“Bagaimana bisa aku membiarkan anakku menikah dengan wanita seperti kamu, Mireya?!” Suara sinis Sarah memecah suasana yang tadinya cukup tenang. Tatapan tajam wanita paruh baya itu menusuk langsung ke arah Mireya yang berdiam duduk di samping Mervyn. Mireya menundukkan kepala, seperti mencari tempat berlindung dari tatapan menusuk Sarah. Tangan Marcell yang kecil menggenggam jemari Mireya erat, seolah memberi kekuatan pada ibunya. “Bu, cukup!” ujar Mervyn dengan nada tegas, tapi matanya tetap mencoba menenangkan Mireya. “Cukup?” Sarah berbalik menatap putranya. “Kamu tahu betul apa yang sedang aku bicarakan, Mervyn. Kamu benar-benar membiarkan wanita ini masuk kembali ke dalam hidupmu tanpa memastikan apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana kalau dia hanya memanfaatkan kamu? Apalagi ... dia hanyalah wanita malam.” Mireya terbelalak. “Saya bukan wanita malam,” elaknya. Mervyn mengepalkan tangannya, tapi dia menarik napas panjang, mencoba tetap tenang. “Mireya tidak seperti
“Kamu selalu membela wanita seperti dia!” Suara Sarah terdengar tajam, menusuk setiap sudut ruang makan. Tatapannya dingin, penuh penghinaan, tertuju langsung pada Mireya yang hanya bisa menunduk sambil menggenggam tangan Marcell. “Kamu tahu siapa dia sebenarnya, bukan?” lanjut Sarah, kali ini suaranya semakin meninggi. “Dia hanya seorang wanita malam yang suka bergonta-ganti pasangan di atas ranjang!” “Bu!” Mervyn membanting garpunya ke meja, membuat suara logam bergema. “Jaga ucapan Ibu!” Sarah tidak terintimidasi. Sebaliknya, dia semakin mengeraskan suaranya. “Jadi, aku salah? Apa aku salah menyebutnya seperti itu, hm?” Mireya menggigit bibirnya, menahan semua rasa sakit yang mengalir di dadanya. Dia ingin membela dirinya sendiri, tapi lidahnya terasa kaku. Namun, sebelum Mireya sempat berkata apa-apa, suara kecil Michelle memecah suasana. “Mami bukan wanita seperti itu!” seru Michelle dengan mata berkaca-kaca. Dia berdiri dari kursinya dan menatap Sarah dengan tega
“Jadi, benar kamu akan menikah dengannya?” Suara Julian memecah keheningan di ruangan itu. Tatapannya tajam, penuh emosi yang sulit ditebak. Di hadapannya, Mireya duduk diam di kursinya, berusaha fokus pada berkas-berkas yang berserakan di meja. Namun, pertanyaan itu membuat tangannya yang memegang pena berhenti seketika. Mireya mendongak pelan, menatap Julian yang berdiri dengan tangan terlipat di depan dada. Di belakangnya, Aldo, asisten Julian, berdiam diri seperti patung, hanya mengamati situasi tanpa mengucapkan sepatah kata pun. “Julian …?” Mireya menggigit bibir bawahnya, berusaha mencari kata-kata yang tepat. “Aku tanya, Mireya. Apa benar kamu akan menikah dengan Mervyn?” ulang Julian, kali ini nadanya lebih tegas. Mireya menarik napas dalam-dalam. “Ya, itu benar.” Jawaban itu membuat Julian terdiam. Rahangnya mengeras, dan dia terlihat mencoba menahan emosi yang berkecamuk di dalam dirinya. “Kamu bahkan tidak memberitahuku sebelumnya,” ujarnya dengan nada datar,
