“Luis, jangan main-main. Ini sama sekali tidak lucu.” Alice menekan setiap kata yang terlontar dari bibir.Ia terperangah melihat lantai paling bawah begitu banyak lelaki berjas rapi dengan memakai kaca mata hitam tengah menginstruksi para pengunjung mal untuk keluar.Sebanyak itu pengunjung mal berhamburan ke pintu keluar membuat mereka nampak seperti kerumunan semut dari lantai yang kini Alice pijaki.Terdengar juga gumam tak jelas dari para pengunjung, yang sepertinya bingung dengan pengusiran anak buah Luis dan beberapa pihak mal.“Wow, Daddy memang paling hebat!” puji Gerald dengan mata berbinar.Mendengar pujian sang putra, sepasang alis Alice menukik tajam.“Gerald, ini tidak benar. Mereka juga datang untuk menghabiskan waktu seperti kita. Kita tidak boleh membuat mereka,–”“Istriku, kau tenang saja. Mereka akan dialihkan ke mal lain. Aku juga memberi mereka kompensasi. Tapi, untuk mal ini ... khusus aku kosongkan untuk hari ini. Demi menikmati waktu kita bertiga,” sela
“Selamat malam, Nyonya.”“.... Selamat datang, Nyonya Muda.”“Selamat malam. Aku ke kamar dulu, ya. Terima kasih kerja keras kalian hari ini. Tuan Muda dan Tuan Kecil ada di belakang, tolong bantu mereka, ya.” Pesan dari Alice seketika mendapat anggukan kompak penuh hormat dari para pelayan rumah.Setiba di rumah, keadaan menjadi lebih sunyi. Para pelayan rumah Luis seperti biasa menyambut tuan dan nyonya mereka. Namun, mereka justru menatap bingung satu sama lain saat sang nyonya yang biasanya begitu ramah, malam ini begitu dingin dan singkat berbincang dengan mereka. Hanya memberi pesan dan mengangguk sekilas, kemudian bergegas menaiki anak tangga menuju ke kamar.“Kalian pergilah. Bawa tas perlengkapan putraku ke kamarnya. Biar aku yang antarkan dia tidur nanti,” kata Luis pada para pelayan rumah yang membantu Luis menurunkan barang-barang belanjaan dan tas perlengkapan pribadi sang putra.“Baik, Tuan Luis. Kami permisi.”“Hm.” Luis hanya membalas gumaman rendah samar.“
Guncangan yang disebabkan cengkeraman kuat tangan Luis hampir saja meruntuhkan tulang tubuh Alice, jika saja ia tak segera menahan rahang tegas lelaki itu yang tak kalah kuat tengah menggeram.“Alasan apa lagi, kau memang ingin meninggalkan aku kan!?” sentak Luis penuh emosi. Ia tak menepis sentuhan kulit lembut telapak tangan sang istri. “Apa ini soal Devina? Dia bukan siapa-siapa untukku lagi. Aku sudah membalas budiku selama ini.”Sorot mata Luis kian menyalang penuh kobaran api. Ia menatap tajam nan kelam saat Alice tak mengeluarkan satu kata pun untuk membantah. Bahkan wanita itu justru menyibak selimut, lantas turun dari tempat tidur.Apakah Alice benar-benar ingin meninggalkan Luis lagi?“Alice!” Suara melengking tinggi Luis menyebar ke seluruh sudut ruang kamar. Tangan kuatnya mengepal kuat, saat melihat Alice tak peduli pada peringatan lelaki itu dan tetap berjalan mendekati pintu kamar. “Sekali kau keluar dari pintu itu, aku tidak aka–”Alice berbalik. Mata berwarna ben
Di kediaman besar keluarga besar Delano tengah terjadi perbincangan yang sedikit sengit antara ayah dan anak. Bahkan sang ibu begitu ketakutan untuk melerai kedua lelaki penuh kuasa itu.BRAK! Hantaman kuat dari telapak tangan besar di atas meja ruang tamu menjadi pembangun kesunyian di pertengahan malam. Menggugah siapa pun yang telah terlelap untuk bangun.Bahkan para pelayan rumah tak berani untuk meninggalkan tempat penuh ketegangan ini.“Kalian penculik!”“Masih kurang ajar mulutmu padaku! Dasar anak durhaka!”“Harusnya aku membunuhmu saat kau ada di kandungan ibumu.” Berkata lantang sangat marah, Tuan Besar Delano sudah tak tahu lagi bagaimana membuat sang putra tinggal di rumah ini. “Kau bukan anak tanpa adab. Kalau bukan kau menikahi wanita itu, mana mungkin kau kurang ajar begini.”“Aku sangat menghormatimu. Tapi, apa bedanya aku denganmu? Kau bahkan terus menyangkut pautkan orang yang sudah tiada. Masih bisakah aku menghormatimu?”“Tutup mulutmu!” Tuan Hendrick memb
