"Gu-gue ... "
"Gue apa Nabilla?" tanya Mentari, dia gugup menunggu jawaban Nabilla.
Nabilla menggigit bibir bawahnya, dia ragu sekaligus malu jika mengatakan sudah membuat masalah dengan ketua OSIS.
"Gu-gue tumpahin susu ke seragamnya."
"SELA—"
"APA?! LO TUMPAHIN SUSU KE SERAGAMNYA?!" Suara 1000 desibel kedua cewek itu ternyata memotong sapaan seorang cowok yang baru saja naik ke panggung. Nabilla menoleh, dia mendapati ketua OSIS tengah menatapnya sinis. Ralat, bukan Nabilla, tapi mereka bertiga.
Mentari, Sagita, dan Nabilla menelan salivanya kasar, jantungnya berdegup kencang. Harap-harap sang ketua OSIS tidak marah dan menghukum mereka.
Aula kini penuh bisikkan, semua mata tertuju pada mereka terutama Nabilla, bahkan ada beberapa yang berjinjit demi mencari siapa yang berhasil mengalihkan perhatian.
"Tar, ini gimana?" bisik Sagita.
"Gu-gue nggak tahu, gue yakin setelah ini kita dihukum," jawab Mentari, lalu menyikut Nabilla. "Nab, ini gimana? Gue takut. Kita nggak mau kena masalah kayak lu."
Sementara Nabilla hanya menunduk, tangannya bergetar, mendongak sekilas, dia sudah mendapati ketua OSIS itu turun dari panggung dan berjalan mendekatinya.
Bisikkan pun memenuhi aula.
"Tuh cewek yang dilempar proposal tadi, kan?"
"Iya nih, sama banget kayak yang di foto."
"Baru kelas sepuluh udah berani bikin masalah, sama ketua OSIS lagi."
"Gue yakin dia cewek nakal. Pasti lagi cari perhatian."
"Mentang-mentang ketua OSIS-nya ganteng, modusnya sampai tumpahin susu segala."
"Mending adek yang disamperin bang."
"DIAM!!"
Bentakan Raqa membuat aula mendadak hening, cowok itu menyisir pandangan dengan sinisnya kepada seluruh peserta. Lantas saja mereka menunduk takut.
"Nabilla Shiletta," panggil Raqa. Nabilla tidak menjawab, masih menggigit bibir bawah, menunduk.
"NABILLA SHILETTA! KAMU TIDAK MENDENGAR SAYA PANGGIL?!" Suara Raqa lebih tegas.
Nabilla mendongak berderai air mata. Ia meremas roknya karena gugup. "I-iya kak."
"Kalau kamu mendengar? Kenapa tidak dijawab?"
"I-itu kak. A-anu. Sa-saya—"
"Apa?! Ngomong yang benar? Apa kamu punya penyakit lidah?!"
Nabilla tercekat, sentakan Raqa berhasil membuatnya meneteskan air mata, bingung menjawab apa Nabilla hanya terdiam tanpa suara. kini tangan Raqa perlahan menaikkan rahang gadis itu. Hingga pandangan mereka bertemu.
"Kamu speechless?"
Nabilla mengangguk, air matanya kembali menetes, apalagi tatapan tajam Raqa seolah menghunus matanya.
"A-aku takut kak," lirih Nabilla.
Raqa tersenyum kecut, namun jelas tergambarkan jika senyum itu penuh emosi.
"Kamu takut saya marah atau saya hukum, hm?"
"Du-dua-duanya kak. Nabilla takut dihukum apalagi dimarahi sama kakak," Nabilla menjawab lirih.
"Kalo begitu, kenapa kamu tetap membuat masalah dengan saya? Pertama, kamu menumpahkan susu di seragam saya, kedua, kamu berani-berani bergosip ketika saya sudah berada di panggung. Kamu tidak tahu aturan? Anggota OSIS meminta kamu merapikan barisan, bukan malah menggosip," jelas Raqa, Nabilla menatap ke bawah.
