Kondisi Mireya tidak terlalu parah. Hanya pingsan biasa yang disebabkan oleh kaget dan cemas berlebihan. Jadi, dokter mengizinkannya pulang tanpa harus menjalani rawat inap.Mervyn sangat senang dan lega mendengarnya. Namun, kehadiran Julian yang ‘sok perhatian terasa cukup mengganggu dan membuatnya sedikit tidak nyaman.Terlebih lagi, bukan hanya datang sekadar untuk menjenguk, tapi Julian juga secara terang-terangan berusaha mencuri perhatian Mireya dan kedua anak kembarnya.Bahkan, saat Mireya berada di lobi dan kebingungan mau pulang dengan siapa, Julian buru-buru menawarkan, “Naik mobilku saja, biar aku antar kamu pulang.”Menyaksikan itu, apakah Mervyn hanya diam saja?Oh, tentu tidak!Mervyn segera menyela sebelum Mireya sempat menjawab. “Julian, terima kasih banyak atas tawarannya, tapi Mireya akan pulang bersamaku dan anak-anak,” katanya.“Benarkah? Apakah Mireya sendiri yang mengatakan itu?” tanya Julian dengan ekspresi menganggap enteng.Mervyn menjawab dengan tenang, “Tida
“Apa Papi juga sudah minta maaf pada Mami?” Pertanyaan polos Marcell itu membuat suasana di dalam mobil mendadak hening. Michelle yang duduk di sampingnya ikut menatap Mervyn dengan rasa ingin tahu. Mireya, yang duduk di kursi depan, langsung merasa tubuhnya menegang. Dia tidak menyangka pertanyaan itu akan muncul begitu saja dari mulut anak pertamanya. Mervyn, yang sedang menyetir, melirik sekilas ke arah Mireya melalui kaca spion. Tatapannya seolah meminta petunjuk, tapi Mireya tetap diam sambil memandang lurus ke depan. Tidak ada niat untuk membantunya kali ini. “Papi?” Marcell mengulangi pertanyaannya, kini dengan nada lebih penasaran. Mervyn menarik napas panjang sebelum akhirnya menjawab, “Tentu saja, Papi sudah minta maaf pada Mami.” Marcell terlihat berpikir sejenak, lalu kembali bertanya, “Mami, apa Papi benar minta maaf?” Mireya tertegun. Dalam hatinya, ia ingin membantah, tapi ia tidak ingin menciptakan ketegangan di depan anak-anaknya. Dengan suara pelan, ia ak
Bab 2: Pertemuan yang Membakar“Kenapa kamu tidak pernah mau mendengar kata-kataku, Mireya?” Suara Mervyn terdengar tegas, tapi jelas ada nada frustrasi di dalamnya. Tatapannya tajam menembus mata Mireya, seperti ingin menggali jawaban dari lubuk hatinya.Mireya menoleh ke arahnya dengan bingung. “Apa maksud kamu, Mervyn?” tanyanya, mencoba mengendalikan nada suaranya agar tidak terdengar lelah. Hari ini sudah cukup berat untuknya.Mervyn menyandarkan tubuhnya di dekat pintu ruang tamu, kedua tangannya terlipat di depan dada. “Aku tidak suka Julian,” katanya tanpa basa-basi. “Aku tidak suka cara dia menatap kamu. Aku tidak suka dia terlalu dekat dengan kamu dan anak-anak.”Mireya tertegun. Itu adalah hal terakhir yang ia harapkan keluar dari mulut Mervyn. “Apa hubungannya dengan Julian?” tanyanya dengan nada hati-hati. “Dia hanya atasan aku, tidak lebih.”Mervyn mendengus, seolah tidak percaya dengan jawaban itu. “Hanya atasan? Mireya, apa kamu pikir aku tidak tahu kalau dia menyimpan
