Akhirnya, malam itu Aiman tidak jadi ke rumah Arum. Suasana hati yang buruk, juga melihat dua wanita dalam hidupnya terpuruk, ia tidak tega meninggalkan mereka.
Setelah berhasil membujuk sang istri untuk makan dan juga menghibur sang ibu, lelaki itu memutuskan untuk istirahat saja. Lelah jiwa raga menuntutnya ingin beristirahat dulu. Dua malam di rumah sakit menunggui Hani. Tidak membuatnya bisa tidur pulas.
Sambil memeluk sang istri dari belakang seperti biasa, ia bergumam.
"Malam ini kita tidur dulu sayang, semoga esok Hanan ketemu," bisiknya sebelum mencium pipi mulus itu. Setelah itu, ia berusaha tertidur.
Mata Aiman yang ingin terpejam, terbuka lagi saat merasakan gerakan sang istri. Wan
Hari ini, pagi-pagi sekali Aiman sudah berangkat menuju kediaman keluarga Arum. Sengaja agar Danu, suami Arum, belum berangkat ke kantor.Aiman sendiri masih menikmati masa cuti, yang seharusnya digunakan untuk berbulan madu. Namun, karena musibah datang tak terduga, masa-masa cuti itu harus dihabiskan dengan mencari sang anak yang kini entah di mana.Tadi, Hani memaksa ikut. Tetapi Aiman melarang keras. Sebenarnya, ia sendiri malas keluar pagi ini. Pertarungan panas semalam menyisakan tubuh lemah pagi ini, tetapi keberadaan Hanan harus segera ditelusuri.Mobil Aiman sampai tepat saat Danu hendak memasuki mobilnya yang terparkir di halaman. Lelaki itu berlari keluar dari mobil sebelum kakak iparnya pergi.
Ponsel Hani terus saja berdering nyaring di atas meja dekat jendela. Sementara pemiliknya entah di mana. Aiman yang baru keluar dari kamar mandi menghampiri benda pipih itu, kemudian meraihnya.Keningnya berkerut heran. Nomor tanpa nama. Berarti tidak ada dalam daftar kontak Hani. Apa mungkin itu Arum? Aiman segera menggeser tombol hijau di layar, tetapi, panggilan sudah keburu terputus sebelum ia menjawabnya.Penasaran, ia buka ponsel yang sejak dulu tidak pernah dikunci itu. Ada banyak pesan chat di sana dari nomor yang sama dengan yang tadi menelepon.Jarinya langsung mengetuk nomor tersebut hingga semua pesannya di sana terpampang. Mata Aiman melebar membaca semua pesan di sana.[Han, kam
"HP kamu nyala, Mas." Hani menunjuk kantong celana Aiman di mana bunyi dering terdengar dari sana. Aiman tersenyum, walau dipaksakan."Ya, udah. Mas, keluar dulu, ya. Angkat telepon dulu, mungkin dari polisi yang menangani kasus Hanan."Baru Hani akan melayangkan protes, kenapa tidak diangkat di sana saja, tetapi Aiman sudah berlalu. Meninggalkannya setelah menepuk pelan pundaknya.Hani hanya bisa menatap punggung sang suami yang akhirnya menghilang di balik pintu, kemudian mencari ponselnya sendiri. Ingin berkabar dengan orang tuanya."Ada-ada aja Mas Ai, ini. Nada dering saja, disamain," gumam Hani sambil tersenyum kemudian menggeleng, dan kembali mencari ponselnya.
