"Kau tetap Dewi di dalam hatiku" goda Alman tanpa senyum, juga tanpa menoleh ke arah perempuan cantik yang melangkah di sampingnya.
"Ish ...." Jawab Rere yang memutar bola matanya, salah tingkah karena di goda Alman.
Tanpa sepengetahuan Rere, senyum melebar di bibir Alman saat tahu sikap Rere yang salah tingkah karenanya.
"Ini, kamu aja yang bawa mobil, bukankah kamu yang tahu tempat yang akan kita tuju?" Ujar Alman saat mereka sudah berada di tempat parkir khusus staf.
Alman memberikan kontak mobilnya ke tangan Rere yang terulur ke arah lelaki itu.
"Baru datang sudah punya mobil, woow, anda luar biasa pak Alman Barasta." ucap Rere yang langsung terpesona saat tahu jenis mobil apa yang dipunyai oleh orang yang akan menggantikan kedudukannya nanti.
"Aku yang heran padamu, ada fasilitas kantor tapi tidak pernah kamu gunakan," sergah Alman. Tangannya membuka pintu mobil dan segera duduk di samping Rere.
"Apa maksudmu? Mobil yang aku pakai merupakan salah satu fasilitas kantor kok?!" Tanya Rere sambil mulai menyalakan mesin mobil.
"Iya, aku tahu, tapi mobilmu itu bukan mobil standard untuk pimpinan. "
"Ah, sama aja."
"Itu alasan kenapa tuan Bagas memilihmu untuk mendampingi Yunan, bukan aku."
"Emangnya kenapa?" Tanya Rere tak mengerti, dengan mata mulai fokus pada jalan yang dilaluinya.
"Karena kamu tidak pernah rewel dengan fasilitas kantor, berbeda dengan aku dan yang lainnya."
"Alasan yang kedengarannya terlalu kekanak-kanakan." Balas Rere sambil mencibirkan sedikit bibirnya lebih maju ke depan.
"Hahahaha!"
Ucapan Rere langsung disambut Alman dengan tertawa terbahak bahak, nada tegas inilah yang menjadi daya tarik, dari awal berkenalan dengan wanita yang kini duduk di sampingnya itu.
"Dew ... Apakah di hatimu sungguh sudah tidak ada hati sama sekali kepadaku?" tanya Alman setelah puas dengan tertawanya.
Mendengar apa yang ditanyakan Alman. Rere langsung menghela nafas panjang,
"Kalau menurutmu, bagaimana dengan sebentuk hati di dadamu itu? Ada berapa perempuan yang penah menempatinya?" Bukannya menjawab, Rere malah balik bertanya.
"Apa maksudmu?"
"Pernahkah di hatimu jatuh cinta pada beberapa orang dalam waktu yang bersamaan?"
"Mmm ...." Sontak pandangan Alman yang awalnya fokus ke jalan berpindah ke wajah Rere
"Nggak usah munafik deh! Kamu pasti pernah kan, walau mungkin dengan porsi yang berbeda, ya kan?"
"Mmm ... Mungkin iya,"
"Ish ... pakai jawaban yang tak yakin lagi. Dasar lelaki, pacar Sejuta umat!"
"Apa!? Pacar sejuta umat?"
"Betul kan?"
"Terserah kamu saja, Dew. Wanita selalu benar."
"Hahahaha!"
Akhirnya meledak tawa Rere dan Alman hampir bersamaan, hobi saling menghina di antara mereka kini mulai tersalurkan dengan tepat.
"Sekarang jawab pertanyaanku, apakah kamu pernah mencintaiku?" tanya Alman sambil menatap lekat wajah wanita cantik yang duduk di belakang kemudi mobilnya.
"Kalau mencintai rasanya kurang tepat, tapi bila menyukai, aku amat sangat menyukaimu."
"Mmm ... kau gengsi untuk jujur, iya kan?" Dengus Alman.
"Tidak!"
"Ayolah, Dewi. Mmm ... Kamu tahu, dengan mengatakan kau hanya menyukaiku, membuatku tambah yakin bahwa sebenarnya di hatimu ada dua orang lelaki saat ini, aku dan Yunan, ya kan?"
"Sok tahu!" dengus Rere. Yang menghentikan mobilnya di halaman sebuah tempat makan dengan plat kayu besar bertuliskan 'pondok makanan desa'.
