Siang itu, Mireya sedang berada di perusahaan tempatnya bekerja. Dia masih ingat akan pertemuan yang tak disengaja dengan seorang laki-laki asing di dalam pesawat, yang telah membawanya masuk ke dunia baru yang—seharusnya—lebih baik. Dalam kenangan, Mireya menemukan bayangan dirinya sedang merenung dan menangis sambil menatap jendela pesawat. Di tengah momen sedih tersebut, Julian, seseorang yang kebetulan menempati kursi penumpang di sebelah Mireya, tiba-tiba bertanya alasan kenapa wanita itu menangis. ‘Apakah rasanya begitu mengerikan duduk di sampingku?’ tanya Julian pada saat itu. Karena tidak saling kenal, Mireya tidak berniat menjelaskan apa pun padanya. Namun, tanpa diduga, Julian menyodorkan selembar tisu dengan senyuman lembut di wajahnya. Mereka tak banyak bicara selama penerbangan. Julian lebih memilih diam, seolah sengaja memberi ruang untuk Mireya menikmati lukanya. Lalu, saat hampir mendarat di bandara, Mireya mengalami kram perut yang membuatnya kesulitan turu
Mireya berjuang keras melepaskan cengkeraman Mervyn yang menahan tangannya dengan begitu rapat.Namun, setiap kali dia berusaha menarik diri, hanya rasa sakit di sekitar pergelangan tangan yang Mireya rasakan. Membuatnya tak berdaya dan terpaksa menyerah.“Apa mau kamu?” Kalimat itu baru saja keluar dari pita suara Mireya. Dia benar-benar hampir frustrasi.Mervyn, dengan bola mata gelapnya yang tajam, menatap Mireya seperti singa lapar yang sekian lama tidak pernah melihat seonggok daging.“Katakan, kedua bocah kembar itu memang anak-anakku, ‘kan?” Mervyn bicara dengan nada suara yang justru terkesan seperti menegaskan, bukan sedang mempertanyakan sesuatu.“Bukan!” elak Mireya secepat kilat, seolah tak ingin membiarkan Mervyn mencurigai anak-anaknya lebih lama.“Jangan bohong, Mireya!” Urat-urat tangan Mervyn sampai keluar saat dia mencengkeram lengan Mireya lebih erat lagi. “Sudah jelas wajah mereka sangat mirip denganku. Masih mau menyangkal?”Mireya meringis kesakitan. Dia yakin, p
Pertanyaan Julian yang sebetulnya begitu sederhana membuat Mireya terdiam sejenak. Wajahnya memerah dan tenggorokannya terasa kering. Pikiran Mireya kini bercabang, mencoba menemukan jawaban yang tepat untuk menjelaskan hubungannya dengan Mervyn tanpa membuka terlalu banyak luka lama. Julian menatapnya penuh tanda tanya, masih menunggu satu jawaban pasti. “Iya.” Akhirnya, dengan suara rendah, Mireya mengangguk pelan, memberi jawaban yang terkesan setengah hati. Julian mengamati setiap gerakan kecil Mireya, bagaimana wanita itu terlihat salah tingkah dan bingung. Ada sesuatu yang aneh, sesuatu yang tersembunyi di balik sorot mata itu. Perlahan, Julian mencoba untuk menyusun sendiri potongan teka-teki yang belum lengkap. Kemudian, sebilah dugaan mulai muncul dalam benaknya. “Mungkinkah pria itu adalah dia...?” tanya Julian sedikit mengambang. Mireya hampir tercengang. Kenapa tebakan Julian bisa setepat itu? Julian telah mendengar cukup banyak cerita dari masa lalu Mireya.
