Setelah Ivan dan Ayra pergi, Agatha kembali ke dapur dengan tekad untuk menyiapkan bubur untuk Rafka. Dengan hati-hati, Agatha memasak bubur dengan bahan-bahan yang lembut dan bergizi. Setelah bubur selesai dimasak, Agatha mengisi mangkuk dengan porsi yang pas sebelum membawanya masuk ke dalam kamar tamu.
Agatha meletakkan bubur di samping nakas lalu keluar dan kembali menggendong Alvi sambil membawa makanan untuk bayinya itu.
Rafka masih terbaring di tempat tidur, wajahnya terlihat lebih pucat dari sebelumnya. Ketika Agatha masuk, matanya langsung terbuka dan menatap setiap gerak-gerik wanita itu.
Agatha meletakkan mangkok makanan Alvi lalu membantu Rafka duduk dengan hati-hati, meletakkan bantal di belakang punggungnya untuk memberikan dukungan. Dia memberikan sendok pertama bubur pada Rafk
Situasi di ruangan itu tiba-tiba berubah menjadi lebih intens dan penuh dengan emosi yang membara. Setelah Agatha tanpa sadar menampar Rafka, pria itu terlihat marah dan terkejut oleh tindakan itu. Namun, tanpa memberikan penjelasan atau berkata apa-apa, Rafka tiba-tiba menarik Agatha mendekat dengan kasar, dan dengan tiba-tiba menciumnya dengan penuh gairah dan marah.Agatha merasa kebingungan dan kaget oleh tindakan ini. Dia ingin mendorong Rafka menjauh, tetapi tubuhnya terasa seolah tidak mau mendengarkan perintahnya. Dia merasa ciuman itu begitu mendalam dan penuh dengan perasaan bercampur aduk.Namun, setelah beberapa saat, emosi yang membara dalam diri Agatha memuncak. Dia merasa marah atas situasi yang semakin rumit dan membingungkan. Tanpa ragu, dia membalas ciuman Rafka dengan amarah yang sama, mencoba untuk mengungkapkan semua perasaannya yang rumit.Ciuman mereka penuh dengan kebingungan dan emosi yang bercampur aduk. Ada amarah, penyesalan, ketidakpastian, dan keinginan y
Agatha merasa hatinya berdebar kencang saat dia menjemput Ayra dari sekolah. Namun, ketika wali kelas memberitahunya bahwa Ayra sudah dijemput beberapa menit yang lalu, rasa panik seketika melanda ketika wali kelas Ayra mengatakan kalau orang yang menjemput Ayra adalah dirinya. Agatha masih ingat ekspresi wali kelas Ayra yang tampak terkejut melihat dirinya. Ponsel Rafka yang ada di dalam tasnya tiba-tiba bergetar, menarik perhatian Agatha. Saat dia melihat pesan masuk dari Rafka, dia merasa campuran antara rasa lega dan kebingungan. Pesan itu mengatakan bahwa Ayra aman dan Agatha tidak perlu khawatir.Dalam keadaan panik, Agatha segera menghubungi nomor yang tertera dalam pesan tersebut. Dia mendengar nada dering sebelum akhirnya suara Rafka menjawab panggilan itu."Rafka, kenapa kamu bawa Ayra tanpa kasih tahu aku?" ucap Agatha dengan suara yang penuh dengan kekhawatiran dan kekesalan.“Kamu tenang aja, aku nggak mungkin melukai anak aku sendiri. Ayra aman dan aku cuma mau menghabi
Tepat saat suasana semakin tegang, ponsel Agatha bergetar di sakunya. Hatinya berdebar kencang, dan ia merasa panik sejenak saat melihat nama suaminya tertera di layar ponselnya. Dia khawatir Ivan akan menanyakan tentang keberadaannya atau situasi lain yang akan membuatnya sulit menjawab. Setelah mendengar suara Ivan di seberang sambungan, rasa paniknya mulai mereda."Halo, sayang," suara Ivan terdengar lembut di seberang sambungan telepon. "Maaf aku akan pulang agak terlambat hari ini. Ada beberapa urusan mendadak di rumah sakit."“Oke, nggak apa-apa, Sayang. Hati-hati nanti di jalan.” Agatha meletakkan ponselnya dengan perasaan lega. “Aku pikir kamu nggak akan bisa terus menyembunyikan ini, Agatha. Kamu harus cerita semuanya sama suami kamu. Dia berhak tahu.” Adiva menatap Agatha dengan pandangan yang sulit untuk dijelaskan.Agatha mendengarkan kata-kata Adiva dengan perasaan campuran. Dia tahu bahwa Adiva mungkin benar, bahwa menyembunyikan sesuatu dari suaminya bukanlah solusi ja
