Hampir tiga puluh menit lamanya Rere menunggu make over yang dilakukan pegawai salon ini kepada Nia. Diambilnya lagi ponsel di dalam tas sebagai obat penghalau jenuh.
"Bu ...."
Rere yang tadinya menunduk dengan tangan merogoh ke dalam tas. Sontak langsung menengadahkan kepalanya saat telinganya mendengar ada seseorang yang memangilnya dan bahkan sudah berdiri di depannya. Bersama seorang wanita mungkin adalah orang yang paling berjasa mengubah Nia.
Kemudian Rere tersenyum puas saat melihat make over yang terjadi pada asisten pribadinya. Berulang kali dilihatnya dari atas ke bawah sambil melebarkan senyumnya.
Dengan riasan wajah yang ringan, tidak terlalu menor tapi elegan. Tak ada lagi behel dan kaca mata tebal yang menghalangi pandangan orang untuk melihat betapa cakntiknya Nia,
"Begini seharusnya seorang asisten Dewi Revia Ananta. Mmm ...."
Nia tersenyum saat mendengar apa yang baru saja Rere katakan, dan itu tidak aneh, sebab ia pun merasa pangling pada dirinya sendiri.
"Bagaimana, Apakah anda puas dengan yang saya lakukan untuk me-make over mbak, ini?" tanya perempuan yang di dari papan nama yang tertera di dadanya bernama Lina.
"Ya ... Aku puas." Jawab Rere sambil memberikan sebuah kartu pembayaran yang berwarna gold.
Lina tersenyum, dengan sedikit menundukkan badan, tangannya menerima kartu dari tangan Rere a
"Sebentar kami proses dulu pembayaran anda." Ujarnya sambil melangkah pergi mendekati meja kasir yang berada di pojok ruangan itu. Sesaat setelah Rere menyetujui permintaan Lina.
"Bagaimana, tadi sambil diajarin nggak caranya dandan? Biar besok besok bisa ngerias sendiri." Tanya Rere yang masih fokus pada penampilan baru Nia.
"Sudah, Bu." Jawab Nia dengan malu malu kucing.
"Kamu nggak sekalian beli kosmetik yang sedang kamu pakai itu, nggak?"
Nia tak menjawab pertanyaan bossnya. Dia hanya menggelengkan kepalan beberapa kali sambil menatap lantai.
Rere hanya bisa menghela nafas panjang saat Nia-- yang memang di kenalnya sangat sederhana itu hanya menggelengkan kepala.
"Kenapa, kurang gajimu?" Tanya Rere tanpa melihat ke arah anak buahnya, kemudian tanpa menunggu jawaban dari Nia, Rere berjalan mendekati mbak yang tadi membawa kartu miliknya.
"Sekalian kosmetik yang tadi dipakai ya, Mbak. Itu semua kira kira cocok nggak buat dia." Tanya Rere pada Lina.
"Semoga cocok, sebab tadi sudah di lihat jenis kulitnya di lab, Bu." Jawab Lina, tetap dengan senyum ramahnya.
"Kalau gitu sekalian beli lengkap dengan alat riasnya ya."
"Baik, Bu." Jawab mbak itu lagi, yang kemudian segera meninggalkan Rere masuk ke dalam salon.
"Sebentar ya, Bu. Nunggu barangnya di ambil." Ujar Mbak yang di belakang meja kasir.
Rere hanya mengangguk sambil tersenyum. Dengan mata kembali menatap Nia yang duduk di tempatnya tadi.
Tak lama kemudian, Lina datang membawa apa yang dipesan oleh Rere kemudian meletakkannya di meja kasir.
"Mbak ini pesanannya ibu ini," ujar Lina pada temanya si Mbak kasir.
"Ibu, ini barangnya, terimakasih sudah percaya pada salon kami. Maaf jika saya harus kembali ke dalam karena ada pekerjaan lain yang menunggu." pamit Lina yang mendekat pada Rere sambil merapatkan kedua tangannya di depan dada.
Rere hanya membalas dengan senyuman dan anggukan kecil atas sikap yang Lina tunjukkan padanya.
"Ibu, ini kartu anda, dan juga kosmetik yang anda pesan, terimakasih sudah percaya pada salon kami." Mbak kasir di belakang meja memberikan bungkusan kresek warna putih dengan tulisan logo salon.
