“Hugo, bangun!”Suara berteriak kencang sarat akan emosi itu mampu membangunkan Hugo yang baru saja memejam sesaat. Namun, sedetik kemudian, mata lelaki itu melotot lebar, ketika melihat siapa pemilik suara melengking tersebut.“Hugo, ini aku!”“Sedang apa kau di sini? Cepat pulang!”“Apa kau sudah gila datang ke sini, hah?!” sembur marah Hugo, yang berusaha menekan suara memekiknya agar tak sampai keluar.Bukan menurut, Devina justru semakin melangkah maju mendekati brankar rawat Hugo, dengan si pasien terlihat berusaha bangun.“Kamu yang gila, kenapa menyuruh pembunuh bayaran itu menusukmu?”“Aku bilang pergi. Aku memberitahumu bukan untuk memintamu datang, Devina. Alice sedang ada di sini, jangan sampai dia melihatmu, Bodoh!”“Kamu memanggilku bodoh demi wanita itu? Jadi kamu melarangku datang karena ada Alice?” Kaca mata hitam diturunkan kasar, bola mata wanita itu bergerak dari ujung kaki hingga puncak kepala Hugo. “Kamu mau kembali ke New York?”“Lain kali pakai otakmu.
“Lagi-lagi terjadi, apa Tuan Luis tidak ingin berdamai dengan keadaan?”“Tidak kasihan dengan belalai tanpa belaian?”“Tutup mulutmu. Keadaan yang tidak mau berdamai denganku,” jawab acuh tak acuh Luis dengan wajah memaling tak minat memandang dokter keluarga Pietro, yang tengah mengomel.Kakek Levon yang biasanya ikut mengoceh, kali ini lelaki separuh baya itu lebih banyak diam dan menyimak. Dia terduduk tenang di sofa tunggal ditemani Ronald yang berdiri di sampingnya.“Tuan Besar tidak ingin memberitahu, Tuan Muda? Bukankah ini sudah saatnya?” bisik Ronald lirih.“Tunggu sebentar lagi, ... Aku takut keadaan menjadi lebih buruk.”“Baik, Tuan Besar.”“... Dokter, apa yang terjadi pada cucuku?” sambung Kakek Levon di sana, setelah menyelesaikan pembicaraan rahasia dengan Ronald, “apa aku perlu membawanya ke rumah sakit luar negeri?”“Tidak perlu, Tuan Besar. Tuan Luis masih sama seperti tahun-tahun lalu. Tuan Luis stres, dan hari ini adalah yang terburuktubuhnya terracuni ol
Gedung catatan sipil kota Berlin kembali menjadi saksi pengikatan cinta sepasang manusia yang duduk bersisian dengan senyum mengembang cerah di bibir.Kini Alice dan Luis tengah menjalani tahap pemotretan untuk pembuatan foto formal.“Luis, kamu tidak mungkin ingin membuat proses ini semakin lama bukan?” Alice bertanya dengan menekan barisan gigi rapinya, gemas sekali Alice pada apa yang tengah di lakukan sang calon suami saat ini.“Mana mungkin. Aku jelas ingin segera pulang, lalu membawamu ke kamar kita lagi.” Luis berkata sungguh-sungguh. Tak lupa memberi senyum tertampan yang dimiliki seorang Luis Pietro, meski bibirnya masih terlihat memutih pucat.“Kalau begitu, jadilah anak baik. Dan dengarkan apa yang dikatakan petugas foto itu, oke?”“Elus dulu kepalaku, baru aku setuju,” pinta manja Luis, yang sama sekali tak cocok dengan wajah dingin lelaki itu.“Hah, apa?” tanya terkejut Alice, setengah tak sadar.“Elus kepalaku, Sayang. Begini.” Tanpa ragu Luis menggapai tangan Ali
“Kamu sudah bangun?”Pandangan Hugo tampak samar. Kelopak matanya pun bergerak berat melambat, saat dirinya menangkap ada siluet tubuh manusia tak jauh dari tubuh Hugo yang berbaring lemah.“Bangunlah, kamu sudah cukup lama tidur di perjalanan udara. Apa kamu tidak merasa bosan?”Rose menguap lebar. “Aku saja bosan. Lebih baik aku tinggal dan bermain dengan bocah kecil tampanku. Aih, sial memang, aku justru terdampar di sini.”“Ro ... Rose?”“... ke-kenapa malah kau yang di sini? Bukankah kau memilih tak mau ikut aku dan Alice?”“Hm, ini memang aku. Malas sekali rasanya aku ada di sini.” Rose kembali menjawab dengan nada malas lantas lidahnya berdecak, “kamu tadi sedang mencari siapa?” ulangnya berpura-pura tak mendengar dengan mengernyitkan dahi.“Di mana Alice. Aku ingin bertemu dengan dia.” Bola mata lelaki itu bergerak cepat menyebar ke sekitar ruang rawat. Berharap sosok yang dia cari dapat ditemukan detik itu juga.Mendengar Rose memilih tak ikut meninggalkan Jerman, mem