Sebuah pondok besar terbuka yang hanya mempunyai tembok di bagian dalamnya, yang dikelilingi oleh beberapa gazebo kecil dengan dipayungi beberapa pohon mangga dan beberapa pohon palem besar.
"Woow, pilihanmu dari dulu memang tidak bisa diragukan, Dew. Tinggal kita lihat rasa masakannya!" Ujar Alman saat mereka melangkah bersisian menuju ke dalam pondok utama, untuk memesan makanan.
"Terimakasih, Tuan Alman Barasta." Jawab Rere dengan mulut mengerucut.
"Jangan lakukan hal itu lagi padaku, atau kau akan bermasalah." Jawab Alman yang memandang bibir Rere dengan gemas.
Bukannya menurut, Rere lagi dan lagi melakukan hal yang sama, malahan sekarang dia lakukan tepat di depan muka Alman sambil melangkah.
Melihat peringatannya dianggap sepele oleh perempuan cantik itu, Alman hanya bisa tersenyum sambil menggelengkan kepalanya berulang kali. Namun yang Rere tak sadari, genggaman tangan Alman yang tergenggam erat. Entah isyarat apa itu artinya.
"Selamat sore, ada yang bisa saya bantu, Bu?"
"Saya mau mesan ayam bakar madu, minumnya es jeruk." Ujar Rere sambil tersenyum sumringah pada si Mbak receptionis.
"Bapak mau mesan apa?" Tanya si Mbak setelah selesai mencatat apa yang tadi Rere sebutkan.
"Mmm .... Masakan apa di sini yang menjadi favorit?"
"Ada ayam bakar, aneka ikan bakar, serta daging panggang."
"Semuanya, saya pesan semuanya yang menjadi favorit di sini. Kalau minumnya samakan saja dengan dia." Jawab Alman sambil memberikan isyarat ke arah Rere.
"Ya ampun ... perutmu awas meletus makan segitu banyak." Mendengar Alman memesan terlalu banyak masakan tadi.
Alman tak menjawab godaan Rere, pandangannya tajam menatap perempuan itu, pandangan mata yang sulit diartikan. Hingga membuat Rere tanpa sadar meneguk salivanya.
"Baik, pesanan akan segera kami antar, ini nomor pemesanannya."
Si Mbak mengulurkan sebuah kayu sebesar bola karambol bulat bertuliskan angka lima dengan warna hitam, yang diterima oleh Rere.
****
Rere segera menarik tangan Alman yang masih memandangnya dengan pandangan yang menurutnya sangat menakutkan.
"Mmm ... kau mulai berani memeluk lenganku, sebentar lagi kau akan mulai mencintaiku lebih dari cintamu ke Yunan." bisik Alman tepat di telinga hingga membuat Rere sedikit menggelinjang karena geli yang ditimbulkan oleh hembusan nafas Alman di telinganya.
Seketika itu juga Rere melepaskan dekapan tangannya, sambil terus melangkah, ia kembali mengerucutkan bibirnya.
"Dua kali, kau melanggar apa yang aku larang tadi." Ujar Alman pelan, namun masih cukup untuk di dengar oleh Rere yang satu langkah berada di depannya.
Rere memutar bola matanya, jengah dengan apa yang baru saja ia dengar dari mulut Alman.
Tanpa persetujuan Alman. Rere masuk dan langsung duduk di gazebo yang sangat berdekatan dengan tempat bermain, banyak anak anak kecil yang hilir mudik. Rata rata semua anak anak itu di dampingi oleh orang dewasa.
"Kenapa memilih di sini?" Tanya Alman yang menyusul duduk di sampingnya. Matanya juga ikut memperhatikan tingkah lucu bocah yang sedang bermain di depannya.
"Aku suka liat anak kecil, nggak papa kan aku milih di sini?" Jawab Rere sambil terus memperhatikan anak anak kecil yang sedang bermain.
"Kalau kau mau, kita bisa punya anak kecil sendiri, gimana?"
Tanpa sadar Rere kembali mengerucutkan bibirnya sambil terus memandang anak anak kecil itu hilir mudik.
Menyadari kelengahan Rere. Alman langsung melumat bibir perempuan cantik di sampingnya sekilas. Namun cukup membuat mata indah itu terbeliak sambil menatapnya tak percaya.
"Bibirmu manis," ucap Alman tanpa rasa bersalah.
