“Kamu sudah bangun?”Pandangan Hugo tampak samar. Kelopak matanya pun bergerak berat melambat, saat dirinya menangkap ada siluet tubuh manusia tak jauh dari tubuh Hugo yang berbaring lemah.“Bangunlah, kamu sudah cukup lama tidur di perjalanan udara. Apa kamu tidak merasa bosan?”Rose menguap lebar. “Aku saja bosan. Lebih baik aku tinggal dan bermain dengan bocah kecil tampanku. Aih, sial memang, aku justru terdampar di sini.”“Ro ... Rose?”“... ke-kenapa malah kau yang di sini? Bukankah kau memilih tak mau ikut aku dan Alice?”“Hm, ini memang aku. Malas sekali rasanya aku ada di sini.” Rose kembali menjawab dengan nada malas lantas lidahnya berdecak, “kamu tadi sedang mencari siapa?” ulangnya berpura-pura tak mendengar dengan mengernyitkan dahi.“Di mana Alice. Aku ingin bertemu dengan dia.” Bola mata lelaki itu bergerak cepat menyebar ke sekitar ruang rawat. Berharap sosok yang dia cari dapat ditemukan detik itu juga.Mendengar Rose memilih tak ikut meninggalkan Jerman, mem
“Apa yang sudah Nyonya dengar sejak tadi?”“Aku?” Alice menunjuk ke arah dirinya sendiri, yang diangguki Ronald. Setelah membantu wanita muda itu berdiri. “Aku mendengar kalian mengobrol.”“Lalu apa lagi yang Nyonya Muda dengar,” ulang Ronald menginterogasi tanpa ekspresi, membuat Alice diam-diam melirik ke sekitar dirinya berdiri. Berharap ada bala bantuan datang.Sayangnya, hanya ada sapuan angin malam yang menyapu wajah panasnya saat ini membuat kedua lutut wanita itu kian gemetar.“A-apa, aku tidak mendengar apa pun.”“Bukankah Nyonya Muda sudah cukup lama berdiri di sini?” Mata tajam asisten pribadi Tuan Besar Levon tak bisa dikecoh.Dia sudah mengalami masa transisi dalam waktu terburuk sekali pun sejak mengikuti kekejaman tetua keluarga Pietro, sehingga dia tahu jelas satu langkah pasti seseorang akan memilih berbohong atau jujur.“Nyonya Muda tahu bukan, kalau saya tidak mungkin menyakiti Nyonya Muda?”“Ya-ya, aku tahu, sangat tahu.” Alice menyambar cepat dengan sorot
“Aku hari ini tidak masuk kerja lagi ya!”Luis berteriak dari dalam kamar mandi. Suara lelaki itu berdengung sampai ke luar, hingga membuat pergerakan tangan Alice yang tengah memilah pakaian kerja untuk Luis seketika terhenti sejenak.“Harusnya aku mengajakmu bulan madu ke luar negeri kan? Maafkan aku, Alice.” Lanjut Luis dari sana. Terdengar rasa sesal dari nada suara lelaki itu, yang membuat Alice tersenyum simpul.“Kamu belum sangat kaya, Luis. Jadi kamu harus bekerja.”“Bagaimana mungkin?”Alice melotot kaget, melihat Luis tiba-tiba menyembulkan setengah badan kekar yang masih dialiri gelembung sabun di ambang pintu kamar mandi. Luis terlihat melayangkan sorot mata protes ke arah Alice.“Aku cucu orang terkaya di negara ini, Sayang. Mana mungkin aku tidak kaya. Bahkan saat aku tidak bekerja, aku masih memiliki banyak uang.” Luis berucap sombong, tanpa lelaki itu sadari.“Meskipun kamu cucu orang terkaya di negeri ini, kamu juga belum terhitung menjadi salah satu orang ka
“Ampuni aku, Luis! Ampuni aku!”“... aku tahu kau pria yang baik, Luis. De-dengar, dengarkan aku dulu. Tadi aku tak tahu kalau kau sedang–”“Satu menit lagi. Katakan keinginan terakhirmu.” Mata Oscar melotot tak percaya, sedikit saja cengkeraman tangan Luis mengendur dari jas belakangnya, lelaki itu sudah dipastikan hanya akan tinggal nama.“AAA!” jerit ketakutan Oscar. “Brengsek, brengsek!”Gulungan angin kencang dari tepi jurang benar-benar membuat bulu kuduk Oscar berdiri. Ngeri sekali di bawah sana. Banyak bebatuan runcing, yang terlihat sudah siap sedia menusuk tubuhnya.Teringat saat Luis membuka pintu kamar dengan penuh kedongkolan, tapi karena ada Alice di belakangnya, membuat Luis hanya bisa menahan luapan kekesalan saat senyum Oscar justru tersaji lebar. Tak seperti suara pekikan beberapa menit lalu.Oscar memang sialan!“A-anu ... itu ....”“Aduh, i-ingat kau sekarang seorang ayah! Bagaimana kalau polisi menangkapmu karena membuang sahabat sendiri ke jurang. Luis, k
