Selama satu minggu ini, Ivan mulai menghabiskan waktunya dengan menyibukkan diri. Setiap hari, dia memusatkan perhatiannya pada pekerjaannya, berusaha melupakan kekhawatiran pribadinya. Ivan terlihat sibuk di ruangannya di rumah sakit, fokus pada tumpukan berkas dan catatan medis di mejanya. Meskipun kepalanya penuh dengan pertanyaan yang menghantui, Ivan telah memutuskan untuk mengalihkan perhatiannya pada pekerjaannya. Setiap waktu yang tersedia, dia menghabiskannya di rumah sakit.Ivan mencoba untuk merangkul rutinitasnya yang lebih kompleks. Dia menghabiskan waktu di rumah sakit dengan tekun, berkonsentrasi pada diagnosa dan perawatan pasien. Dia berusaha melupakan kekhawatiran pribadinya dengan fokus pada tugas-tugas medisnya. Setiap kali keraguan mulai mengintainya, dia melawan dengan semangat yang lebih kuat.Namun, usaha untuk mengesampingkan kekhawatiran tidak selalu berhasil. Terkadang, saat malam datang dan kesepiannya merayap, Ivan merenung tentang segala kemungkinan yang
Matahari senja perlahan tenggelam di ufuk barat, memberikan nuansa hangat yang melingkupi apartemen. Ini adalah rutinitas mereka seperti biasa, menjalani hari-hari dengan penuh cinta dan kebersamaan. Malam ini, setelah Rafka pulang dari kantornya, suasana riang dan haru terasa semakin akrab di ruang dapur mereka.Agatha berdiri di tengah dapur, dengan celemeknya yang penuh bercak adonan tepung dan tangan yang lincah mengaduk-aduk campuran yang sedang ia siapkan. Di sebelahnya, Rafka menyusul dengan membawa kantong belanjaan yang berisi bahan-bahan segar untuk makan malam mereka. Sedangkan Ayra, duduk di atas meja dapur dengan wajah penuh antusiasme."Ada apa hari ini?" tanya Agatha sambil tersenyum pada Rafka yang menghampirinya. Rafka menjawab sambil mencium kening Agatha dengan lembut, "Hari yang panjang, tapi tahu apa? Pulang ke tempat ini membuat semua lelah aku hilang begitu saja."Sementara Agatha dan Rafka bercengkerama, Ayra merasa semakin tertarik dengan semua aktivitas yang
Di ruang tunggu rumah sakit, suasana tegang dan cemas melingkupi Ivan dan Adiva. Mereka duduk bersebelahan, tetapi pandangan mereka terpaku pada pintu ruang perawatan tempat Alvi berada. Waktu terasa lambat, dan detik-detik berjalan dengan begitu perlahan.Dalam keheningan yang tegang, dokter akhirnya muncul dari ruang perawatan. Wajahnya serius, dan itu segera memicu kenaikan denyut jantung Ivan. Adiva juga berdiri, dan mereka berdua mendekati dokter dengan tatapan yang penuh harap dan kecemasan."Dokter, bagaimana kondisi Alvi?" tanya Ivan dengan suara yang gemetar sedikit.Dokter mengangguk dan memberikan senyuman lembut sebagai tanda penghormatan sebelum mulai menjelaskan. "Saya telah memeriksa Alvi dengan seksama. Saat ini, demam yang dialaminya disebabkan oleh infeksi virus yang umum terjadi pada anak-anak. Tidak ada yang perlu terlalu khawatir, tetapi kami perlu memberikan perawatan untuk membantu tubuhnya melawan infeksi."Ivan merasa lega mendengar itu, meskipun kekhawatiran
Agatha melajukan mobil dengan cepat, hatinya berdebar-debar karena cemas. Sejak tadi, ia telah mencoba menghubungi Ivan tanpa henti, tetapi ponsel suaminya tak kunjung aktif. Sepanjang perjalanan menuju rumah, Agatha merasa tubuhnya gemetar dan perasaan bersalah semakin merajalela di dalam dirinya.Agatha tiba di rumah dengan langkah yang gemetar, hatinya berdegup kencang apalagi saat mengabarkan bahwa Alvi sedang sakit. Wajahnya memucat dan tangannya bergetar saat ia membuka pintu rumah dengan cemas. Setiap langkah menuju kamar bayi terasa berat, penuh dengan ketidakpastian.Agatha menghela nafas dalam-dalam saat dia berdiri di depan pintu kamar Alvi. Dari balik pintu terdengar suara pelan tangisan bayi yang melemah. Hatinya hancur melihat situasi ini. Dia merasa seperti diambang kehancuran, tidak tahu harus berbuat apa.Agatha merasa hatinya semakin terbebani dengan rasa bersalah. Dia merasa seperti semuanya adalah kesalahannya. Rasa bersalah itu membakar di dadanya saat dia mencoba
