulai memudar. Tangannya yang putih polos terasa agak lemas dan dia berpegangan pada dinding."Nona Wina, depresi berat itu mematikan. Menurutmu, berapa lama lagi Ivan mampu untuk bertahan?"Sandy tidak melewatkan rasa terkejut dan terperangah yang muncul di mata Wina.Sandy sangat senang, Sara mengajaknya untuk menemui Ivan waktu itu. Jika tidak, Sandy tidak akan punya kesempatan untuk melancarkan serangan balik pada Jihan.Awalnya Sandy tidak ingin mengatakannya secara terang-terangan. Akan tetapi, Jihan memperlakukan dan menghukumnya seperti ini. Jadi, kenapa dia mesti membiarkan Jihan untuk bersenang-senang?Sandy hanya ingin menciptakan kesalahpahaman di antara Wina dan Jihan. Dia ingin memisahkan Wina dan Jihan, membuat Jihan mengalami depresi seperti Ivan, lalu menemui ajalnya.Memikirkan hal tersebut, Sandy pun mencibir dan melangkah maju."Nona Wina, Ivan m
Hati Wina langsung tercekat. Ketika dia ingin mengatakan sesuatu, sesosok hitam tiba-tiba bergegas mendekat dan menendang Sandy ke lantai.Kemudian, sosok hitam itu langsung menekan Sandy, mengangkat tinjunya dan menghantamkan tinjunya itu dengan sekuat tenaga ke wajah Sandy."Kamu sudah melecehkan Sara dan masih saja bicara omong kosong di depan Kak Wina. Kamu benar-benar sudah bosan hidup!"Jefri tidak pernah begitu membenci seseorang sampai dia berharap orang itu bisa mati.Jefri hampir tidak memberikan kesempatan pada Sandy untuk melawan. Dia memusatkan seluruh kekuatannya pada tinjunya dan menghantamkannya ke arah Sandy dengan kejam.Sandy sudah terluka akibat pisau. Selain itu, dia juga sudah dipukuli oleh anggota keluarga Pak Latief. Jadi, bagaimana mungkin dia bisa menahan pukulan Jefri?Tak lama kemudian, wajah Sandy menjadi lebam. Sudut mulutnya robek. Dia tidak selamat dari beberapa pukulan yang dilancarkan oleh Jefri, sehingga akhirnya memuntahkan darah.Mungkin karena taku