Wina berjalan memasuki aula pesta sambil menggandeng lengan Jihan dan kebetulan mereka bertemu dengan Yuno yang keluar dari aula.Kedua pihak pun menghentikan langkah masing-masing. Yuno menatap Jihan dan Wina di hadapannya, lalu tertawa kecil."Lama nggak ketemu, Nona Wina."Yuno sengaja tidak mengacuhkan Jihan dan hanya menyapa Wina. Sorot tatapannya terlihat jelas merendahkan dan menghina.Wina tidak menjawab. Dia mengajak Jihan pergi berputar arah, tetapi Yuno malah tertawa terbahak-bahak."Nona Wina, kayaknya wajahmu waktu kita terakhir kali ketemu nggak secerah sekarang. Sepertinya rumah tanggamu berjalan bahagia."Wina mulai merasa kesal dengan Yuno yang terlalu banyak bicara."Mau hidupku bahagia atau nggak itu bukan urusan Dokter Yuno."Yuno balas tersenyum dengan sinis."Memang bukan urusanku. Aku cuma kebetulan tahu kalau kebahagiaanmu itu berkat pengorbanan seseorang."Tangan Wina yang menggandeng Jihan pun sontak menegang.Jihan juga bisa merasakannya. Dia ragu sesaat, lal
Seseorang pun secara kebetulan berjalan melewati mereka. Orang itu refleks menatap Wina dan Jihan dengan wajah yang merona merah, sepertinya dia mendengar ucapan Jihan. Wajah Wina sontak menjadi merah padam lagi. "Aduh, kamu ini! Ssst! Sudah, diam!""Kamu 'kan dulu bukan tipe yang suka bicara?" tegur Wina sambil membungkam mulut Jihan. "Kenapa sekarang jadi cerewet?"Jihan membuka mulutnya hendak menjawab, tetapi Wina kembali membungkamnya. "Sudah, diam! Tutup mulutmu!"Di saat mereka berdua sedang berdebat, Daris pun menyambut pengantin wanita untuk masuk ke aula. Semua hadirin langsung duduk.Si pembawa acara naik ke atas panggung dan mengucapkan selamat atas pernikahan kedua mempelai, lalu mempersilakan kedua mempelai naik ke atas panggung.Cahaya ruangan menyinari pengantin wanita dan membuat Dokter Dinda tampak secantik peri yang turun ke bumi.Dia berdiri di ujung lain karpet merah, tersenyum begitu anggun sambil menunggu pengantin pria yang tampan menjemputnya ....Daris mengena
Saat Sandy yang duduk di meja bulat melihat Sara datang, dia langsung berdiri dan melambai memanggilnya. "Di sini, Sara."Begitu melihat sosok orang yang terkesan sangat bermartabat, Sara sontak merasa enggan dan ingin mundur. Namun, karena sudah terlanjur ada di sini, Sara pun bertekad menghadapi apa pun yang terjadi.Sara mengepalkan tangannya dan berjalan menghampiri Sandy. Barulah pada saat itu dia melihat kedua orang tua Sandy yang duduk di belakang.Ayahnya Sandy mengenakan setelan jas dengan dasi hitam, sosoknya tampak berwibawa dengan tubuh yang kekar dan tegap.Sedangkan ibunya Sandy terlihat bermartabat anggun, lembut, pendiam dan baik hati.Mereka saling tersenyum menyapa Sara, "Nona Sara, silakan duduk."Keluarga Sandy cukup ramah. Mereka mempersilakan Sara untuk duduk dan memesan apa pun yang ingin dia makan, sementara Sandy memanggil pelayan.Sikap ramah ketiga orang itu membuat Sara perlahan rileks. Setelah selesai memesan, Sara meminta mereka untuk santai saja dengannya