“Diamlah” Mervyn mengerling gusar, menyembunyikan garis wajahnya yang memerah setelah mendengar ucapan Rayyan. “Belikan mainan dan hadiah untuk Mireya dan anak-anak! Nanti sore aku akan datang ke rumahnya.” Rayyan mengangguk. “Baik, Pak. Bagaimana kalau sebuket bunga untuk Nona Mireya?” tawarnya. “Boleh juga.” “Lalu, mainan seperti apa yang ingin Anda berikan untuk si kembar?” Mendengar pertanyaan itu, Mervyn segera menatap tajam mata Rayyan. “Apa kamu pikir aku cukup berpengalaman tentang ini?” sindir Mervyn sambil terkekeh sinis. “Kamu tanyakan saja pada orang lain! Aku belum pernah membelikan mainan untuk anak-anak!” omelnya. “M–maaf, Pak.” Rayyan langsung menundukkan kepala. “Baiklah, tidak masalah. Saya akan bertanya pada yang lain,” ucapnya sambil tertawa renyah untuk menyembunyikan rasa takut. *** Sambil menunggu Mireya pulang, Marcell dan Michelle memutuskan membuat bolu cokelat panggang. Walaupun tidak cukup pandai di bagian dapur, tetapi mereka masih bisa me
Sebelum Mervyn sempat menjawab pertanyaan Michelle, Marcell sudah lebih dulu menyikut lengan adiknya. “Michelle, jangan bicara sembarangan!” ucapnya dengan nada tegas, mengingatkan bahwa mereka harus berhati-hati pada orang baru. Interaksi lucu kedua bocah itu membuat Mervyn sangat gemas. Dia tidak bisa menahan tawa melihat betapa spontan dan polosnya mereka. Ada sekelumit perasaan haru yang perlahan mengalir dalam rongga dada Mervyn—saat melihat kedua anak itu tumbuh besar dengan penuh rasa ingin tahu dan kekhawatiran yang tulus. “Anak Pintar, di mana ibu kalian?” tanya Mervyn yang masih memasang senyuman ramah di wajahnya. “Mami belum pulang, Pap—” “Hush!” Marcell kembali menegur Michelle dengan menepuk mulutnya pelan. “Jangan panggil dia ‘Papi’, sebelum Mami mengizinkannya.” Mervyn mengerutkan alis sambil menahan senyum di ujung bibir. Marcell mungkin mengira kalau suaranya sudah sangat kecil dan Mervyn tidak akan mendengarnya. Padahal, Mervyn masih mampu menangkap j
Kini Michelle menatap Marcell penuh tanda tanya, menunggu arahan apakah dia boleh menjawab pertanyaan Mervyn atau tidak. Lalu, Marcell mengangguk setuju, mengizinkan adiknya untuk memberitahu nama mereka. “Aku Michelle, bisa dipanggil Elle. Kalau ini namanya Marcell,”—sesaat Michelle menunjuk ke arah sang kakak—“tapi kamu juga bisa memanggilnya Acell, supaya lebih singkat.” Mervyn tersenyum, mengangguk paham. “Baiklah, Marcell dan Michelle, senang berkenalan dengan kalian,” ungkapnya, lalu menambahkan, “Namaku Mervyn.” Usai bertukar nama, Marcell dan Michelle mengajak Mervyn langsung masuk ke dalam rumah, menuju ruang tamu yang bersih, rapi dan nyaman. Meskipun tempat tinggalnya sangat sederhana, tetapi sepertinya Mireya dan kedua anaknya tampak nyaman dan selalu menjaga kebersihan rumah itu—seolah sudah sangat bersyukur dengan apa yang mereka miliki sekarang. Mervyn meletakkan tas hadiah di dekat sofa, dikawal oleh Michelle yang sejak tadi mengikutinya dengan raut wajah antu
Mireya terpaku dengan tubuh bergetar saat melihat keberadaan Mervyn. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan sekarang. Hanya ada kecemasan yang tidak terkendali di dalam dirinya. Selama ini, setelah memutuskan menjauh dari hidup Mervyn, Mireya selalu berpikir bahwa dunianya akan baik-baik saja bersama anak-anak. Marcell dan Michelle bisa menjalani hari-hari dengan tenang, aman dan nyaman. Tanpa perlu khawatir akan bertemu lagi dengan ayah biologis mereka. Tapi ... pemandangan apa yang dia lihat saat ini? “Mami!” Kedua anak itu langsung bangkit dan berlari menghampiri Mireya, melupakan sejenak mainan baru yang dibelikan oleh Mervyn. Tangan-tangan mungil itu melingkari pinggang Mireya—memeluknya dengan begitu erat dan penuh cinta. Namun, Mireya sama sekali tidak membalas. Raganya seperti terlepas dari tubuh dan melayang jauh entah ke mana. Sambil mengepalkan kedua tangan kuat-kuat, Mireya menatap Mervyn dengan emosi yang memenuhi dada. “Apa yang kamu lakukan di sini?” Mervyn,
