Hari itu matahari bersinar terang, memancarkan kehangatan di udara. Di depan gerbang sekolah, Rafka menunggu dengan sabar. Dia telah merindukan Ayra selama waktu yang cukup lama karena urusan bisnisnya di luar negeri. Sesekali dia melihat ke arah pintu masuk, mencari tanda-tanda kehadiran gadis kecil yang begitu berarti baginya.Tak lama kemudian, Ayra keluar dari pintu sekolah dengan senyum cerah di wajahnya. Matanya berbinar-binar saat melihat Rafka berdiri di sana."Papa!" seru Ayra dengan riang, berlari mendekati Rafka dan memeluknya erat.Rafka membalas pelukan Ayra dengan lembut, merasakan kebahagiaan tulus yang datang dari gadis kecil itu. "Hai, Sayang. Papa kangen sekali sama Ayra.” “Ayra juga kangen banget sama Papa,” balas Ayra dengan wajah berseri-seri.Agatha berdiri di tempatnya, diam dan terkejut oleh apa yang baru saja ia saksikan. Hatinya berdebar-debar melihat Ayra dengan Rafka, terutama setelah mendengar Ayra memanggil Rafka dengan sebutan ‘Papa. Agatha berpikir bah
Ravindra memandangi wajah Ayra dengan hati-hati, seolah-olah mencoba membaca setiap detail yang ada di sana. Ketika ia menyadari betapa miripnya Ayra dengan Agatha dan Rafka, ekspresi wajahnya berubah secara tiba-tiba. Ketegangan yang biasanya terpancar dari raut wajahnya perlahan-lahan menghilang, digantikan oleh ekspresi kelembutan yang jarang terlihat.Ravindra meraih Ayra dalam pelukannya dengan penuh kasih sayang. Gerakan itu begitu tulus dan alami, menggambarkan perubahan besar yang terjadi dalam dirinya. Sementara itu, Karina yang berdiri di sampingnya melihat ekspresi dan perubahan dalam tatapan Ravindra dengan haru dan bahagia yang tak tergambarkan. Hatinya meleleh saat melihat suaminya merangkul cucunya dengan penuh kasih sayang. Dia merasa bahwa saat ini, semua ketegangan dan perpecahan dalam keluarga mereka telah berubah menjadi sesuatu yang lebih positif dan mendalam.Setelah beberapa saat berbicara dan berinteraksi dengan Ayra, suasana semakin akrab di antara mereka. Ayr
Dapur yang hangat dihiasi oleh aroma kue cokelat yang lezat, membuat suasana semakin akrab. Ayra dan Karina berdiri dengan senyum bahagia di wajah mereka, melihat hasil kerja keras mereka yang menghasilkan kue yang menggoda selera. Di sebelah mereka, meja makan diisi oleh beberapa potongan kue yang terlihat menggugah selera."Kue kita sudah selesai, Oma!" ucap Ayra dengan penuh kebanggaan, matanya berbinar menatap kue cokelat yang menggoda. "Ayo, kita makan bersama!"Karina tertawa gembira, merasa senang dengan semangat Ayra. "Tentu, Sayang! Kalau gitu ayo kita bawa ke depan.”Mereka semua mengambil tempat di ruang tamu, di mana meja sudah disiapkan dengan segelas susu dan teh, serta beberapa potongan kue cokelat yang menggiurkan. Ayra duduk di antara Ravindra dan Karina, matanya berbinar saat melihat hidangan di depannya.Ravindra tidak bisa menyembunyikan senyumnya saat melihat hasil karya Ayra. "Ayra, kamu hebat sekali!" ujarnya dengan penuh kagum, tatapannya penuh kebanggaan terha
Agatha merasakan perasaannya bergolak, tapi kali ini bukan lagi karena amarah. Ekspresi wajahnya seketika berubah, dan matanya terpaku pada luka-luka yang terlihat di tubuh Rafka. Dia bisa melihat bagaimana pakaian Rafka melekat pada kulitnya karena basah oleh hujan, dan luka di lengan kirinya tampak merah dan bengkak. Ekspresi marah yang tadi tergambar jelas di wajahnya langsung menghilang, digantikan oleh ekspresi kekhawatiran yang dalam.Tanpa sadar, tangannya bergetar ketika dia mendekati Rafka, dan tangan Agatha mulai meraba lembut tangan Rafka. Dengan mata yang penuh perhatian, Agatha memeriksa luka di tubuh pria itu. Jarinya menyentuh luka tersebut dengan lembut, seolah-olah dia ingin meredakan rasa sakit yang mungkin dirasakan Rafka.“Kamu terluka,” gumam Agatha dengan pelan.Agatha mengangkat pa