Dia juga melakukan hal yang sama seperti yang Lina lakukan tadi, menyatukan kedua telapak tangannya rapat di depan dada, sambil setengah membungkuk saat mengucapkan terimakasih.
Rere segera berlalu setelah menerima bungkusan dan kartu dari mbak kasir salon. Kemudian dengan isyarat mata dan kepala, dia menyuruh Nia untuk bangun dan mengikutinya keluar ruangan.
Selama dalam perjalanan kembali ke kantor, tak ada pembicaraan selain cerita Nia saat dirinya di make over, tadi ....
"Dengar, Nia. Aku hanya ingin kau tahu bahwa tak ada seorang pun di dua ini yang jelek. Hanya saja mungkin mereka masih takut untuk memulai berubah, sama sepertimu." Ujar Rere, tangannya sambil memutar kunci kontak mobilnya.
"Ini, kamu harus bisa merawat dirimu sendiri." Rere memberikan bungkusan yang berisikan kosmetik dan peralatannya ke tangan Nia.
"Yang sekarang kamu harus banyak belajar adalah, jangan terlalu percaya pada makhluk Tuhan yang bernama lelaki, ingat itu, Nia."
Nia yang tak dapat lagi menahan haru, langsung memeluk perempuan cantik yang menjadi atasannya dan juga sekaligus sahabat.
"Terimakasih, Bu. Saya bingung harus bagaimana membalas kebaikan ibu selama ini."
"Aku sudah mentransfer sejumlah uang, beli baju yang pantas buat besok, aku nggak mau kamu kelihatan lusuh di depan penggantimu, kamu mengerti itu, Nia?"
Nia hanya bisa mengeratkan pelukannya di tubuh Nia, tiba tiba mulutnya menjadi kelu, hanya isak yang terdengar.
"Sudah ... Sekarang keluar dari mobilku,. Dan cepat pulang, aku tak mau kau ganggu aku lagi hari ini."
Dengan tersenyum bahagia, Nia keluar dari mobil, begitu pun juga dengan Rere.
Ada yang berbeda saat mereka memasuki lift atau berjalan menyusuri koridor kantor. Semua mata sepertinya menatap heran dan takjub pada sosok yang melangkah di belakang Rere.
Dan itu di sadari oleh Rere maupun Nia.
"Ingat apa yang ku ucapkan tadi, Nia." Bisik Rere sambil terus melangkah.
"Siap, Bu!" Jawab Nia yang juga setengah berbisik.
"Kamu langsung pulang, dan kerjakan apa yang aku perintahkan." Usir Rere saat mereka sudah berada di depan meja tempat Nia.
Dan itu berarti berada tepat di depan pintu masuk ke ruangan Rere.
"Iya, Bu." Jawaban singkat Nia cukup membuat Rere tak lagi berkomentar, dia pun langsung masuk ke dalam ruangannya dan menutup pintu itu kembali.
Rere langsung melempar tubuhnya ke sofa empuk di belakang meja yang menghadap ke pintu.
Tiiiiit! Tiiit!
Baru saja Rere memejamkan matanya. Suara intercom memaksanya untuk membuka matanya kembali dan mengulurkan tangan mengambil gagang telpon.
"Hallo ...."
"Maaf, Bu. Ada seseorang yang ingin bertemu dengan ibu, dari kantor pusat."
"Suruh masuk aja,"
"Baik, Bu."
Rere mendengus kesal, belum selesai kerjaan merapikan barangnya, kini malah datang seorang tamu dari kantor pusat.
Tooook! Tok!
"Masuk!" Jawab Rere sambil berdiri dari kursinya.
Pintu terbuka, mata Rere terbeliak melihat siapa yang datang, senyumnya langsung melebar, dengan tangan terbuka. Ia menghampiri tamunya dengan langkah cepat.
"Alman ...!"