"Tapi kak, kami juga menggosip," sela Mentari memberanikan diri. "Kakak bisa menghukum kami juga."
"I-iya kak," tambah Sagita. "Kita bedua siap dihukum kok."
"Kalian—"
"Udah Nab, nggak papa, lagian ini juga salah kita ngomongnya kelepasan," sahut Mentari lalu menatap Raqa. "Hukum kita juga kak."
Raqa menaikkan alis lalu tersenyum puas, Nabilla yang tadinya menunduk kini menatap dengan kernyitan dalam cowok itu. Mengapa tiba-tiba Raqa bisa tersenyum, padahal ia baru saja emosi berat tadi?
Nih cogan labil banget ah, batin Nabilla.
"Bagus, saya juga menantikan kesadaran kalian, kalau begitu kalian saya hukum keliling lapangan sepuluh kali!" ucap Raqa, Sagita maupun Mentari saling melongo.
"Dan kamu Nabilla, sekarang ikut saya."
"Tapi kak--"
Belum sempat melanjutkan ucapannya Raqa lebih dulu menarik tangan Nabilla menuju suatu tempat, entah dimana. Ragil selaku MC di panggung sana menetralkan suasana aula dengan suaranya.
"BAIKLAH. KITA LUPAKAN SAJA MASALAH KETUA OSIS. KALIAN BISA ISTIRAHAT SEBENTAR."
***
Langkah lebar Raqa berhenti di suatu tempat lumayan luas, hamparan rumput dan bunga-bunga menjadi penyejuk mata memandang. Nabilla yang tadinya kebingungan kini terkagum-kagum melihat berbagai jenis bunga tertanam di sana.
"Cantik banget," ucap Nabilla gemas.
Raqa menatap wajah Nabilla dari samping, lho, bukannya tadi gadis itu menangis, dan sekarang semudah itu ia tertawa hanya dengan melihat hamparan bunga berwarna-warni?
"Nabilla lukis ah. Kata mama, lukis itu paling enak ada wujudnya langsung." Nabilla mengeluarkan lipatan kertas dari saku roknya, lalu satu pensil dari saku seragamnya. "Pertama, Nabilla mau lukis bunga anggrek dulu deh, ih bagus banget."
Raqa melongo, sejenak ia merasa kehadirannya tidak dianggap, Raqa merebut secarik kertas dari tangan Nabilla dan merobeknya.
"Eh kak, kok dirobek? Nabilla belum selesai lukis." Nabilla berusaha merebut kertasnya.
"Memangnya saya menyuruh kamu melukis?"
Nabilla menggeleng.
"Lalu kenapa kamu melukis? Saya membawa kamu ke sini untuk melaksanakan hukuman, bukan melukis "
Nabilla menunduk, mulai menangis.
Raqa membuang sobekkan kertas itu ke tempat sampah terdekat, lalu dia menarik tangan Nabilla mendekati rerumputan yang sebat.
Nabilla gugup luar biasa, bukan karena takut, melainkan tangannya yang berada dalam genggaman Raqa. Oh my God! Ini kali kedua Nabilla berurusan dengan manusia bernama Raqa setelah kejadian pagi tadi sukses membuatnya kelimpungan.
"Ki-kita mau ngapain kak?" tanya Nabilla.
"Cabut?"
"Hah? Cabut? Pergi maksudnya?"
"Rumput."
Nabilla menggaruk kepalanya bingung. Ini cogan kenapa coba ngomongnya setengah-setengah? Batin Nabilla.
"Cabut? Rumput? Oh, kakak mau ngasih aku hukuman nyabutin rumput?" Raqa mengangguk.
Nabilla terkekeh pelan, pandangannya menyisir sekitar, tak lama ia menemukan mesin pemotong rumput tengah pengangguran di sisi taman. Nabilla tersenyum puas, niatnya mau ngambil mesin rumput itu namun Raqa cepat menahan tangannya.
