Agatha melajukan mobil dengan cepat, hatinya berdebar-debar karena cemas. Sejak tadi, ia telah mencoba menghubungi Ivan tanpa henti, tetapi ponsel suaminya tak kunjung aktif. Sepanjang perjalanan menuju rumah, Agatha merasa tubuhnya gemetar dan perasaan bersalah semakin merajalela di dalam dirinya.Agatha tiba di rumah dengan langkah yang gemetar, hatinya berdegup kencang apalagi saat mengabarkan bahwa Alvi sedang sakit. Wajahnya memucat dan tangannya bergetar saat ia membuka pintu rumah dengan cemas. Setiap langkah menuju kamar bayi terasa berat, penuh dengan ketidakpastian.Agatha menghela nafas dalam-dalam saat dia berdiri di depan pintu kamar Alvi. Dari balik pintu terdengar suara pelan tangisan bayi yang melemah. Hatinya hancur melihat situasi ini. Dia merasa seperti diambang kehancuran, tidak tahu harus berbuat apa.Agatha merasa hatinya semakin terbebani dengan rasa bersalah. Dia merasa seperti semuanya adalah kesalahannya. Rasa bersalah itu membakar di dadanya saat dia mencoba
Dalam keheningan yang terasa berat, pertanyaan yang selama ini tertahan akhirnya keluar dari bibir Ivan dengan suara yang rapuh. "Apakah kamu mencintai Rafka?"Agatha terdiam, matanya yang masih basah oleh air mata memandang ke lantai. Dia merasakan beban berat di dadanya, pertanyaan itu melukai hatinya lebih dalam dari sebelumnya. Hatinya berdebar keras, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan itu. Tetapi jawaban terasa begitu rumit, begitu sulit untuk diucapkan.Ivan melihat wajah Agatha dengan tatapan penuh harap, mencari jawaban yang tak kunjung datang. Dia merasakan getaran ketidakpastian dan ketakutan di dalam dirinya. Ivan tahu bahwa pertanyaan ini tidak akan mengubah apa pun, tetapi dia perlu tahu, dia perlu mengerti.Sekali lagi, dengan suara yang lebih tinggi, Ivan bertanya pertanyaan yang sama. "Apakah kamu mencintai Rafka?"Tapi jawaban tetap tidak datang dari Agatha. Dia merasakan cengkeraman tangan Ivan yang kuat, membuatnya terlonjak. Matanya mena
Agatha kembali ke apartemennya dengan langkah lemah. Wajahnya terlihat sembab dan pucat akibat tangis yang tak terbendung. Langkahnya terasa berat, seolah-olah seluruh energinya telah terkuras habis. Hatinya hancur sejak pertemuannya dengan Ivan, oleh perasaan kehilangan dan penyesalan yang terus menghantuinya.Agatha membuka pintu apartemen dengan gemetar, masuk ke dalam dengan perasaan hampa. Dia merasa seperti dunianya runtuh, semua yang dia kenal dan cintai telah berubah dengan drastis dalam waktu singkat. Matanya yang sembab dan merah dari tangisnya mencerminkan betapa dalamnya rasa sakit yang ia rasakan.Ketika Agatha memasuki ruangan, pandangannya bertemu dengan Rafka yang tengah menunggunya. Raut wajah Rafka penuh kecemasan, dan itu membuat hati Agatha semakin berat. Dia tidak punya kekuatan untuk menjelaskan apa yang terjadi, untuk membagikan beban emosionalnya kepada orang lain. Dia hanya ingin menenangkan pikirannya, menarik diri dari dunia yang penuh dengan kebingungan ini
Agatha masih merasa kacau dan penuh kekhawatiran saat dia mengikuti Rafka menuju ruangan dokter. Rafka berjalan dengan langkah mantap, sementara Agatha seakan-akan hanya mengikuti saja.Dokter melakukan serangkaian pemeriksaan pada Agatha, mendengarkan detak jantungnya, mengukur tekanan darahnya, dan mengajukan beberapa pertanyaan mengenai gejala yang dialami Agatha.Setelah pemeriksaan yang teliti, dokter memberi senyuman dan melihat Agatha dengan penuh perhatian. “Selamat, Bu. Anda saat ini sedang hamil.”Perkataan itu menghantam Agatha seperti petir di siang bolong. Matanya melebar, dan dia merasakan detak jantungnya semakin cepat. Sejenak, dia merasa dunia berputar dan semua terasa begitu tidak nyata."S-saya hamil?" ucap Agatha dengan suara yang gemetar, mencari kepastian tentang apa yang baru saja dia dengar.Dokter mengulurkan tangan dan memegang tangan Agatha dengan lembut. "Iya, Bu. Anda sedang mengandung. Saya melihat tanda-tanda kehamilan dari hasil pemeriksaan yang telah k