Pagi itu, Mervyn memutuskan untuk membawa Marcell dan Michelle ke kantornya. Ia ingin menghabiskan lebih banyak waktu bersama anak-anaknya, terutama karena ia merasa ada jarak yang belum sepenuhnya ia jembatani dengan mereka. “Papi, ini kantor Papi?” tanya Marcell dengan mata berbinar saat mereka tiba di depan gedung perusahaan milik Mervyn. Gedung itu menjulang tinggi dengan logo perusahaan yang besar di bagian atasnya. Mervyn tersenyum kecil. “Iya, ini tempat Papi bekerja.” “Wah, besar sekali!” seru Michelle sambil memandang takjub ke arah gedung itu. “Aku kira Papi cuma punya kantor kecil seperti kantor Mami.” Mervyn terkekeh mendengar komentar polos putrinya. “Papi bekerja di perusahaan besar, Sayang. Tapi, hari ini Papa ingin kalian melihat sendiri seperti apa tempat Papi bekerja.” Mereka masuk ke dalam gedung, dan Marcell serta Michelle langsung terpukau dengan suasana di dalamnya. Lobi yang luas, lantai yang berkilauan, dan orang-orang yang berlalu-lalang dengan pakaian f
“Jadi, kamu sudah bisa memastikan langkah selanjutnya, Mervyn?” Suara Julian memecah keheningan di ruangan. Ia berdiri di ambang pintu dengan tangan terlipat di depan dada, tatapannya tajam ke arah Mervyn yang sedang duduk di kursinya. Julian tidak lagi berusaha menyembunyikan rasa frustrasi dan ketidaksukaannya pada pria di depannya. Mervyn mengangkat kepalanya perlahan, ekspresi wajahnya tetap tenang. Ia tidak terkejut dengan kehadiran Julian. Bahkan, ia sudah menduga kalau pria itu akan muncul untuk menghadapinya lagi. “Apa maksudmu?” tanya Mervyn, suaranya rendah dan tegas. Julian berjalan mendekat. Langkahnya mantap dan penuh keyakinan. “Kamu tahu apa maksudku. Mireya. Kamu akan menikahi dia, kan? Lalu, apa kamu akan mengabaikan semua yang sudah kamu lakukan padanya? Semua luka yang dia alami karenamu?” Mervyn menghela napas panjang, mencoba menahan emosinya. Ia tahu Julian tidak sepenuhnya salah. Apa yang terjadi pada Mireya di masa lalu adalah akibat dari kesalaha
Mireya tertegun, kedua matanya menatap wanita di hadapannya dengan campuran keterkejutan dan emosi yang sulit dijelaskan. Shela, dengan senyuman tipis yang terkesan arogan, melipat kedua tangannya di depan dada. "Oh, jadi benar ini kamu, Mireya. Aku hampir tidak mengenalimu. Sudah lama sekali, ya?" Mervyn yang berdiri di samping Mireya mengerutkan kening. Tatapannya bergantian antara Mireya dan Shela, mencoba membaca situasi yang tiba-tiba terasa aneh. "Kalian saling kenal?" tanyanya, suaranya terdengar datar, tapi ada nada ingin tahu yang tak bisa disembunyikan. Mireya tidak segera menjawab. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, mencoba mengendalikan perasaan yang mulai bergolak. Shela. Wanita ini adalah bagian dari masa lalunya, bagian yang selama ini ia coba lupakan. Namun, Shela tidak menunggu jawaban. "Tentu saja kami saling kenal," katanya dengan nada santai, tetapi ada kilatan tajam dalam tatapannya. "Dulu, aku dan Mireya pernah bersaing." Mireya menarik napas dal
“Kenapa kamu tidak pernah cerita soal ini, Mireya?” suara Bella terdengar tegas sekaligus penuh kekecewaan saat ia memeluk sahabat lamanya itu. Pelukan itu erat, tetapi ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat Mireya tahu, ini bukan sekadar pelukan rindu. “Aku—” Mireya terhenti, merasa bibirnya kelu. Dia menatap Bella yang berdiri di hadapannya dengan mata penuh pertanyaan. “Kamu tahu? Aku baru tahu soal pernikahan kamu dari undangan yang dikirimkan Pak Mervyn ke kantor. Undangan itu tidak menyebutkan siapa pengantinnya, tapi begitu aku lihat namamu, aku bahkan tidak percaya itu kamu. Bagaimana mungkin kamu tidak memberitahu aku, sahabatmu sendiri?” Mireya terdiam sejenak, hatinya berdenyut nyeri mendengar nada terluka dari sahabat yang sudah lama tidak ia temui itu. Ia tahu Bella punya hak untuk merasa seperti itu, tapi di sisi lain, ada begitu banyak hal yang tidak bisa ia ungkapkan. “Aku minta maaf, Bella. Aku tidak tahu harus memulai dari mana,” jawab Mireya akhirnya,