Nabilla menatap Raqa dengan kernyitan, duh, lagi-lagi jantungnya berdegup tidak karuan.
"Saya tidak menyuruh kamu menggunakan mesin rumput, Nabilla." Mata Nabilla membulat. "Te-terus pake apa?"
"Tangan."
"Hah? Tangan? Kakak nggak salah, aku cabutin rumput kak, bukan uban. Uban aja nyabutnya pakai pinset. Masa rumput segede gini pakai tangan? Kakak--"
"Berisik! Saya tidak suka mendengar kamu berceloteh. Cepat lakukan apa yang saya perintahkan!"
Nabilla mendengus keras, pasrah, ia tidak berani jika berhadapan dengan tatapan tajam milik Raqa.
"Yang benar aja ih, masa disuruh nyabutin rumput pake tangan, mana rumputnya tinggi banget lagi," kesal Nabilla.
Seolah tidak peduli, Raqa pergi begitu saja meninggalkan dirinya. Dan di saat-saat seperti inilah jiwa cengeng Nabilla keluar. Sambil mencabuti rumputnya, Nabilla terisak.
"Bunda! Huwaaaaa, bunda Nabilla takut, hiks. Damar dimana sih?! Kenapa pingsannya lama banget?"
Nabilla menyeka ingusnya, mencabuti rumput seperti ini membuat tangannya sakit dan memerah, alhasil pantatnya mendarat mulus di tanah sebab tidak sanggup mencabut rumputnya yang terlampau kuat tertanam di tanah.
"Aduh!!"
"Lo nggak papa?"
Nabilla menoleh berderai air mata, dia mendapati cowok tinggi dengan jaket almamater maroon mengulurkan tangan, niat membantu. Tanpa membuang waktu lagi ia mengangguk, sesegera mungkin cowok tadi membantu Nabilla berdiri.
"Makasih," ucap Nabilla seraya menepuk pantatnya, takut kotor.
"No problem. Lo ngapain sendirian di sini?"
Nabilla menggigit bibir bawahnya sebelum menjawab, dia meneliti cowok itu dari atas ke bawah, dari penampilannya, Nabilla yakin cowok itu termasuk dalam anggota OSIS.
"Aku lagi dihukum kak," jujur Nabilla.
"Dihukum? Sendirian? Di sini?"
Nabilla mengangguk. "Iya. Kak Raqa yang hukum aku, dia minta aku cabutin rumput sepanjang ini pake tangan," kata Nabilla. "Rasanya sakit, tangan aku sampai merah gini."
"Mana sini gue liat." Cowok yang tidak lain adalah Juan itu meraih telapak tangan Nabilla. "Masya Allah, tangan lo banyak goresan gini, kayak hati gue, Raqa emang keterlaluan dah. Kenapa lo nggak pakai aja mesin rumput di pojok sana?"
Nabilla terkekeh. "Kak Raqa ngelarang, dia maunya aku pakai tangan."
Juan berdecak, ia tak habis pikir dengan pemikiran Raqa. Dari dulu, cowok itu memang semaunya.
"Kasihan, kalau gitu, lo break dulu nyabutinnya. Tangan lo bisa infeksi kalau nggak diobati," saran Juan.
"Enggak papa? Entar kak Raqa marah lagi."
"Enggak kok, gue jamin."
Nabilla menimbang-nimbang, tak lama kemudian ia mengangguk. "Oke kak, makasih," ucap Nabilla lalu tersenyum, hingga lesung di pipi sebelah kanannya terbentuk jelas.
Manis juga nih cewek, batin Juan memuja. Tanpa sadar ia mengusap rambut Nabilla.
Nabilla yang merasa tidak nyaman bersuara. "Kakak mau ngapain?"