Mungkin wanita lain tidak menyadari maksud tersirat dalam pertanyaan Nela, tetapi berbeda dengan Sara. Dia menjawab, "Aku nggak punya tujuan tertentu, aku cuma mau mendapatkan pengakuan di Kota Aster yang setiap inci lahannya begitu berharga. Untuk mendapatkan pengakuan, aku harus punya uang. Aku nggak terlibat dalam bisnis ilegal atau semacamnya kok. Aku akhirnya bisa menabung untuk beli apartemen karena aku hidup hemat dan juga menemani para pelanggan minum. Awalnya aku sudah merasa puas, tapi kemudian aku ditindas oleh orang kaya dan berkuasa. Saat itulah aku menyadari bahwa pekerjaan yang stabil nggak bisa memberiku apa-apa."Penjelasan Sara langsung melenyapkan dugaan Nela semula tentang bagaimana Sara menjual dirinya untuk mendapatkan hidup yang lebih baik. Dia pun menjawab, "Ah, aku paham. Ternyata hidupmu mirip dengan Bibi. Tapi, Bibi lebih beruntung karena punya nilai yang bagus di sekolah, jadi bisa sekolah di luar negeri dan kuliah. Bibi baru bisa mandiri berkat tingkat pend
Setelah mengetahui masa lalu Sara, Nela berkata sambil tersenyum, "Nona Sara, memang beginilah sifat Bibi. Bibi terlalu mikirin Sandy. Bagaimanapun juga, dia itu seorang kutu buku yang cuma tahunya belajar. Dia nggak paham dunia luar atau cara mengejar perempuan. Harap maklum kalau Bibi sebagai ibunya merasa khawatir."Sara sendiri tidak punya orang tua, jadi apa yang dia pahami? Sara mulai merasa gelisah, jadi dia sengaja mencari alasan untuk pergi ke kamar mandi sambil tersenyum. "Paman, Bibi, aku ke kamar mandi dulu, ya. Kalian makan saja dulu."Begitu Sara pergi, Nela yang sedari tadi tersenyum pun langsung berubah sikap. "Sandy, ucapannya mungkin terdengar cukup meyakinkan, tapi Ibu nggak yakin orang yang berkecimpung di dunia hiburan itu bersih."Sementara itu, seorang pria yang mengenakan jam mahal bermerek Cartier duduk bersandar di sofa dengan kepala yang sedikit dimiringkan. Rambut hitamnya tergerai, matanya menatap kaca yang diterangi oleh lampu dengan tajam.Pria itu adalah
Sara sebenarnya hanya sekadar mencari alasan untuk bisa menjauh sebentar. Dia mencuci tangannya berulang kali sebelum akhirnya berjalan keluar dari kamar mandi. Karena restoran itu cukup luas, jadi si pelayan mengajaknya berputar-putar sesaat sebelum akhirnya tiba kembali di tempat duduknya yang semula.Sara mengira Nela akan terus menanyainya, tetapi dugaannya ternyata salah. Nela malah menggenggam tangan Sara sambil berkata dengan prihatin, "Nak, hidupmu dulu memang penuh dengan penderitaan, tapi mulai sekarang kamu nggak perlu khawatir lagi. Setelah menikah dengan Sandy, kamu tinggal jalani kehidupan yang enak selamanya."Sara ingin menarik tangannya karena merasa agak jengah, tetapi ekspresi Nela yang penuh iba membuatnya menahan diri. Sara pun menjawab, "Bibi, aku nggak akan membuang karierku sekalipun sudah menikah dengan Kak Sandy."Nela juga tidak menentang keputusan tegas Sara yang menolak menjadi ibu rumah tangga biasa, dia malah balas mendukung Sara, "Tentu saja. Kamu sendir
Jefri mengambil segelas anggur merah dan menyesapnya. "Kalau kamu terlalu ikut campur, kamu juga yang bakal disalahkan. Biarkan saja.""Rekaman ini bukti bahwa aku nggak asal bicara," bantah Artha sambil memainkan ponselnya."Apalah arti rekaman itu?" sahut Jefri dengan nada datar. "Sandy 'kan tetap bisa dianggap membela Sara karena sudah membantah ibunya."Artha balas memutar bola matanya. "Apa gunanya juga dia membantah? Tetap saja dia mengizinkan ibunya menginterogasi Nona Sara. Mana ternyata dia ditunggu oleh seorang wanita di luar negeri sana! Lagian, dari nada bicaranya, menurutku Sandy sebenarnya nggak begitu mencintai Nona Sara. Aku nggak mau menyerah begitu saja. Isi rekaman ini sudah cukup untuk membongkar sifat Sandy yang sebenarnya kepada Nona Sara, jadi kenapa kamu malah melewatkan kesempatan sebagus ini?"Jefri menggoyang-goyangkan gelas anggurnya dengan santai sambil berkata, "Sandy itu pandai bicara, dia bisa mengubah hitam jadi putih. Sandy pasti akan membantah rekaman
