Agatha kembali ke apartemennya dengan langkah lemah. Wajahnya terlihat sembab dan pucat akibat tangis yang tak terbendung. Langkahnya terasa berat, seolah-olah seluruh energinya telah terkuras habis. Hatinya hancur sejak pertemuannya dengan Ivan, oleh perasaan kehilangan dan penyesalan yang terus menghantuinya.Agatha membuka pintu apartemen dengan gemetar, masuk ke dalam dengan perasaan hampa. Dia merasa seperti dunianya runtuh, semua yang dia kenal dan cintai telah berubah dengan drastis dalam waktu singkat. Matanya yang sembab dan merah dari tangisnya mencerminkan betapa dalamnya rasa sakit yang ia rasakan.Ketika Agatha memasuki ruangan, pandangannya bertemu dengan Rafka yang tengah menunggunya. Raut wajah Rafka penuh kecemasan, dan itu membuat hati Agatha semakin berat. Dia tidak punya kekuatan untuk menjelaskan apa yang terjadi, untuk membagikan beban emosionalnya kepada orang lain. Dia hanya ingin menenangkan pikirannya, menarik diri dari dunia yang penuh dengan kebingungan ini
Agatha masih merasa kacau dan penuh kekhawatiran saat dia mengikuti Rafka menuju ruangan dokter. Rafka berjalan dengan langkah mantap, sementara Agatha seakan-akan hanya mengikuti saja.Dokter melakukan serangkaian pemeriksaan pada Agatha, mendengarkan detak jantungnya, mengukur tekanan darahnya, dan mengajukan beberapa pertanyaan mengenai gejala yang dialami Agatha.Setelah pemeriksaan yang teliti, dokter memberi senyuman dan melihat Agatha dengan penuh perhatian. “Selamat, Bu. Anda saat ini sedang hamil.”Perkataan itu menghantam Agatha seperti petir di siang bolong. Matanya melebar, dan dia merasakan detak jantungnya semakin cepat. Sejenak, dia merasa dunia berputar dan semua terasa begitu tidak nyata."S-saya hamil?" ucap Agatha dengan suara yang gemetar, mencari kepastian tentang apa yang baru saja dia dengar.Dokter mengulurkan tangan dan memegang tangan Agatha dengan lembut. "Iya, Bu. Anda sedang mengandung. Saya melihat tanda-tanda kehamilan dari hasil pemeriksaan yang telah k
Dokter memeriksa Agatha dengan cermat, mengukur detak jantungnya, mengecek tekanan darah, dan melakukan pemeriksaan fisik lainnya. Setelah beberapa saat yang tampak begitu lama bagi Rafka dan Ivan, dokter akhirnya mengangkat kepala dan mengambil napas dalam-dalam sebelum berbicara."Dari hasil pemeriksaan awal, Agatha terlihat sangat kelelahan," ujar dokter dengan suara lembut, sambil menatap Agatha dengan penuh perhatian. "Kondisi ini bisa disebabkan oleh stres dan kelelahan fisik. Terutama selama masa kehamilan, sangat penting bagi ibu hamil untuk menjaga kesehatan fisik dan mental mereka."Rafka merasa lega mendengar kata-kata dokter ini. Setidaknya Agatha tidak mengalami masalah yang lebih serius. Namun, pandangannya beralih ke Ivan, yang tampak semakin tegang.Dokter melanjutkan, "Selama masa kehamilan, ibu hamil perlu menghindari stres berlebihan dan usahakan untuk istirahat yang cukup. Stres dan kelelahan bisa berdampak buruk pada kesehatan ibu dan bayi yang dikandungnya."Kata
Beberapa hari berlalu, Agatha terlihat semakin terkunci dalam pikirannya sendiri. Matanya yang dulunya penuh cahaya kini tampak redup, dan setiap kali Rafka melihatnya, perasaan khawatir semakin merasuki hatinya. Rafka mencoba mendekati Agatha, mencari cara untuk mendengarkan apa yang ada dalam pikiran wanita itu, tetapi sepertinya semakin sulit untuk mendapatkan jawaban.Pada suatu malam, Rafka membawa makanan ke dalam kamar, berharap bahwa mungkin dengan berbicara dan makan bersama, Agatha akan sedikit membuka hatinya. “Aku nggak mau makan, Rafka.”"Tolong, Agatha, makanlah sesuatu. Itu baik untukmu dan juga untuk bayi kita," pinta Rafka dengan suara lembut.Agatha hanya menggelengkan kepala dan menatap ke hampa. Rafka semakin cemas melihat kondisi Agatha yang semakin lemah dan terpuruk. Dia terus berusaha membujuk, mencoba untuk membantu Agatha melewati masa sulit ini.Namun, kata-kata Agatha tiba-tiba terlontar dengan keras, "Aku mau sendiri."Rafka terkejut mendengar kata-kata i