Di tempat kediaman Mervyn .... “Kenapa kamu terlihat begitu gugup, Mireya? Apa kamu takut aku akan melakukan sesuatu padamu di rumah ini?” Nada suara Sarah terdengar tajam dan menusuk, nyaris seperti pisau yang siap menyayat. Mireya menghentikan langkahnya di depan pintu besar rumah megah itu, kemudian menoleh ke arah wanita paruh baya yang berdiri di belakangnya. Wajah Sarah menunjukkan senyum tipis yang tidak mencerminkan keramahan sama sekali. “Apa maksud Ibu?” Mireya mencoba menenangkan nada suaranya, meskipun jantungnya berdegup kencang. Baru saja ia dan anak-anak mulai merasa nyaman di rumah baru ini, kehadiran mendadak Sarah membuat perasaannya kembali tidak tenang. Sarah mendekat, menatap Mireya dari ujung kepala hingga kaki seolah sedang menilai seseorang yang tidak pantas berada di tempat itu. “Aku hanya bertanya. Kamu sepertinya tidak begitu cocok dengan rumah ini. Bukankah lebih nyaman tinggal di tempatmu yang sederhana? Rumah besar ini terlalu mewah untuk seseoran
Mervyn meraih telapak tangan Mireya untuk digenggam. “Kamu tahu, ‘kan, alasan dari kedatangan aku ke sini hanya untuk mengurus project anak perusahaan Grup Jordan?”Mireya mengangguk pelan, tetapi dia mulai bertanya-tanya dalam hati tentang apa yang ingin disampaikan oleh Mervyn.“Dan sekarang urusannya sudah selesai. Aku berencana akan membawa kamu dan anak-anak kembali ke kota A. Apa kamu keberatan?” tanya Mervyn tanpa banyak basa-basi. Sebab, cepat atau lambat dia memang harus bicara jujur pada Mireya.Wajah Mireya berubah murung ketika mendengar ucapan Mervyn.Bagi Mireya, kota A menyimpan banyak kenangan pahit yang telah lama berusaha dia kubur bersama luka-lukanya.Dari sejuta mimpi buruk yang dia miliki di kota tersebut, satu-satunya yang bisa dia syukuri hingga sekarang hanyalah kehadiran anak kembar dalam hidupnya. Sementara sisanya tak lebih dari tumpukan benang yang hanya akan memperparah bongkahan luka di dada.“Maksud kamu, kita akan tinggal di sana?” tanya Mireya dengan
Pertanyaan polos Michelle membuat Mireya gelagapan. Napasnya berhenti sejenak seiring kelopak mata yang terbuka lebar. Dengan cepat dia pun menyembunyikan jejak kemerahan di lehernya menggunakan telapak tangan.“I–ini ....” Mireya mencoba menemukan alasan yang masuk akal.Tapi apa?Tak jauh darinya, Mireya melihat Mervyn sedang berdiam diri di depan pintu toilet sembari menahan tawa. Membuatnya melotot kesal.Bisa-bisanya pria itu tertawa dengan sikap yang begitu tenang, sementara Mireya sedang pusing memikirkan jawaban!Padahal, tanda merah yang Mireya dapatkan jelas-jelas dibuat olehnya!Mireya kembali menatap Michelle. “Elle bisa tanya langsung pada Papi. Karena, Papi lebih tahu,” ucapnya seraya tersenyum lebar.“A–apa?” Mervyn mengerjap. Raut wajahnya berubah datar hanya dalam hitungan detik. “Kenapa harus aku yang jawab?”Mireya tersenyum miring. Merasa puas menyaksikan reaksi sang suami. “Bukankah kamu yang menyebabkan ini terjadi? Jadi, kamu saja yang jawab!” putusnya secara mu