"Eh, enggak ada, sorry sorry. Ngomong-ngomong kenalin gue Juan. Dari anak OSIS juga, tapi gue nggak segalak Raqa kok. Jadi, slow aja kalau ngomong sama gue."
Respon Nabilla tersenyum samar. "Oh kak Juan, aku Nabilla Shiletta kak," katanya mengulurkan tangan.
Juan menjabat tangan Nabilla, senyum lebarnya terbit, Juan menyadari jika Nabilla itu, cantik.
Jangan takut kehilangan, karena semua yang ada di dunia hanyalah titipan.•••Jika bukan karena paksaan Juan, Nabilla tidak mungkin duduk manis di ranjang UKS saat ini. Tangannya yang tadi penuh goresan luka kini sudah dibalut perban. Meski masih terasa sakit, dia memilih diam sambil sesekali menggerakan jarinya yang terasa nyeri.Chatrine yang sedang sibuk membereskan kotak P3K kini beralih menatapnya."Kalau tangan lo masih sakit, baring aja lagi, entar gue yang bilang sama Raqa supaya lo izin ikut MOS hari ini."Nabilla menggeleng. "Eh enggak usah kak. Aku masih kuat kok."Juan terkekeh pelan. "Ikut aja napa Nab, gue yakin tangan lo masih sakit, nyeri ya? Sini gue tiupin." Juan beringsut meraih tangan Nabilla, namun tertahan karena Chatrine menarik telinganya."Nggak usah modu
Sekencang apa pun kamu berlari menghindari takdir, jika Tuhan menghendaki, maka takdir itu akan mengikuti kemana pun kamu pergi.•••"Bapak punya dua opsi, kamu jaga siswi itu sampai sembuh atau rekaman ini sampai ke tangan Arga?"Raqa mengernyit tidak terima, tangannya terkepal, dua opsi itu sama-sama menyudutkannya. Apalagi harus berhubungan dengan Arga. Ditambah lagi, cewek itu-Nabilla. Apa takdir belum puas mempertemukan mereka?Raqa memejamkan mata perlahan lalu menghela napas panjang, dihembuskannya perlahan sebelum berbalik ke arah Pak Gusti. Dengan seringai, Pak Gusti menunggu jawaban Raqa."Bagaimana?" tanya Pak Gusti."Opsi pertama. PUAS?!"Pak Gusti tersenyum lebar, sementara Raqa buru-buru keluar ruangan, dasar tidak adil. Meluapkan emosi, Raqa memilih menendang
Terkadang, apa yang orang katakan pada kita menjadi tanda tanya bagi mereka di luar sana.•••"Cantik ye kan Raq? Udah kayak boneka gitu ngegemesin. Pengen gue bawa pulang ke rumah rasanya." Ragil berceloteh soal Nabilla, Raqa hanya diam, ia memutar bola mata malas."Diem lo, setan. Berisik!"Ragil cengengesan, ia kembali menatap Nabilla yang duduk selonjor sambil sesekali menuliskan sesuatu di bukunya. Panggung sedang dikuasai oleh guru yang memberikan bimbingan hingga Ragil hanya perlu berdiri di pinggir aula bersama Raqa sambil memperhatikan."Eh, panggil aja kali ya? Biar dia ngelirik gua," ucap Ragil. "Bah, lo ngebet nih, benci sama suka itu bedanya tipis banget Raq. Anget-anget tai ayam entar jadi anget-anget tai kambing.""Apasih lu nggak jelas?!" ketus Raqa."Yee, au ah. Gue pang