Agatha mengambil langkah hati-hati saat memasuki kamar tamu dengan handuk dan pakaian ganti yang telah dia siapkan untuk Rafka. Dia merasa sedikit canggung dengan situasi yang ada, terutama setelah apa yang terjadi sebelumnya. Namun, dia berusaha untuk tetap tenang dan mengesampingkan semua perasaan yang rumit.Namun, begitu dia masuk ke dalam kamar, pandangannya langsung tertuju pada Rafka yang sedang berdiri di tengah-tengah ruangan, melepas kemejanya. Matanya terbuka lebar oleh kejutan, dan bibirnya terbuka seolah tak percaya. Agatha menahan napasnya saat melihat pria itu tanpa kemeja, tubuh atletisnya terpapar di hadapan Agatha, dan dia tidak bisa menghindari tatapan heran dan sedikit malu. Agatha terpana sejenak, tidak tahu bagaimana seharusnya dia merespons situasi yang tidak terduga ini.“Kamu ngapain?” Kenapa lepas pakaiannya di sini?” suara Agatha terdengar canggung, seakan dia terjebak dalam keadaan yang tidak terduga ini. Agatha merasa pipinya merah karena malu, ia langsung
Agatha merasa gelisah saat ia selesai menyiapkan makan malam. Pandangannya terkadang teralih ke arah pintu kamar tempat Rafka berada, dan perlahan suasana hatinya menjadi tidak tenang. Tidak butuh waktu lama sebelum Rafka keluar dari kamarnya, diikuti oleh Ivan tak lama kemudian. Obrolan di antara Ivan dan Rafka terjadi secara alami, menciptakan sedikit kehangatan dalam ruangan. Namun, meskipun mereka berbicara, Agatha merasa pikirannya melayang-layang. Sesekali, matanya tak bisa menahan diri untuk mencuri pandang ke arah Rafka. Setiap kali pandangannya menyentuh sosok pria itu, getaran aneh terasa di hatinya. Agatha merasa seperti ada semacam magnet yang menarik perhatiannya, dan ia tak dapat menghindarinya.Namun, perasaan Agatha justru berubah menjadi gugup dan canggung. Ia merasa sangat tidak nyaman dengan perasaannya sendiri. Seakan ingin melawan gejolak dalam hatinya, Agatha tanpa sadar menggigit bibirnya dengan kuat. Rasa sakit itu membuatnya meringis perlahan, dan Ivan yang d
Dalam suasana kamar yang tenang, pintu perlahan terbuka, dan masuklah Ayra dengan langkah-langkah kecil yang penuh keceriaan. Wajahnya yang polos dan mata yang berbinar langsung mengundang senyuman pada Rafka.“Ayra, kenapa belum tidur, Sayang?” tanya Rafka sambil menatap wajah putrinya.“Ayra nggak bisa tidur, Pa. Ayra mau dengar cerita dari Papa. Boleh nggak, Pa?” tanya Ayra dengan suara lembut, membuat mata Rafka terpana sejenak.Rafka menjawab dengan senyum hangat, "Tentu saja, Ayra. Ayo sini!" Dia memanggil gadis kecil itu dengan penuh ramah, dan Ayra dengan cepat mematuhi, melompat-lompat dengan gembira menuju tempat tidur yang nyaman.Rafka mendekat dan berbaring di samping Ayra. "Baik, sekarang dengarkan baik-baik," ujarnya dengan suara tenang. Ayra duduk berbaring, matanya tak lepas dari wajah Rafka. Rafka mengusap lembut rambut Ayra, membuat gadis kecil itu merasa nyaman dan tenang. Lalu, dengan nada lembut dan penuh kehangatan, Rafka mulai menceritakan sebuah cerita ajaib.