“Apa yang sudah Nyonya dengar sejak tadi?”“Aku?” Alice menunjuk ke arah dirinya sendiri, yang diangguki Ronald. Setelah membantu wanita muda itu berdiri. “Aku mendengar kalian mengobrol.”“Lalu apa lagi yang Nyonya Muda dengar,” ulang Ronald menginterogasi tanpa ekspresi, membuat Alice diam-diam melirik ke sekitar dirinya berdiri. Berharap ada bala bantuan datang.Sayangnya, hanya ada sapuan angin malam yang menyapu wajah panasnya saat ini membuat kedua lutut wanita itu kian gemetar.“A-apa, aku tidak mendengar apa pun.”“Bukankah Nyonya Muda sudah cukup lama berdiri di sini?” Mata tajam asisten pribadi Tuan Besar Levon tak bisa dikecoh.Dia sudah mengalami masa transisi dalam waktu terburuk sekali pun sejak mengikuti kekejaman tetua keluarga Pietro, sehingga dia tahu jelas satu langkah pasti seseorang akan memilih berbohong atau jujur.“Nyonya Muda tahu bukan, kalau saya tidak mungkin menyakiti Nyonya Muda?”“Ya-ya, aku tahu, sangat tahu.” Alice menyambar cepat dengan sorot
“Aku hari ini tidak masuk kerja lagi ya!”Luis berteriak dari dalam kamar mandi. Suara lelaki itu berdengung sampai ke luar, hingga membuat pergerakan tangan Alice yang tengah memilah pakaian kerja untuk Luis seketika terhenti sejenak.“Harusnya aku mengajakmu bulan madu ke luar negeri kan? Maafkan aku, Alice.” Lanjut Luis dari sana. Terdengar rasa sesal dari nada suara lelaki itu, yang membuat Alice tersenyum simpul.“Kamu belum sangat kaya, Luis. Jadi kamu harus bekerja.”“Bagaimana mungkin?”Alice melotot kaget, melihat Luis tiba-tiba menyembulkan setengah badan kekar yang masih dialiri gelembung sabun di ambang pintu kamar mandi. Luis terlihat melayangkan sorot mata protes ke arah Alice.“Aku cucu orang terkaya di negara ini, Sayang. Mana mungkin aku tidak kaya. Bahkan saat aku tidak bekerja, aku masih memiliki banyak uang.” Luis berucap sombong, tanpa lelaki itu sadari.“Meskipun kamu cucu orang terkaya di negeri ini, kamu juga belum terhitung menjadi salah satu orang ka
“Ampuni aku, Luis! Ampuni aku!”“... aku tahu kau pria yang baik, Luis. De-dengar, dengarkan aku dulu. Tadi aku tak tahu kalau kau sedang–”“Satu menit lagi. Katakan keinginan terakhirmu.” Mata Oscar melotot tak percaya, sedikit saja cengkeraman tangan Luis mengendur dari jas belakangnya, lelaki itu sudah dipastikan hanya akan tinggal nama.“AAA!” jerit ketakutan Oscar. “Brengsek, brengsek!”Gulungan angin kencang dari tepi jurang benar-benar membuat bulu kuduk Oscar berdiri. Ngeri sekali di bawah sana. Banyak bebatuan runcing, yang terlihat sudah siap sedia menusuk tubuhnya.Teringat saat Luis membuka pintu kamar dengan penuh kedongkolan, tapi karena ada Alice di belakangnya, membuat Luis hanya bisa menahan luapan kekesalan saat senyum Oscar justru tersaji lebar. Tak seperti suara pekikan beberapa menit lalu.Oscar memang sialan!“A-anu ... itu ....”“Aduh, i-ingat kau sekarang seorang ayah! Bagaimana kalau polisi menangkapmu karena membuang sahabat sendiri ke jurang. Luis, k
“Tidak. Ini pasti tidak mungkin.”Devina lebih dulu bersuara. Wanita itu bergegas melepas lingkaran tangan di tubuh; lelaki yang dikatakan Luis sebagai Oscar.“Yang aku peluk ... itu kamu Luis,” tambah Devina dengan tawa terkekeh kaku setelah membalik tubuh, mengulur tangan menunjuk ke arah Luis yang berdiri di sana, lantas menunduk menatap lantai guna memastikan lagi wajah tampan yang baru saja menghiasi pantulan mata.Apa benar Devina sudah salah mengenali tubuh lelaki lain? Bukankah dia yang sangat mengenal proporsi tubuh kekar Luis?Mengapa jadi seperti ini?“Lu-Luis, sejak kapan kamu berpindah?”“Ini hanya halusinasiku kan? Ha ha ha. Apa-apaan ini?” Devina terus menyangkal. Tak terima dengan rasa malu yang dirasakannya.“Berpindah apanya? Kau memang salah memeluk orang.”“Aku Oscar. Matamu masih normal kan? Tapi, sepertinya kau perlu operasi, matamu agak rabun dekat,” lanjut mencibir Oscar, sebelum ikut berbalik. Dia berkacak pinggang, dengan berkas yang masih berada di g