Sambil menghela nafas panjang, Rere membungkukkan badannya hendak merangkak menjauh, namun belum juga melangkah, tangannya sudah ditangkap Alman.
"Jangan menjauh!" Cegah Alman dengan tatapan mata yang kembali membuat Rere bergidik.
"Mmm ...." Dengus Rere, sambil memalingkan wajahnya ke arah yang berlawanan dari Alman.
"Tidak akan kulakukan lagi kalau kau tidak melakukan apa yang tadi kularang."
"Kalau kau terus mengintimidasi, lebih baik kita tidak usah berteman lagi." Dengan mengibaskan tangannya dari genggaman Alman, Rere ingin melanjutkan keinginannya untuk terus menjaga jarak.
"Aku janji, tidak akan mengulanginya lagi, asalkan kau juga tidak memancingku untuk melakukannya." Dengan menampakkan wajah serius.
Rere sepertinya tak perduli dengan janji yang diucapkan Alman. Untuk kedua kalinya, ia mencoba melepaskan tangan dari genggaman Alman.
"Dew ... please!"
Alman memandang Rere kini dengan tatapan yang berbeda, hingga membuat Rere yang memang sangat menyukai mata elang milik Alman tak bisa menolak keinginan lelaki itu.
Bersamaan dengan kembalinya Rere yang duduk di tempatnya semula, seorang pelayan pria datang membawa baki yang beroda kecil, di ikuti di belakangnya seorang perempuan yang berseragam sama.
Selesai meletakkan baki, pelayan lelaki melangkah mundur, sepertinya memberikan tempat untuk pelayan perempuan melakukan tugasnya.
Rere dan Alman hanya diam saat menyaksikan di depannya mulai dipenuhi oleh piring piring berisi makanan yang tadi mereka pesan.
"Selamat menikmati." Ujar dua orang pelayan itu dengan senyum sambil sedikit membungkukkan badannya, kemudian segera berlalu setelah Alman memberikan tip di atas baki mereka.
Rara yang sudah tak berselera akibat kejadian tadi, hanya bisa menatap isi dari piring piring yang bertebaran di depannya.
Berbeda dengan yang Alman lakukan. Dia dengan entengnya mengambil piring dan nasi kemudian ia letakkan di depan Rere. Kemudian melakukan hal yang sama namun kini ia letakkan tepat di depannya.
"Ayo makan."
"Mmm ...."
"Kenapa kamu semarah itu, padahal aku melakukannya karena kau tidak mau menurutiku. Kenapa tidak pada saat Yunan yang melakukannya?"
Lagi lagi Rere hanya bisa mendengus kesal saat Alman mulai mengingatkannya tentang kenangan yang tidak ingin ia ingat.
"Aku sudah bilang, kalau aku akan membuatmu jatuh cinta kepadaku, asalkan kau mau menerima apa yang kulakukan untukmu."
"Untuk apa?"
"Karena aku mencintaimu, Dewi. Aku tahu kamu paham benar tentang ini, jadi jangan pura pura lupa."
"Tapi ...."
"Kita bahas nanti lagi, sekarang makan, atau ...." Alman sengaja menghentikan ancamannya sambil menyeringai jahat.
"Atau ...."
"Aku akan maksa menyuapimu di depan anak anak itu."
Rere menengok ke arah yang ditunjuk Alman melalui kepalanya tadi, dan benar aja, ada beberapa anak yang sedang memperhatikan mereka berdua.
Dengan berat hati, Rere mengulurkan tangannya mengambil piring yang tadi Alman isi dengan nasi.
Kemudian tangannya juga menarik piring berisi ayam bakar madu yang dipesannya tadi, lebih dekat ke arahnya.
Malas yang awalnya terasa, berubah saat sesuap nasi dan secuil ayam beserta sambal masuk meluncur ke dalam mulutnya.
Tanpa malu malu lagi, Rere langsung menemukan lagi selera yang sempat hilang tadi, bahkan kini dia sudah tak perduli dengan tatapan dan senyuman bibir makhluk tampan yang tak henti memandanginya.
"Huk! Huk!"
"Minum dulu." Suruh Alman sambil mengulurkan segelas es jeruk ke tangan Rere.
Rere menerima gelas yang diulurkan Alman kemudian meminumnya hingga menyisakan isi setengahnya saja.
Diletakkan gelas yang baru saja di minumnya tanpa melihat sama sekali ke arah Alman. Walau dia sadar Alman masih menatapnya.
