Rafka menyeringai lalu mengangkat dagu Agatha. Ia menangkap wajah Agatha dengan kasar, membuatnya merasa rentan dan terkepung. Dia merasakan sentuhan yang tajam dan tidak terduga saat Rafka menciumnya dengan marah dan kasar. Walaupun Agatha berusaha mendorong Rafka untuk melepaskan cengkramannya, dia merasa kekuatannya kalah oleh intensitas emosi pria itu. Jari-jari Rafka meremas pipinya dengan keras, memberikan pesan bahwa dia sedang mengambil kendali atas situasi ini. Agatha mencoba untuk melepaskan diri, tetapi cengkaman Rafka semakin kuat dan tak terelakkan. Saat ciuman Rafka semakin dalam dan menuntut, Agatha merasakan dirinya hampir kehilangan kendali atas emosinya. Bibir mereka menyatu dalam keintiman yang tak terduga, dan perasaan yang bercampur aduk merambat dalam diri Agatha. Dia merasakan napas Rafka di bibirnya, mengirimkan getaran aneh ke seluruh tubuhnya. Tangan Rafka turun dan mencengkeram lengan Agatha dengan erat, menciptakan rasa sakit yang menyatu dengan gairah dan
Malam itu, Agatha dan Ivan pulang dari rumah di rumah Riana sementara Ayra memilih untuk menginap di sana. Meskipun awalnya Agatha merasa keberatan untuk meninggalkan Ayra sendiri di rumah Rania, terutama ketika Rafka juga masih berada di sana tetapi karena Riana meyakinkannya dan juga karena besok adalah hari libur akhirnya Agatha menyetujuinya. Malam semakin larut, suasana di rumah Riana terasa penuh kehangatan. Riana berdiri di sudut ruangan dengan senyum puas di wajahnya. Dia senang melihat cucunya dan Rafka yang sudah ia anggap seperti putranya, yang selama ini terpisah, akhirnya bisa bersama dan menghabiskan waktu bersama-sama. Riana mengamati bagaimana Rafka benar-benar mendengarkan Ayra dengan penuh perhatian, dan dia merasa bahwa ini adalah momen yang berharga bagi semua orang. “Ibu ngapain berdiri di situ?” tanya Bella sambil melihat kemana arah pandangan Ibunya yang tertuju pada Ayra yang sibuk bercerita bersama rafka di kamar. “Jadi bener, Bu, kalau Ayra itu anak Kak R
Keesokan harinya, Rafka meminta izin Raina untuk membawa Ayra pergi bermain. Setelah mendapat izin, Rafka dan Ayra sudah bersiap-siap untuk menghabiskan hari bersama. Rafka mengenakan kemeja lengan panjang dan celana jeans, sementara Ayra mengenakan baju berwarna cerah yang ia pilih dengan penuh semangat. Sebelumnya Rafka meminta David untuk membeli beberapa baju untuk Ayra. "Kamu siap, Ayra?" tanya Rafka dengan senyum lebar.Ayra mengangguk antusias. "Iya, Papa! Ayra siap!"Ayra langsung melompat ke dalam mobil dengan penuh kegembiraan. Rafka mengambil posisi di kursi pengemudi dan memulai mesin mobil. Dia senang bisa menghabiskan waktu bersama Ayra, menikmati momen kebersamaan yang begitu berarti. Mobil melaju dengan lancar menuju taman bermain. Ayra tak henti-hentinya berbicara dan bertanya kepada Rafka tentang segala hal. Rafka dengan sabar menjawab setiap pertanyaan dan mengobrol dengan Ayra. Mereka tertawa, berbicara tentang mimpi, dan merencanakan permainan apa yang akan mere
Hari itu matahari bersinar terang, memancarkan kehangatan di udara. Di depan gerbang sekolah, Rafka menunggu dengan sabar. Dia telah merindukan Ayra selama waktu yang cukup lama karena urusan bisnisnya di luar negeri. Sesekali dia melihat ke arah pintu masuk, mencari tanda-tanda kehadiran gadis kecil yang begitu berarti baginya.Tak lama kemudian, Ayra keluar dari pintu sekolah dengan senyum cerah di wajahnya. Matanya berbinar-binar saat melihat Rafka berdiri di sana."Papa!" seru Ayra dengan riang, berlari mendekati Rafka dan memeluknya erat.Rafka membalas pelukan Ayra dengan lembut, merasakan kebahagiaan tulus yang datang dari gadis kecil itu. "Hai, Sayang. Papa kangen sekali sama Ayra.” “Ayra juga kangen banget sama Papa,” balas Ayra dengan wajah berseri-seri.Agatha berdiri di tempatnya, diam dan terkejut oleh apa yang baru saja ia saksikan. Hatinya berdebar-debar melihat Ayra dengan Rafka, terutama setelah mendengar Ayra memanggil Rafka dengan sebutan ‘Papa. Agatha berpikir bah