Mervyn dan Mireya terkejut ketika ada yang mengetuk pintu dari luar. Setelah itu, suara imut khas anak kecil mulai terdengar.“Mami, Papi! Acell dan adik boleh buka pintunya, tidak?” tanya Marcell.Sepasang suami dan istri itu tampak kelimpungan. Bagaimana mungkin mereka membiarkan kedua anak itu masuk dalam keadaan tubuh yang tidak mengenakan apa pun?Ah, kecuali Mervyn yang hanya memakai celana panjang.“T–tunggu sebentar! Mami akan membukanya,” sahut Mireya, lalu mengambil pakaian yang berserakan di lantai dan segera mengenakannya.Usai keduanya mengenakan kembali pakaian mereka, Mireya pun berjalan untuk membukakan kunci pintu.“Elle, Acell, ada apa?” tanya Mireya, sementara Mervyn baru saja masuk ke toilet untuk buang air kecil.“Mami ... eum, ada yang ingin kami katakan, tapi kami khawatir Mami akan marah,” ujar Marcell dengan raut wajah terlihat sedikit cemas.Mireya mengernyit. “Bagaimana kalian bisa tahu Mami akan marah atau tidak, sedangkan kalian saja belum mengatakan apa-a
Di atas kasur, Mireya tampak mengenakan selimut tebal yang menutupi seluruh tubuh polosnya.Wanita itu memandang Mervyn yang baru saja memungut celana dan kaos miliknya yang berserakan di lantai, lalu mulai memakainya kembali.Mireya cukup terkejut menerima perlakuan suaminya yang tiba-tiba menjadi begitu liar dan brutal.Dugaan sementara, Mireya menaruh curiga bahwa semua yang dilakukan Mervyn disebabkan oleh rasa cemburu akibat kesalahpahaman antara pria itu, Mireya dan juga Julian.Selesai mengenakan celana panjang berbahan levis, dengan tubuh bagian atas yang masih telanjang, Mervyn naik ke atas kasur untuk kembali mendekati istrinya.Cup!Mervyn mendekap wanita itu seraya mengecup pelipisnya sekilas. “Ingat apa yang tadi kukatakan? Kamu, dan semua yang ada pada dirimu adalah milikku, Mireya. Jangan biarkan orang lain menyentuhnya!”Mireya mengangguk, tetapi perasaannya tidak kunjung lega meskipun dirinya kini sedang ada dalam dekapan hangat sang suami.“Kenapa menatapku begitu, h
Brak!Mervyn membuka pintu kamar, mendapati Mireya yang kini sedang melipat pakaian sembari duduk di tepi kasur bermotif bunga mawar.Wanita itu mendongak saat mendengar derit pintu, lalu bergegas bangkit menghampiri suaminya yang baru pulang ke rumah entah dari mana.“Kamu sudah kembali?” sambut Mireya seraya tersenyum manis.Mervyn, dengan wajah garang serta sorot mata yang menunjukkan amarah, sama sekali tidak menjawab kalimat tanya yang diajukan oleh Mireya.Di sepanjang jalan menuju ke rumah, Mervyn sudah terlalu banyak menahan emosi, dan sekarang kemarahan itu bertambah semakin besar saat dia melihat ekspresi lugu istrinya yang terkesan seakan tidak melakukan kesalahan apa pun di belakangnya.Mireya menyadari ada yang tidak beres dari raut wajah Mervyn. Lantas pada saat dirinya berada di hadapan Mervyn, dia segera mengangkat satu tangan guna menyentuh pipi pria itu.“Mervyn, apa yang terjadi?” tanya Mireya lembut. “Apa kamu baru saja mendapatkan masalah?” tambahnya.Tatapan Merv
Mireya pun menjelaskan kejadian mengenai Felix yang membohonginya dengan mengatakan bahwa Henry, ayah mereka, sedang mengalami kritis di rumah sakit. Namun, ternyata Felix malah membawanya ke tempat asing dan menjadikannya jaminan utang. “Felix?” Mervyn mengerutkan dahi saat mendengar nama yang tak dia kenal. “Siapa dia?” “Dia kakak laki-lakiku. Kami lahir dari ibu yang berbeda, tetapi masih satu ayah,” terang Mireya. “Kalau begitu, artinya dia juga kakaknya Felly?” tebak pria itu. Lantas Mireya mengangguk. “Ya, mereka satu ibu,” tambahnya. Mervyn manggut-manggut paham, lalu terdiam setelahnya. Akan tetapi, isi kepalanya terus bekerja memikirkan sosok Felix yang telah membuat istri kesayangannya hampir menjadi korban pemerkosaan. Mervyn bersumpah, suatu saat Felix pasti akan mendapatkan balasan yang setimpal atas perbuatannya! “Mervyn, kenapa melamun?” Mireya menyentuh sebelah pipi Mervyn dan membuatnya sedikit terkejut. Mervyn menunduk, menatap ke dalam mata cantik ist