Alasanku menyakitimu adalah keegoisan, bukan sekedar paksaan menahan kekhawatiran. Lalu, bagaimana jika simpatiku tergerak untuk membantumu?-Raqa Abimanyu Dinata-•••"NABILLA!"Juan, Ragil, dan Gheral bergegas menghampiri Nabilla. Namun Raqa, tetap diam saja seolah tidak terjadi apa-apa, cowok itu menghela napas lalu menepis lingkaran tangan Tamara dari lehernya."RAQA! BANTUIN WOY!" teriak Juan. Sementara Ragil dan Gheral berusaha membangunkan Nabilla dengan menepuk berkali-kali pipi cewek itu.Raqa mendekat, bukan membantu tapi malah bersedekap. "Biarin aja, gue nggak peduli. Itu lo bedua mending minggir. Kita liat seberapa lama tuh bocah buat pura-pura.""Tai aja lu Rak piring. Nabilla beneran pingsan oi!" kekeh Ragil.Meski be
Setelah sepuluh menit berlalu Nabilla berada di UKS bersama Raqa, kini cewek itu duduk anteng di tepi sebab tidak terima dispensasi apa pun dari cowok itu.Tapi, kalau Nabilla mau, ia bisa saja merengek agar tidak ikut, sayangnya ia juga tidak mau kehilangan moment menatap wajah Raqa yang menurutnya kelewat tampan itu."Baiklah, saya minta maaf karena ada urusan kecil mendadak yang tidak bisa ditinggalkan," ucap Raqa. Tadi, aula sempat heboh karena si ketua OSIS itu membuat mereka menunggu."Jadi, sebagai permintaan maaf, saya akan berikan hadiah kepada peserta yang berhasil mengumpulkan tanda tangan terbanyak. Dan hukuman berdiri di depan bagi peserta yang tidak dapat tanda tangan satu pun."Berbagai mimik peserta langsung menghebohkan aula, ada yang memekik girang, ada yang celengak-celenguk mencari teman karena tidak dapat tanda tangan satu pun, atau tersenyum kecut seolah dialah peserta yang d
Bahkan cantikmu, mampu membuatku menenggelamkan semua kelabu.-Raqa Abimanyu Dinata-•••Raqa mengedar pandang ke seluruh koridor, terutama jalan menuju taman belakang sekolah. Untung sepi, jadi dia tidak harus sembunyi-sembunyi demi cewek bernama Nabilla ini."Kakak kok kayak ketakutan gitu? Takut sama guru tadi ya? Hih, badan aja yang gede," cibir Nabilla.Raqa melotot tidak terima. "Gue nggak takut sama siapa pun. Terutama sama Bapak tua tadi!"Nabilla menggidikan bahu acuh, matanya mengamati dengan seksama buku gambarnya. Membolak-balik, dan menahan napas terkejut ketika menemukan noda pada gambarnya."Tuh, kan, Kakak sih, coba nih liat! Buku gambar aku jadi kotor, gimana mau ngebersihinnya."Raqa mendengus keras. Ia tidak habis pikir pada sikap manja dan berlebihan Nabilla. Lagi pula, itu hanya buku gambar. T
Tidak ada masalah yang selesai dengan cara lari, karena ada masalah lain yang akan datang menanti, maka selesaikan masalahmu hari ini.•••"Ciee diantar sama siapa, tuh?"Nabilla menoleh, dia mendapati Yogi Kakaknya tengah bersedekap sambil menaik-naikkan alis."Kakak nggak perlu tau ih. Kepo!" jawab Nabilla."Elah lu, manja. Gue bilangin sama Bunda nih. BUNDA! BUNDA! NABILLA MULAI NAKAL NIH, BUNN." Yogi berteriak seraya masuk ke dalam rumah.Nabilla mencak-mencak, ia menghentakkan kaki kesal. "Kak Yogi, apaan sih?! Aku nggak nakal tau, BUNDA JANGAN DIDENGERIN!" gerutu Nabilla ikut masuk ke dalam rumah.Bundanya yang ternyata sedang menonton TV di ruang tengah menggelengkan kepala, lantas saja wanita berhijab peach itu mengecilkan volu