Ravindra memandangi wajah Ayra dengan hati-hati, seolah-olah mencoba membaca setiap detail yang ada di sana. Ketika ia menyadari betapa miripnya Ayra dengan Agatha dan Rafka, ekspresi wajahnya berubah secara tiba-tiba. Ketegangan yang biasanya terpancar dari raut wajahnya perlahan-lahan menghilang, digantikan oleh ekspresi kelembutan yang jarang terlihat.Ravindra meraih Ayra dalam pelukannya dengan penuh kasih sayang. Gerakan itu begitu tulus dan alami, menggambarkan perubahan besar yang terjadi dalam dirinya. Sementara itu, Karina yang berdiri di sampingnya melihat ekspresi dan perubahan dalam tatapan Ravindra dengan haru dan bahagia yang tak tergambarkan. Hatinya meleleh saat melihat suaminya merangkul cucunya dengan penuh kasih sayang. Dia merasa bahwa saat ini, semua ketegangan dan perpecahan dalam keluarga mereka telah berubah menjadi sesuatu yang lebih positif dan mendalam.Setelah beberapa saat berbicara dan berinteraksi dengan Ayra, suasana semakin akrab di antara mereka. Ayr
Dapur yang hangat dihiasi oleh aroma kue cokelat yang lezat, membuat suasana semakin akrab. Ayra dan Karina berdiri dengan senyum bahagia di wajah mereka, melihat hasil kerja keras mereka yang menghasilkan kue yang menggoda selera. Di sebelah mereka, meja makan diisi oleh beberapa potongan kue yang terlihat menggugah selera."Kue kita sudah selesai, Oma!" ucap Ayra dengan penuh kebanggaan, matanya berbinar menatap kue cokelat yang menggoda. "Ayo, kita makan bersama!"Karina tertawa gembira, merasa senang dengan semangat Ayra. "Tentu, Sayang! Kalau gitu ayo kita bawa ke depan.”Mereka semua mengambil tempat di ruang tamu, di mana meja sudah disiapkan dengan segelas susu dan teh, serta beberapa potongan kue cokelat yang menggiurkan. Ayra duduk di antara Ravindra dan Karina, matanya berbinar saat melihat hidangan di depannya.Ravindra tidak bisa menyembunyikan senyumnya saat melihat hasil karya Ayra. "Ayra, kamu hebat sekali!" ujarnya dengan penuh kagum, tatapannya penuh kebanggaan terha
Agatha merasakan perasaannya bergolak, tapi kali ini bukan lagi karena amarah. Ekspresi wajahnya seketika berubah, dan matanya terpaku pada luka-luka yang terlihat di tubuh Rafka. Dia bisa melihat bagaimana pakaian Rafka melekat pada kulitnya karena basah oleh hujan, dan luka di lengan kirinya tampak merah dan bengkak. Ekspresi marah yang tadi tergambar jelas di wajahnya langsung menghilang, digantikan oleh ekspresi kekhawatiran yang dalam.Tanpa sadar, tangannya bergetar ketika dia mendekati Rafka, dan tangan Agatha mulai meraba lembut tangan Rafka. Dengan mata yang penuh perhatian, Agatha memeriksa luka di tubuh pria itu. Jarinya menyentuh luka tersebut dengan lembut, seolah-olah dia ingin meredakan rasa sakit yang mungkin dirasakan Rafka.“Kamu terluka,” gumam Agatha dengan pelan.Agatha mengangkat pa
Agatha mengambil langkah hati-hati saat memasuki kamar tamu dengan handuk dan pakaian ganti yang telah dia siapkan untuk Rafka. Dia merasa sedikit canggung dengan situasi yang ada, terutama setelah apa yang terjadi sebelumnya. Namun, dia berusaha untuk tetap tenang dan mengesampingkan semua perasaan yang rumit.Namun, begitu dia masuk ke dalam kamar, pandangannya langsung tertuju pada Rafka yang sedang berdiri di tengah-tengah ruangan, melepas kemejanya. Matanya terbuka lebar oleh kejutan, dan bibirnya terbuka seolah tak percaya. Agatha menahan napasnya saat melihat pria itu tanpa kemeja, tubuh atletisnya terpapar di hadapan Agatha, dan dia tidak bisa menghindari tatapan heran dan sedikit malu. Agatha terpana sejenak, tidak tahu bagaimana seharusnya dia merespons situasi yang tidak terduga ini.“Kamu ngapain?” Kenapa lepas pakaiannya di sini?” suara Agatha terdengar canggung, seakan dia terjebak dalam keadaan yang tidak terduga ini. Agatha merasa pipinya merah karena malu, ia langsung