Agatha merasakan perasaannya bergolak, tapi kali ini bukan lagi karena amarah. Ekspresi wajahnya seketika berubah, dan matanya terpaku pada luka-luka yang terlihat di tubuh Rafka. Dia bisa melihat bagaimana pakaian Rafka melekat pada kulitnya karena basah oleh hujan, dan luka di lengan kirinya tampak merah dan bengkak. Ekspresi marah yang tadi tergambar jelas di wajahnya langsung menghilang, digantikan oleh ekspresi kekhawatiran yang dalam.Tanpa sadar, tangannya bergetar ketika dia mendekati Rafka, dan tangan Agatha mulai meraba lembut tangan Rafka. Dengan mata yang penuh perhatian, Agatha memeriksa luka di tubuh pria itu. Jarinya menyentuh luka tersebut dengan lembut, seolah-olah dia ingin meredakan rasa sakit yang mungkin dirasakan Rafka.“Kamu terluka,” gumam Agatha dengan pelan.Agatha mengangkat pa
Agatha mengambil langkah hati-hati saat memasuki kamar tamu dengan handuk dan pakaian ganti yang telah dia siapkan untuk Rafka. Dia merasa sedikit canggung dengan situasi yang ada, terutama setelah apa yang terjadi sebelumnya. Namun, dia berusaha untuk tetap tenang dan mengesampingkan semua perasaan yang rumit.Namun, begitu dia masuk ke dalam kamar, pandangannya langsung tertuju pada Rafka yang sedang berdiri di tengah-tengah ruangan, melepas kemejanya. Matanya terbuka lebar oleh kejutan, dan bibirnya terbuka seolah tak percaya. Agatha menahan napasnya saat melihat pria itu tanpa kemeja, tubuh atletisnya terpapar di hadapan Agatha, dan dia tidak bisa menghindari tatapan heran dan sedikit malu. Agatha terpana sejenak, tidak tahu bagaimana seharusnya dia merespons situasi yang tidak terduga ini.“Kamu ngapain?” Kenapa lepas pakaiannya di sini?” suara Agatha terdengar canggung, seakan dia terjebak dalam keadaan yang tidak terduga ini. Agatha merasa pipinya merah karena malu, ia langsung
Agatha merasa gelisah saat ia selesai menyiapkan makan malam. Pandangannya terkadang teralih ke arah pintu kamar tempat Rafka berada, dan perlahan suasana hatinya menjadi tidak tenang. Tidak butuh waktu lama sebelum Rafka keluar dari kamarnya, diikuti oleh Ivan tak lama kemudian. Obrolan di antara Ivan dan Rafka terjadi secara alami, menciptakan sedikit kehangatan dalam ruangan. Namun, meskipun mereka berbicara, Agatha merasa pikirannya melayang-layang. Sesekali, matanya tak bisa menahan diri untuk mencuri pandang ke arah Rafka. Setiap kali pandangannya menyentuh sosok pria itu, getaran aneh terasa di hatinya. Agatha merasa seperti ada semacam magnet yang menarik perhatiannya, dan ia tak dapat menghindarinya.Namun, perasaan Agatha justru berubah menjadi gugup dan canggung. Ia merasa sangat tidak nyaman dengan perasaannya sendiri. Seakan ingin melawan gejolak dalam hatinya, Agatha tanpa sadar menggigit bibirnya dengan kuat. Rasa sakit itu membuatnya meringis perlahan, dan Ivan yang d
Dalam suasana kamar yang tenang, pintu perlahan terbuka, dan masuklah Ayra dengan langkah-langkah kecil yang penuh keceriaan. Wajahnya yang polos dan mata yang berbinar langsung mengundang senyuman pada Rafka.“Ayra, kenapa belum tidur, Sayang?” tanya Rafka sambil menatap wajah putrinya.“Ayra nggak bisa tidur, Pa. Ayra mau dengar cerita dari Papa. Boleh nggak, Pa?” tanya Ayra dengan suara lembut, membuat mata Rafka terpana sejenak.Rafka menjawab dengan senyum hangat, "Tentu saja, Ayra. Ayo sini!" Dia memanggil gadis kecil itu dengan penuh ramah, dan Ayra dengan cepat mematuhi, melompat-lompat dengan gembira menuju tempat tidur yang nyaman.Rafka mendekat dan berbaring di samping Ayra. "Baik, sekarang dengarkan baik-baik," ujarnya dengan suara tenang. Ayra duduk berbaring, matanya tak lepas dari wajah Rafka. Rafka mengusap lembut rambut Ayra, membuat gadis kecil itu merasa nyaman dan tenang. Lalu, dengan nada lembut dan penuh kehangatan, Rafka mulai menceritakan sebuah cerita ajaib.