“Hey ... apa yang kamu pikirkan?” Mervyn menyelipkan anak rambut Mireya ke belakang telinga wanita itu. “Aku tidak pernah menganggap kamu pembawa sial. Sebaliknya, aku justru merasa lebih bahagia setelah bertemu kembali dengan kamu dan anak-anak. Siapa bilang kalau kamu pembawa sial?”Mireya merasa sedikit lebih lega. Namun, perasaan sedih dan bersalah itu masih belum hilang sepenuhnya dari dalam diri. Melihat kondisi Mervyn yang tidak berdaya seperti saat ini membuatnya sangat sedih.“Mervyn, apa boleh aku menceritakan alasan yang sebenarnya?” tanya Mireya seraya mendongak, menatap mata sang suami dengan lebih serius dan dalam.Cup!Mervyn mengecup pelipis Mireya lekat-lekat. “Ceritakanlah,” balasnya.Mireya menghela napas sejenak. “Sebenarnya ... saat tiba di rumah sakit, aku duduk menunggu kamu di luar ruangan. Aku terus mendoakan untuk keselamatan kamu. Kemudian, tiba-tiba Ibu datang bersama Lisa. Aku menjelaskan pada Ibu mengenai apa yang terjadi dengan kamu, lalu Ibu menyalahkan
Setelah menjalani rawat inap selama hampir satu minggu di rumah sakit, Mervyn akhirnya diperbolehkan pulang oleh dokter hari ini. Akan tetapi, dia tetap membutuhkan banyak istirahat di rumah, supaya proses penyembuhan luka di perutnya lebih cepat selesai.Malam itu, di saat Marcell dan Michelle sedang belajar bersama di kamar mereka, Mireya membuatkan segelas susu hangat untuk Mervyn.Mireya menghampiri Mervyn yang berbaring di atas kasur, meletakkan sejenak gelas di atas meja. Kemudian, membantu Mervyn mengubah posisi menjadi duduk dengan kedua kaki diluruskan serta punggung yang bersandar pada kepala kasur.“Minumlah ...” ucap Mireya sembari menyodorkan kembali susu di dalam gelas berbahan kaca ke arah Mervyn.“Terima kasih,” ucap Mervyn seraya mengambil alih benda itu dan mulai meneguk minumannya pelan-pelan.“Mireya, aku mau tanya sesuatu.” Mervyn meletakkan gelas di atas meja, lalu menatap istrinya dengan serius.“Tanyakan saja,” kata Mireya yang tengah duduk di tepi kasur, menun
Lisa tercengang saat Mervyn mengusirnya secara terang-terangan di hadapan Mireya dan kedua anaknya. “Mervyn, kamu—” “Aku bilang, keluar!” Suara Mervyn terdengar lebih keras dari sebelumnya. “Jangan sampai aku memanggil satpam untuk menyeret kamu pergi dari sini!” Sungguh, Lisa terbungkam dibuatnya. Tidak ada lagi yang dapat dia lakukan selain mengalah, lalu melangkah keluar dengan wajah diselimuti amarah. Dia sama sekali tidak mengeluarkan kata apa pun untuk membalas ucapan Mervyn. Bruk! Pintu dibanting lumayan keras oleh Lisa. Saking kesalnya, mungkin dia ingin menunjukkan kepada Mervyn dan yang lain mengenai suasana hatinya. Saat ini hanya tersisa Mervyn, Mireya dan kedua anak kembar mereka di dalam ruangan. Lalu, Mireya mendekat, berdiri di samping ranjang pasien, mengambil posisi di seberang Marcell dan Michelle. Melihat wajah cantik sang istri yang tampak dipenuhi kecemasan, Mervyn lantas tersenyum lembut. “Hai ...!” Mireya ikut tersenyum, sadar bahwa kondisi suami