“Mervyn, apa kamu tidak pernah berpikir?!” Mireya membentak, nadanya penuh emosi. Mervyn terdiam di depan pintu rumah Mireya, menatap wanita itu dengan wajah datar. Tapi matanya menyiratkan sesuatu—sesuatu yang membuat Mireya semakin kesal. “Kamu tidak bisa seenaknya datang ke sini dan membuat semua jadi rumit!” lanjut Mireya, suaranya sedikit bergetar. “Kamu pikir aku tidak punya perasaan?” Mervyn akhirnya membuka mulut, suaranya tenang tapi tegas. “Aku tidak pernah berniat membuat kamu kesal. Aku hanya ingin tahu apa yang sebenarnya ada di hati kamu, Mireya.” Mireya mendengus, lalu melipat tangannya di dada. “Apa maksud kamu, Mervyn? Kamu mau aku memilih? Mau aku bilang kalau aku tidak mau terlibat denganmu lagi? Atau kamu mau aku pura-pura lupa pada semua yang terjadi?” Mervyn berjalan mendekat, membuat Mireya secara refleks mundur selangkah. “Aku hanya mau kamu jujur, Mireya. Jujur padaku. Jujur pada diri kamu sendiri.” Mireya ingin membalas, tapi hatinya sudah terlalu pen
“Aku tidak mau, Mervyn!” Mireya menepis tangan pria itu dengan tegas. Matanya menatap tajam, penuh dengan keraguan dan rasa bersalah yang bercampur jadi satu. “Mireya, aku serius,” balas Mervyn dengan suara rendah tapi penuh tekanan. “Aku cuma ingin kita memulai semuanya dari awal. Kita berdua, dengan anak-anak.”Mireya menggeleng, mencoba mencari kata-kata yang tepat agar pria di depannya memahami posisinya. “Aku tidak bisa. Kamu pikir ini semudah itu? Kamu pikir aku tidak merasa bersalah pada Lisa? Bagaimanapun, dia tetap tunangan kamu.”“Dia hanya tunangan karena ibuku memaksa, Mireya,” potong Mervyn cepat. “Aku tidak pernah mencintainya. Aku tidak pernah ingin menikahinya.”“Kalau begitu, kenapa kamu setuju sejak awal?” Mireya bertanya dengan nada getir. Ia tahu pertanyaan itu terlalu tajam, tapi ia juga ingin tahu alasan sebenarnya. “Kenapa kamu biarkan dia menaruh harapan, sementara kamu sendiri tidak yakin?”Mervyn diam sejenak, seolah pertanyaan Mireya menghantamnya tepat di
“Kalau ini keputusan kamu, aku tidak akan pernah memaafkan kamu!” Suara Lisa menggema di restoran mewah yang seharusnya menjadi tempat pertemuan tenang dan formal. Namun, kini menjadi saksi perdebatan panas antara dirinya dan Mervyn. Mervyn duduk di kursinya dengan tenang, tangan bersedekap di dada. Meski sorot matanya dingin, ada ketegasan yang sulit digoyahkan. “Lisa, aku sudah menjelaskan semuanya. Aku tidak ingin pernikahan ini dilanjutkan.” Lisa memukul meja dengan keras, matanya memerah karena emosi. “Kenapa, Mervyn? Apa ini semua karena Mireya dan anak-anaknya?!” Mendengar nama Mireya disebut, rahang Mervyn sedikit mengeras. Namun, ia tetap menjaga ketenangannya. “Ini bukan tentang Mireya,” jawabnya singkat. “Jangan berbohong!” bentak Lisa, suaranya mulai bergetar. “Aku tahu kau sudah tahu segalanya. Marcell dan Michelle adalah anak-anakmu, kan? Itulah kenapa kamu berubah seperti ini! Kamu tidak pernah mencintaiku, kan?” Mervyn menatap Lisa dengan tajam. “Benar. Aku t
“Kenapa? Apa kamu cemburu, Mervyn?” Suara Mireya terdengar tegas, meski ada sedikit getaran di akhir kalimatnya. Ia menatap pria di depannya dengan tatapan penuh tanya, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka. Mervyn memandangi Mireya dengan ekspresi campur aduk—tertegun, salah tingkah, tetapi juga sedikit kesal karena pertanyaannya terlalu tepat sasaran. “Aku?” Mervyn mencoba menghindar, meski ia tahu itu tidak akan mudah. “Mungkin kamu salah paham. Aku tidak cemburu sama sekali.” Mireya tersenyum kecil, senyum yang lebih mirip ejekan. “Benarkah? Lalu kenapa kamu terlihat begitu terganggu sejak Julian datang membawakan bunga untukku di rumah sakit?” Mervyn menghela napas panjang, bersandar ke sofa, mencoba mencari cara untuk menjawab tanpa terlihat terlalu defensif. “Aku hanya merasa ...” dia berhenti sejenak, menatap langsung ke mata Mireya, “... kurang nyaman. Itu saja.” “Kurang nyaman?” Mireya mengulang kata-kata itu, kali ini dengan nada yang l