Punggung Mervyn benar-benar menghilang di balik daun pintu, meninggalkan Mireya yang masih berdiam diri di ruang tamu.Hening ....Tidak ada suara selain detak jantungnya yang terasa begitu keras di telinga. Mireya merasa tubuhnya sangat lemah, seakan seluruh energi yang dia miliki telah terkuras habis setelah berbicara dengan Mervyn.Dengan langkah terseok-seok, wanita itu berjalan menuju sofa dan duduk, berusaha menstabilkan perasaan.Dia memejamkan mata, mencoba menenangkan diri, tapi yang datang justru air mata yang mulai menetes.Ketakutan yang luar biasa merasuki setiap sudut hatinya. Apa yang harus dia lakukan sekarang?Tanya demi tanya terus berputar dalam pikiran. Bagaimana dia akan menjelaskan semuanya pada Marcell dan Michelle?Jika kedua anak itu tahu kebenaran ini, apakah mereka akan membenci Mireya dan berpaling ke sisi Mervyn?Di tengah kesunyian itu, tanpa Mireya sadari, ada dua sosok yang sejak tadi menyaksikan semuanya, menguping percakapan Mireya dan Mervyn secara d
Di ruang CEO, Mervyn tampak duduk di kursi putar seraya menatap Rayyan yang berdiri di depan meja kerjanya.“Apa sudah kamu informasikan kepada orang-orang itu mengenai kedatangan istriku hari ini?” tanya sang CEO.Rayyan menjawab, “Sudah, Pak. Persiapannya juga sudah matang.”“Bagus!” Mervyn mengangguk, merasa puas mendengar jawaban asistennya. “Bagaimana dengan hadiah yang aku bicarakan kemarin?”“Hadiahnya juga aman, Pak. Saya sudah menyuruh seseorang untuk memberikan hadiahnya kepada Nyonya, Tuan dan Nona Kecil ketika mereka sampai di rumah.”“Kerja bagus!” puji Mervyn. Rayyan memang selalu dapat diandalkan kapan dan di mana pun dia membutuhkannya.***Beberapa jam setelah melakukan perjalanan, Mireya, Marcell dan Michelle akhirnya tiba di lokasi tujuan.Kedatangan Mireya bersama kedua anaknya di tempat kediaman Mervyn disambut oleh banyak orang yang telah dipekerjakan oleh Mervyn dengan posisi bagian dan tugas yang berbeda-beda.Saat melewati pintu, ada beberapa penjaga yang lang
Mervyn meraih telapak tangan Mireya untuk digenggam. “Kamu tahu, ‘kan, alasan dari kedatangan aku ke sini hanya untuk mengurus project anak perusahaan Grup Jordan?”Mireya mengangguk pelan, tetapi dia mulai bertanya-tanya dalam hati tentang apa yang ingin disampaikan oleh Mervyn.“Dan sekarang urusannya sudah selesai. Aku berencana akan membawa kamu dan anak-anak kembali ke kota A. Apa kamu keberatan?” tanya Mervyn tanpa banyak basa-basi. Sebab, cepat atau lambat dia memang harus bicara jujur pada Mireya.Wajah Mireya berubah murung ketika mendengar ucapan Mervyn.Bagi Mireya, kota A menyimpan banyak kenangan pahit yang telah lama berusaha dia kubur bersama luka-lukanya.Dari sejuta mimpi buruk yang dia miliki di kota tersebut, satu-satunya yang bisa dia syukuri hingga sekarang hanyalah kehadiran anak kembar dalam hidupnya. Sementara sisanya tak lebih dari tumpukan benang yang hanya akan memperparah bongkahan luka di dada.“Maksud kamu, kita akan tinggal di sana?” tanya Mireya dengan