"Apa kabar, kawan!" Jawab laki laki tampan yang mempunyai rahang tegas, mata tajam berwarna biru serta berbadan tegap, melangkah memasuki ruangan dengan tangan yang juga terbuka menyambut Rere yang melangkah ke arahnya."Tambah keren aja, Nih." Ujar Rere saat mereka berpelukan sekilas."Kamu tambah cantik, Dew," balas lelaki yang bernama Alman. Sambil mengurai pelukannya.Alman adalah salah satu teman terdekat Rere waktu masih SMA dulu, dan hanya orang orang SMA-nya saja yang memanggil Rere dengan sebutan Dewi."Ada apa, kok bisa bisanya sampai ke sini?" tanya Rere sambil mempersilahkan tamunya untuk duduk di sofa berbentuk L yang berada di samping kiri meja kerjanya."Kamu nggak tahu kenapa aku datang? Serius?" bukannya menjawab pertanyaan Rere, Arlan malah balik bertanya dengan raut muka tak percaya."Serius lah, ada apa sebenarnya?""Kamu tahu send
"Kau tetap Dewi di dalam hatiku" goda Alman tanpa senyum, juga tanpa menoleh ke arah perempuan cantik yang melangkah di sampingnya."Ish ...." Jawab Rere yang memutar bola matanya, salah tingkah karena di goda Alman.Tanpa sepengetahuan Rere, senyum melebar di bibir Alman saat tahu sikap Rere yang salah tingkah karenanya."Ini, kamu aja yang bawa mobil, bukankah kamu yang tahu tempat yang akan kita tuju?" Ujar Alman saat mereka sudah berada di tempat parkir khusus staf.Alman memberikan kontak mobilnya ke tangan Rere yang terulur ke arah lelaki itu."Baru datang sudah punya mobil, woow, anda luar biasa pak Alman Barasta." ucap Rere yang langsung terpesona saat tahu jenis mobil apa yang dipunyai oleh orang yang akan menggantikan kedudukannya nanti."
Sambil menghela nafas panjang, Rere membungkukkan badannya hendak merangkak menjauh, namun belum juga melangkah, tangannya sudah ditangkap Alman."Jangan menjauh!" Cegah Alman dengan tatapan mata yang kembali membuat Rere bergidik."Mmm ...." Dengus Rere, sambil memalingkan wajahnya ke arah yang berlawanan dari Alman."Tidak akan kulakukan lagi kalau kau tidak melakukan apa yang tadi kularang.""Kalau kau terus mengintimidasi, lebih baik kita tidak usah berteman lagi." Dengan mengibaskan tangannya dari genggaman Alman, Rere ingin melanjutkan keinginannya untuk terus menjaga jarak."Aku janji, tidak akan mengulanginya lagi, asalkan kau juga tidak memancingku untuk melakukannya." Dengan menampakkan wajah serius.Rere sepertinya tak perduli dengan janj
"kalau ada yang mau makan aja, ya!" teriak Rere, saat meletakkan bungkusan dari tempat makan yang tadi belum sempat dicicipi oleh dia dan Arlan. Berharap agar teman kos yang lain agar meraka tidak sungkan untuk menikmatinya.Sekejap saja, teman kostnya yang rata rata masih kuliah itu, langsung berkumpul di tempat makan. Sambil mengucapkan terimakasih pada Rere.Rere memang sengaja tidak menggunakan fasilitas apartemen dari kantor, karena dirinya yang penakut dan selalu butuh teman.Rere kemudian masuk ke dalam kamarnya, dan langsung menuju ke kamar mandi, setelah sebelumnya meletakkan tas dan mengambil baju ganti.Tempat kost Rere bukan tempat kos biasa, satu ruang berlantai dua dengan enam kamar di mana per kamar sudah difasilitasi kamar mandi sendiri, dan mesin pendingin ruangan. Perkamar juga hanya boleh di huni satu orang. Ada televisi serta seorang maid yang membantu membersihkan rumah, ta
"Rere, kita pulang bersama ke Jakarta, gimana?" tanya Mr Bagas saat mereka berdua di kursi, makan bersama."Kapan, Mr Bagas? Kalau sekarang tidak bisa, saya tidak mendapatkan tiket?" Jawab Rere yang dengan wajah kecewa."Apa maksudmu dengan tiket? Aku tidak pernah menyewakan pesawat pribadiku kepada siapa pun."Sontak Rere minta maaf, atas ucapannya tadi."Hahahah! Aku bercanda Dew, kenapa kamu jadi sekaku itu di depanku." jawab Mr Bagas sambil tertawa lepas."Saya kira Mr marah karena ucapan saya, Jujur saya lupa kalau Mr naik pesawat pribadi.""Jadi ... Bagaimana? Kamu mau kan ke Jakarta bersamaku." ulang Mr Bagas ke Rere yang masih belum menjawab pertanyaannya."Baik. Mr."