Hari itu, suasana sekolah Ayra tampak begitu ramai dengan kegiatan siswa dan orangtua yang datang menjemput anak-anak mereka. Rafka dan Agatha tiba hampir secara bersamaan. Mobil mereka berhenti di samping lain, dan keduanya turun dengan langkah mantap. Rafka tersenyum lembut dan berjalan mendekati Ayra yang tengah menunggu di depan pintu sekolah. Begitu pun dengan Agatha, yang langkahnya juga mengarah pada gadis kecil yang penuh keceriaan itu.Rafka menghampiri Ayra dengan penuh kehangatan, sementara Agatha melangkah mendekat dari sisi lain. Rafka membungkuk sedikit dan menyapukan rambut Ayra dengan lembut, menciptakan senyuman di wajah gadis kecil itu. Sementara itu, Agatha memandang pemandangan itu dengan perasaan campuran antara kehangatan dan perasaan khawatir yang mulai merayap di dalam hatinya.Tiba-tiba, Rafka mengajak Agatha beberapa langkah menjauh dari Ayra. Suara mereka terdengar seperti bisikan yang penuh dengan ketegasan. Agatha mendengarkan dengan ekspresi tegang, meras
Rafka menatapnya dengan mata penuh air mata. Tangannya yang besar dan kuat menggenggam tangan Agatha dengan lembut. "Aku mencintai kamu. Aku selalu mencintai kamu, dan aku akan terus mencintai kamu, Tha."Agatha merasa hatinya hangat mendengar kata-kata itu. Meskipun dalam kondisi yang rapuh, cinta mereka tetap mengalir begitu kuat di antara mereka. Agatha menatap mata Rafka dengan pandangan lembut, bibirnya terangkat dalam senyuman yang penuh makna. "Aku juga mencintai kamu, Rafka."Tangan mereka saling berpegangan erat, menyampaikan dukungan, cinta, dan perasaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Agatha merasakan kehangatan dalam genggaman tangan Rafka, seolah-olah itu adalah tali yang mengikat hati mereka.Agatha merasakan rasa sakit yang semakin memburuk. Dia tahu bahwa waktu mereka sangatlah terbatas. Dengan suara yang lemah, ia berbicara lagi, kali ini dengan serius, "Rafka, kamu harus kuat."Rafka menatap Agatha dengan rasa takut yang tidak tersembunyi. "Apa yang kamu bic
Beberapa hari berlalu, kondisi Agatha tetap kritis. Rafka terus menghabiskan waktu di rumah sakit, bergantian menjaga bayi perempuannya dan mengunjungi Agatha. Dia merasa seolah hidupnya berada dalam titik balik yang kritis. Perasaannya bercampur antara rasa harapan dan kegelisahan yang tak terbayangkan.Selama berhari-hari ini, Rafka terus menjaga putrinya dengan penuh kecintaan dan tekad. Dia bersama keluarganya dan keluarga Agatha bergantian menjaga Agatha, berdoa dan berharap agar wanita itu segera pulih dan bisa bersama mereka lagi.Ruang perawatan Agatha juga menjadi tempat di mana para keluarga mereka bergantian menjaga. Karina dan Ravindra, yang penuh kehangatan, seringkali mengambil giliran menjaga Agatha ketika Rafka perlu beristirahat sejenak. Adiva juga ada di sana, membantu dengan segala hal yang dibutuhkan. Meskipun situasinya tidak mudah, atmosfer di dalam ruangan itu penuh dengan kasih sayang dan semangat perjuangan.Ketika hari beranjak malam, Rafka masih terjaga, mem