“Tidak. Ini pasti tidak mungkin.”Devina lebih dulu bersuara. Wanita itu bergegas melepas lingkaran tangan di tubuh; lelaki yang dikatakan Luis sebagai Oscar.“Yang aku peluk ... itu kamu Luis,” tambah Devina dengan tawa terkekeh kaku setelah membalik tubuh, mengulur tangan menunjuk ke arah Luis yang berdiri di sana, lantas menunduk menatap lantai guna memastikan lagi wajah tampan yang baru saja menghiasi pantulan mata.Apa benar Devina sudah salah mengenali tubuh lelaki lain? Bukankah dia yang sangat mengenal proporsi tubuh kekar Luis?Mengapa jadi seperti ini?“Lu-Luis, sejak kapan kamu berpindah?”“Ini hanya halusinasiku kan? Ha ha ha. Apa-apaan ini?” Devina terus menyangkal. Tak terima dengan rasa malu yang dirasakannya.“Berpindah apanya? Kau memang salah memeluk orang.”“Aku Oscar. Matamu masih normal kan? Tapi, sepertinya kau perlu operasi, matamu agak rabun dekat,” lanjut mencibir Oscar, sebelum ikut berbalik. Dia berkacak pinggang, dengan berkas yang masih berada di g
Hari ini sepertinya bukan hari yang tepat untuk menemui Luis di kantor. Namun, bukan pula hari yang salah.Beruntung dan rasa sedikit menyesal kini tengah memenuhi hati kecil Alice. Dengan kedatangan Alice di kantor Luis, ia jadi tahu kesungguhan lelaki itu untuk mempertahankan dirinya di dalam rumah tangga kecil mereka ini.“Mommy, bisakah Gerald memakan semua es krim ini?” tanya antusias Gerald menunjuk lima gelas berkaki, pesanan es krim yang baru diletakkan pelayan di meja.Alice tercengang. Lima rasa es krim yang berbeda, dengan ukuran super jumbo. Apa Luis tak salah memesan?‘Apakah cara semua pria membujuk putranya seperti ini?’ Alice tanpa sadar menggeleng kepala tak percaya. Luis sungguh membuat jiwa miskinnya meronta.Tempat kedai es krim ini bukanlah kelas menengah ke bawah, bahkan pelayanan di tempat ini sudah berkelas.Mereka kini berada di ruang VVIP. Sehingga, Alice hanya menjumpai satu pelayan yang sekali masuk dan keluar dari ruangan besar ini.“Hanya satu. T
“Luis, jangan main-main. Ini sama sekali tidak lucu.” Alice menekan setiap kata yang terlontar dari bibir.Ia terperangah melihat lantai paling bawah begitu banyak lelaki berjas rapi dengan memakai kaca mata hitam tengah menginstruksi para pengunjung mal untuk keluar.Sebanyak itu pengunjung mal berhamburan ke pintu keluar membuat mereka nampak seperti kerumunan semut dari lantai yang kini Alice pijaki.Terdengar juga gumam tak jelas dari para pengunjung, yang sepertinya bingung dengan pengusiran anak buah Luis dan beberapa pihak mal.“Wow, Daddy memang paling hebat!” puji Gerald dengan mata berbinar.Mendengar pujian sang putra, sepasang alis Alice menukik tajam.“Gerald, ini tidak benar. Mereka juga datang untuk menghabiskan waktu seperti kita. Kita tidak boleh membuat mereka,–”“Istriku, kau tenang saja. Mereka akan dialihkan ke mal lain. Aku juga memberi mereka kompensasi. Tapi, untuk mal ini ... khusus aku kosongkan untuk hari ini. Demi menikmati waktu kita bertiga,” sela
“Selamat malam, Nyonya.”“.... Selamat datang, Nyonya Muda.”“Selamat malam. Aku ke kamar dulu, ya. Terima kasih kerja keras kalian hari ini. Tuan Muda dan Tuan Kecil ada di belakang, tolong bantu mereka, ya.” Pesan dari Alice seketika mendapat anggukan kompak penuh hormat dari para pelayan rumah.Setiba di rumah, keadaan menjadi lebih sunyi. Para pelayan rumah Luis seperti biasa menyambut tuan dan nyonya mereka. Namun, mereka justru menatap bingung satu sama lain saat sang nyonya yang biasanya begitu ramah, malam ini begitu dingin dan singkat berbincang dengan mereka. Hanya memberi pesan dan mengangguk sekilas, kemudian bergegas menaiki anak tangga menuju ke kamar.“Kalian pergilah. Bawa tas perlengkapan putraku ke kamarnya. Biar aku yang antarkan dia tidur nanti,” kata Luis pada para pelayan rumah yang membantu Luis menurunkan barang-barang belanjaan dan tas perlengkapan pribadi sang putra.“Baik, Tuan Luis. Kami permisi.”“Hm.” Luis hanya membalas gumaman rendah samar.“