Pertanyaan polos Michelle membuat Mireya gelagapan. Napasnya berhenti sejenak seiring kelopak mata yang terbuka lebar. Dengan cepat dia pun menyembunyikan jejak kemerahan di lehernya menggunakan telapak tangan.“I–ini ....” Mireya mencoba menemukan alasan yang masuk akal.Tapi apa?Tak jauh darinya, Mireya melihat Mervyn sedang berdiam diri di depan pintu toilet sembari menahan tawa. Membuatnya melotot kesal.Bisa-bisanya pria itu tertawa dengan sikap yang begitu tenang, sementara Mireya sedang pusing memikirkan jawaban!Padahal, tanda merah yang Mireya dapatkan jelas-jelas dibuat olehnya!Mireya kembali menatap Michelle. “Elle bisa tanya langsung pada Papi. Karena, Papi lebih tahu,” ucapnya seraya tersenyum lebar.“A–apa?” Mervyn mengerjap. Raut wajahnya berubah datar hanya dalam hitungan detik. “Kenapa harus aku yang jawab?”Mireya tersenyum miring. Merasa puas menyaksikan reaksi sang suami. “Bukankah kamu yang menyebabkan ini terjadi? Jadi, kamu saja yang jawab!” putusnya secara mu
Mervyn dan Mireya terkejut ketika ada yang mengetuk pintu dari luar. Setelah itu, suara imut khas anak kecil mulai terdengar.“Mami, Papi! Acell dan adik boleh buka pintunya, tidak?” tanya Marcell.Sepasang suami dan istri itu tampak kelimpungan. Bagaimana mungkin mereka membiarkan kedua anak itu masuk dalam keadaan tubuh yang tidak mengenakan apa pun?Ah, kecuali Mervyn yang hanya memakai celana panjang.“T–tunggu sebentar! Mami akan membukanya,” sahut Mireya, lalu mengambil pakaian yang berserakan di lantai dan segera mengenakannya.Usai keduanya mengenakan kembali pakaian mereka, Mireya pun berjalan untuk membukakan kunci pintu.“Elle, Acell, ada apa?” tanya Mireya, sementara Mervyn baru saja masuk ke toilet untuk buang air kecil.“Mami ... eum, ada yang ingin kami katakan, tapi kami khawatir Mami akan marah,” ujar Marcell dengan raut wajah terlihat sedikit cemas.Mireya mengernyit. “Bagaimana kalian bisa tahu Mami akan marah atau tidak, sedangkan kalian saja belum mengatakan apa-a
Di atas kasur, Mireya tampak mengenakan selimut tebal yang menutupi seluruh tubuh polosnya.Wanita itu memandang Mervyn yang baru saja memungut celana dan kaos miliknya yang berserakan di lantai, lalu mulai memakainya kembali.Mireya cukup terkejut menerima perlakuan suaminya yang tiba-tiba menjadi begitu liar dan brutal.Dugaan sementara, Mireya menaruh curiga bahwa semua yang dilakukan Mervyn disebabkan oleh rasa cemburu akibat kesalahpahaman antara pria itu, Mireya dan juga Julian.Selesai mengenakan celana panjang berbahan levis, dengan tubuh bagian atas yang masih telanjang, Mervyn naik ke atas kasur untuk kembali mendekati istrinya.Cup!Mervyn mendekap wanita itu seraya mengecup pelipisnya sekilas. “Ingat apa yang tadi kukatakan? Kamu, dan semua yang ada pada dirimu adalah milikku, Mireya. Jangan biarkan orang lain menyentuhnya!”Mireya mengangguk, tetapi perasaannya tidak kunjung lega meskipun dirinya kini sedang ada dalam dekapan hangat sang suami.“Kenapa menatapku begitu, h