Suara besi gemerincing tengah menyelimuti ruang bawah tanah keluarga Delano. Tak hanya itu, suara jeritan kesakitan pula mendengung di ruangan penyiksaan tersebut.Sebuah layar pengendali menampilkan sosok utama Tuan Besar keluarga Delano. Lelaki penuh kuasa itu menatap dingin pada kondisi mengenaskan tubuh Hugo yang penuh luka memar dan rembesan darah dari berbagai sudut tubuh, terutama di sekitar perut. Karena luka tusuk lelaki itu kembali terbuka.“Kalian mengkhianatiku. Ini bukanlah kesepakatan yang kalian janjikan padaku,” ungkap Hugo penuh penekanan, “lepaskan aku. Jangan sampai aku membuat kalian menyesal.”“AAGGH!” jerit Hugo saat sebuah tendangan kuat menghancurkan tulang rahangnya dalam hitungan detik.“Dasar sampah. Berani kau berteriak lagi di depan Tuan Besar, aku akan mematahkan tulang lehermu.”“Cih, brengsek!” desis lirih Hugo sembari membuang ludah.“Katakan yang jelas pada Tuan Besar Delano, apa yang kau ketahui tentang wanita bernama Alice Gracia.”Pyarr!Se
“Dia mencoba bunuh diri, Tuan Luis.” Laporan yang diterima dari sang anak buah membuat arah laju perjalanan jet pribadi Luis berubah.Sebuah pulau yang digunakan khusus untuk tempat penyiksaan para pengkhianat keluarga Pietro menjadi tujuan Luis, yang terpaksa juga harus mengajak sang istri untuk pertama kali.“Racun yang disimpan di balik lidah membuat kami hampir lengah,” tambahnya membuat Alice menggeleng berat begitu tak percaya, ia harus mendengar sebuah trik kejahatan seperti ini, “dia ternyata juga menyimpan bom ringan di tubuh, yang telah kami matikan.”Kondisi lelaki pembenci Alice juga tak kalah tragis dari keadaan Hugo yang tengah ditahan oleh keluarga Delano. Beberapa bagian tubuh lelaki itu tampak terlihat jejak luka bakar dari besi yang dipanaskan di atas tungku api besar.“Sangat pintar untuk seorang warga sipil. Apa kau juga tergabung dengan salah satu dari kelompok pembunuh bayaran bodoh itu?” tanya Luis untuk pertama kalinya. Mata tajam Luis menatap dingin, den
Baru kembali menginjak tanah kota Berlin, Alice sudah disajikan pemandangan yang tak biasa.Kacamata hitam diturunkan, sosok sang putra yang berada dalam gendongan Kakek Levon membuat seluruh kecemasan Alice seketika menguar.Ia mencoba mengangkat tangan, sebuah lambaian terayun di udara. Jelas sekali jika ia begitu merindukan sang putra.Sayangnya, bak gayung tak bersambut, Alice harus mengulum bibir dan hanya menyisakan setengah senyum saat mendapati wajah tampan Gerald memaling darinya.“Gerald masih marah padaku ....”Lengan yang tak kunjung lepas dari pinggang ramping Alice, membawa wanita itu menoleh ke kiri dengan mengangkat kepala, menatap Luis yang pula tengah menatap dirinya lekat.“Dia memang pantas marah padaku, Luis,” tambahnya lirih.“Kalau dia mau menjemput kita di sini, itu artinya putra kita hanya sedang sedikit merajuk. Ayo, ke sana. Aku yakin putra kita sudah merindukan daddy dan mommy-nya.” Luis membalas dengan nada lembut guna menghibur kesedihan sang istri
“Semakin lama Luis berada di sini, itu akan membuat Alice curiga. Bagaimana ini, Dokter? Cepat, lakukan sesuatu.”“... aku tidak mau salah satu di antara mereka mengingat kejadian di masa lalu,” tekan lelaki separuh baya itu sembari memandangi sang cucu dengan sorot mata gelisah.Suara Kakek Levon terdengar bergetar, saat melihat Luis terus-menerus mengerang kesakitan dengan tangan memegang kasar kepala seakan ingin meremukkan kepala itu.“... jangan mendekat! Kalian bukan orang tuaku, tapi iblis! Jangan sakiti aku lagi. Jangaan! To–tolong aku!”“Aaaggghh, sakittt! Kepalaku sakit sekali!” Terus saja kalimat itu diulang, membuat keadaan di ruangan tersebut makin tegang.Gejolak letupan emosi, khawatir, dan kecemasan bercampur menjadi satu saat melihat betapa hancurnya seorang Luis Pietro. Ingin sekali, Kakek Levon menghentikan teriakan kesakitan Luis, tapi segala upaya lelaki separuh baya itu terus berujung kegagalan.Dia mencoba mendekat, tapi kekuatan besar dari Luis membuat