Sambil menghela nafas panjang, Rere membungkukkan badannya hendak merangkak menjauh, namun belum juga melangkah, tangannya sudah ditangkap Alman."Jangan menjauh!" Cegah Alman dengan tatapan mata yang kembali membuat Rere bergidik."Mmm ...." Dengus Rere, sambil memalingkan wajahnya ke arah yang berlawanan dari Alman."Tidak akan kulakukan lagi kalau kau tidak melakukan apa yang tadi kularang.""Kalau kau terus mengintimidasi, lebih baik kita tidak usah berteman lagi." Dengan mengibaskan tangannya dari genggaman Alman, Rere ingin melanjutkan keinginannya untuk terus menjaga jarak."Aku janji, tidak akan mengulanginya lagi, asalkan kau juga tidak memancingku untuk melakukannya." Dengan menampakkan wajah serius.Rere sepertinya tak perduli dengan janj
"kalau ada yang mau makan aja, ya!" teriak Rere, saat meletakkan bungkusan dari tempat makan yang tadi belum sempat dicicipi oleh dia dan Arlan. Berharap agar teman kos yang lain agar meraka tidak sungkan untuk menikmatinya.Sekejap saja, teman kostnya yang rata rata masih kuliah itu, langsung berkumpul di tempat makan. Sambil mengucapkan terimakasih pada Rere.Rere memang sengaja tidak menggunakan fasilitas apartemen dari kantor, karena dirinya yang penakut dan selalu butuh teman.Rere kemudian masuk ke dalam kamarnya, dan langsung menuju ke kamar mandi, setelah sebelumnya meletakkan tas dan mengambil baju ganti.Tempat kost Rere bukan tempat kos biasa, satu ruang berlantai dua dengan enam kamar di mana per kamar sudah difasilitasi kamar mandi sendiri, dan mesin pendingin ruangan. Perkamar juga hanya boleh di huni satu orang. Ada televisi serta seorang maid yang membantu membersihkan rumah, ta
"Rere, kita pulang bersama ke Jakarta, gimana?" tanya Mr Bagas saat mereka berdua di kursi, makan bersama."Kapan, Mr Bagas? Kalau sekarang tidak bisa, saya tidak mendapatkan tiket?" Jawab Rere yang dengan wajah kecewa."Apa maksudmu dengan tiket? Aku tidak pernah menyewakan pesawat pribadiku kepada siapa pun."Sontak Rere minta maaf, atas ucapannya tadi."Hahahah! Aku bercanda Dew, kenapa kamu jadi sekaku itu di depanku." jawab Mr Bagas sambil tertawa lepas."Saya kira Mr marah karena ucapan saya, Jujur saya lupa kalau Mr naik pesawat pribadi.""Jadi ... Bagaimana? Kamu mau kan ke Jakarta bersamaku." ulang Mr Bagas ke Rere yang masih belum menjawab pertanyaannya."Baik. Mr."
Rere duduk termenung di pojok kantin, di depannya ada secangkir kopi yang masih terlihat masih mengeluarkan asap.Dia seperti tak perduli dengan keadaan kantin yang ramai saat itu, banyak orang yang menyapanya atau sekedar tersenyum ke arahnya, namun tak satu pun yang dia balas.Dengan bersandar pada sandaran kursi yang sedang ia duduki, Rere memejamkan mata dengan tangan memeluk tasnya yang berada di pangkuan.Rere bingung dengan apa yang baru saja ia alami. Bayangan saat bersama Alman tadi membuatnya merasa tidak di hargai. Namun di sisi lain dia juga merasa simpati, saat mendengar alasan kenapa Alman melakukan itu kepadanya.Salah satu tangan Rere terulur ke arah cangkir kopinya, kemudian di minumnya sedikit, hanya sebagai pembasah kerongkongannya saja.Ponsel di dalam tasnya bergetar, Rere dapat merasakan getaran itu, meski tangannya berada di
Melihat pak Bagas sudah menghilang, Rere segera menuju ke kabin pesawat untuk mengambil barangnya.[ Din, kamu di mana?] Tanya Rere saat telpon yang ditelinganya tersambung.[ Lagi ada di apartemen, Bu!][Jemput aku sekarang!]Rere langsung mematikan sambungan telponnya, dan langsung memberikan lokasi di aplikasi berwarna hijau ke Udin.Nampak angka yang bertambah di pesan Alman kepadanya. Namun tak membuat Rere penasaran untuk membukanya.Dengan membawa dua koper besar, Rere melangkah menuju kantin di dalam bandara."Mbak, pesan kopi satu, ya!" Pinta Rere, tangannya juga mengambil roti sobek yang di pajang di atas meja kasir.Lima menit menunggu, akhirnya pesanan nya datang juga.Rere kemudian langsung membawa kopi dan roti yang sudah dibelinya ke sebuah meja yang letaknya di dekat pintu, agar mempermudah Udin untuk segera mengena
