( PoV Asmara )"Maafin aku ya Al." Aku menatap wajah Albert yang terlihat semakin tampan ketika dia tertidur. Kami masih di villa. Albert masih sakit sehingga akhirnya kita meminta cuti dari sekolah. Entah sampai kapan Albert akan sembuh. Dia semakin tak stabil. Kondisinya semakin tak baik. Bahkan setelah pulang dari rumah sakit, dia sama sekali tak berbicara kepadaku."Aku tak seharusnya terus bersama kamu." Ku usap air mata yang dengan deras membasahi pipi. Aku harus pergi. Aku harus menghilang dari kehidupan Albert. Dia sudah terlalu banyak menahan derita bersamaku. Aku sudah sangat banyak membebaninya. Selayaknya layang-layang, dia tak mampu terbang tinggi jika aku terus menarik ulurnya. Meskipun aku tak berniat seperti itu.Ku usap perlahan pipinya. Aku tak ingin membangunkannya. Lama ku pandang seseorang yang sangat aku sayangi itu. Berat rasanya meninggalkannya. Namun, aku harus melakukannya. Aku tak boleh jadi bunga liar berduri yang tumbuh di halamannya. Mengganggu pandangan m
( PoV Albert )"Ra! Mara!" Aku mengelilingi villa tempat aku menginap bersama dengan Asmara. Mencari gadis itu. Namun sudah hampir tiga jam aku mencari, Asmara tetap tak aku temukan."Kamu ngambek ya Ra, gara-gara aku mendiamkanmu. Aku minta maaf Ra. Aku nggak akan kayak gini lagi. Tapi, please balik Ra. Aku nggak bisa kehilangan kamu." Aku ketakutan. Asmara bukan wanita kuat. Apapun bisa terjadi padanya. Aku khawatir. Kemana dia?Aku terus berjalan. Berjalan menyusuri jalanan puncak yang banyak sekali terdapat jurang di kiri kanannya. Asmara tak mungkin berjalan jauh. Dia pasti masih di sekitar sini. Lagi pula, penglihatannya tak berfungsi dengan baik di malam hari. Dia tak akan pergi malam hari. Aku yakin, dia hanya berjalan-jalan di sekitar sini. Tapi dimana? Di mana dia sekarang? Di mana kamu berjalan-jalan Ra?"Tolong!" Deg! Aku bisa dengan jelas mendengar suara Asmara meminta tolong. Dia terdengar begitu kesakitan."Ra! Kamu di mana Ra? Mara!" Aku panik. Ku lihat kanan kiri. Namu
( PoV Albert )"Sarapan dulu." Asmara duduk di atas tempat tidurku setelah berhasil membuatku membuka mata. Aku tersenyum menatapnya. Entahlah. Semenjak dia hilang ingatan, dia menjadi begitu manis kepadaku. Mungkin aku harus bahagia dengan semua yang Asmara lakukan. Namun aku juga tak boleh terlalu senang karena Asmara sampai saat ini belum tahu kalau hubungan kita berdua tak lebih dari seorang saudara angkat.Ya! Ketika dia bertanya siapa aku waktu pertama kali aku selamatkan dia dari jurang, aku mengatakan kepadanya kalau aku adalah orang yang sangat mencintainya. Aku tak bermaksud berbohong, karena kenyataannya aku memang sangat mencintainya. Dan saat itu juga dia langsung memelukku. Dia beranggapan kalau kita adalah sepasang kekasih. Dia bilang dia akan menjadi seorang pacar yang baik meskipun dia belum seratus persen mengingatku.Aku sempat bingung dan ingin menjelaskannya. Namun entah kenapa aku tak bisa. Mungkin aku jahat. Dan bisa jadi aku memang egois. Tapi bukankah ini yang
( PoV Albert )"Nah, kita sampai deh di rumah kamu." Aku menggandeng tangan Asmara dan membawanya memasuki rumahnya yang sudah lama dia tinggalkan. Aku memperhatikannya. Dia tampak kebingungan. Namun agaknya dia juga merasa senang. Di putarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Melihat-lihat apa saja yang ada di dalamnya."Aku artis ya?" Dengan raut wajah yang ceria, dan mata yang berbinar, dia menatapku."Iya. Artis yang sangat terkenal." Aku tersenyum kepadanya. Dia benar-benar bahagia."Oh ya? Em, dan ini? Foto siapa ini?" Dia mengambil foto Aksara yang masih terpajang di atas meja telepon."Ah, itu, em, itu produser kamu. Iya. Produser kamu." Aku panik. Dan juga geram. Kenapa Asmara tak membuang foto itu dulu saat dia memutuskan untuk kembali ke rumahku? Kenapa masih ada foto lelaki sialan itu di rumah ini?"Ganteng juga ya. Siapa namanya? Kenapa aku simpan fotonya di sini?" Dia menatap foto itu. Menatapnya dengan penuh kekaguman. Sial! Apakah di saat Asmara hilang ingatan seperti in