Rafka berusaha untuk tenang dan kuat di hadapan Ayra. Gadis kecil itu masih belum paham betapa seriusnya situasi ini, dan Rafka ingin melindungi perasaannya. Dia menundukkan badan untuk berada pada tingkat mata Ayra ketika gadis kecil itu menatapnya dengan mata penuh pertanyaan. "Papa, apa yang terjadi sama Mama?" tanyanya dengan nada khawatir.Rafka membungkukkan tubuhnya untuk berada sejajar dengan Ayra. Dia menyeka air mata yang hampir jatuh dari mata kecil Ayra dengan lembut, mencoba memberikan senyum lembut. "Ayra, Mama sedang sakit dan sedang dirawat oleh dokter. Papa dan semua orang sedang berusaha yang terbaik untuk membantu Mama."Ayra menggigit bibirnya, terlihat cemas. "Mama akan baik-baik saja, kan, Papa?" tanyanya dengan penuh harapan.Rafka mengecup kening Ayra lembut. "Kita berdoa bersama-sama, sayang. Mama sangat kuat dan Mama juga ingin cepat kembali bersama kita."Tak lama kemudian, semua keluarga berdatangan ke rumah sakit. Karina dan Ravindra datang dengan wajah pe
Agatha terus menjalani rawat inap di rumah sakit, dipantau dengan ketat oleh para dokter dan perawat. Setiap detik waktu terasa berharga bagi Rafka dan semua orang yang peduli dengan Agatha. Rafka duduk di samping tempat tidur Agatha, matanya tidak pernah lepas dari wanita yang sedang berjuang ini. Dia merasakan ketidakpastian yang semakin mendalam, kekhawatiran yang tak terkendali.Agatha terbaring lemah di tempat tidurnya, wajahnya pucat dan matanya terlihat letih. Pendarahan yang dialaminya telah membuat kondisinya semakin memburuk. Meskipun Agatha mencoba menjaga semangatnya, tetapi tubuhnya semakin tak mampu mempertahankan. Rafka merasa frustasi karena merasa tidak bisa melakukan apa-apa untuk membantu Agatha. Dia ingin sekali bisa menghapus semua rasa sakit yang Agatha rasakan, namun dia tahu dia hanya bisa berdoa dan berharap yang terbaik.Rafka menggenggam tangan Agatha dengan erat, merasakan getaran kelemahan dalam genggaman itu. Dia merasa hatinya teriris melihat Agatha yang
Di dalam ruang perawatan yang hening, mata Agatha perlahan terbuka dan tatapannya memandang wajah lelah Rafka. Luka lebam di pipi pria itu memperoleh perhatiannya, dan segera Agatha mengeluarkan pertanyaan khawatir dari bibirnya. "Wajah kamu kenapa?"Namun, jawaban yang ia terima bukanlah tentang luka lebam itu. Rafka hanya menatapnya dengan ekspresi yang rumit, seolah ada banyak hal yang ingin ia sampaikan, tetapi dia kesulitan menemukan kata-kata yang tepat. Agatha bisa merasakan kecemasan yang menghantui Rafka, dan ia tahu bahwa saat ini mereka harus menghadapi kenyataan bersama."Bagaimana kondisimu?" tanya Rafka, suaranya lembut namun penuh dengan kekhawatiran. Agatha terpancar kekaguman dalam tatapannya saat melihat perasaan Rafka yang terangkum dalam raut wajahnya.Agatha mencoba tersenyum lemah, meskipun rasa sakit dan kebingungannya masih menghantui. "Aku baik-baik saja," jawabnya pelan.Namun, perhatian Rafka beralih dari kesehatannya sendiri dan dengan penuh kekhawatiran ia
Dalam keheningan ruang perawatan, setelah berbicara dengan Agatha, Ivan merasa seolah dia tenggelam dalam gelombang perasaan yang tak tertahankan. Dia berusaha memproses semua yang telah terjadi, memahami pilihan-pilihan yang sulit yang telah dibuat oleh Agatha, dan merasa terhempas oleh kemungkinan terburuk yang dapat terjadi pada wanita itu dan bayi yang dikandungnya.Namun, pandangannya tiba-tiba terganggu oleh sosok yang mendekat dari kejauhan. Rafka, dengan wajah yang penuh kekhawatiran, berjalan menuju Ivan dengan langkah tergesa-gesa. Ivan bisa merasakan adanya ketegangan di udara saat Rafka semakin mendekat. Tatapan mereka bertemu dalam keheningan yang berat.Tak lama setelah Rafka berada di depan Ivan, pria itu seolah melepaskan semua ketegangan yang ada dalam dirinya. Ia langsung mencengkeram kerah baju Ivan dengan kasar, menggeramkan pertanyaan yang memancar dari dalam hatinya. "Apa yang kamu lakukan kali ini?"Ivan menatap tajam Rafka, mencoba membaca perasaan yang ada di