Dokter memeriksa Agatha dengan cermat, mengukur detak jantungnya, mengecek tekanan darah, dan melakukan pemeriksaan fisik lainnya. Setelah beberapa saat yang tampak begitu lama bagi Rafka dan Ivan, dokter akhirnya mengangkat kepala dan mengambil napas dalam-dalam sebelum berbicara."Dari hasil pemeriksaan awal, Agatha terlihat sangat kelelahan," ujar dokter dengan suara lembut, sambil menatap Agatha dengan penuh perhatian. "Kondisi ini bisa disebabkan oleh stres dan kelelahan fisik. Terutama selama masa kehamilan, sangat penting bagi ibu hamil untuk menjaga kesehatan fisik dan mental mereka."Rafka merasa lega mendengar kata-kata dokter ini. Setidaknya Agatha tidak mengalami masalah yang lebih serius. Namun, pandangannya beralih ke Ivan, yang tampak semakin tegang.Dokter melanjutkan, "Selama masa kehamilan, ibu hamil perlu menghindari stres berlebihan dan usahakan untuk istirahat yang cukup. Stres dan kelelahan bisa berdampak buruk pada kesehatan ibu dan bayi yang dikandungnya."Kata
Beberapa hari berlalu, Agatha terlihat semakin terkunci dalam pikirannya sendiri. Matanya yang dulunya penuh cahaya kini tampak redup, dan setiap kali Rafka melihatnya, perasaan khawatir semakin merasuki hatinya. Rafka mencoba mendekati Agatha, mencari cara untuk mendengarkan apa yang ada dalam pikiran wanita itu, tetapi sepertinya semakin sulit untuk mendapatkan jawaban.Pada suatu malam, Rafka membawa makanan ke dalam kamar, berharap bahwa mungkin dengan berbicara dan makan bersama, Agatha akan sedikit membuka hatinya. “Aku nggak mau makan, Rafka.”"Tolong, Agatha, makanlah sesuatu. Itu baik untukmu dan juga untuk bayi kita," pinta Rafka dengan suara lembut.Agatha hanya menggelengkan kepala dan menatap ke hampa. Rafka semakin cemas melihat kondisi Agatha yang semakin lemah dan terpuruk. Dia terus berusaha membujuk, mencoba untuk membantu Agatha melewati masa sulit ini.Namun, kata-kata Agatha tiba-tiba terlontar dengan keras, "Aku mau sendiri."Rafka terkejut mendengar kata-kata i
Bulan-bulan berlalu tanpa banyak perubahan dalam hubungan Agatha dan Rafka. Agatha tetap diam dan menjaga jarak dengan pria itu, meskipun Rafka berusaha untuk mendekatinya dengan penuh perhatian dan pengertian. Meskipun Rafka sudah berulang kali meminta maaf, tetapi Agatha masih merasakan perih dari luka yang begitu dalam.Setiap hari, Agatha tetap menjalani rutinitasnya, tetapi senyum yang dulu selalu menghiasi wajahnya kini telah pudar. Dia seringkali terdiam dalam renungan, mengingat semua yang telah terjadi dan keputusan yang telah dia buat. Hatinya masih penuh dengan keraguan dan pertanyaan tentang masa depannya.Saat Agatha resmi bercerai dengan Ivan, suasana di antara mereka masih terasa canggung. Agatha tetap tinggal bersama Rafka, tetapi keheningan dan jarak emosional masih terasa di antara mereka. Rafka tetap menjalani rutinitasnya dengan penuh kesabaran dan dedikasi, sementara Agatha tetap merenung dalam diam.Agatha masih tinggal bersama Rafka di apartemen mereka. Namun, s
Di tengah suasana kebahagiaan yang sedang tumbuh antara Agatha dan Rafka, bayangan kekhawatiran yang tak terduga mulai merayap ke dalam pikiran Agatha. Meskipun dia mencoba menjalani kehidupan sehari-harinya seperti biasa, perubahan fisik dan perasaannya yang semakin intens membuatnya sulit untuk menyembunyikan apa yang sedang ia alami. Ketika trimester ketiga kehamilannya tiba, Agatha merasa perubahan yang membuatnya gelisah. Keram dan nyeri yang muncul pada perutnya membuatnya khawatir. Namun, Agatha memilih untuk tidak memberitahu Rafka, ia tidak mau membuat pria itu selalu khawatir.Suatu hari, ketika Rafka sedang pergi dalam perjalanan dinas. Agatha melihat ini sebagai kesempatan untuk memeriksakan diri tanpa membuat Rafka merasa khawatir. Dengan hati yang berdebar, dia pergi ke dokter untuk menjalani serangkaian pemeriksaan. Menunggu hasil pemeriksaan membuat waktu terasa berjalan sangat lambat, tetapi akhirnya dokter memanggilnya.Suasana ruang pemeriksaan terasa hening, hanya