Rere duduk termenung di pojok kantin, di depannya ada secangkir kopi yang masih terlihat masih mengeluarkan asap.Dia seperti tak perduli dengan keadaan kantin yang ramai saat itu, banyak orang yang menyapanya atau sekedar tersenyum ke arahnya, namun tak satu pun yang dia balas.Dengan bersandar pada sandaran kursi yang sedang ia duduki, Rere memejamkan mata dengan tangan memeluk tasnya yang berada di pangkuan.Rere bingung dengan apa yang baru saja ia alami. Bayangan saat bersama Alman tadi membuatnya merasa tidak di hargai. Namun di sisi lain dia juga merasa simpati, saat mendengar alasan kenapa Alman melakukan itu kepadanya.Salah satu tangan Rere terulur ke arah cangkir kopinya, kemudian di minumnya sedikit, hanya sebagai pembasah kerongkongannya saja.Ponsel di dalam tasnya bergetar, Rere dapat merasakan getaran itu, meski tangannya berada di
Melihat pak Bagas sudah menghilang, Rere segera menuju ke kabin pesawat untuk mengambil barangnya.[ Din, kamu di mana?] Tanya Rere saat telpon yang ditelinganya tersambung.[ Lagi ada di apartemen, Bu!][Jemput aku sekarang!]Rere langsung mematikan sambungan telponnya, dan langsung memberikan lokasi di aplikasi berwarna hijau ke Udin.Nampak angka yang bertambah di pesan Alman kepadanya. Namun tak membuat Rere penasaran untuk membukanya.Dengan membawa dua koper besar, Rere melangkah menuju kantin di dalam bandara."Mbak, pesan kopi satu, ya!" Pinta Rere, tangannya juga mengambil roti sobek yang di pajang di atas meja kasir.Lima menit menunggu, akhirnya pesanan nya datang juga.Rere kemudian langsung membawa kopi dan roti yang sudah dibelinya ke sebuah meja yang letaknya di dekat pintu, agar mempermudah Udin untuk segera mengena
[ Eh jangan dong sayang,] cegah Alman terdengar seperti sedang merengek.Tak ada jawaban dari Rere. Dia hanya menjadi pendengar dan membiarkan Alman yang sedang bercerita. Hingga tanpa sadar Rere tertidur dengan ponsel yang masih menyala.****"Ya, sebentar ...!" Rere terbangun saat mendengar ada ketukan di pintunya. "Mbak, maaf harinya sudah petang." Suara berat Mak terdengar di balik pintu. "Iya, Mak. Makasih." Dengan sedikit berteriak Rere membalas ucapan mak. Hingga terdengar suara langkah Mak yang menjauh.Mata Rere langsung melotot saat melihat di ponselnya yang masih menyala, wajah Alman sedang menatapnya sambil tersenyum. Berarti sejak dia tertidur ponselnya bersambung terus dengan Alman."Kamu di mana?" Taya Rere saat melihat background tempat
"Mbak ...." panggil Mak dari arah luar pintu, kedua tangannya membawa baki berisi piring yang kemudian dia letakkan di atas meja."Yang lainnya biar aku yang ambil, Mak," ujar Dewa yang segera berlari ke luar pintu, menuruni tangga, kemudian naik lagi ke atas dengan tangan kanan membawa dua botol minuman air mineral yang terlihat basah karena dingin. Dan keranjang buah."Mak, sini. Kita makan bersama? Looo kok piringnya cuma dua?" tanya Dewa saat melihat di atas meja."Saya sudah makan tadi, tuan, maaf."Dengan sedih Mak meminta maaf karena sudah membuat Dewa dan Rere kecewa."Nggak pa-pa kok, Mak."Dewa tersenyum, dia tak ingin membuat Mak merasa bersalah hanya karena masalah sepele."Dan ... jangan panggil saya dengan sebutan tuan, mas aja, ya." pinta Dewa dan kali ini ditanggapi oleh senyum dan anggukan Mak sebagai jawaban dari permintaan Dewa padanya.Dewa dan Rere pun segera menikmati makan si