Bulan-bulan berlalu tanpa banyak perubahan dalam hubungan Agatha dan Rafka. Agatha tetap diam dan menjaga jarak dengan pria itu, meskipun Rafka berusaha untuk mendekatinya dengan penuh perhatian dan pengertian. Meskipun Rafka sudah berulang kali meminta maaf, tetapi Agatha masih merasakan perih dari luka yang begitu dalam.Setiap hari, Agatha tetap menjalani rutinitasnya, tetapi senyum yang dulu selalu menghiasi wajahnya kini telah pudar. Dia seringkali terdiam dalam renungan, mengingat semua yang telah terjadi dan keputusan yang telah dia buat. Hatinya masih penuh dengan keraguan dan pertanyaan tentang masa depannya.Saat Agatha resmi bercerai dengan Ivan, suasana di antara mereka masih terasa canggung. Agatha tetap tinggal bersama Rafka, tetapi keheningan dan jarak emosional masih terasa di antara mereka. Rafka tetap menjalani rutinitasnya dengan penuh kesabaran dan dedikasi, sementara Agatha tetap merenung dalam diam.Agatha masih tinggal bersama Rafka di apartemen mereka. Namun, s
Di tengah suasana kebahagiaan yang sedang tumbuh antara Agatha dan Rafka, bayangan kekhawatiran yang tak terduga mulai merayap ke dalam pikiran Agatha. Meskipun dia mencoba menjalani kehidupan sehari-harinya seperti biasa, perubahan fisik dan perasaannya yang semakin intens membuatnya sulit untuk menyembunyikan apa yang sedang ia alami. Ketika trimester ketiga kehamilannya tiba, Agatha merasa perubahan yang membuatnya gelisah. Keram dan nyeri yang muncul pada perutnya membuatnya khawatir. Namun, Agatha memilih untuk tidak memberitahu Rafka, ia tidak mau membuat pria itu selalu khawatir.Suatu hari, ketika Rafka sedang pergi dalam perjalanan dinas. Agatha melihat ini sebagai kesempatan untuk memeriksakan diri tanpa membuat Rafka merasa khawatir. Dengan hati yang berdebar, dia pergi ke dokter untuk menjalani serangkaian pemeriksaan. Menunggu hasil pemeriksaan membuat waktu terasa berjalan sangat lambat, tetapi akhirnya dokter memanggilnya.Suasana ruang pemeriksaan terasa hening, hanya
Setiap malam, ketika keheningan menyelimuti apartemen mereka, Agatha merenung dalam gelap. Tatapan kosongnya menembus jauh ke dalam pikirannya, menggali kembali kenangan-kenangan yang pahit dan keputusan-keputusan buruk yang pernah dia buat. Rasa bersalah selalu menghampirinya seperti bayangan yang tak pernah meninggalkannya. Agatha sering kali terbangun di tengah malam dengan keringat dingin, hatinya berdebar-debar oleh beban perasaan yang terus menyesakkan.Agatha merasakan beban berat yang selalu ada di dadanya. Dia merenungkan tentang apa yang seharusnya dia lakukan, tentang bagaimana semuanya bisa menjadi seperti ini. Rasa bersalahnya terus menggerogoti pikirannya, membuatnya bertanya-tanya apakah dia pantas mendapatkan kebahagiaan setelah apa yang telah dia lakukan. Ketika matahari terbenam dan bintang-bintang mulai bersinar di langit malam, Agatha terkadang menemukan dirinya terjebak dalam lingkaran pikiran negatif yang sulit untuk dihentikan.saat Rafka pulang dari perjalanan
Beberapa minggu kemudian, setelah Rafka berangkat bekerja dan Ayra pergi ke sekolah, Agatha memutuskan untuk mengunjungi rumah ibunya. Sudah lama sejak terakhir kali dia menghabiskan waktu dengan Riana, dan Agatha merasa butuh pelukan dan nasihat ibunya. Begitu Agatha memasuki rumah, aroma kue hangat langsung menyambutnya. Ibu Agatha, Riana, dengan senyum hangatnya, sudah menanti di ruang tamu.Sesampainya di rumah, Agatha disambut dengan senyuman hangat oleh Riana. Wanita itu terlihat begitu bahagia melihat putrinya. Mereka duduk di ruang tamu yang nyaman, dikelilingi oleh bunga-bunga dan foto-foto keluarga di dinding.Agatha menghabiskan waktu berjam-jam bersama ibunya. Agatha mulai bercerita tentang kesehariannya, tentang bagaimana dia mencoba untuk memperbaiki hubungannya dengan Rafka dan Ayra. Dia bercerita tentang momen-momen kebersamaan yang berhasil mereka ciptakan, meskipun rasa bersalah masih menghantuinya. Agatha juga menceritakan tentang kehamilannya yang semakin membesar,