Ivan berdiri di samping tempat tidur Agatha, pandangannya tetap terfokus pada wanita yang terbaring di sana. Hatinya terasa berkecamuk, sulit untuk mengurai perasaan yang datang menghujam. Ia melihat Agatha, seorang wanita yang pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya, sekarang tengah mengalami hal yang begitu serius. Dia merasa bingung, marah, dan khawatir dalam waktu yang bersamaan.Dokter yang berbicara dengannya tampak serius dan penuh perhatian. Ivan mencoba untuk tetap tenang dan mendengarkan penjelasan dokter dengan seksama. Dokter menjelaskan bahwa masalah yang Agatha alami adalah plasenta previa, di mana plasenta berada di dekat atau menutupi rahim bagian bawah. Kondisi ini bisa berisiko tinggi, terutama ketika mendekati waktu persalinan.Ivan merasakan jantungnya berdetak lebih cepat saat mendengar bahwa kondisi ini berbahaya bagi Agatha dan bayinya. Dia merasa tidak ingin kehilangan Agatha, terlebih lagi dengan keadaan yang semakin rumit setelah semua yang terjadi. Namu
Setelah meninggalkan rumah Karina dan Ravindra, Agatha merasa perasaannya masih dalam keadaan campur aduk. Namun, dia tahu bahwa ada satu hal lagi yang harus dia lakukan. Dia pergi ke rumah Ivan untuk menemui Adiva dan Alvi. Sesampainya di sana, dia melihat Adiva dan Alvi sedang bermain dengan penuh kebahagiaan.Agatha tersenyum melihat pemandangan itu. Alvi, bayi yang dulunya begitu tenang berada dipelukannya, kini sudah tumbuh menjadi anak yang sehat dan ceria. Dia sudah mulai berjalan dan berbicara, dan Agatha bisa melihat betapa Adiva merawatnya dengan penuh cinta.Agatha merasa bahagia melihat keakraban antara Adiva dan Alvi. Melihat Alvi tumbuh sehat dan bahagia membuat hatinya hangat."Adiva," panggil Agatha dengan suara lembut. Adiva menoleh dan tersenyum melihat Agatha. Mereka bertatap mata, dan Agatha bisa merasakan campuran antara rasa bersalah dan rasa terima kasih di dalam hatinya.Alvi melihat Agatha, dan meskipun dia masih kecil, wajahnya sudah penuh dengan keceriaan. "
Beberapa minggu kemudian, setelah Rafka berangkat bekerja dan Ayra pergi ke sekolah, Agatha memutuskan untuk mengunjungi rumah ibunya. Sudah lama sejak terakhir kali dia menghabiskan waktu dengan Riana, dan Agatha merasa butuh pelukan dan nasihat ibunya. Begitu Agatha memasuki rumah, aroma kue hangat langsung menyambutnya. Ibu Agatha, Riana, dengan senyum hangatnya, sudah menanti di ruang tamu.Sesampainya di rumah, Agatha disambut dengan senyuman hangat oleh Riana. Wanita itu terlihat begitu bahagia melihat putrinya. Mereka duduk di ruang tamu yang nyaman, dikelilingi oleh bunga-bunga dan foto-foto keluarga di dinding.Agatha menghabiskan waktu berjam-jam bersama ibunya. Agatha mulai bercerita tentang kesehariannya, tentang bagaimana dia mencoba untuk memperbaiki hubungannya dengan Rafka dan Ayra. Dia bercerita tentang momen-momen kebersamaan yang berhasil mereka ciptakan, meskipun rasa bersalah masih menghantuinya. Agatha juga menceritakan tentang kehamilannya yang semakin membesar,