( PoV Andira )Pagi ini langit begitu cerah. Matahari muncul dengan senyum yang merekah. Burung-burung berterbangan membentuk formasi yang indah. Bunga-bunga tersenyum bahagia, menampakkan keindahannya dengan segala anugrah.Aku masih tetap di sini. Menemani setiap sepi. Sendiri bersama dengan seseorang yang selalu memenuhi isi hati.Aku memperhatikan wajahnya yang begitu elok saat sinar mentari lembut membelainya. Matanya terpejam cukup lama. Entah sampai kapan dia akan seperti ini. Diam saja. Membiarkanku menunggunya. Seakan enggan untuk memberiku sapa."Maaf jika selama ini aku harus pergi meninggalkanmu. Bukan aku tak mencintaimu. Aku hanya tak sanggup untuk menjumpaimu saat itu." Air mataku berlinang. Aku dalam kesedihan yang mendalam. Dua orang yang telah lama tak berjumpa, kini bertemu dalam dua kondisi yang berbeda.Ku belai lembut wajahnya. Wajah yang begitu aku rindukan. Wajah yang selalu membuatku terbayang setiap saat. Cinta itu nyata. Inilah buktinya. Setelah sekian lama,
( PoV Albert )Langit sedang tak bercahaya malam ini. Setitik bintang pun tak ada yang hadir. Apalagi rembulan. Dia seakan tak mau melihat aku yang sedang kosong. Dia seakan tak tega menyaksikanku terpuruk dan hancur.Siapa yang tak akan hancur? Ketika kamu sudah mendapatkan raganya, namun tidak jiwanya. Masa lalu yang 'indah' masih terus saja menahannya."Al, makan?" Asmara menghampiriku. Membawakan satu piring penuh daging panggang yang baru saja matang. Tercium begitu harum. Namun aku sama sekali tak berselera. Ku lirik Papa dan Mama yang sedang tertawa bahagia di pojok taman sambil mengamati kami berdua. Apalagi Mama yang begitu menyayangi Asmara dan sangat senang di saat kami sudah resmi berpacaran."Ayolah. Kenapa sih?" Dia duduk di hadapanku. Aku hanya meliriknya. Kemudian aku palingkan wajahku kembali ke arah lain. Melihat pepohonan yang begitu indah bergoyang di belai angin malam."Aku suapin ya?" Dia mengambil satu potong daging dengan sumpit dan mendekatkannya ke mulutku. Ak
( PoV Albert )"Kenapa Ibu kembali sih?" Aku menghadang Bu Andira yang sedang berjalan menuju kelas Asmara. Hatiku semakin tak karuan. Bu Andira ikut menghilang bersama dengan Aksara waktu itu. Namun kini dia kembali. Itu artinya, Aksara juga sedang berada di kota ini."Kenapa? Ibu kan kerja di sini. Lagian juga kemarin Ibu cuma ambil cuti kok." Bu Andira menatapku sinis. Aku tahu makna dari tatapan sinisnya."Nyawa Ibu banyak juga ya ternyata. Ibu kan sudah jadi tersangka penculikan Pak Aksara. Ibu berani menghadapi keluarga Bu Amanda?" Bu Andira tersenyum mendengar apa yang aku katakan. Dia hanya menarik napas panjang dan berjalan meninggalkanku."Apa Ibu mau aku lapor ke polisi?" Aku sedikit berteriak karena Bu Andira hampir saja masuk ke dalam kelas Asmara sebelum akhirnya dia berhenti dan menatapku tajam."Kalau kamu takut Aksara akan merebut Asmara kembali dari kamu, kamu nggak usah khawatir. Aksara tak akan pernah melirik kekasihmu itu lagi. Dan, ya, Asmara hilang ingatan kan? J
