Investigasi terhadap Sandy sudah dekat, tetapi pernikahan Daris dan Dokter Dinda juga harus tetap sesuai jadwal.Ini adalah pernikahan tangan kanan Jihan, jadi mobil-mobil mewah pun berderet di depan Hotel Arya.Bukan hanya tokoh-tokoh terkemuka di Kota Aster saja yang datang, tetapi juga orang-orang dari Kota Ostia yang memiliki urusan bisnis dengan Keluarga Lionel.Daris memesan seluruh hotel sehingga tamu baik dengan dan tanpa undangan dapat duduk.Daris lahir dari ibu tiri Yuno. Jadi, tentu saja perwakilan Keluarga Safwan adalah Yuno.Dia memasuki hotel tanpa banyak bicara. Begitu melihat Lilia, Yuno langsung mencegatnya di ujung koridor.Yuno mengenakan setelan jas berwarna hitam, pembawaanya terkesan elegan dan ekspresinya terlihat dingin. Seulas senyuman kecil tersungging di bibirnya."Kamu berani juga ya menggugatku kayak gitu. Pihak pengadilan sudah meneleponku."Yuno hendak menyentuh pipi Lilia, tetapi Lilia segera menghindar."Proses hukumnya sudah mau dimulai, tapi kamu mas
Wina berjalan memasuki aula pesta sambil menggandeng lengan Jihan dan kebetulan mereka bertemu dengan Yuno yang keluar dari aula.Kedua pihak pun menghentikan langkah masing-masing. Yuno menatap Jihan dan Wina di hadapannya, lalu tertawa kecil."Lama nggak ketemu, Nona Wina."Yuno sengaja tidak mengacuhkan Jihan dan hanya menyapa Wina. Sorot tatapannya terlihat jelas merendahkan dan menghina.Wina tidak menjawab. Dia mengajak Jihan pergi berputar arah, tetapi Yuno malah tertawa terbahak-bahak."Nona Wina, kayaknya wajahmu waktu kita terakhir kali ketemu nggak secerah sekarang. Sepertinya rumah tanggamu berjalan bahagia."Wina mulai merasa kesal dengan Yuno yang terlalu banyak bicara."Mau hidupku bahagia atau nggak itu bukan urusan Dokter Yuno."Yuno balas tersenyum dengan sinis."Memang bukan urusanku. Aku cuma kebetulan tahu kalau kebahagiaanmu itu berkat pengorbanan seseorang."Tangan Wina yang menggandeng Jihan pun sontak menegang.Jihan juga bisa merasakannya. Dia ragu sesaat, lal
Seseorang pun secara kebetulan berjalan melewati mereka. Orang itu refleks menatap Wina dan Jihan dengan wajah yang merona merah, sepertinya dia mendengar ucapan Jihan. Wajah Wina sontak menjadi merah padam lagi. "Aduh, kamu ini! Ssst! Sudah, diam!""Kamu 'kan dulu bukan tipe yang suka bicara?" tegur Wina sambil membungkam mulut Jihan. "Kenapa sekarang jadi cerewet?"Jihan membuka mulutnya hendak menjawab, tetapi Wina kembali membungkamnya. "Sudah, diam! Tutup mulutmu!"Di saat mereka berdua sedang berdebat, Daris pun menyambut pengantin wanita untuk masuk ke aula. Semua hadirin langsung duduk.Si pembawa acara naik ke atas panggung dan mengucapkan selamat atas pernikahan kedua mempelai, lalu mempersilakan kedua mempelai naik ke atas panggung.Cahaya ruangan menyinari pengantin wanita dan membuat Dokter Dinda tampak secantik peri yang turun ke bumi.Dia berdiri di ujung lain karpet merah, tersenyum begitu anggun sambil menunggu pengantin pria yang tampan menjemputnya ....Daris mengena
Saat Sandy yang duduk di meja bulat melihat Sara datang, dia langsung berdiri dan melambai memanggilnya. "Di sini, Sara."Begitu melihat sosok orang yang terkesan sangat bermartabat, Sara sontak merasa enggan dan ingin mundur. Namun, karena sudah terlanjur ada di sini, Sara pun bertekad menghadapi apa pun yang terjadi.Sara mengepalkan tangannya dan berjalan menghampiri Sandy. Barulah pada saat itu dia melihat kedua orang tua Sandy yang duduk di belakang.Ayahnya Sandy mengenakan setelan jas dengan dasi hitam, sosoknya tampak berwibawa dengan tubuh yang kekar dan tegap.Sedangkan ibunya Sandy terlihat bermartabat anggun, lembut, pendiam dan baik hati.Mereka saling tersenyum menyapa Sara, "Nona Sara, silakan duduk."Keluarga Sandy cukup ramah. Mereka mempersilakan Sara untuk duduk dan memesan apa pun yang ingin dia makan, sementara Sandy memanggil pelayan.Sikap ramah ketiga orang itu membuat Sara perlahan rileks. Setelah selesai memesan, Sara meminta mereka untuk santai saja dengannya