Dari samping tubuh Rere, Dewa sedikit membuka kancing atas daster yang istrinya pakai, hingga tampaklah dengan jelas di depan matanya bukit lembut, kenyal dan indah yang menawarkan wangi sabun.Dewa mengulum dua pucuk bukit berwarna merah itu dengan lembut, secara bergantian. Suara khawatir Rere yang tadinya terdengar kini berganti dengan erangan manja.Tangannya pun tak mau kalah, meremas dan memilin, hingga membuat desahan Rere semakin terdengar."Mas ...," ujar Rere di sela sela rintihan akibat kenikmatan yang Dewa berikan.Tak ingin bermain kasar dan cepat, Dewa sengaja membuka baju atau pun celana dari tubuh istrinya, teringat pesan dari dokter tadi di rumah sakit, dia harus bermain pelan.Dia ingin istrinya merasakan lebih dulu kenikmatan sentuhan agar istrinya bisa lebih tenang."Mas ...."Dewa tersenyum, akhirn
"Mak sama siapa?" tanya Rere, dengan mata berbinar melihat orang yang berdiri di hadapannya."Sendirian, mbak. Soalnya kan Nur masih sekolah." Mak menjawab sambil melangkah mendekat dan langsung memeluk Rere."Terima kasih," ujar Rere pada Dewa sesaat setelah mengurai pelukannya dengan Mak."Hu um." Singkat dan padat Dewa menjawab."Aku bawa Rere ke kamar dulu ya Mak," ujarnya, kemudian mendorong kursi yang diduduki Rere masuk ke dalam.Mak hanya mengangguk dan menutup pintu kemudian mengikuti Dewa yang membawa Rere dari belakang punggungnya."Mak, dua hari lagi saya balik ke Jakarta, tolong jaga Rere ya. Jangan sampai keluar dari kamar," pesan Dewa sambil terus mendorong kursi roda."Kok gitu sih, Mas?!" protes Rere dengan nada tidak suka."Selama seminggu kamu harus banyak istirahat, jaga nutrisi buat anak kita. Aku tidak mau lagi melihat kamu seperti ini." Dewa menjelaskan alasannya kenapa harus
Rere terjaga saat badannya seperti sedang dipeluk oleh seseorang."Mas ...!" serunya kaget, Dewa sudah berbaring di sebelah, dengan tangan mengukung pinggangnya."Biarkan seperti ini, aku kangen banget, Re," pinta Dewa dengan mata terpejam. Sesekali dia menciumi wajah Rere."Malu, Mas. Bagaimana nanti kalau perawat jaga datang ngontrol?" Rere menggerak gerakkan badannya, mencoba melepaskan diri dari kung- kungan tangan Dewa."Mereka sudah datang tadi, pas kamu tidur, jadi aman.""Tapi sempit, Mas.""Apa kamu mau aku menghukummu di sini, sekarang?" ancam Dewa, terdengar sangat menyeramkan di telinga Rere."Memangnya aku punya salah apa?""Tidak usah sok bego, Revia Dewi Ananta. Diam dan tidurlaah." Dewa mulai berkata tegas.Rere terdiam, terasa ada sesuatu yang lembut menciumi cerug lehernya berulang kali, hingga menciptakan senyum yang tak lekang di bibirnya.Matanya menatap langit langit kamar, sunggu
"Mau ke mana, Yang!" tanya Dewa yang baru saja keluar dari kamar mandi yang letaknya di depan ranjang rawat Rere. Dan langsung memergoki istrinya yang seperti hendak turun dari ranjang."Aku ...." Rere sontak tergagap, tangannya yang hendak melepaskan selang infus dari lengannya, perlahan turun kembali ke samping badannya.Tampak sekali betapa kagetnya Rere saat tahu kalau ada Dewa yang sedang menemaninya.Selimut yang tadi ia hempas ke samping ranjang, terpaksa dia tarik lagi dengan perlahan. Membuat Dewa yang melangkah mendekatinya hanya bisa menggelengkan kepala perlahan melihat kelakuan Rere."Kau ingin apa, minum? Atau mau makan?" tanya dewa yang berdiri di samping ranjangnya, tangannya memperbaiki posisi letak selimut yang ada di kakinya.Rere tak menjawab, entah kenapa kali ini dia kembali duduk dari tidurnya, kemudian dengan mendorong tiang infus, melangkah menuju ke kamar mandi."Apa mau aku bantu?" Dewa masih berusaha m