Kemudian dengan cueknya, Rere kembali meneruskan makannya dengan lahap, hingga hanya tersisa tulang ayam di piring.
"Alhamdulillah!" Ujarnya setelah menghabiskan segelas es jeruk yang tersisa tadi, kemudian mencuci tangannya di mangkok yang hanya berisi air dan sedikit potongan jeruk nipis.
"Kenyang?" Tanya Alman dengan penuh perhatian, tangannya kembali terulur memberikan kain lap berwarna putih.
"Mmm ...." Rere hanya bergumam,. Tangannya menyambut kain lap yang Alman berikan tanpa sekalipun menoleh ke arah si pemberi.
"Mau meneruskan jalan jalan, nggak?" tanya Alman lagi.
"Jalan jalan? Kamu kan belum makan?" Tanya Rere membuat dirinya sontak menatap wajah bermata elang itu.
"Melihatmu makan tadi, sudah cukup membuatku kenyang." Jawabnya sambil tersenyum hangat, hingga membuat Rere sontak tertawa ngakak, menertawakan kegesrekan dirinya sendiri.
Alman bergeser ke tepi, kemudian berdiri sambil menoleh ke kanan dan ke kiri.
"Mas!"
Seorang lelaki berseragam datang menghampiri Alman, dengan tetap mendorong baki beroda.
"Ya, Pak! Ada yang bisa saya bantu?"
"Tolong di bungkus semua yang di sini ya?" Pinta Alman sambil menunjuk ke piring piring yang berisi masakan yang sama sekali tak tersentuh olehnya dan Rere.
"Baik, Pak!" Jawab pria berseragam itu sambil tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Kemudian menghampiri gazebo tempat Rere yang masih duduk kekenyangan.
"Permisi." Ujar si pria tadi, yang kembali memberikan mengangguk ramah dengan memberikan senyum hangat pada Rere saat tanpa sengaja mereka saling bertatapan.
"Ayo, Dew. Kita tunggu di kasir." Ajak Alman dengan tangan terulur untuk membantu Dewi berdiri dari duduknya.
Jangankan menyentuh tangan Alman, menengok pun Rere sudah tidak lagi, mungkin kejadian tadi kembali membuat hatinya kesal. Rere berdiri dan melewati si pria berseragam yang tampaknya juga meliriknya dengan sembunyi.
"Ayo!" Jawab Rere yang melangkah melewati Alman yang berdiri di pinggir gazebo.
Meninggalkan Alman yang hanya bisa mengepalkan tangannya yang terlanjur terulur tadi. Kemudian melangkah dengan mulut membisu jauh di belakang Rere, yang sudah duduk di kursi depan kasir.
"Kita langsung pulang saja, aku sedang nggak enak hati." Ujar Rere saat Alman baru saja meletakkan pantatnya di kursi disebelah kiri Rere.
"Kenapa?" Tanya Alman, yang duduk dengan membelokkan arah ke arah wanita cantik berbibir manis.
"Nggak papa, lagian aku belum membenahi barang yang akan kubawa ke Jakarta." ujar Rere, dengan mata menatap nanar ke lantai.
"Kamu yakin?"
"Ya!"
Jawaban singkat Rere membuat Alman menarik nafas panjang dan menghembusnya kasar.
"Apa perlu bantuan untuk membereskan barangmu?" Tanya Alman masih dengan penuh perhatian.
"Tidak usah, terimakasih." Tukas Rere,
Rere sengaja berbohong tentang alasan kenapa dia tidak ingin melanjutkan jalan jalannya bersama Alman, andai Alman tahu, semua barangnya sudah siap dia beresi.
"Pak, terimakasih!"
Seorang mbak berseragam menghampiri Alman dan Rere, tangannya mengulurkan bungkusan kresek berwarna hitam dengan logo nama dan gambar rumah tempat mereka makan.
"Sama sama!" Jawab Alman dan Rere, berdua bersamaan. Alman yang menerima bingkisan makanan dari tangan si Mbak, namun kemudian di berikan lagi pada Rere.
"Kok di berikan padaku?"