Beberapa minggu berlalu setelah Agatha membuka diri kepada Ivan tentang kunjungannya ke rumah Ibunya. Kini hubungan mereka semakin dekat dan kuat. Agatha juga sudah memperkenalkan Riana kepada Ivan. Mereka juga berencana untuk mengadakan acara keluarga. Akhirnya, hari yang dinantikan tiba. Agatha, Ivan, dan anak-anak mereka bersiap untuk mengunjungi rumah Riana. Saat Agatha, Ivan, Alvi, dan Ayra memasuki rumah Rania, mereka disambut dengan senyuman dan pelukan hangat dari ibu Agatha. Rania tampak senang bisa bertemu dengan cucunya, dan Ivan disambut dengan tangan terbuka. Mereka semua duduk bersama di ruang keluarga, berbicara dan berbagi cerita. Agatha merasa hangat melihat Ibunya dan suaminya bisa berbicara dengan nyaman. Di tengah-tengah acara, tiba-tiba suasana berubah. Ketika pintu terbuka, Agatha merasa terkejut saat Rafka muncul di ambang pintu bersama dengan Bella. Tiba-tiba kehadiran Rafka dan Bella membelah ruangan menjadi dua, memisahkan atmosfer hangat yang baru saj
Rafka menyeringai lalu mengangkat dagu Agatha. Ia menangkap wajah Agatha dengan kasar, membuatnya merasa rentan dan terkepung. Dia merasakan sentuhan yang tajam dan tidak terduga saat Rafka menciumnya dengan marah dan kasar. Walaupun Agatha berusaha mendorong Rafka untuk melepaskan cengkramannya, dia merasa kekuatannya kalah oleh intensitas emosi pria itu. Jari-jari Rafka meremas pipinya dengan keras, memberikan pesan bahwa dia sedang mengambil kendali atas situasi ini. Agatha mencoba untuk melepaskan diri, tetapi cengkaman Rafka semakin kuat dan tak terelakkan. Saat ciuman Rafka semakin dalam dan menuntut, Agatha merasakan dirinya hampir kehilangan kendali atas emosinya. Bibir mereka menyatu dalam keintiman yang tak terduga, dan perasaan yang bercampur aduk merambat dalam diri Agatha. Dia merasakan napas Rafka di bibirnya, mengirimkan getaran aneh ke seluruh tubuhnya. Tangan Rafka turun dan mencengkeram lengan Agatha dengan erat, menciptakan rasa sakit yang menyatu dengan gairah dan
Malam itu, Agatha dan Ivan pulang dari rumah di rumah Riana sementara Ayra memilih untuk menginap di sana. Meskipun awalnya Agatha merasa keberatan untuk meninggalkan Ayra sendiri di rumah Rania, terutama ketika Rafka juga masih berada di sana tetapi karena Riana meyakinkannya dan juga karena besok adalah hari libur akhirnya Agatha menyetujuinya. Malam semakin larut, suasana di rumah Riana terasa penuh kehangatan. Riana berdiri di sudut ruangan dengan senyum puas di wajahnya. Dia senang melihat cucunya dan Rafka yang sudah ia anggap seperti putranya, yang selama ini terpisah, akhirnya bisa bersama dan menghabiskan waktu bersama-sama. Riana mengamati bagaimana Rafka benar-benar mendengarkan Ayra dengan penuh perhatian, dan dia merasa bahwa ini adalah momen yang berharga bagi semua orang. “Ibu ngapain berdiri di situ?” tanya Bella sambil melihat kemana arah pandangan Ibunya yang tertuju pada Ayra yang sibuk bercerita bersama rafka di kamar. “Jadi bener, Bu, kalau Ayra itu anak Kak R