Jefri yang dulu pasti akan merasa senang melihat wanita dengan kulit seputih dan sebersinar Nara, tetapi Jefri yang sekarang terlihat biasa saja. Dia balas menyambut uluran tangan Nara dengan cuek. "Nggak masalah, silakan duduk."Nara merasa penasaran dengan sikap Jefri yang berbeda sekali dari rumor yang berbeda. "Pak Jefri, tempat formal seperti restoran ini nggak cocok untuk diskusi soal kerja sama. Lebih baik kita pindah saja ke klub atau semacamnya .... "Jefri menunjuk ke kursi roda di sampingnya. "Aku terluka, aku harus pakai kursi roda. Aku cuma bakal jadi bahan tertawaan kalau ke klub kayak gini. Lagian, nggak usah juga pergi ke tempat seperti itu demi tanda tangan kontrak...."Nara sontak tertegun. Pihak perusahaan memang menyuruhnya ke sini untuk merayu Jefri dengan kecantikannya, mereka berniat mengambil keuntungan dari Grup Lionel. Ternyata buaya darat yang tersohor itu malah menolak usulan Nara. Nara merasa agak tidak percaya.Nara menatap Jefri selama beberapa saat, lalu
Lama sekali Jodie hanya tertegun setelah menerima berita kematian Wina, tetapi akhirnya bergegas dan mengantar kepergian Wina ke tempat peristirahatan terakhirnya. Setelah semua orang meninggalkan pemakaman, Jodie mengelus batu nisan Wina dengan penuh rindu."Wina."Jodie perlahan berjongkok sambil bertopang pada batu nisan Wina dan menatap wajah Wina dalam foto dengan matanya yang sudah menua ...."Nggak disangka, ya?""Ternyata begitu aku jatuh cinta, rasa cintaku bisa bertahan selama ini," gumam Jodie sambil mengangkat alisnya. "Aku saja nggak tahu kalau aku ternyata tipe orang yang sepenyayang ini."Jodie menatap foto itu dan tersenyum. "Sampai-sampai ... aku merasa nggak ada satu wanita lain pun yang menarik perhatianku. Tuh Wina, aku nggak kalah dari Jihan, 'kan?"Namun, yang menjawab Jodie adalah bunyi kepak sayap burung yang terbang di pemakaman. Setelah semua binatang itu pergi, yang tersisa hanyalah keheningan. Sama heningnya seperti rasa cinta yang selama ini Jodie pendam da
Sebelum kehidupan Wina berakhir, yang terlintas di benaknya adalah rasa cinta yang Jihan sembunyikan selama lima tahun itu ....Saat membalikkan tubuhnya dan bangun, Wina bisa melihat tubuhnya dipeluk dengan erat oleh sepasang lengan yang kuat dan bertenaga. Jika itu bukan cinta, lantas apa ....Wina juga bisa melihat suasana makan di akhir pekan itu dengan jelas. Jihan yang duduk di depannya sesekali melirik Wina melalui ekor matanya. Jika itu bukan karena Jihan sudah lama menyukainya waktu, lantas apa ....Apalagi setelah Jihan selesai melakukannya. Dia akan menggendong dan membiarkan Wina berbaring tengkurap, lalu mengusap-usap punggung Wina untuk menidurkannya seperti anak kecil ....Rasa cinta Jihan terwujud dalam hal-hal kecil. Mungkin sekilas tidak terlihat jelas cinta macam apa itu dan hanya Jihan sendiri yang tahu betapa dia menyayangi dan mencintai Wina ....Mata Wina tidak bisa lagi terbuka, rasanya jiwanya tersedot keluar. Dia tidak punya tenaga lagi untuk bangkit, dia juga