( PoV Albert )"Hai Al." Pukul dua siang. Bel pulang berbunyi. Asmara keluar dari dalam kelasnya dengan senyum lebar. Aku yang menunggunya sedari tadi hanya bisa bernapas lega. Aku tak tahu apa yang terjadi. Tapi aku berharap Bu Andira tak mengatakan apapun kepada Asmara. Dan setelah aku melihat senyum Asmara, aku tak perlu khawatir dengan Bu Andira. Setidaknya, hubunganku dengan Asmara masih aman."Pulang yuk." Aku menggandeng tangan Asmara. Mengajaknya segera pulang. Karena aku ingin sekali segera meminta maaf dan memperbaiki segalanya. Memang tak ada yang rusak di antara kami. Namun aku merasa, aku terlalu ketakutan hingga aku membuatnya menderita akhir-akhir ini dengan sikapku yang dingin."Em. Tunggu dulu Al." Asmara menarik tangannya kembali. Melepaskan genggamanku darinya. Aku menatapnya heran."Masih ada tugas?" tanyaku."Nggak sih.""Lalu?""Aku, em. Aku ada janji sama Bu Andira." Deg! Hatiku yang tadi merasa tenang, kini kembali gelisah. Aku kembali ketakutan."Ngapain?" Mung
( PoV Asmara )"Waktu itu aku nyari-nyari kamu Ra. Aku telusuri seluruh jalanan kayak orang gila biar bisa nemuin kamu." Albert menatapku. Tatapannya sayu. Dia sepertinya masih memendam perasaan kecewa kepadaku, dengan kepergianku waktu itu."Maafin aku, aku udah banyak salah sama kamu Al." Aku menunduk. Aku tak berani menatap matanya. Semakin aku menatapnya, semakin aku merasa tak pantas untuk mendapatkan maaf darinya."Aku nggak apa-apa Ra. Mungkin kamu takut sama aku malam itu. Mungkin kamu nggak mau deket lagi sama aku yang saat itu sedang kumat. Jadi kamu memutuskan untuk pergi. Dan aku ngerti." Albert semakin erat menggenggam tanganku. Sudah ku duga, dia tak akan marah kepadaku, sebesar apapun kesalahanku. Dia akan selalu memaafkanku meskipun aku telah membuatnya terluka. Sikapnya itulah yang membuatku semakin menyesal karena tak bisa mencintainya."Kamu udah banyak merawat aku Al, jadi aku nggak akan mungkin pergi hanya karena penyakit kamu itu." Ya. Malam itu aku mengetahui sa
( PoV Asmara )Kulihat Albert yang tampak kelelahan, tertidur di tepi tempat tidurku. Wajahnya yang tampan terlihat sayu karena terlalu banyak terjaga untuk menjagaku. Aku merasa begitu bersalah karenanya. Bagaimana ada seorang lelaki yang sebaik dirinya. Mencintai seorang wanita yang tak mencintainya dengan begitu besar. Wanita penyakitan seperti diriku.Ku belai lembut wajahnya. Ku telusuri setiap inci dari lekukan di wajah tampan itu untuk mencari kekurangannya. Kekurangan yang membuatku tak mencintainya. Namun semakin aku mencarinya, aku semakin tak mendapatkannya. Bahkan semakin aku melihatnya, wajahnya terlihat semakin tampan. Lantas, apa yang dalah denganku? Mengapa aku dengan sombongnya mengacuhkan seseorang yang tanpa cela ini? Mengapa aku tak bisa sedikitpun memberikan hatiku untuk lelaki yang sudah memberikan segalanya untukku ini? Mengapa aku tak bisa sedikit saja melihat cinta tulus dari lelaki yang sudah banyak berkorban untukku ini?Ah, rasanya aku benar-benar sudah gil
( PoV Albert )"Kamu nggak ngejar Amel, Al?" Aku menatap Asmara tak berkedip untuk memastikan apakah dia benar Asmara atau bukan. Ku tatap wajahnya yang sayu, wajah yang selama ini selalu ku lihat di wajah Asmara karena memang kondisinya yang lemah sedari kecil, yang tak ku temukan dari wajah Asmara yang ku temui saat dia hilang ingatan tempo lalu."Nggak. Ngapain?" Aku tersenyum menatapnya. Melihat wajah ayunya, membuat jantungku terasa tak normal. Berdetak begitu cepat. Aku bahkan hampir lupa dengan Amel yang baru saja mengamuk karena cemburu melihat Asmara sedang berada di rumahku."Ya, kasihan aja sih. Aku nggak enak juga. Kalian bertengkar kan gara-gara aku tadi kalau aku nggak salah denger." Asmara menunduk. Menunjukkan kalau dia memang berada dalam penyesalan saat ini. Membuatku tak rela jika wajah wanita yang ku cintai itu menjadi murung karena sikap Amel yang kekanak-kanakan."Dih, apaan sih. Nggak, bukan gara-gara kamu. Amelnya aja yang kayak anak kecil. Cemburu nggak jelas.