"Aku ikut pokoknya. Aku tidak mau ditinggal, dan tersiksa karena harus menunggu, Mas. Apapun yang terjadi. Kita pergi sama-sama," jawabnya keras kepala. Aiman mengembus napas kasar dengan bahu meluruh. Ia tahu, tak akan bisa membujuk Hani agar tetap tinggal. Sudah tak ada waktu, ibunya keburu jauh.Akhirnya, dengan berbekal GPS. Mereka melacak dan mengikuti Yuli. Untunglah wanita itu mengaktifkan aplikasinya.Dengan perasaan yang tak dapat digambarkan, Aiman menjalankan mobilnya mengikuti titik di layar ponselnya, yang menunjukkan keberadaan sang ibu.Aiman yakin, kalau kepergian Yuli untuk menemui Arum. Lelaki itu juga yakin, kalau Arum yang menyuruh dan meminta Yuli datang seorang diri.Ent
"Mayat anak kecil?" Hani mengulang kalimat salah satu warga itu. Kemudian dengan dada bergemuruh hebat, segera membuka pintu mobil, dan keluar.Aiman segera menyusul, ia sangat mengkhawatirkan kondisi sang istri yang langsung kacau.Hani menyibak kerumunan warga, lalu melewati mereka dengan susah payah. Aiman coba meraih tubuhnya, tetapi Hani sudah menembus kerumunan itu dengan tangis yang kembali pecah.Wanita itu terus merangsek ke depan, bahkan melewati garis polisi. Ia tidak peduli omelan beberapa orang yang terinjak kakinya karena gerakannya yang buru-buru."Maaf, Bu, Anda siapa? Mohon tidak melewati garis polisi," tegur salah satu polisi di sana.
Aiman menepuk pipi sang istri dengan lembut beberapa kali, hingga mata yang tertutup itu mengerjap sebelum kemudian terbuka dengan sempurna."Sayang, kita sudah sampai," ucap Aiman di depan wajah sang istri. Sejenak Hani menatap wajah di depannya sampai ingatannya terkumpul.Wajah itu, wajah sang suami yang selalu memperlakukannya dengan lembut dan penuh cinta. Sungguh, sangat jauh dengan perlakuannya saat pernikahan pertama mereka dulu.Benarlah kata Tania, Aiman lelaki yang sangat perhatian dan penuh kasih sayang aslinya. Ya. Pastinya terhadap wanita yang dicintainya. Bila dulu sikapnya sangat dingin dan kasar, itu karena hatinya masih terluka atas kepergian Tania. Juga karena belum ada rasa cinta untuk dirinya.
"Hanan …," pekik Hani tertahan. Rasa rindu yang membuncah membuatnya ingin berlari memeluk sang anak yang sudah sekian hari tak dijumpainya. Namun, tangan Aiman menahan langkahnya demi melihat wajah Arum, yang marah menahan amarah."Jadi, kamu memberi tahu anak dan menantumu untuk menyusul ke sini, hah?" teriak Arum menatap marah Yuli, sebelah kakinya menyepak tubuh wanita yang masih bersimpuh dengan lutut sebagai tumpuan."Mbak, apa yang kamu lakukan?" pekik Aiman tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Ketidakrelaan terbit, saat wanita yang telah melahirkannya di perlakukan seperti itu, oleh anak yang sudah dibesarkannya."Kenapa, Ai? Wanita ini berhak mendapatkannya!" bentak Arum penuh amarah ke arah Aiman.
Suasana mendadak sepi, hanya sisa isak Arum yang sesekali masih terdengar. Semua orang diam dengan ketakutan masing-masing. Termasuk Hanan, yang juga berhenti menangis.Aiman bangkit perlahan, bermaksud menghampiri Arum dengan tetap bersikap lembut. Berharap wanita yang baginya tetap kakak kandung itu, tidak kalap. Hingga akhirnya mau menyerahkan Hanan. Namun…."Berhenti di sana, Ai!" Arum kembali berteriak seraya menunjuk wajah Aiman. Membuat semua orang kembali terkejut, tak terkecuali Hanan yang kembali menangis.Hani sudah sangat frustasi melihat keadaan sang anak. Psikis Hanan pasti terganggu dengan kejadian ini, tetapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Aiman sudah mewanti-wanti agar ia tak gegabah.