"Jangan pernah biarkan siapa pun menyentuh anak-anakku lagi, Mervyn!" Mireya melontarkan kalimatnya dengan nada serius, menatap pria di hadapannya penuh kecurigaan. Mervyn terdiam sejenak, mencoba mencerna ledakan emosi Mireya. Ia tahu bahwa pertanyaan ini akan keluar cepat atau lambat. "Aku sudah memastikan itu tidak akan terjadi lagi, Mireya," jawabnya dengan suara yang tenang tetapi tegas. "Aku tidak akan membiarkan siapa pun memisahkan kamu dengan anak-anak kita." "Tapi kamu ingat apa yang ibumu lakukan beberapa hari lalu, kan?" Mireya hampir berteriak. Tangannya mengepal, mencoba menahan rasa trauma yang masih membekas. "Dia datang ke rumahku. Dia menyuruh orang-orangnya untuk membawa Marcell dan Michelle pergi. Bagaimana aku bisa percaya kalau hal yang sama tidak akan terulang lagi?" Marcell dan Michelle memandang ibu mereka dengan wajah bingung. Mereka masih terlalu kecil untuk sepenuhnya mengerti apa yang terjadi, tetapi jelas terlihat bahwa mereka ketakutan saat M
Brak!Mervyn membuka pintu kamar, mendapati Mireya yang kini sedang melipat pakaian sembari duduk di tepi kasur bermotif bunga mawar.Wanita itu mendongak saat mendengar derit pintu, lalu bergegas bangkit menghampiri suaminya yang baru pulang ke rumah entah dari mana.“Kamu sudah kembali?” sambut Mireya seraya tersenyum manis.Mervyn, dengan wajah garang serta sorot mata yang menunjukkan amarah, sama sekali tidak menjawab kalimat tanya yang diajukan oleh Mireya.Di sepanjang jalan menuju ke rumah, Mervyn sudah terlalu banyak menahan emosi, dan sekarang kemarahan itu bertambah semakin besar saat dia melihat ekspresi lugu istrinya yang terkesan seakan tidak melakukan kesalahan apa pun di belakangnya.Mireya menyadari ada yang tidak beres dari raut wajah Mervyn. Lantas pada saat dirinya berada di hadapan Mervyn, dia segera mengangkat satu tangan guna menyentuh pipi pria itu.“Mervyn, apa yang terjadi?” tanya Mireya lembut. “Apa kamu baru saja mendapatkan masalah?” tambahnya.Tatapan Merv
Mireya pun menjelaskan kejadian mengenai Felix yang membohonginya dengan mengatakan bahwa Henry, ayah mereka, sedang mengalami kritis di rumah sakit. Namun, ternyata Felix malah membawanya ke tempat asing dan menjadikannya jaminan utang. “Felix?” Mervyn mengerutkan dahi saat mendengar nama yang tak dia kenal. “Siapa dia?” “Dia kakak laki-lakiku. Kami lahir dari ibu yang berbeda, tetapi masih satu ayah,” terang Mireya. “Kalau begitu, artinya dia juga kakaknya Felly?” tebak pria itu. Lantas Mireya mengangguk. “Ya, mereka satu ibu,” tambahnya. Mervyn manggut-manggut paham, lalu terdiam setelahnya. Akan tetapi, isi kepalanya terus bekerja memikirkan sosok Felix yang telah membuat istri kesayangannya hampir menjadi korban pemerkosaan. Mervyn bersumpah, suatu saat Felix pasti akan mendapatkan balasan yang setimpal atas perbuatannya! “Mervyn, kenapa melamun?” Mireya menyentuh sebelah pipi Mervyn dan membuatnya sedikit terkejut. Mervyn menunduk, menatap ke dalam mata cantik ist