[ Eh jangan dong sayang,] cegah Alman terdengar seperti sedang merengek.Tak ada jawaban dari Rere. Dia hanya menjadi pendengar dan membiarkan Alman yang sedang bercerita. Hingga tanpa sadar Rere tertidur dengan ponsel yang masih menyala.****"Ya, sebentar ...!" Rere terbangun saat mendengar ada ketukan di pintunya. "Mbak, maaf harinya sudah petang." Suara berat Mak terdengar di balik pintu. "Iya, Mak. Makasih." Dengan sedikit berteriak Rere membalas ucapan mak. Hingga terdengar suara langkah Mak yang menjauh.Mata Rere langsung melotot saat melihat di ponselnya yang masih menyala, wajah Alman sedang menatapnya sambil tersenyum. Berarti sejak dia tertidur ponselnya bersambung terus dengan Alman."Kamu di mana?" Taya Rere saat melihat background tempat
"Mak, di kulkas nggak ada isinya, ya? Kita belanja bareng yuk!" Ajak Rere saat kakinya baru turun dari tangga. Kebetulan hari ini hari Sabtu, hari libur kerja buat dirinya.Tak ada jawaban yang keluar dari Mak, kecuali rengekan Nur."Mau ya, Mak." Pinta Nur yang berbisik dekat Mak yang sedang membuat roti selai di dapur.Namun, walau berbisik, Rere masih dapat mendengarnya dengan jelas."Tapi jangan minta dibelikan sesuatu kalau dah nyampek sana, janji?" Ujar Mak dengan suara yang tak kalah pelannya.Rere tersenyum tak berniat ikut campur saat proses tawar menawar antara ibu dan anak berlangsung."Es cream?" Nur masih menawar."Jangan ya, nanti aja kalau Mak sudah gajian," larang Mak, sembari mendekat ke meja makan sambil membawa baki yang berisi susu dan roti dua lapis."Mbak ...." Ujar Mak saat tangannya meletakkan piring berisi dua ro
Dering ponsel berulang kali terdengar namun Rere sepertinya enggan untuk menyentuh benda pipih yang semalam ia letakkan di sampingnya.Menarik selimut yang entah kenapa merosot ke bawah, kemudian kembali melanjutkan tidurnya.Semalam dia, Mak, Nur dan Udin bergotong royong memilah dan memasukkan barang belanjaan ke tempatnya masing masing.Mereka juga membantunya memasukkan barang barang pribadinya yang masih di dalam dalam koper untuk di letakkan dalam lemari.Tidak cukup itu saja, Nur yang sudah tidur puas di mobil, tidak dapat langsung tidur lagi walau pun sudah larut malam, jadilah mereka berempat menonton televisi, dan menyantap mi instan yang Mak buat hingga tadi dini hari.Ponsel itu berbunyi lagi, Rere tahu siapa yang sedang menghubunginya, Alman! Lelaki itu tak akan berhenti menghubunginya. Sampai dia menerima panggilan video call dari lelaki itu.&nbs
"Mbak ...." panggil Mak dari arah luar pintu, kedua tangannya membawa baki berisi piring yang kemudian dia letakkan di atas meja."Yang lainnya biar aku yang ambil, Mak," ujar Dewa yang segera berlari ke luar pintu, menuruni tangga, kemudian naik lagi ke atas dengan tangan kanan membawa dua botol minuman air mineral yang terlihat basah karena dingin. Dan keranjang buah."Mak, sini. Kita makan bersama? Looo kok piringnya cuma dua?" tanya Dewa saat melihat di atas meja."Saya sudah makan tadi, tuan, maaf."Dengan sedih Mak meminta maaf karena sudah membuat Dewa dan Rere kecewa."Nggak pa-pa kok, Mak."Dewa tersenyum, dia tak ingin membuat Mak merasa bersalah hanya karena masalah sepele."Dan ... jangan panggil saya dengan sebutan tuan, mas aja, ya." pinta Dewa dan kali ini ditanggapi oleh senyum dan anggukan Mak sebagai jawaban dari permintaan Dewa padanya.Dewa dan Rere pun segera menikmati makan si