( PoV Albert )"Kamu nggak usah berisik bisa nggak sih Mel? Mara lagi sakit!" Aku kesal dengan Amel yang sedari tadi memintaku untuk mengantar Asmara pulang. Padahal dia melihat sendiri bagaimana kondisi Asmara saat ini. Asmara begitu lemah. Aku khawatir jika terjadi apa-apa dengannya lagi. Aku tak tahu apa yang harus ku lakukan jika dia kembali tak mengingat apapun karena aku. Aku yang tiba-tiba saja membicarakan Amora di hadapannya."Kamu nggak ngerti ya Al? Itu tuh cuma caranya aja biar kamu mau balikan lagi sama dia. Biar kamu ninggalin aku. Ngerti nggak sih? Masak gitu aja nggak paham." Amel semakin tak terkendali. Dia bahkan berbicara dengan nada tinggi. Membuatku hampir saja frustasi di buatnya. Bagaimana tidak, ada Papa dan Mama di rumah. Dan Asmara, Asmara sedang beristirahat di dalam kamarnya yang memang bersebelahan dengan kamarku yang saat ini menjadi tempat perbincangan kami berdua. Atau lebih tepatnya, tempat pertengkaranku dan Amel."Mau kamu apa sih Mel? Kamu lupa kala
( PoV Asmara )"Makasih ya Al, udah nolongin aku tadi di jalan." Aku menyenderkan tubuhku yang masih terasa begitu lemah di senderan tempat tidurku. Ah, tidak. Tepatnya kamar tamu di rumah Albert, karena kamar itu kini bukan milikku lagi. Meskipun mungkin kamar itu masih sama seperti dulu dan tak ada sedikitpun yang berubah, aku tak berhak mengakuinya masih menjadi milikku. Karena aku sudah meninggalkannya."Sama-sama." Albert menunduk. Dia duduk di tepi tempat tidurku, namun membelakangiku. Dia terlihat tak senang melihatku. Entah apa yang membuatnya bersikap seperti ini kepadaku. Bukankah dia biasanya selalu ingin bertemu denganku? Bukankah dia bahkan tak akan melewatkan sedikit saja waktunya bersamaku?"Bisa minta tolong sekali lagi?" Aku menatapnya dalam. Mencoba mengartikan ekspresinya saat ini. Mungkinkah dia masih marah kepadaku setelah kejadian terakhir di villa tempo lalu? Ketika aku menolak pernyataan cintanya untuk yang kesekian kalinya. Mungkin saja iya. Aku memang keterla
( PoV Aksara )"Bener-bener gila si Dira. Dia tahu kan bagaimana kondisiku di dalam keluarga. Iya, oke kalau aku memang pewaris dari kekayaan orangtuaku yang tak akan habis di makan sampai tujuh puluh tujuh turunan. Tapi kan dia tahu kalau bukan aku satu-satunya pewaris orangtuaku. Bisa-bisanya dia minta sesuatu yang tak mungkin bisa aku kasih ke dia. Pakai acara ngancam segala lagi." Aku mengusap keningku dengan keras. Kepalaku serasa ingin pecah. Ingin sekali aku mengusir wanita gila itu saat ini juga. Selain aku sudah muak dengan tingkahnya, aku juga sudah tak ingin lagi melihat wanita yang sekarang sudah berubah menjadi macan loreng itu."Ah, mana panas banget lagi hari ini. Jalanan macet dari tadi nggak jalan-jalan. Kenapa sih ini? Perasaan kalau jam segini nggak pernah macet deh. Kan bukan jam berangkat dan pulang kerja. Lancar-lancar aja biasanya. Ah! Sial!" Aku memukul setir mobilku dengan keras. Udara yang begitu menyengat siang hari ini membuatku tak bisa menahan emosiku. AC
