Jam istirahat. Hani membuka bekal buatan sang ibu yang biasa ia bawa semenjak kembali tinggal di rumah orang tuanya.
Malas rasanya kalau harus ke sana ke mari mencari makan. Rencananya, setelah makan dan solat, ia akan rebahan saja di ruangannya. Ya. Pak Reynaldi memang memberinya ruangan khusus, walau tidak besar, tetapi cukup nyaman.
Hani baru akan menyuap saat seseorang mengetuk pintu. Terpaksa ia menundanya.
Seseorang mendorong pintu setelah Hani mempersilahkan masuk, dan tubuh menjulang sang bos terlihat di sana setelah pintu terbuka.
"Boleh saya masuk?" tanya lelaki itu seraya berjalan menuju meja Hani.
Hani tidak menjawa
Matahari belum begitu tinggi, karena jam di ponsel Hani baru menunjukkan pukul 07.15, tapi tubuh wanita itu sudah bermandi keringat.Ini hari liburnya, ia sengaja jalan pagi agak jauh hari ini, sampai ke taman komplek dekat gerbang perumahan.Walaupun sudah hamil sebesar itu, tapi kebiasaan olah raganya memang tak berubah, tetap menyempatkan diri pagi-pagi sebelum berangkat kerja, walaupun hanya dengan jalan kaki keliling komplek.Tangannya terangkat menyeka keringat di keningnya dengan punggung tangan. Langkahnya pasti menuju salah satu bangku dekat tukang bubur kacang ijo. Bokongnya baru saja akan mendarat di sana, saat seseorang juga mengambil tempat duduk di tempat yang sama.Mata Hani me
"Maksud kamu apa, Mas?""Pasti kakimu pegal kan, membawa bayi dalam perutmu ke sana ke mari setiap hari?"Hani membuang muka."Pasti kamu sangat menderita selama ini menjalani kehamilan seorang diri di tempat kos, apalagi di awal-awal kehamilan. Maafkan aku, Han. Maaf selama ini….""Sudah, Mas. Jangan lebay!" potong Hani cepat dengan suara tertahan. Ia tak ingin suasana menjadi sendu. Hani sudah kebal. Sudah ikhlas menerima semuanya. Walaupun rasa nelangsa itu kerap hadir menyadari nasibnya tidak seperti wanita hamil pada umumnya yang mendapat limpahan kasih sayang dan perhatian dari suami juga keluarga.Dokter sudah datang, pasien pun su
"Jangan bodoh kamu, Ai! Wanita itu pasti hanya memanfaatkan kamu!" teriak Yuli dengan marah."Ibu!" Aiman berusaha mengendalikan ibunya, sungguh ia tak enak hati dengan Hani. Sang ibu sungguh keterlaluan.Sementara Hani menatap nanar mantan ibu mertuanya, sungguh picik pikiran wanita itu. Wanita yang dulu begitu menyayanginya, tetapi kini sangat membencinya."Ibu, sebaiknya Ibu pulang, ya. Mbak, ibu udah selesai terapinya? Bawa pulang, ya!" Aiman beralih ke arah Arum yang berdiri di belakang kursi roda ibunya. Berharap semua bisa dikendalikan."Tidak, Ai! Ibu maunya pulang sama kamu. Anterin Ibu pulang sekarang! Empet rasanya lihat wajah perempuan itu!" Lagi-lagi suara ketus dan menyakitkan k
Kedua bola mata Hani membulat sempurna saat malam ini membuka pesan dari Marta. Poto dirinya dan Pak Reynaldi duduk sebelahan di taman komplek tadi pagi terpampang di sana. Sekilas lihat, mereka tampak sangat dekat dan mesra. Layaknya sepasang suami istri. Dengan sang istri perutnya membuncit karena hamil.[Dapat dari mana foto itu?]Hani buru-buru mengirim pesan, dengan tangan gemetar.[Coba deh buka WAG, udah rame di sana!]Hanya itu balasan Marta.WAG? Gawat semua orang bisa salah paham. Bisa-bisa mereka mengira Hani menjilat agar bisa dipindahkan ke posisi bagus.Bukanny
Hari yang cerah, Hani menjalani rutinitas pagi seperti biasa. Hari ini ia memutuskan membawa motor, ya walaupun dengan perut yang sudah membuncit, ada yang ingin ia beli sepulang kerja nanti.Hani mulai meniti anak tangga menuju lantai dua. Di bawah ia berpapasan dengan beberapa karyawan. Ada yang bersikap biasa saja seolah tidak ada apa-apa. Ada juga yang mulai memandangnya dengan tatapan tak suka. Namun, Hani tak ambil pusing.Satu demi satu anak tangga dititinya dengan hati-hati, anggap saja sebagai olahraga, itu yang selalu ada dalam pikiran Hani. Kakinya sudah meniti anak tangga terakhir hingga ia kini sudah sampai di lantai dua.Seperti biasa, wanita itu akan beristirahat sebentar saat ia sampai di atas. Sekadar menarik napas untuk melonggarkan dadanya yang
Sepulang kerja Hani ditemani Marta mencari perlengkapan bayi, nyicil sedikit-sedikit, itu pikirnya. Agar tidak terlalu kerepotan nantinya. Ia juga sudah memutuskan tak ingin merepotkan siapapun, termasuk Aiman yang katanya siap bertanggung jawab atas semuanya.Hani tak ingin bermasalah dengan keluarga Aiman. Apalagi ia tahu ibunya kini sangat membencinya. Toh, ia punya sedikit tabungan dari menyisihkan gajinya."Sekalian cuci matalah, Ta." Ucapnya saat mengajak sahabatnya itu."Emang matamu kenapa harus dicuci? Abis lihat apa, sih? Lihat hantu?""Lebih seram dari hantu!""Ada ya, makhluk lebih seram dari hantu?"
Langit senja berwarna merah saat Hani sampai rumah dengan barang belanjaan yang memenuhi motornya.Belum juga motor berhenti, seseorang yang semula duduk di teras sudah menyongsongnya."Han, tadi Mas ke tempat kerja kamu, tapi kamunya sudah pulang."Hani tak menghiraukannya. Ia bahkan tak melirik wajah itu sama sekali. Baginya, wajah Aiman sekarang terlihat sangat menyebalkan. Apalagi tadi Ratih dengan begitu percaya dirinya meminta ia tidak mengganggu laki-laki itu."Han, kamu belanja perlengkapan bayi?" tanya Aiman lagi, menatap wajah Hani dan barang belanjaannya bergantian. Lagi-lagi Hani tak ingin menjawab, tangannya sibuk menurunkan barang-barang itu.
Hani sedang menikmati makan siangnya hari ini saat pintu ruangannya diketuk. Ia sudah tahu siapa pelakunya. Siapa lagi kalau bukan Pak Reynaldi sang bos aneh.Pintu langsung terbuka saat Hani sudah mempersilahkannya masuk."Oh, lagi makan, ya?" tanyanya langsung, begitu sudah berada di dalam."Ya sudah, lanjutkan saja, kasihan bayimu. Kebetulan saya juga sedang diet, tidak akan meminta bekalmu."'Idih, siapa yang nanya.' batin Hani."Bagaimana?" tanya Pak Rey lagi setelah duduk di kursi seberang Hani.Kening Hani berkerut mendengar pertanyaan singkat itu. Gerakan tanga