Wina mengelus bagian belakang kepala Delwyn, ekspresinya terlihat sangat tenang seolah-olah dia sudah berdamai dengan kenyataan. "Kapan kamu akan menikah?"Tubuh Delwyn sontak menegang, air mata menggenangi pelupuk matanya. Dia pun perlahan menengadah dan melepaskan Wina. "Ibu ... aku ... aku belum bertemu dengan gadis yang kusuka."Wina bisa melihat pantulan dirinya dari bola mata Delwyn, jadi dia menyentuh wajah putranya. "Kamu lihat sendiri betapa menderitanya ibumu tetap bertahan hidup. Masa kamu nggak mau membiarkan Ibu menyusul ayahmu?"Sewaktu kecil Delwyn dikekang oleh orang tuanya, tetapi sekarang setelah besar, giliran dia yang mengekang orang tuanya. Karena hanya pengekangan ini saja yang bisa mencegah Delwyn menjadi yatim piatu. Jadi ... biarkan Delwyn menjadi egois untuk kali ini saja ....Delwyn meraih lengan Wina dan memohon, "Ibu, tolong tunggu sebentar lagi. Aku akan menemukan gadis yang kusuka dan menikahinya, oke?"Wina tidak tega menyakiti hati putranya, jadi dia me
Demi putranya, Wina sama sekali tidak mengikuti Jihan. Namun, rambut Wina mendadak beruban dalam satu malam dan wajahnya seolah menua sepuluh tahun. Kerutannya sontak tampak lebih kentara, tatapan matanya selalu terlihat kosong.Di depan makam Jihan, Wina meminta Jihan untuk menunggunya. Sekarang Wina sudah punya anak, jadi dia tidak bisa melakukan sesuatu dengan asal. Nanti setelah putra mereka menikah, barulah Wina akan pergi menyusul Jihan. Jika Jihan ternyata tidak menunggunya, Wina akan menarik kembali janjinya tentang kehidupan selanjutnya sehingga mereka tidak akan pernah bertemu lagi ....Wina tidak menghadiri pemakaman Jihan. Itu sebabnya dia akhirnya terbangun, lalu berjalan ke makam Jihan dengan tubuh yang terhuyung-huyung. Tidak ada yang tahu tentang apa yang Wina katakan kepada Jihan, selain Delwyn yang memapah ibunya untuk menemui ayahnya ....Malam itu, Wina tiba-tiba pingsan di salju dan segera dibawa ke rumah sakit untuk diberikan pertolongan pertama. Wina baru sadar s
Bulu mata Wina tampak bergetar. Dia mengangkat matanya yang terkesan kosong dan menatap ke kejauhan. "Nggak, aku nggak akan ke mana-mana. Kami akan tetap di sini sampai aku ikut mati beku. Nggak akan ada yang bisa memisahkan kami."Semua orang sontak merasa tercekat. Mereka semua bergegas membujuk Wina agar jangan melakukan hal bodoh, tetapi Wina tidak mengacuhkan semua omongan mereka. Dia hanya duduk diam di sana sambil memeluk Jihan, menunggu ajal menjemputnya.Delwyn akhirnya menggenggam tangan Wina dengan erat sehingga pandangan Wina beralih kepadanya. "Ibu, aku tahu betapa Ibu mencintai Ayah dan Ibu pasti sulit menerima kenyataan ini, tapi tolong jangan lakukan hal bodoh. Aku sudah kehilangan Ayah dan aku nggak bisa kalau harus kehilangan Ibu juga ...."Suara putranya membuat Wina akhirnya perlahan menatap Delwyn. Wina menyentuh wajah Delwyn yang tampak begitu mirip dengan Jihan, lalu tersenyum kecil dengan senang ...."Ibu sudah lama mempersiapkan diri untuk kematian ayahmu. Kare
Air mata Wina pun mendadak mengalir turun. Tidak ada tangisan yang memilukan hati, hanya keheningan dan bibir Wina yang terbuka. Wina ingin mengatakan sesuatu, tetapi sepertinya dia sudah mengatakan semua yang ingin dia katakan kepada Jihan. Pada akhirnya, Wina hanya menurunkan pandangannya menatap wajah Jihan yang sudah pucat itu ...."Bodoh. Mau seberapa banyak pun darahmu mengalir keluar, kamu tetap suamiku. Mana mungkin aku takut? Aku nggak takut. Kenapa kamu malah pergi ke tempat seperti ini sendirian?"Yang membuat Wina merasa begitu getir adalah karena dia tidak sempat berpamitan untuk terakhir kalinya. Namun, Jihan sama sekali tidak memikirkan rasa penyesalan Wina dan fokus ingin menyembunyikan kondisinya dari Wina ....Lantas, bagaimana jika ... Wina tidak mengenali tiruan Jihan? Apa itu berarti Wina tidak akan pernah menemukan tubuh Jihan? Apa itu berarti Jihan akan selamanya terkubur beku di bawah salju ....Jihan sudah mempersiapkan segala sesuatunya sebelum ajal menjemputn