( PoV Andira )"Kamu udah nggak ada waktu buat kita?" Aku melihat lelaki yang kini menjadi suamiku itu berdandan dengan begitu rapi. Entah kemana dia akan pergi. Kalau hanya sekedar ke kantor, dia tak akan sewangi ini. Aku jdi curiga, mungkinkah di luar sana ada wanita muda yang menjadi incarannya lagi kali ini?"Sama Amanda yang masih mulus saja aku sudah ogah. Apalagi sama kamu yang sekarang sudah kayak macan loreng." Deg! Apa? Apa yang dia katakan? Sadarkah dia mengatakan sesuatu hal yang begitu membuatku terluka seperti itu? Apakah dia memikirkan bagaimana perasaanku mendengar kalimat ejekannya itu kepadaku? Sungguh aku tak menyangka jika lelaki yang dulu begitu lugu, kini berubah menjadi begitu menjijikkan.Iya, aku akui aku sudah begitu berubah. Entah penyakit apa yang saat ini sedang aku derita. Seluruh tubuhku muncul bercak putih yang semakin hari semakin banyak. Aku sudah berusaha berobat kemanapun dan dengan cara apapun yang aku bisa. Namun nyatanya, bercak ini tak mau mengh
( PoV Asmara )"Aku tahu kamu udah nyaman sama cewek lain Al. Tapi jahat kalau kamu harus nuduh aku seperti itu. Nggak apa-apa kalau kamu mau pergi. Aku akan coba ikhlasin. Tapi aku nggak terima kalau seakan-akan di berakhirnya hubungan kita ini, aku yang kamu tuduh sudah menipu kamu, hingga kamu berpikir aku memang pantas menerima penghianatan kamu dengan Amel. Bahkan aku tak marah setelah aku tahu jika kamu membohongiku soal hubungan kita yang sebenarnya kita tak pernah pacaran, di saat aku hilang ingatan dulu. Dan kamu menyembunyikan hal yang paling penting di hidupku. Tentang aku yang menjadi saudara angkat kamu." Albert terkejut. Dia menatapku satu detik, kemudian kembali berpaling dariku. Dia masih diam saja. Pandangannya masih kosong. Dia bahkan tak menatapku sama sekali setelah satu detiknya tadi. Sesekali dia menarik napas panjang di sela-sela air mata yang masih mengalir sedari tadi. Aku tak menyangka, Albert setulus itu mencintaiku. Dia menangis untukku.Ah, tidak. Aku bahk
( PoV Asmara )"Aku sudah bilang, tak ada yang perlu kita bicarakan lagi Al." Aku menatap pemandangan malam di sekitarku yang begitu indah. Lampu-lampu perkotaan di bawah sana, dan bintang-bintang yang gemerlap di sekitar rembulan di atas langit cerah. Ya! Akhirnya aku pergi juga dengan Albert. Aku tak enak saja karena Tante Astia turut serta bersamanya menghampiriku ke rumah. Beliau juga dengan sangat antusias mengajak kami berkemah di atas gedung rumah sakit milik keluarga Albert."Tapi kita harus bicara Ra." Albert berdiri tepat di sebelahku. Pandangannya jauh ke depan. Mungkin sama denganku, menatap lampu perkotaan yang gemerlap dengan indah."Apalagi? Kamu mau kita udahan kan? Bukannya tadi aku udah bilang mau udahan sama kamu? Itu kan yang kamu mau biar kamu bisa lanjut pacaran sama Amel? Terus mau apa lagi?" Aku menatap Albert dengan emosi. Lelaki yang beberapa jam lalu masih menjadi kekasihku yang sangat aku cintai, kini terlihat begitu menjengkelkan bagiku."Ya. Aku mau kita