Dari samping tubuh Rere, Dewa sedikit membuka kancing atas daster yang istrinya pakai, hingga tampaklah dengan jelas di depan matanya bukit lembut, kenyal dan indah yang menawarkan wangi sabun.Dewa mengulum dua pucuk bukit berwarna merah itu dengan lembut, secara bergantian. Suara khawatir Rere yang tadinya terdengar kini berganti dengan erangan manja.Tangannya pun tak mau kalah, meremas dan memilin, hingga membuat desahan Rere semakin terdengar."Mas ...," ujar Rere di sela sela rintihan akibat kenikmatan yang Dewa berikan.Tak ingin bermain kasar dan cepat, Dewa sengaja membuka baju atau pun celana dari tubuh istrinya, teringat pesan dari dokter tadi di rumah sakit, dia harus bermain pelan.Dia ingin istrinya merasakan lebih dulu kenikmatan sentuhan agar istrinya bisa lebih tenang."Mas ...."Dewa tersenyum, akhirn
"Mak sama siapa?" tanya Rere, dengan mata berbinar melihat orang yang berdiri di hadapannya."Sendirian, mbak. Soalnya kan Nur masih sekolah." Mak menjawab sambil melangkah mendekat dan langsung memeluk Rere."Terima kasih," ujar Rere pada Dewa sesaat setelah mengurai pelukannya dengan Mak."Hu um." Singkat dan padat Dewa menjawab."Aku bawa Rere ke kamar dulu ya Mak," ujarnya, kemudian mendorong kursi yang diduduki Rere masuk ke dalam.Mak hanya mengangguk dan menutup pintu kemudian mengikuti Dewa yang membawa Rere dari belakang punggungnya."Mak, dua hari lagi saya balik ke Jakarta, tolong jaga Rere ya. Jangan sampai keluar dari kamar," pesan Dewa sambil terus mendorong kursi roda."Kok gitu sih, Mas?!" protes Rere dengan nada tidak suka."Selama seminggu kamu harus banyak istirahat, jaga nutrisi buat anak kita. Aku tidak mau lagi melihat kamu seperti ini." Dewa menjelaskan alasannya kenapa harus
Rere terjaga saat badannya seperti sedang dipeluk oleh seseorang."Mas ...!" serunya kaget, Dewa sudah berbaring di sebelah, dengan tangan mengukung pinggangnya."Biarkan seperti ini, aku kangen banget, Re," pinta Dewa dengan mata terpejam. Sesekali dia menciumi wajah Rere."Malu, Mas. Bagaimana nanti kalau perawat jaga datang ngontrol?" Rere menggerak gerakkan badannya, mencoba melepaskan diri dari kung- kungan tangan Dewa."Mereka sudah datang tadi, pas kamu tidur, jadi aman.""Tapi sempit, Mas.""Apa kamu mau aku menghukummu di sini, sekarang?" ancam Dewa, terdengar sangat menyeramkan di telinga Rere."Memangnya aku punya salah apa?""Tidak usah sok bego, Revia Dewi Ananta. Diam dan tidurlaah." Dewa mulai berkata tegas.Rere terdiam, terasa ada sesuatu yang lembut menciumi cerug lehernya berulang kali, hingga menciptakan senyum yang tak lekang di bibirnya.Matanya menatap langit langit kamar, sunggu
"Mau ke mana, Yang!" tanya Dewa yang baru saja keluar dari kamar mandi yang letaknya di depan ranjang rawat Rere. Dan langsung memergoki istrinya yang seperti hendak turun dari ranjang."Aku ...." Rere sontak tergagap, tangannya yang hendak melepaskan selang infus dari lengannya, perlahan turun kembali ke samping badannya.Tampak sekali betapa kagetnya Rere saat tahu kalau ada Dewa yang sedang menemaninya.Selimut yang tadi ia hempas ke samping ranjang, terpaksa dia tarik lagi dengan perlahan. Membuat Dewa yang melangkah mendekatinya hanya bisa menggelengkan kepala perlahan melihat kelakuan Rere."Kau ingin apa, minum? Atau mau makan?" tanya dewa yang berdiri di samping ranjangnya, tangannya memperbaiki posisi letak selimut yang ada di kakinya.Rere tak menjawab, entah kenapa kali ini dia kembali duduk dari tidurnya, kemudian dengan mendorong tiang infus, melangkah menuju ke kamar mandi."Apa mau aku bantu?" Dewa masih berusaha m