Saat Delwyn meraih tangan Jihan dengan gemetar, Wina sontak menengadah seolah mendapatkan firasat. Dia melihat ke arah Delwyn sekilas, lalu bergegas merangkak menghampiri putranya dengan rambut acak-acakan seperti orang gila.Wina tetap tidak menangis. Dia bahkan menyentuh tangan yang kaku dan putih membeku itu dengan tatapan tegas, lalu menurunkan pandangannya yang bergetar dan menggali salju yang menutupi tubuh Jihan dengan tangannya yang sudah berdarah.Salju yang menumpuk di gunung lebih dalam, setiap lapisannya mengubur Jihan. Wina berusaha dengan sekuat tenaga untuk mengeluarkan suaminya dari dalam salju, lalu akhirnya melihat wajah Jihan yang berlumuran darah. Tidak ada rona kemerahan apa pun di wajah yang tampan itu, hanya ada noda darah dan salju yang menghiasi ....Delwyn menatap sosok ayahnya dengan tidak percaya. Dia pun jatuh terduduk, hatinya terasa remuk redam. Langit seolah mendadak runtuh dan hanya ada kegelapan tak berujung yang menyelimuti ...."Delwyn.""Tolong Ibu,
Wina yang sedang mencari ke mana-mana sontak berhenti melangkah, rasanya dia seperti mendengar ada yang memanggil namanya. Wina pun menoleh dengan tatapan kosong, tetapi terlihat jelas hanya ada dia di sini.Wina berdiri dalam diam, lalu memegangi dadanya yang berdetak dengan begitu kuat. Tiba-tiba, hatinya terasa tersayat seolah-olah dia akan kehilangan sesuatu. Saking sakitnya, Wina sampai membungkukkan tubuhnya. Akan tetapi, rasa sakit itu tidak kunjung hilang ....Firasatnya mengatakan bahwa sesuatu terjadi pada Jihan. Di saat Wina ingin kembali mencari Jihan, tiba-tiba sosok Jihan yang tampan muncul di hadapannya sambil membawa sebuket mawar."Sayang, kok kamu di sini? 'Kan sudah kubilang tunggu aku?"Begitu melihat Jihan tampak baik-baik saja, jantung Wina yang semula berdegap kencang mendadak menjadi tenang kembali.Wina langsung melempar payungnya dan melompat memeluk Jihan dengan gembira.Wina menghela napas lega saat merasakan hangat tubuh dan napas Jihan."Sayang, kamu tahu
Saat melihat Jihan berdiri sempoyongan dan mengerahkan sedikit tenaga untuk melambaikan tangannya, Jefri akhirnya tidak tahan lagi. Dia menggertakkan gigi dan berlari secepat mungkin ke dasar Gunung Kiron ...."Kak Jihan, aku panggil dokter dulu, terus menyuruh robot itu naik gunung dan baru setelah itu aku akan menjemputmu! Kakak berdiri saja di sana dan tunggu aku, ya! Aku akan segera kembali!"Jalan gunung di malam hari memang tidak dapat diprediksi, salju yang turun dari langit seolah menjadi sumber penerangan. Jefri merasa seperti sedang berjalan di siang hari. Namun, saking langkahnya terburu-buru, Jefri sampai beberapa kali jatuh tersungkur ke atas tanah dan dia bahkan tidak tahu berjalan ke arah mana ....Jihan memandangi punggung Jefri yang berangsur-angsur menghilang dari pandangannya, lalu memegangi dadanya. Dia bisa merasakan detak jantungnya yang perlahan melambat. Jihan berdiri diam sambil merasakan bagaimana nyawanya meregang ....Entah berapa lama waktu berlalu, yang je