Brak!Mervyn membuka pintu kamar, mendapati Mireya yang kini sedang melipat pakaian sembari duduk di tepi kasur bermotif bunga mawar.Wanita itu mendongak saat mendengar derit pintu, lalu bergegas bangkit menghampiri suaminya yang baru pulang ke rumah entah dari mana.“Kamu sudah kembali?” sambut Mireya seraya tersenyum manis.Mervyn, dengan wajah garang serta sorot mata yang menunjukkan amarah, sama sekali tidak menjawab kalimat tanya yang diajukan oleh Mireya.Di sepanjang jalan menuju ke rumah, Mervyn sudah terlalu banyak menahan emosi, dan sekarang kemarahan itu bertambah semakin besar saat dia melihat ekspresi lugu istrinya yang terkesan seakan tidak melakukan kesalahan apa pun di belakangnya.Mireya menyadari ada yang tidak beres dari raut wajah Mervyn. Lantas pada saat dirinya berada di hadapan Mervyn, dia segera mengangkat satu tangan guna menyentuh pipi pria itu.“Mervyn, apa yang terjadi?” tanya Mireya lembut. “Apa kamu baru saja mendapatkan masalah?” tambahnya.Tatapan Merv
Mireya pun menjelaskan kejadian mengenai Felix yang membohonginya dengan mengatakan bahwa Henry, ayah mereka, sedang mengalami kritis di rumah sakit. Namun, ternyata Felix malah membawanya ke tempat asing dan menjadikannya jaminan utang. “Felix?” Mervyn mengerutkan dahi saat mendengar nama yang tak dia kenal. “Siapa dia?” “Dia kakak laki-lakiku. Kami lahir dari ibu yang berbeda, tetapi masih satu ayah,” terang Mireya. “Kalau begitu, artinya dia juga kakaknya Felly?” tebak pria itu. Lantas Mireya mengangguk. “Ya, mereka satu ibu,” tambahnya. Mervyn manggut-manggut paham, lalu terdiam setelahnya. Akan tetapi, isi kepalanya terus bekerja memikirkan sosok Felix yang telah membuat istri kesayangannya hampir menjadi korban pemerkosaan. Mervyn bersumpah, suatu saat Felix pasti akan mendapatkan balasan yang setimpal atas perbuatannya! “Mervyn, kenapa melamun?” Mireya menyentuh sebelah pipi Mervyn dan membuatnya sedikit terkejut. Mervyn menunduk, menatap ke dalam mata cantik ist
“Hey ... apa yang kamu pikirkan?” Mervyn menyelipkan anak rambut Mireya ke belakang telinga wanita itu. “Aku tidak pernah menganggap kamu pembawa sial. Sebaliknya, aku justru merasa lebih bahagia setelah bertemu kembali dengan kamu dan anak-anak. Siapa bilang kalau kamu pembawa sial?”Mireya merasa sedikit lebih lega. Namun, perasaan sedih dan bersalah itu masih belum hilang sepenuhnya dari dalam diri. Melihat kondisi Mervyn yang tidak berdaya seperti saat ini membuatnya sangat sedih.“Mervyn, apa boleh aku menceritakan alasan yang sebenarnya?” tanya Mireya seraya mendongak, menatap mata sang suami dengan lebih serius dan dalam.Cup!Mervyn mengecup pelipis Mireya lekat-lekat. “Ceritakanlah,” balasnya.Mireya menghela napas sejenak. “Sebenarnya ... saat tiba di rumah sakit, aku duduk menunggu kamu di luar ruangan. Aku terus mendoakan untuk keselamatan kamu. Kemudian, tiba-tiba Ibu datang bersama Lisa. Aku menjelaskan pada Ibu mengenai apa yang terjadi dengan kamu, lalu Ibu menyalahkan
Setelah menjalani rawat inap selama hampir satu minggu di rumah sakit, Mervyn akhirnya diperbolehkan pulang oleh dokter hari ini. Akan tetapi, dia tetap membutuhkan banyak istirahat di rumah, supaya proses penyembuhan luka di perutnya lebih cepat selesai.Malam itu, di saat Marcell dan Michelle sedang belajar bersama di kamar mereka, Mireya membuatkan segelas susu hangat untuk Mervyn.Mireya menghampiri Mervyn yang berbaring di atas kasur, meletakkan sejenak gelas di atas meja. Kemudian, membantu Mervyn mengubah posisi menjadi duduk dengan kedua kaki diluruskan serta punggung yang bersandar pada kepala kasur.“Minumlah ...” ucap Mireya sembari menyodorkan kembali susu di dalam gelas berbahan kaca ke arah Mervyn.“Terima kasih,” ucap Mervyn seraya mengambil alih benda itu dan mulai meneguk minumannya pelan-pelan.“Mireya, aku mau tanya sesuatu.” Mervyn meletakkan gelas di atas meja, lalu menatap istrinya dengan serius.“Tanyakan saja,” kata Mireya yang tengah duduk di tepi kasur, menun