Hari itu, suasana sekolah Ayra tampak begitu ramai dengan kegiatan siswa dan orangtua yang datang menjemput anak-anak mereka. Rafka dan Agatha tiba hampir secara bersamaan. Mobil mereka berhenti di samping lain, dan keduanya turun dengan langkah mantap. Rafka tersenyum lembut dan berjalan mendekati Ayra yang tengah menunggu di depan pintu sekolah. Begitu pun dengan Agatha, yang langkahnya juga mengarah pada gadis kecil yang penuh keceriaan itu.Rafka menghampiri Ayra dengan penuh kehangatan, sementara Agatha melangkah mendekat dari sisi lain. Rafka membungkuk sedikit dan menyapukan rambut Ayra dengan lembut, menciptakan senyuman di wajah gadis kecil itu. Sementara itu, Agatha memandang pemandangan itu dengan perasaan campuran antara kehangatan dan perasaan khawatir yang mulai merayap di dalam hatinya.Tiba-tiba, Rafka mengajak Agatha beberapa langkah menjauh dari Ayra. Suara mereka terdengar seperti bisikan yang penuh dengan ketegasan. Agatha mendengarkan dengan ekspresi tegang, meras
Setelah beberapa menit perjalanan, mobil yang dikemudikan Rafka akhirnya memasuki halaman parkir sebuah restoran. Mereka bertiga keluar dari mobil, dan Agatha segera merasa familiar dengan tempat ini. Mata Agatha berkedip cepat saat dia menyadari bahwa restoran ini tidak jauh dari rumah sakit tempat Ivan bekerja. Kecamuk pikiran dan perasaan yang tak terduga menghampirinya. Dalam diam, dia mengelus pergelangan tangannya, merasa getaran perasaan yang tak bisa dijelaskan."Kenapa kamu memilih restoran ini?" tanya Agatha dengan suara hati-hati saat Rafka melangkah di sampingnya.Rafka mengangkat bahu dengan santai, senyumnya yang selalu misterius terukir di wajahnya.. "Aku lapar, dan aku lihat restoran ini. Tempatnya kelihatan bagus," jawabnya sederhana, tanpa keraguan.Agatha memandang sekeliling dengan keraguan yang samar-samar. Dia merasa bahwa pilihan tempat ini mungkin tidak semata-mata kebetulan. Namun, Rafka tetap tenang dan santai, dan tidak ada alasan konkret bagi Agatha untuk m
Perjalanan berlanjut dengan suasana yang semakin canggung, Agatha merasa bahwa hawa tegang semakin menyelimuti ruang di dalam mobil. Agatha, yang menyadari perubahan sikap Rafka, hanya bisa menghela napas dengan perasaan pasrah, merasa takut bahwa kata-kata yang salah bisa membuat situasi semakin rumit.Agatha menatap keluar jendela, membiarkan pikirannya melayang jauh sambil mencoba meredakan detak jantungnya yang semakin cepat. Dia merasa jalan yang mereka lalui tidak searah dengan sekolah. Ketika mereka semakin menjauh, kekhawatiran dalam dirinya semakin besar. Agatha akhirnya bertanya, “Rafka, kamu mau bawa aku pergi kemana?"Rafka tetap diam, tapi matanya melirik sekilas ke arah Agatha dengan pandangan yang dingin dan serius. Agatha merasa tegang karena reaksi Rafka yang semakin tidak dapat diprediksi. Dia mencoba sekali lagi, "Rafka, kita mau kemana? Mobil aku masih di sekolah."Rafka masih tetap diam, dan Agatha merasa frustrasi dengan sikap pria itu. Dia mencoba mengatasi kebi
Agatha merasa kesal dan marah atas semua kata-kata yang dilemparkan oleh Rafka. Kata-kata Rafka menusuk hati Agatha dengan tajam. Setiap kalimat yang diucapkan pria itu seperti pedang yang menusuk perasaannya. Rasa kesal dan marah meluap di dalam dirinya, karena Rafka seakan dengan sengaja mengganggu ketenangan dan kehidupannya. Bagaimana bisa pria itu begitu berani untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang begitu dalam dan pribadi?Namun, di tengah kekesalan dan amarah itu, Agatha juga merasa adanya benang kebenaran dalam kata-kata Rafka. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh pria itu seolah menggetarkan hatinya. Agatha pun tidak bisa menghindari pertanyaan tersebut. Ia merenung dalam diam, merasa seolah terjebak dalam perangkap emosional yang rumit.Agatha hanya terdiam di tempatnya, memandangi pintu rumah yang Rafka masuki. Pria itu meninggalkannya dengan pikiran-pikiran yang berkecamuk di dalam kepalanya. Dalam keheningan yang mengelilinginya, Agatha mulai mempertanyakan pera