Keesokan harinya, Rafka meminta izin Raina untuk membawa Ayra pergi bermain. Setelah mendapat izin, Rafka dan Ayra sudah bersiap-siap untuk menghabiskan hari bersama. Rafka mengenakan kemeja lengan panjang dan celana jeans, sementara Ayra mengenakan baju berwarna cerah yang ia pilih dengan penuh semangat. Sebelumnya Rafka meminta David untuk membeli beberapa baju untuk Ayra. "Kamu siap, Ayra?" tanya Rafka dengan senyum lebar.Ayra mengangguk antusias. "Iya, Papa! Ayra siap!"Ayra langsung melompat ke dalam mobil dengan penuh kegembiraan. Rafka mengambil posisi di kursi pengemudi dan memulai mesin mobil. Dia senang bisa menghabiskan waktu bersama Ayra, menikmati momen kebersamaan yang begitu berarti. Mobil melaju dengan lancar menuju taman bermain. Ayra tak henti-hentinya berbicara dan bertanya kepada Rafka tentang segala hal. Rafka dengan sabar menjawab setiap pertanyaan dan mengobrol dengan Ayra. Mereka tertawa, berbicara tentang mimpi, dan merencanakan permainan apa yang akan mere
Hari itu matahari bersinar terang, memancarkan kehangatan di udara. Di depan gerbang sekolah, Rafka menunggu dengan sabar. Dia telah merindukan Ayra selama waktu yang cukup lama karena urusan bisnisnya di luar negeri. Sesekali dia melihat ke arah pintu masuk, mencari tanda-tanda kehadiran gadis kecil yang begitu berarti baginya.Tak lama kemudian, Ayra keluar dari pintu sekolah dengan senyum cerah di wajahnya. Matanya berbinar-binar saat melihat Rafka berdiri di sana."Papa!" seru Ayra dengan riang, berlari mendekati Rafka dan memeluknya erat.Rafka membalas pelukan Ayra dengan lembut, merasakan kebahagiaan tulus yang datang dari gadis kecil itu. "Hai, Sayang. Papa kangen sekali sama Ayra.” “Ayra juga kangen banget sama Papa,” balas Ayra dengan wajah berseri-seri.Agatha berdiri di tempatnya, diam dan terkejut oleh apa yang baru saja ia saksikan. Hatinya berdebar-debar melihat Ayra dengan Rafka, terutama setelah mendengar Ayra memanggil Rafka dengan sebutan ‘Papa. Agatha berpikir bah
Rafka menatapnya dengan mata penuh air mata. Tangannya yang besar dan kuat menggenggam tangan Agatha dengan lembut. "Aku mencintai kamu. Aku selalu mencintai kamu, dan aku akan terus mencintai kamu, Tha."Agatha merasa hatinya hangat mendengar kata-kata itu. Meskipun dalam kondisi yang rapuh, cinta mereka tetap mengalir begitu kuat di antara mereka. Agatha menatap mata Rafka dengan pandangan lembut, bibirnya terangkat dalam senyuman yang penuh makna. "Aku juga mencintai kamu, Rafka."Tangan mereka saling berpegangan erat, menyampaikan dukungan, cinta, dan perasaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Agatha merasakan kehangatan dalam genggaman tangan Rafka, seolah-olah itu adalah tali yang mengikat hati mereka.Agatha merasakan rasa sakit yang semakin memburuk. Dia tahu bahwa waktu mereka sangatlah terbatas. Dengan suara yang lemah, ia berbicara lagi, kali ini dengan serius, "Rafka, kamu harus kuat."Rafka menatap Agatha dengan rasa takut yang tidak tersembunyi. "Apa yang kamu bic
Beberapa hari berlalu, kondisi Agatha tetap kritis. Rafka terus menghabiskan waktu di rumah sakit, bergantian menjaga bayi perempuannya dan mengunjungi Agatha. Dia merasa seolah hidupnya berada dalam titik balik yang kritis. Perasaannya bercampur antara rasa harapan dan kegelisahan yang tak terbayangkan.Selama berhari-hari ini, Rafka terus menjaga putrinya dengan penuh kecintaan dan tekad. Dia bersama keluarganya dan keluarga Agatha bergantian menjaga Agatha, berdoa dan berharap agar wanita itu segera pulih dan bisa bersama mereka lagi.Ruang perawatan Agatha juga menjadi tempat di mana para keluarga mereka bergantian menjaga. Karina dan Ravindra, yang penuh kehangatan, seringkali mengambil giliran menjaga Agatha ketika Rafka perlu beristirahat sejenak. Adiva juga ada di sana, membantu dengan segala hal yang dibutuhkan. Meskipun situasinya tidak mudah, atmosfer di dalam ruangan itu penuh dengan kasih sayang dan semangat perjuangan.Ketika hari beranjak malam, Rafka masih terjaga, mem