Ada kalanya kata yang hendak terucap ditelan kembali, agar tidak ada pihak manapun yang tersakiti.•••Jam menunjukkan hampir pukul sepuluh malam, selesai makan malam bersama keluarganya, Nabilla duduk di atas kasurnya seraya memainkan ponsel. Dilihatnya lagi nomor Raqa yang sudah ia simpan.Nabilla tersenyum, entah kenapa, padahal hari ini begitu melelahkan. Mulai dari acara MOS dimulai, sampai acara itu selesai, Nabilla ingat banyak kesialan yang menimpanya.Meski demikian, Nabilla tidak pernah marah pada Tuhan, karena ia selalu ingat kata Nara jika musibah adalah salah satu wujud rasa sayang Tuhan pada makhluknya. Atau sejenis hukuman atas perbuatan dosa yang makhluknya lakukan.Jika Nabilla masuk dalam kategori kedua, maka dia akan senang hati memperbaiki kesalahannya. Jika pun masuk dalam kategori pertama, Nabilla sangat bersyukur karena Tuhan menyayan
Makan malam. Terasa sedikit berbeda dari malam-malam sebelumnya, karena malam ini Samuel ikut bergabung di meja makan. Bersama. Mereka bertiga, Soraya, Kaisar, dan Samuel. Meskipun begitu, Kaisar tidak merasakan senang sama sekali. Sebab, walaupun semua anggota keluarga lengkap. Keadaan tetap hening. Seolah yang makan adalah patung berwujud manusia yang tidak mengenal satu sama lain. "Berantem lagi?" tanya Kaisar santai tapi sarkastik. Lantas membuat kunyahan Samuel dan Soraya berhenti. Kaisar menyadari itu. Ia tersenyum sinis, spontan mendapat cubitan pelan di paha dari Soraya. "Makan dulu, Sar. Jangan banyak omong," tegur Samuel. Tenang namun sirat akan kecaman. Kaisar terkekeh. "Terus kalau makannya udah selesai boleh ngomong?" tanyanya. Kaisar menatap dua orang itu bergantian. "Biasa juga enggak, 'kan?" Soraya menyentuh bahu Kaisar. "Kamu ngomong apa sih, Nak? Kita bedua baik-baik aja. Nggak berantem." "Oh ya?" Kaisar
Dua prinsip yang harus dipegang saat ini;Pertama, tidak boleh terbawa perasaan ketika bersama cowok.Kedua, tidak boleh jatuh cinta sebelum berhasil membanggakan ayah dan bunda.Keyla membaca tulisan di belakang diary-nya itu, ia menulisnya tepat ketika berumur 12 tahun. Dimana saat itu ia mulai mengenal sebuah kata yang bernama 'Cinta'. Catat! Hanya mengenal, bukan merasakan.Keyla tidak tahu persis bagaimana perasaan itu. Namun, kata Thania perasaan cinta adalah sesuatu yang tidak bisa digambarkan dan diutarakan dengan kata-kata. Pokoknya rumit, tapi asyik.Bahkan, setiap orang yang telah jatuh cinta bisa dibuat buta. Semakin ke sini Keyla semakin tidak mengerti.Keyla menutup buku diary berwarna biru itu dengan cepat, ini semua gara-gara Kaisar dia jadi kepikiran hal konyol bernama 'Cinta' itu.Akan tetapi Keyla tidak bisa mengelak jika ia baper oleh perlakuan Kaisar. Terutama ketika cowok itu mengacak rambutnya.