"kalau ada yang mau makan aja, ya!" teriak Rere, saat meletakkan bungkusan dari tempat makan yang tadi belum sempat dicicipi oleh dia dan Arlan. Berharap agar teman kos yang lain agar meraka tidak sungkan untuk menikmatinya.Sekejap saja, teman kostnya yang rata rata masih kuliah itu, langsung berkumpul di tempat makan. Sambil mengucapkan terimakasih pada Rere.Rere memang sengaja tidak menggunakan fasilitas apartemen dari kantor, karena dirinya yang penakut dan selalu butuh teman.Rere kemudian masuk ke dalam kamarnya, dan langsung menuju ke kamar mandi, setelah sebelumnya meletakkan tas dan mengambil baju ganti.Tempat kost Rere bukan tempat kos biasa, satu ruang berlantai dua dengan enam kamar di mana per kamar sudah difasilitasi kamar mandi sendiri, dan mesin pendingin ruangan. Perkamar juga hanya boleh di huni satu orang. Ada televisi serta seorang maid yang membantu membersihkan rumah, ta
"Rere, kita pulang bersama ke Jakarta, gimana?" tanya Mr Bagas saat mereka berdua di kursi, makan bersama."Kapan, Mr Bagas? Kalau sekarang tidak bisa, saya tidak mendapatkan tiket?" Jawab Rere yang dengan wajah kecewa."Apa maksudmu dengan tiket? Aku tidak pernah menyewakan pesawat pribadiku kepada siapa pun."Sontak Rere minta maaf, atas ucapannya tadi."Hahahah! Aku bercanda Dew, kenapa kamu jadi sekaku itu di depanku." jawab Mr Bagas sambil tertawa lepas."Saya kira Mr marah karena ucapan saya, Jujur saya lupa kalau Mr naik pesawat pribadi.""Jadi ... Bagaimana? Kamu mau kan ke Jakarta bersamaku." ulang Mr Bagas ke Rere yang masih belum menjawab pertanyaannya."Baik. Mr."
Rere duduk termenung di pojok kantin, di depannya ada secangkir kopi yang masih terlihat masih mengeluarkan asap.Dia seperti tak perduli dengan keadaan kantin yang ramai saat itu, banyak orang yang menyapanya atau sekedar tersenyum ke arahnya, namun tak satu pun yang dia balas.Dengan bersandar pada sandaran kursi yang sedang ia duduki, Rere memejamkan mata dengan tangan memeluk tasnya yang berada di pangkuan.Rere bingung dengan apa yang baru saja ia alami. Bayangan saat bersama Alman tadi membuatnya merasa tidak di hargai. Namun di sisi lain dia juga merasa simpati, saat mendengar alasan kenapa Alman melakukan itu kepadanya.Salah satu tangan Rere terulur ke arah cangkir kopinya, kemudian di minumnya sedikit, hanya sebagai pembasah kerongkongannya saja.Ponsel di dalam tasnya bergetar, Rere dapat merasakan getaran itu, meski tangannya berada di
Melihat pak Bagas sudah menghilang, Rere segera menuju ke kabin pesawat untuk mengambil barangnya.[ Din, kamu di mana?] Tanya Rere saat telpon yang ditelinganya tersambung.[ Lagi ada di apartemen, Bu!][Jemput aku sekarang!]Rere langsung mematikan sambungan telponnya, dan langsung memberikan lokasi di aplikasi berwarna hijau ke Udin.Nampak angka yang bertambah di pesan Alman kepadanya. Namun tak membuat Rere penasaran untuk membukanya.Dengan membawa dua koper besar, Rere melangkah menuju kantin di dalam bandara."Mbak, pesan kopi satu, ya!" Pinta Rere, tangannya juga mengambil roti sobek yang di pajang di atas meja kasir.Lima menit menunggu, akhirnya pesanan nya datang juga.Rere kemudian langsung membawa kopi dan roti yang sudah dibelinya ke sebuah meja yang letaknya di dekat pintu, agar mempermudah Udin untuk segera mengena
[ Eh jangan dong sayang,] cegah Alman terdengar seperti sedang merengek.Tak ada jawaban dari Rere. Dia hanya menjadi pendengar dan membiarkan Alman yang sedang bercerita. Hingga tanpa sadar Rere tertidur dengan ponsel yang masih menyala.****"Ya, sebentar ...!" Rere terbangun saat mendengar ada ketukan di pintunya. "Mbak, maaf harinya sudah petang." Suara berat Mak terdengar di balik pintu. "Iya, Mak. Makasih." Dengan sedikit berteriak Rere membalas ucapan mak. Hingga terdengar suara langkah Mak yang menjauh.Mata Rere langsung melotot saat melihat di ponselnya yang masih menyala, wajah Alman sedang menatapnya sambil tersenyum. Berarti sejak dia tertidur ponselnya bersambung terus dengan Alman."Kamu di mana?" Taya Rere saat melihat background tempat