Mungkin wanita lain tidak menyadari maksud tersirat dalam pertanyaan Nela, tetapi berbeda dengan Sara. Dia menjawab, "Aku nggak punya tujuan tertentu, aku cuma mau mendapatkan pengakuan di Kota Aster yang setiap inci lahannya begitu berharga. Untuk mendapatkan pengakuan, aku harus punya uang. Aku nggak terlibat dalam bisnis ilegal atau semacamnya kok. Aku akhirnya bisa menabung untuk beli apartemen karena aku hidup hemat dan juga menemani para pelanggan minum. Awalnya aku sudah merasa puas, tapi kemudian aku ditindas oleh orang kaya dan berkuasa. Saat itulah aku menyadari bahwa pekerjaan yang stabil nggak bisa memberiku apa-apa."Penjelasan Sara langsung melenyapkan dugaan Nela semula tentang bagaimana Sara menjual dirinya untuk mendapatkan hidup yang lebih baik. Dia pun menjawab, "Ah, aku paham. Ternyata hidupmu mirip dengan Bibi. Tapi, Bibi lebih beruntung karena punya nilai yang bagus di sekolah, jadi bisa sekolah di luar negeri dan kuliah. Bibi baru bisa mandiri berkat tingkat pend
Setelah mengetahui masa lalu Sara, Nela berkata sambil tersenyum, "Nona Sara, memang beginilah sifat Bibi. Bibi terlalu mikirin Sandy. Bagaimanapun juga, dia itu seorang kutu buku yang cuma tahunya belajar. Dia nggak paham dunia luar atau cara mengejar perempuan. Harap maklum kalau Bibi sebagai ibunya merasa khawatir."Sara sendiri tidak punya orang tua, jadi apa yang dia pahami? Sara mulai merasa gelisah, jadi dia sengaja mencari alasan untuk pergi ke kamar mandi sambil tersenyum. "Paman, Bibi, aku ke kamar mandi dulu, ya. Kalian makan saja dulu."Begitu Sara pergi, Nela yang sedari tadi tersenyum pun langsung berubah sikap. "Sandy, ucapannya mungkin terdengar cukup meyakinkan, tapi Ibu nggak yakin orang yang berkecimpung di dunia hiburan itu bersih."Sementara itu, seorang pria yang mengenakan jam mahal bermerek Cartier duduk bersandar di sofa dengan kepala yang sedikit dimiringkan. Rambut hitamnya tergerai, matanya menatap kaca yang diterangi oleh lampu dengan tajam.Pria itu adalah
Sara sebenarnya hanya sekadar mencari alasan untuk bisa menjauh sebentar. Dia mencuci tangannya berulang kali sebelum akhirnya berjalan keluar dari kamar mandi. Karena restoran itu cukup luas, jadi si pelayan mengajaknya berputar-putar sesaat sebelum akhirnya tiba kembali di tempat duduknya yang semula.Sara mengira Nela akan terus menanyainya, tetapi dugaannya ternyata salah. Nela malah menggenggam tangan Sara sambil berkata dengan prihatin, "Nak, hidupmu dulu memang penuh dengan penderitaan, tapi mulai sekarang kamu nggak perlu khawatir lagi. Setelah menikah dengan Sandy, kamu tinggal jalani kehidupan yang enak selamanya."Sara ingin menarik tangannya karena merasa agak jengah, tetapi ekspresi Nela yang penuh iba membuatnya menahan diri. Sara pun menjawab, "Bibi, aku nggak akan membuang karierku sekalipun sudah menikah dengan Kak Sandy."Nela juga tidak menentang keputusan tegas Sara yang menolak menjadi ibu rumah tangga biasa, dia malah balas mendukung Sara, "Tentu saja. Kamu sendir
Jefri mengambil segelas anggur merah dan menyesapnya. "Kalau kamu terlalu ikut campur, kamu juga yang bakal disalahkan. Biarkan saja.""Rekaman ini bukti bahwa aku nggak asal bicara," bantah Artha sambil memainkan ponselnya."Apalah arti rekaman itu?" sahut Jefri dengan nada datar. "Sandy 'kan tetap bisa dianggap membela Sara karena sudah membantah ibunya."Artha balas memutar bola matanya. "Apa gunanya juga dia membantah? Tetap saja dia mengizinkan ibunya menginterogasi Nona Sara. Mana ternyata dia ditunggu oleh seorang wanita di luar negeri sana! Lagian, dari nada bicaranya, menurutku Sandy sebenarnya nggak begitu mencintai Nona Sara. Aku nggak mau menyerah begitu saja. Isi rekaman ini sudah cukup untuk membongkar sifat Sandy yang sebenarnya kepada Nona Sara, jadi kenapa kamu malah melewatkan kesempatan sebagus ini?"Jefri menggoyang-goyangkan gelas anggurnya dengan santai sambil berkata, "Sandy itu pandai bicara, dia bisa mengubah hitam jadi putih. Sandy pasti akan membantah rekaman