Dewa hanya bisa terus menerus menatap sang istri yang tertidur karena obat, tangannya menggenggam erat jemari Rere.Entah apa yang ada di dalam benak lelaki tampan itu. Sesekali tangannya yang bebas mengusap perut di mana ada calon anaknya. Dengan mata berkaca kaca, pandangannya menatap nanar pada sang istri."Aku sudah menghubungi pak Bagas, beliau memintamu untuk jangan dulu menghubungi keluarga yang di Surabaya, karena pak Satria baru saja di perbolehkan pulang." Alman yang masuk ke dalam ruangan, dengan suara pelan, langsung memberikan laporan."Bagaimana kondisinya?" tanya Alman lagi, matanya ikut menatap sang sahabat yang terbaring. Berdiri di samping kursi yang Dewa duduki."Dia hanya butuh istirahat dan tenang," jawab Dewa."Ya, aku pikir juga seperti itu,""Sekarang bagaimana caranya untuk membuat dia tetap tenang saat tahu aku ada di sini." Tampaknya Dewa masih sangat kepikiran dengan masalah yang di alaminya dengan san
"Mbak Wita, tolong bantu mbak Dewi masak ya," pinta Vera pada seorang perempuan yang sepertinya dari tadi hanya mengawasi saja, orang orang yang seliweran bekerja di dapur, saat itu."Masak apa, mbak?" tanya wanita yang tadi dipanggil Wita oleh Vera, kepada Rere."Biarkan dia yang menentukan menunya, tolong di maklumi orang lagi ngidam," jawab Vera sambil tersenyum, yang langsung di iyakan oleh Wita.Seketika terdengar dengungan orang yang berkata 'o'."Kalian mau makan apa?" tanya Rere pada Vera, dengan tangan yang sibuk menggunakan bib apron, salah satu celemek paling umum yang biasanya dipakai oleh para koki."Apa saja boleh kok, Mbak,"jawab Vera yang kemudian pamit untuk duduk bersama kekasihnya, Faisal.Baru lima belas menit Vera duduk, seorang karyawan datang membawa minuman ke meja, Vera langsung mengenduskan hidung ke udara saat tercium aroma yang sanggup membuat orang lapar."Dengan jarak yang sedemikian jauh, mbak Rere
"Pagi, mbak ...," sapa Faisal yang datang pagi itu untuk menjemput Vera dan Rere.Rere setuju untuk membantu Vera di bagian keuangan cafe yang dirintisnya, karena selama ini Vera cukup direpotkan, semuanya harus dia sendiri yang handle."Sudah sarapan, Sal?" tanya Rere yang baru saja keluar dari pintu pagar, kepada Faisal yang juga tengah membantu Vera meletakkan barang di bagasi mobilnya."Kami biasa makan bersama, mbak. Hanya di saat itu yang bisa kami nikmati berdua." Vera membantu menjawab pertanyaan Rere kepada Faisal, kekasihnya."Mmm ... Sepertinya itu bisa kutiru nanti," sahut Rere. Yang di sambut senyum bahagia Vera dan Faisal.Tanpa mereka bertiga sadari, di seberang jalan, sepasang mata rindu milik Dewa sedang mengawasi Rere dari dalam mobil.Andai saja tidak memikirkan resiko, Ingin rasanya Dewa segera terbang menemui sang istri, apa lag
"Hai .... Wa!"Dewa yang saat itu tengah terpekur menatap layar komputer, langsung mendongakkan kepalanya saat mendengar suara orang yang menyapa bersamaan dengan bunyi derit pintu yang dibuka."Alman, ada perlu apa datang ke sini? Bukannya dua minggu lagi kamu akan nikah?" sapa Dewa yang langsung berdiri dengan wajah ceria, membuka tangannya untuk menyambut saat tahu siapa yang datang siang itu."Brugh!"Dewa yang tak menyangka dapat serangan tiba tiba, hanya bisa pasrah menerima pukulan keras di rahangnya."Apa yang sudah kau lakukan pada Dewi?"Dengan tangan meraba pipi yang tadi di pukul Alman, Kening Dewa mengernyit, mendengar pertanyaan dari sahabatnya yang baru datang itu, bagaimana Alman bisa tahu kalau dirinya sedang bermasalah dengan Dewi."Aku ....""Brugh ....!"Belum selesai Dewa menjelaskan, Alman kembali melayangkan pukulannya di tempat yang sama, di wajah Dewa.D