"Mak, di kulkas nggak ada isinya, ya? Kita belanja bareng yuk!" Ajak Rere saat kakinya baru turun dari tangga. Kebetulan hari ini hari Sabtu, hari libur kerja buat dirinya.Tak ada jawaban yang keluar dari Mak, kecuali rengekan Nur."Mau ya, Mak." Pinta Nur yang berbisik dekat Mak yang sedang membuat roti selai di dapur.Namun, walau berbisik, Rere masih dapat mendengarnya dengan jelas."Tapi jangan minta dibelikan sesuatu kalau dah nyampek sana, janji?" Ujar Mak dengan suara yang tak kalah pelannya.Rere tersenyum tak berniat ikut campur saat proses tawar menawar antara ibu dan anak berlangsung."Es cream?" Nur masih menawar."Jangan ya, nanti aja kalau Mak sudah gajian," larang Mak, sembari mendekat ke meja makan sambil membawa baki yang berisi susu dan roti dua lapis."Mbak ...." Ujar Mak saat tangannya meletakkan piring berisi dua ro
Dering ponsel berulang kali terdengar namun Rere sepertinya enggan untuk menyentuh benda pipih yang semalam ia letakkan di sampingnya.Menarik selimut yang entah kenapa merosot ke bawah, kemudian kembali melanjutkan tidurnya.Semalam dia, Mak, Nur dan Udin bergotong royong memilah dan memasukkan barang belanjaan ke tempatnya masing masing.Mereka juga membantunya memasukkan barang barang pribadinya yang masih di dalam dalam koper untuk di letakkan dalam lemari.Tidak cukup itu saja, Nur yang sudah tidur puas di mobil, tidak dapat langsung tidur lagi walau pun sudah larut malam, jadilah mereka berempat menonton televisi, dan menyantap mi instan yang Mak buat hingga tadi dini hari.Ponsel itu berbunyi lagi, Rere tahu siapa yang sedang menghubunginya, Alman! Lelaki itu tak akan berhenti menghubunginya. Sampai dia menerima panggilan video call dari lelaki itu.&nbs
"Pagi, semua." sapa Rere yang baru saja menginjakkan kaki di ruang makan.Mak yang sedang menemani Nur sarapan, sudah membuka mulutnya hendak menjawab sapaan Rere namun, hanya bisa melongo saat mata mereka menatap penampilan Rere."Mak, pangling. Mbak." ujar Mak. Sesaat kemudian setelah kaget nya hilang.Seketika senyumnya merekah, sambil terus menerus menatap wanita yang baru saja turun dari tangga itu."Tapi kaca matanya jelek, kalau di buka pasti lebih cantik." sahut Nur yang sudah rapi dengan seragam barunya, tiba tiba menimpali ucapan Mak.Rere hanya bisa tersenyum mendengar komentar pedas, tangannya memundurkan satu kursi untuk memberikan cukup ruang agar dirinya bisa duduk menikmati sarapan."Maaf, Mbak. Untuk yang sekarang, Mak lebih setuju dengan yang di katakan Nur. Kaca matanya jelek." ujar Mak tulus, tanpa bermaksud menyinggung perasaan Rere yang sedang memak
"Mbak ...." panggil Mak dari arah luar pintu, kedua tangannya membawa baki berisi piring yang kemudian dia letakkan di atas meja."Yang lainnya biar aku yang ambil, Mak," ujar Dewa yang segera berlari ke luar pintu, menuruni tangga, kemudian naik lagi ke atas dengan tangan kanan membawa dua botol minuman air mineral yang terlihat basah karena dingin. Dan keranjang buah."Mak, sini. Kita makan bersama? Looo kok piringnya cuma dua?" tanya Dewa saat melihat di atas meja."Saya sudah makan tadi, tuan, maaf."Dengan sedih Mak meminta maaf karena sudah membuat Dewa dan Rere kecewa."Nggak pa-pa kok, Mak."Dewa tersenyum, dia tak ingin membuat Mak merasa bersalah hanya karena masalah sepele."Dan ... jangan panggil saya dengan sebutan tuan, mas aja, ya." pinta Dewa dan kali ini ditanggapi oleh senyum dan anggukan Mak sebagai jawaban dari permintaan Dewa padanya.Dewa dan Rere pun segera menikmati makan si