Rafka berusaha untuk tenang dan kuat di hadapan Ayra. Gadis kecil itu masih belum paham betapa seriusnya situasi ini, dan Rafka ingin melindungi perasaannya. Dia menundukkan badan untuk berada pada tingkat mata Ayra ketika gadis kecil itu menatapnya dengan mata penuh pertanyaan. "Papa, apa yang terjadi sama Mama?" tanyanya dengan nada khawatir.Rafka membungkukkan tubuhnya untuk berada sejajar dengan Ayra. Dia menyeka air mata yang hampir jatuh dari mata kecil Ayra dengan lembut, mencoba memberikan senyum lembut. "Ayra, Mama sedang sakit dan sedang dirawat oleh dokter. Papa dan semua orang sedang berusaha yang terbaik untuk membantu Mama."Ayra menggigit bibirnya, terlihat cemas. "Mama akan baik-baik saja, kan, Papa?" tanyanya dengan penuh harapan.Rafka mengecup kening Ayra lembut. "Kita berdoa bersama-sama, sayang. Mama sangat kuat dan Mama juga ingin cepat kembali bersama kita."Tak lama kemudian, semua keluarga berdatangan ke rumah sakit. Karina dan Ravindra datang dengan wajah pe
Agatha terus menjalani rawat inap di rumah sakit, dipantau dengan ketat oleh para dokter dan perawat. Setiap detik waktu terasa berharga bagi Rafka dan semua orang yang peduli dengan Agatha. Rafka duduk di samping tempat tidur Agatha, matanya tidak pernah lepas dari wanita yang sedang berjuang ini. Dia merasakan ketidakpastian yang semakin mendalam, kekhawatiran yang tak terkendali.Agatha terbaring lemah di tempat tidurnya, wajahnya pucat dan matanya terlihat letih. Pendarahan yang dialaminya telah membuat kondisinya semakin memburuk. Meskipun Agatha mencoba menjaga semangatnya, tetapi tubuhnya semakin tak mampu mempertahankan. Rafka merasa frustasi karena merasa tidak bisa melakukan apa-apa untuk membantu Agatha. Dia ingin sekali bisa menghapus semua rasa sakit yang Agatha rasakan, namun dia tahu dia hanya bisa berdoa dan berharap yang terbaik.Rafka menggenggam tangan Agatha dengan erat, merasakan getaran kelemahan dalam genggaman itu. Dia merasa hatinya teriris melihat Agatha yang
Di dalam ruang perawatan yang hening, mata Agatha perlahan terbuka dan tatapannya memandang wajah lelah Rafka. Luka lebam di pipi pria itu memperoleh perhatiannya, dan segera Agatha mengeluarkan pertanyaan khawatir dari bibirnya. "Wajah kamu kenapa?"Namun, jawaban yang ia terima bukanlah tentang luka lebam itu. Rafka hanya menatapnya dengan ekspresi yang rumit, seolah ada banyak hal yang ingin ia sampaikan, tetapi dia kesulitan menemukan kata-kata yang tepat. Agatha bisa merasakan kecemasan yang menghantui Rafka, dan ia tahu bahwa saat ini mereka harus menghadapi kenyataan bersama."Bagaimana kondisimu?" tanya Rafka, suaranya lembut namun penuh dengan kekhawatiran. Agatha terpancar kekaguman dalam tatapannya saat melihat perasaan Rafka yang terangkum dalam raut wajahnya.Agatha mencoba tersenyum lemah, meskipun rasa sakit dan kebingungannya masih menghantui. "Aku baik-baik saja," jawabnya pelan.Namun, perhatian Rafka beralih dari kesehatannya sendiri dan dengan penuh kekhawatiran ia