Keyla beruntung karena alibinya tadi. Cewek itu menghembuskan napas lega setelah melihat Kaisar mengangguk, mempercayai ucapannya. Meskipun sebelumnya Keyla sempat gugup karena Kaisar hampir saja mengganggapnya berbohong."Serius kelilipian?" tanya Kaisar ulang.Oh ternyata Keyla salah, Kaisar masih belum sepenuhnya percaya."Iya bawel!" jawab Keyla bosan. Cewek itu hendak berjalan lebih dulu namun lengannya tiba-tiba ditahan oleh Kaisar.Keyla berbalik dan menatap cowok itu penuh pertanyaan. Kedua alisnya hampir menyatu. Bibirnya sedikit terbuka ingin mengucapkan sesuatu namun urung karena Kaisar menatapnya begitu dalam.Sampai akhirnya Kaisar melangkah maju mendekati Keyla. Matanya tak lepas sedikit pun menyorot mata cewek itu. Membuat Keyla terasa kaku untuk mengalihkan sedikitpun tatapannya dari Kaisar.Cowok itu merunduk hingga kepala mereka sejajar. Sekarang, bukannya tubuh Keyla saja yang kaku, tapi jantungnya
"Astaga lupa! Hape gue ketinggalan di laci," ungkap Kaisar yang reflek menghentikan langkah saat teringat sesuatu.Keyla menghela napas. Mereka hampir saja mendekati parkiran dan Kaisar berucap seperti itu. Rasanya seperti gagal menang perlombaan lotre. Padahal, Keyla berencana akan pulang ke rumah tepat waku. Karena banyak pekerjaan rumah yang harus ia selesaikan sebelum pukul delapan malam. Setelah itu, barulah Keyla mengerjakan tugas sekolah."Gue ambil dulu yaa. Lo tunggu di sini, jangan kemana-mana," pinta Kaisar. Tanpa mendapat persetujuan Keyla cowok itu bergegas pergi.Keyla pun menarik napas sekali. Ia menepikan diri di bawah pohon besar dekat parkiran."Keyla!" panggil seseorang dari arah kiri. Keyla menoleh. Ternyata Putra."Sendirian nih? Lo nungguin siapa?" tanya Putra setibanya di hadapan Keyla."Kaisar.""Wohoo. Udah gercep ya itu anak," godanya.Keyla yang paham maksud Putra menyela. "Cum
Sejak kejadian di taman belakang tadi Kaisar malah tambah kepo. Ia mencerca Keyla dengan beberapa pertanyaan yang absurd dan unfaedah. Ada sih beberapa pertanyaan yang cowok itu lontarkan mengenai kakaknya. Tapi tetap saja Keyla merasa terganggu. Akibatnya, Keyla kini menyumpal satu telinganya dengan headset. Suasana kelas juga sedikit berisik karena guru yang mengajar ijin ke toilet."Key, temenin gue belajar yuk!" pinta Kaisar tiba-tiba membuat Keyla dengan malas menatap teman sebangkunya itu."Belajar apaan?" tanyanya.Kaisar cekikikan lalu nyengir lebar. "Belajar untuk menjadi yang terbaik buat kamu.""Hahaha. Receh!" sahut Putra yang duduk di belakang. Lalu tatapannya berubah datar.Kaisar melirik sinis Putra. "Sirik lo upil gajah!"Sedangkan Keyla hanya geleng-geleng melihat tingkah aneh kedua cowok itu. Lalu dia memejamkan mata sejenak, menikmati lagu beatiful milik Crush yang mengalun lewat headset di telinganya. Keyla sa
"Lo ngapain makan diem-diem sendiri di sini?" Keyla menolehkan kepalanya sejenak lalu berkata, "Suka aja," jawabnya singkat. Kaisar terkekeh pelan. Keyla itu ya, jawabannya singkat mulu. Emang ngomong itu pakai kuota apa? "Ohh sukaa," ujar Kaisar kemudian. Ia menarik napas dalam-dalam lalu menatap Keyla. Lebih tepatnya ke bekal hijau yang berisikan nasi goreng dan telur gulung di pangkuan gadis itu. Kaisar menjilat sudut bibirnya, cukup menggungah selera. Kebetulan sekali ia belum makan. "Beuhh. Kayaknya enak. Mau dongg." Keyla menoleh lagi, tanpa kata-kata ia langsung menggeser bekal itu ke tengah. Keyla mendiamkannya sesaat. Kaisar bahkan sampai berkedip. Ia kira Keyla akan bersuara, setidaknya 'makan tuh' tapi ternyata gadis itu hanya diam. "Thanks," ucap Kaisar. Lantas menyantap bekal itu dengan lahap. Seperti orang tidak makan dua hari. Keyla hanya geleng-geleng melihat tingkah cowok itu. "Ke