“Hey ... apa yang kamu pikirkan?” Mervyn menyelipkan anak rambut Mireya ke belakang telinga wanita itu. “Aku tidak pernah menganggap kamu pembawa sial. Sebaliknya, aku justru merasa lebih bahagia setelah bertemu kembali dengan kamu dan anak-anak. Siapa bilang kalau kamu pembawa sial?”Mireya merasa sedikit lebih lega. Namun, perasaan sedih dan bersalah itu masih belum hilang sepenuhnya dari dalam diri. Melihat kondisi Mervyn yang tidak berdaya seperti saat ini membuatnya sangat sedih.“Mervyn, apa boleh aku menceritakan alasan yang sebenarnya?” tanya Mireya seraya mendongak, menatap mata sang suami dengan lebih serius dan dalam.Cup!Mervyn mengecup pelipis Mireya lekat-lekat. “Ceritakanlah,” balasnya.Mireya menghela napas sejenak. “Sebenarnya ... saat tiba di rumah sakit, aku duduk menunggu kamu di luar ruangan. Aku terus mendoakan untuk keselamatan kamu. Kemudian, tiba-tiba Ibu datang bersama Lisa. Aku menjelaskan pada Ibu mengenai apa yang terjadi dengan kamu, lalu Ibu menyalahkan
Setelah menjalani rawat inap selama hampir satu minggu di rumah sakit, Mervyn akhirnya diperbolehkan pulang oleh dokter hari ini. Akan tetapi, dia tetap membutuhkan banyak istirahat di rumah, supaya proses penyembuhan luka di perutnya lebih cepat selesai.Malam itu, di saat Marcell dan Michelle sedang belajar bersama di kamar mereka, Mireya membuatkan segelas susu hangat untuk Mervyn.Mireya menghampiri Mervyn yang berbaring di atas kasur, meletakkan sejenak gelas di atas meja. Kemudian, membantu Mervyn mengubah posisi menjadi duduk dengan kedua kaki diluruskan serta punggung yang bersandar pada kepala kasur.“Minumlah ...” ucap Mireya sembari menyodorkan kembali susu di dalam gelas berbahan kaca ke arah Mervyn.“Terima kasih,” ucap Mervyn seraya mengambil alih benda itu dan mulai meneguk minumannya pelan-pelan.“Mireya, aku mau tanya sesuatu.” Mervyn meletakkan gelas di atas meja, lalu menatap istrinya dengan serius.“Tanyakan saja,” kata Mireya yang tengah duduk di tepi kasur, menun
Lisa tercengang saat Mervyn mengusirnya secara terang-terangan di hadapan Mireya dan kedua anaknya. “Mervyn, kamu—” “Aku bilang, keluar!” Suara Mervyn terdengar lebih keras dari sebelumnya. “Jangan sampai aku memanggil satpam untuk menyeret kamu pergi dari sini!” Sungguh, Lisa terbungkam dibuatnya. Tidak ada lagi yang dapat dia lakukan selain mengalah, lalu melangkah keluar dengan wajah diselimuti amarah. Dia sama sekali tidak mengeluarkan kata apa pun untuk membalas ucapan Mervyn. Bruk! Pintu dibanting lumayan keras oleh Lisa. Saking kesalnya, mungkin dia ingin menunjukkan kepada Mervyn dan yang lain mengenai suasana hatinya. Saat ini hanya tersisa Mervyn, Mireya dan kedua anak kembar mereka di dalam ruangan. Lalu, Mireya mendekat, berdiri di samping ranjang pasien, mengambil posisi di seberang Marcell dan Michelle. Melihat wajah cantik sang istri yang tampak dipenuhi kecemasan, Mervyn lantas tersenyum lembut. “Hai ...!” Mireya ikut tersenyum, sadar bahwa kondisi suami
“Tidak mau!” Anak-anak itu menggeleng dengan kompak sambil bergerak mundur satu langkah.Mereka menatap Lisa seolah sedang berhadapan dengan penyihir jahat.Lisa sebenarnya cukup tersinggung dan kesal melihat reaksi Marcell dan Michelle. Namun, dia segera menghela napas, mencoba bersikap tenang.“Tidak perlu takut, Sayang!” ujar wanita yang diketahui merupakan mantan tunangan Mervyn tersebut. “Aku tidak akan menyakiti kalian. Sebaliknya, aku akan menjaga kalian lebih baik dari yang bisa dilakukan oleh ibu kalian,” lanjutnya.Mireya mendelik gusar. Dia menangkap adanya niat terselubung di balik perkataan Lisa yang sepertinya sedang berusaha menghasut pikiran kedua anak kembarnya.“Mami adalah yang terbaik bagi kami! Tante hanyalah orang asing. Bagaimana bisa menjadi yang lebih baik dari Mami?!” protes Marcell sambil menggenggam telapak tangan Mireya yang berdiri di sampingnya.“Ya, tentu saja aku bisa.” Lisa terkekeh pelan dengan ekspresi wajah yang tampak menyebalkan di mata kedua ana