Dalam keheningan yang terasa berat, pertanyaan yang selama ini tertahan akhirnya keluar dari bibir Ivan dengan suara yang rapuh. "Apakah kamu mencintai Rafka?"Agatha terdiam, matanya yang masih basah oleh air mata memandang ke lantai. Dia merasakan beban berat di dadanya, pertanyaan itu melukai hatinya lebih dalam dari sebelumnya. Hatinya berdebar keras, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan itu. Tetapi jawaban terasa begitu rumit, begitu sulit untuk diucapkan.Ivan melihat wajah Agatha dengan tatapan penuh harap, mencari jawaban yang tak kunjung datang. Dia merasakan getaran ketidakpastian dan ketakutan di dalam dirinya. Ivan tahu bahwa pertanyaan ini tidak akan mengubah apa pun, tetapi dia perlu tahu, dia perlu mengerti.Sekali lagi, dengan suara yang lebih tinggi, Ivan bertanya pertanyaan yang sama. "Apakah kamu mencintai Rafka?"Tapi jawaban tetap tidak datang dari Agatha. Dia merasakan cengkeraman tangan Ivan yang kuat, membuatnya terlonjak. Matanya mena
Agatha kembali ke apartemennya dengan langkah lemah. Wajahnya terlihat sembab dan pucat akibat tangis yang tak terbendung. Langkahnya terasa berat, seolah-olah seluruh energinya telah terkuras habis. Hatinya hancur sejak pertemuannya dengan Ivan, oleh perasaan kehilangan dan penyesalan yang terus menghantuinya.Agatha membuka pintu apartemen dengan gemetar, masuk ke dalam dengan perasaan hampa. Dia merasa seperti dunianya runtuh, semua yang dia kenal dan cintai telah berubah dengan drastis dalam waktu singkat. Matanya yang sembab dan merah dari tangisnya mencerminkan betapa dalamnya rasa sakit yang ia rasakan.Ketika Agatha memasuki ruangan, pandangannya bertemu dengan Rafka yang tengah menunggunya. Raut wajah Rafka penuh kecemasan, dan itu membuat hati Agatha semakin berat. Dia tidak punya kekuatan untuk menjelaskan apa yang terjadi, untuk membagikan beban emosionalnya kepada orang lain. Dia hanya ingin menenangkan pikirannya, menarik diri dari dunia yang penuh dengan kebingungan ini
Agatha masih merasa kacau dan penuh kekhawatiran saat dia mengikuti Rafka menuju ruangan dokter. Rafka berjalan dengan langkah mantap, sementara Agatha seakan-akan hanya mengikuti saja.Dokter melakukan serangkaian pemeriksaan pada Agatha, mendengarkan detak jantungnya, mengukur tekanan darahnya, dan mengajukan beberapa pertanyaan mengenai gejala yang dialami Agatha.Setelah pemeriksaan yang teliti, dokter memberi senyuman dan melihat Agatha dengan penuh perhatian. “Selamat, Bu. Anda saat ini sedang hamil.”Perkataan itu menghantam Agatha seperti petir di siang bolong. Matanya melebar, dan dia merasakan detak jantungnya semakin cepat. Sejenak, dia merasa dunia berputar dan semua terasa begitu tidak nyata."S-saya hamil?" ucap Agatha dengan suara yang gemetar, mencari kepastian tentang apa yang baru saja dia dengar.Dokter mengulurkan tangan dan memegang tangan Agatha dengan lembut. "Iya, Bu. Anda sedang mengandung. Saya melihat tanda-tanda kehamilan dari hasil pemeriksaan yang telah k
Dokter memeriksa Agatha dengan cermat, mengukur detak jantungnya, mengecek tekanan darah, dan melakukan pemeriksaan fisik lainnya. Setelah beberapa saat yang tampak begitu lama bagi Rafka dan Ivan, dokter akhirnya mengangkat kepala dan mengambil napas dalam-dalam sebelum berbicara."Dari hasil pemeriksaan awal, Agatha terlihat sangat kelelahan," ujar dokter dengan suara lembut, sambil menatap Agatha dengan penuh perhatian. "Kondisi ini bisa disebabkan oleh stres dan kelelahan fisik. Terutama selama masa kehamilan, sangat penting bagi ibu hamil untuk menjaga kesehatan fisik dan mental mereka."Rafka merasa lega mendengar kata-kata dokter ini. Setidaknya Agatha tidak mengalami masalah yang lebih serius. Namun, pandangannya beralih ke Ivan, yang tampak semakin tegang.Dokter melanjutkan, "Selama masa kehamilan, ibu hamil perlu menghindari stres berlebihan dan usahakan untuk istirahat yang cukup. Stres dan kelelahan bisa berdampak buruk pada kesehatan ibu dan bayi yang dikandungnya."Kata