Dewa hanya bisa terus menerus menatap sang istri yang tertidur karena obat, tangannya menggenggam erat jemari Rere.Entah apa yang ada di dalam benak lelaki tampan itu. Sesekali tangannya yang bebas mengusap perut di mana ada calon anaknya. Dengan mata berkaca kaca, pandangannya menatap nanar pada sang istri."Aku sudah menghubungi pak Bagas, beliau memintamu untuk jangan dulu menghubungi keluarga yang di Surabaya, karena pak Satria baru saja di perbolehkan pulang." Alman yang masuk ke dalam ruangan, dengan suara pelan, langsung memberikan laporan."Bagaimana kondisinya?" tanya Alman lagi, matanya ikut menatap sang sahabat yang terbaring. Berdiri di samping kursi yang Dewa duduki."Dia hanya butuh istirahat dan tenang," jawab Dewa."Ya, aku pikir juga seperti itu,""Sekarang bagaimana caranya untuk membuat dia tetap tenang saat tahu aku ada di sini." Tampaknya Dewa masih sangat kepikiran dengan masalah yang di alaminya dengan san
"Mbak Wita, tolong bantu mbak Dewi masak ya," pinta Vera pada seorang perempuan yang sepertinya dari tadi hanya mengawasi saja, orang orang yang seliweran bekerja di dapur, saat itu."Masak apa, mbak?" tanya wanita yang tadi dipanggil Wita oleh Vera, kepada Rere."Biarkan dia yang menentukan menunya, tolong di maklumi orang lagi ngidam," jawab Vera sambil tersenyum, yang langsung di iyakan oleh Wita.Seketika terdengar dengungan orang yang berkata 'o'."Kalian mau makan apa?" tanya Rere pada Vera, dengan tangan yang sibuk menggunakan bib apron, salah satu celemek paling umum yang biasanya dipakai oleh para koki."Apa saja boleh kok, Mbak,"jawab Vera yang kemudian pamit untuk duduk bersama kekasihnya, Faisal.Baru lima belas menit Vera duduk, seorang karyawan datang membawa minuman ke meja, Vera langsung mengenduskan hidung ke udara saat tercium aroma yang sanggup membuat orang lapar."Dengan jarak yang sedemikian jauh, mbak Rere
"Pagi, mbak ...," sapa Faisal yang datang pagi itu untuk menjemput Vera dan Rere.Rere setuju untuk membantu Vera di bagian keuangan cafe yang dirintisnya, karena selama ini Vera cukup direpotkan, semuanya harus dia sendiri yang handle."Sudah sarapan, Sal?" tanya Rere yang baru saja keluar dari pintu pagar, kepada Faisal yang juga tengah membantu Vera meletakkan barang di bagasi mobilnya."Kami biasa makan bersama, mbak. Hanya di saat itu yang bisa kami nikmati berdua." Vera membantu menjawab pertanyaan Rere kepada Faisal, kekasihnya."Mmm ... Sepertinya itu bisa kutiru nanti," sahut Rere. Yang di sambut senyum bahagia Vera dan Faisal.Tanpa mereka bertiga sadari, di seberang jalan, sepasang mata rindu milik Dewa sedang mengawasi Rere dari dalam mobil.Andai saja tidak memikirkan resiko, Ingin rasanya Dewa segera terbang menemui sang istri, apa lag
"Hai .... Wa!"Dewa yang saat itu tengah terpekur menatap layar komputer, langsung mendongakkan kepalanya saat mendengar suara orang yang menyapa bersamaan dengan bunyi derit pintu yang dibuka."Alman, ada perlu apa datang ke sini? Bukannya dua minggu lagi kamu akan nikah?" sapa Dewa yang langsung berdiri dengan wajah ceria, membuka tangannya untuk menyambut saat tahu siapa yang datang siang itu."Brugh!"Dewa yang tak menyangka dapat serangan tiba tiba, hanya bisa pasrah menerima pukulan keras di rahangnya."Apa yang sudah kau lakukan pada Dewi?"Dengan tangan meraba pipi yang tadi di pukul Alman, Kening Dewa mengernyit, mendengar pertanyaan dari sahabatnya yang baru datang itu, bagaimana Alman bisa tahu kalau dirinya sedang bermasalah dengan Dewi."Aku ....""Brugh ....!"Belum selesai Dewa menjelaskan, Alman kembali melayangkan pukulannya di tempat yang sama, di wajah Dewa.D