Dalam keheningan ruang perawatan, setelah berbicara dengan Agatha, Ivan merasa seolah dia tenggelam dalam gelombang perasaan yang tak tertahankan. Dia berusaha memproses semua yang telah terjadi, memahami pilihan-pilihan yang sulit yang telah dibuat oleh Agatha, dan merasa terhempas oleh kemungkinan terburuk yang dapat terjadi pada wanita itu dan bayi yang dikandungnya.Namun, pandangannya tiba-tiba terganggu oleh sosok yang mendekat dari kejauhan. Rafka, dengan wajah yang penuh kekhawatiran, berjalan menuju Ivan dengan langkah tergesa-gesa. Ivan bisa merasakan adanya ketegangan di udara saat Rafka semakin mendekat. Tatapan mereka bertemu dalam keheningan yang berat.Tak lama setelah Rafka berada di depan Ivan, pria itu seolah melepaskan semua ketegangan yang ada dalam dirinya. Ia langsung mencengkeram kerah baju Ivan dengan kasar, menggeramkan pertanyaan yang memancar dari dalam hatinya. "Apa yang kamu lakukan kali ini?"Ivan menatap tajam Rafka, mencoba membaca perasaan yang ada di
Ivan berdiri di samping tempat tidur Agatha, pandangannya tetap terfokus pada wanita yang terbaring di sana. Hatinya terasa berkecamuk, sulit untuk mengurai perasaan yang datang menghujam. Ia melihat Agatha, seorang wanita yang pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya, sekarang tengah mengalami hal yang begitu serius. Dia merasa bingung, marah, dan khawatir dalam waktu yang bersamaan.Dokter yang berbicara dengannya tampak serius dan penuh perhatian. Ivan mencoba untuk tetap tenang dan mendengarkan penjelasan dokter dengan seksama. Dokter menjelaskan bahwa masalah yang Agatha alami adalah plasenta previa, di mana plasenta berada di dekat atau menutupi rahim bagian bawah. Kondisi ini bisa berisiko tinggi, terutama ketika mendekati waktu persalinan.Ivan merasakan jantungnya berdetak lebih cepat saat mendengar bahwa kondisi ini berbahaya bagi Agatha dan bayinya. Dia merasa tidak ingin kehilangan Agatha, terlebih lagi dengan keadaan yang semakin rumit setelah semua yang terjadi. Namu
Setelah meninggalkan rumah Karina dan Ravindra, Agatha merasa perasaannya masih dalam keadaan campur aduk. Namun, dia tahu bahwa ada satu hal lagi yang harus dia lakukan. Dia pergi ke rumah Ivan untuk menemui Adiva dan Alvi. Sesampainya di sana, dia melihat Adiva dan Alvi sedang bermain dengan penuh kebahagiaan.Agatha tersenyum melihat pemandangan itu. Alvi, bayi yang dulunya begitu tenang berada dipelukannya, kini sudah tumbuh menjadi anak yang sehat dan ceria. Dia sudah mulai berjalan dan berbicara, dan Agatha bisa melihat betapa Adiva merawatnya dengan penuh cinta.Agatha merasa bahagia melihat keakraban antara Adiva dan Alvi. Melihat Alvi tumbuh sehat dan bahagia membuat hatinya hangat."Adiva," panggil Agatha dengan suara lembut. Adiva menoleh dan tersenyum melihat Agatha. Mereka bertatap mata, dan Agatha bisa merasakan campuran antara rasa bersalah dan rasa terima kasih di dalam hatinya.Alvi melihat Agatha, dan meskipun dia masih kecil, wajahnya sudah penuh dengan keceriaan. "
Beberapa minggu kemudian, setelah Rafka berangkat bekerja dan Ayra pergi ke sekolah, Agatha memutuskan untuk mengunjungi rumah ibunya. Sudah lama sejak terakhir kali dia menghabiskan waktu dengan Riana, dan Agatha merasa butuh pelukan dan nasihat ibunya. Begitu Agatha memasuki rumah, aroma kue hangat langsung menyambutnya. Ibu Agatha, Riana, dengan senyum hangatnya, sudah menanti di ruang tamu.Sesampainya di rumah, Agatha disambut dengan senyuman hangat oleh Riana. Wanita itu terlihat begitu bahagia melihat putrinya. Mereka duduk di ruang tamu yang nyaman, dikelilingi oleh bunga-bunga dan foto-foto keluarga di dinding.Agatha menghabiskan waktu berjam-jam bersama ibunya. Agatha mulai bercerita tentang kesehariannya, tentang bagaimana dia mencoba untuk memperbaiki hubungannya dengan Rafka dan Ayra. Dia bercerita tentang momen-momen kebersamaan yang berhasil mereka ciptakan, meskipun rasa bersalah masih menghantuinya. Agatha juga menceritakan tentang kehamilannya yang semakin membesar,