Dari samping tubuh Rere, Dewa sedikit membuka kancing atas daster yang istrinya pakai, hingga tampaklah dengan jelas di depan matanya bukit lembut, kenyal dan indah yang menawarkan wangi sabun.Dewa mengulum dua pucuk bukit berwarna merah itu dengan lembut, secara bergantian. Suara khawatir Rere yang tadinya terdengar kini berganti dengan erangan manja.Tangannya pun tak mau kalah, meremas dan memilin, hingga membuat desahan Rere semakin terdengar."Mas ...," ujar Rere di sela sela rintihan akibat kenikmatan yang Dewa berikan.Tak ingin bermain kasar dan cepat, Dewa sengaja membuka baju atau pun celana dari tubuh istrinya, teringat pesan dari dokter tadi di rumah sakit, dia harus bermain pelan.Dia ingin istrinya merasakan lebih dulu kenikmatan sentuhan agar istrinya bisa lebih tenang."Mas ...."Dewa tersenyum, akhirn
"Mak sama siapa?" tanya Rere, dengan mata berbinar melihat orang yang berdiri di hadapannya."Sendirian, mbak. Soalnya kan Nur masih sekolah." Mak menjawab sambil melangkah mendekat dan langsung memeluk Rere."Terima kasih," ujar Rere pada Dewa sesaat setelah mengurai pelukannya dengan Mak."Hu um." Singkat dan padat Dewa menjawab."Aku bawa Rere ke kamar dulu ya Mak," ujarnya, kemudian mendorong kursi yang diduduki Rere masuk ke dalam.Mak hanya mengangguk dan menutup pintu kemudian mengikuti Dewa yang membawa Rere dari belakang punggungnya."Mak, dua hari lagi saya balik ke Jakarta, tolong jaga Rere ya. Jangan sampai keluar dari kamar," pesan Dewa sambil terus mendorong kursi roda."Kok gitu sih, Mas?!" protes Rere dengan nada tidak suka."Selama seminggu kamu harus banyak istirahat, jaga nutrisi buat anak kita. Aku tidak mau lagi melihat kamu seperti ini." Dewa menjelaskan alasannya kenapa harus
Rere terjaga saat badannya seperti sedang dipeluk oleh seseorang."Mas ...!" serunya kaget, Dewa sudah berbaring di sebelah, dengan tangan mengukung pinggangnya."Biarkan seperti ini, aku kangen banget, Re," pinta Dewa dengan mata terpejam. Sesekali dia menciumi wajah Rere."Malu, Mas. Bagaimana nanti kalau perawat jaga datang ngontrol?" Rere menggerak gerakkan badannya, mencoba melepaskan diri dari kung- kungan tangan Dewa."Mereka sudah datang tadi, pas kamu tidur, jadi aman.""Tapi sempit, Mas.""Apa kamu mau aku menghukummu di sini, sekarang?" ancam Dewa, terdengar sangat menyeramkan di telinga Rere."Memangnya aku punya salah apa?""Tidak usah sok bego, Revia Dewi Ananta. Diam dan tidurlaah." Dewa mulai berkata tegas.Rere terdiam, terasa ada sesuatu yang lembut menciumi cerug lehernya berulang kali, hingga menciptakan senyum yang tak lekang di bibirnya.Matanya menatap langit langit kamar, sunggu
"Mau ke mana, Yang!" tanya Dewa yang baru saja keluar dari kamar mandi yang letaknya di depan ranjang rawat Rere. Dan langsung memergoki istrinya yang seperti hendak turun dari ranjang."Aku ...." Rere sontak tergagap, tangannya yang hendak melepaskan selang infus dari lengannya, perlahan turun kembali ke samping badannya.Tampak sekali betapa kagetnya Rere saat tahu kalau ada Dewa yang sedang menemaninya.Selimut yang tadi ia hempas ke samping ranjang, terpaksa dia tarik lagi dengan perlahan. Membuat Dewa yang melangkah mendekatinya hanya bisa menggelengkan kepala perlahan melihat kelakuan Rere."Kau ingin apa, minum? Atau mau makan?" tanya dewa yang berdiri di samping ranjangnya, tangannya memperbaiki posisi letak selimut yang ada di kakinya.Rere tak menjawab, entah kenapa kali ini dia kembali duduk dari tidurnya, kemudian dengan mendorong tiang infus, melangkah menuju ke kamar mandi."Apa mau aku bantu?" Dewa masih berusaha m