Kaisar melangkah cepat menyusuri koridor kelas IPA yang berada di lantai dua. Matanya tak lepas mengamati sekitar. Tujuannya sama, yaitu mencari Keyla. Kaisar tak habis pikir mengapa gadis itu terlalu misterius dan sulit sekali ditemukan.Kaisar sudah mencek kelasnya namun Keyla tidak ada di sana. Jika gadis itu hanya memberi uang pada kakaknya yang bernama... siapa tadi? Zana? Seharusnya, Keyla telah kembali ke kelas mereka.Kaisar menyesal tidak meminta nomor gadis itu sebelumnya.Ketika menatap ke samping kanan, tiba-tiba saja seseorang menabraknya. Kaisar lantas menoleh ke arah orang itu saat terdengar ringisan. Ternyata ponsel milik orang itu terjatuh."Lo jalan pakai mata nggak sih?!" kesal cewek itu sambil mengambil ponsel berlogo apelnya yang tergeletak. Kaisar menyadari saat ponsel itu terbalik.Kaisar berdecak. "Enak aja si eneng, situ kali yang nabrak gue. Nggak suci lagi nih baju pangeran," ucap Kaisar dengan tingkat k
"Gue yakin kemah tahun ini bakalan rame," ungkap Dewa saat mereka berempat, Kaisar, Angkasa, Putra dan dirinya berjalan beriringan menuju kantin. Melepas penat setelah hampir dua jam berkutat dengan papan tulis dan buku-buku pelajaran. Setibanya di kantin yang dalam sekejap saja ditimbuni banyak umat manusia itu, ketiganya langsung menduduk kursi kosong yang tersisa di pojok."Lo-lo semua mau pesen apa?" Tanya Dewa yang berinisiatif memesankan makanan untuk ketiga temannya."Gue nasi goreng sama es teh lah, kayak biasa," sahut Putra bersemangat, lalu cowok itu melempar senyum centil pada adik kelas yang lewat.Kaisar yang nampak berpikir akhirnya membuka suara. "Gue bakso, sambelnya banyakin. Ah, jangan lupakan marimas kesukaan gue.""Nggak usah pake desah," celetuk Angkasa, manusia paling kalem di antara mereka berempat."Lo apa, Sa?" Kini, dewa bertanya pada Angkasa."Mineral aja."Dewa berdecak. "Itu doang.
"Hari pertama sekolah di SMA Bakti Buana, apa kesan kamu, Key? Udah banyak dapat temen?" Pertanyaan Bram barusan kontan membuat Keyla hampir tersedak. Seperti jebakan abstrak yang langsung mengikat. Bagi Keyla, pertanyaan itu benar-benar memutar otak. Sepasang matanya bertemu dengan sepasang mata milik Dara. Keyla lantas menunduk. Dara menatapnya sambil memicing, jelas itu adalah telepati yang memaksa Keyla harus menjawab seperti ini. "Banyak, Pa." Meskipun ia tidak mau. "Temen Keyla baik semua." "Bagus deh." "Halah. Paling bohong, mana ada yang mau temenan sama es batu?" Zana menyeletuk sarkas. Biasa, gadis itu lebih suka menampilkan ketidaksukaannya secara terang-terangan daripada Dara. "Zana!" tegur Bram, nada bicaranya naik satu oktaf menatap Zana. "Jangan ngomong seperti itu! Seharusnya kamu sebagai kakak menyemangati Keyla. Meskipun bukan kandung, dia tetap adik kamu." "Nggak mau!" Kali ini Zana memandang Keyla