“Papi ... sedang dirawat di rumah sakit.” Mireya memutuskan untuk mengungkapkan fakta—meskipun keadaan Mervyn yang sebenarnya jauh lebih buruk dari yang dia ungkapkan. Marcell dan Michelle terdiam seketika. Wajah mereka berubah, mencerminkan kesedihan yang dalam.Mireya bisa melihat betapa khawatirnya mereka, walaupun anak-anak itu masih kecil.Mereka tidak bisa disalahkan jika merasa bingung dan cemas mendengar kabar buruk tentang Mervyn.“Apa Papi sakit parah, Mi?” Suara Michelle terdengar bergetar seiring air mata yang memenuhi pelupuknya.Tidak bisa dipungkiri, gadis kecil itu sangat menyayangi ayahnya. Kabar ini jelas membuatnya merasa takut.Mireya merasakan hatinya semakin sakit saat melihat reaksi anaknya. Namun, dia berusaha tetap tenang.Sebagai seorang ibu, Mireya sadar, dia harus memberikan penjelasan yang bisa menenangkan hati kedua anaknya tanpa membebani lebih banyak.“Papi kecelakaan, sayang,” ucap Mireya, mulai menjelaskan dengan hati-hati. Dia berusaha memilih kata-
Mervyn perlahan membuka mata. Cahaya terang dari lampu rumah sakit menyilaukan, tetapi dia masih bisa merasakan udara dingin ruangan yang menyentuh permukaan kulit.Dia mengerjap, mencoba menyesuaikan diri dengan dunia yang tampak kabur di sekitarnya. Perlahan wajah-wajah yang familiar mulai muncul satu per satu.Sarah yang semula duduk di samping ranjang, seketika bangkit saat tahu kalau Mervyn sudah sadar. Lantas dia menghampiri anak lelakinya.“Mervyn, akhirnya kamu sadar juga,” ucapnya dengan wajah antusias. Ada senyum kecil di sudut bibirnya saat melontarkan kalimat itu.Di sebelah Sarah, Lisa duduk dengan wajah penuh kekhawatiran. Matanya tidak bisa lepas dari Mervyn seakan memastikan pria itu baik-baik saja.Mervyn tidak peduli. Dia hanya mengedarkan pandangan ke sekitar, mencari keberadaan Mireya. Matanya menyusuri setiap sudut ruangan.Tidak ada tanda-tanda kehadiran istri dan kedua anaknya di sini. Hanya ada dua wajah yang dia kenal, tetapi tanpa melihat wajah Mireya dan si
Mireya menoleh ke sumber suara, mendapati seseorang yang melangkah semakin dekat ke arahnya.“Julian ...?”“Apa yang kamu lakukan di sini?” Pria itu duduk di samping Mireya tanpa meminta izin, seakan mereka memiliki hubungan yang sudah cukup dekat dan tidak perlu lagi basa-basi.Mireya tidak menjawab. Sebab, dia juga tak tahu harus mengatakan apa.“Mireya, apa kamu menangis?” Melihat sudut mata Mireya yang berair, Julian merasa khawatir. ”Kamu sedang ada masalah, ya?”“Sedikit,” jawab Mireya setengah ragu, membuat Julian mengerutkan kening saat mendengarnya.“Apa ini ada kaitannya dengan Mervyn?” tanya Julian, mencoba menggali informasi lebih dalam.Mireya bimbang, antara harus menjawab jujur atau tidak. Di sisi lain, dia merasa tidak memiliki kepentingan apa pun untuk menceritakan masalahnya kepada Julian—apalagi ini tentang masalah pribadi dalam rumah tangganya.Melihat reaksi Mireya yang hanya diam, Julian tahu bahwa dugaannya memang benar. Dia pun merasa kalau ini merupakan peluan