Dewa hanya bisa terus menerus menatap sang istri yang tertidur karena obat, tangannya menggenggam erat jemari Rere.Entah apa yang ada di dalam benak lelaki tampan itu. Sesekali tangannya yang bebas mengusap perut di mana ada calon anaknya. Dengan mata berkaca kaca, pandangannya menatap nanar pada sang istri."Aku sudah menghubungi pak Bagas, beliau memintamu untuk jangan dulu menghubungi keluarga yang di Surabaya, karena pak Satria baru saja di perbolehkan pulang." Alman yang masuk ke dalam ruangan, dengan suara pelan, langsung memberikan laporan."Bagaimana kondisinya?" tanya Alman lagi, matanya ikut menatap sang sahabat yang terbaring. Berdiri di samping kursi yang Dewa duduki."Dia hanya butuh istirahat dan tenang," jawab Dewa."Ya, aku pikir juga seperti itu,""Sekarang bagaimana caranya untuk membuat dia tetap tenang saat tahu aku ada di sini." Tampaknya Dewa masih sangat kepikiran dengan masalah yang di alaminya dengan san
"Mbak Wita, tolong bantu mbak Dewi masak ya," pinta Vera pada seorang perempuan yang sepertinya dari tadi hanya mengawasi saja, orang orang yang seliweran bekerja di dapur, saat itu."Masak apa, mbak?" tanya wanita yang tadi dipanggil Wita oleh Vera, kepada Rere."Biarkan dia yang menentukan menunya, tolong di maklumi orang lagi ngidam," jawab Vera sambil tersenyum, yang langsung di iyakan oleh Wita.Seketika terdengar dengungan orang yang berkata 'o'."Kalian mau makan apa?" tanya Rere pada Vera, dengan tangan yang sibuk menggunakan bib apron, salah satu celemek paling umum yang biasanya dipakai oleh para koki."Apa saja boleh kok, Mbak,"jawab Vera yang kemudian pamit untuk duduk bersama kekasihnya, Faisal.Baru lima belas menit Vera duduk, seorang karyawan datang membawa minuman ke meja, Vera langsung mengenduskan hidung ke udara saat tercium aroma yang sanggup membuat orang lapar."Dengan jarak yang sedemikian jauh, mbak Rere
"Pagi, mbak ...," sapa Faisal yang datang pagi itu untuk menjemput Vera dan Rere.Rere setuju untuk membantu Vera di bagian keuangan cafe yang dirintisnya, karena selama ini Vera cukup direpotkan, semuanya harus dia sendiri yang handle."Sudah sarapan, Sal?" tanya Rere yang baru saja keluar dari pintu pagar, kepada Faisal yang juga tengah membantu Vera meletakkan barang di bagasi mobilnya."Kami biasa makan bersama, mbak. Hanya di saat itu yang bisa kami nikmati berdua." Vera membantu menjawab pertanyaan Rere kepada Faisal, kekasihnya."Mmm ... Sepertinya itu bisa kutiru nanti," sahut Rere. Yang di sambut senyum bahagia Vera dan Faisal.Tanpa mereka bertiga sadari, di seberang jalan, sepasang mata rindu milik Dewa sedang mengawasi Rere dari dalam mobil.Andai saja tidak memikirkan resiko, Ingin rasanya Dewa segera terbang menemui sang istri, apa lag
"Hai .... Wa!"Dewa yang saat itu tengah terpekur menatap layar komputer, langsung mendongakkan kepalanya saat mendengar suara orang yang menyapa bersamaan dengan bunyi derit pintu yang dibuka."Alman, ada perlu apa datang ke sini? Bukannya dua minggu lagi kamu akan nikah?" sapa Dewa yang langsung berdiri dengan wajah ceria, membuka tangannya untuk menyambut saat tahu siapa yang datang siang itu."Brugh!"Dewa yang tak menyangka dapat serangan tiba tiba, hanya bisa pasrah menerima pukulan keras di rahangnya."Apa yang sudah kau lakukan pada Dewi?"Dengan tangan meraba pipi yang tadi di pukul Alman, Kening Dewa mengernyit, mendengar pertanyaan dari sahabatnya yang baru datang itu, bagaimana Alman bisa tahu kalau dirinya sedang bermasalah dengan Dewi."Aku ....""Brugh ....!"Belum selesai Dewa menjelaskan, Alman kembali melayangkan pukulannya di tempat yang sama, di wajah Dewa.D