( PoV Albert )"Sarapan dulu." Asmara duduk di atas tempat tidurku setelah berhasil membuatku membuka mata. Aku tersenyum menatapnya. Entahlah. Semenjak dia hilang ingatan, dia menjadi begitu manis kepadaku. Mungkin aku harus bahagia dengan semua yang Asmara lakukan. Namun aku juga tak boleh terlalu senang karena Asmara sampai saat ini belum tahu kalau hubungan kita berdua tak lebih dari seorang saudara angkat.Ya! Ketika dia bertanya siapa aku waktu pertama kali aku selamatkan dia dari jurang, aku mengatakan kepadanya kalau aku adalah orang yang sangat mencintainya. Aku tak bermaksud berbohong, karena kenyataannya aku memang sangat mencintainya. Dan saat itu juga dia langsung memelukku. Dia beranggapan kalau kita adalah sepasang kekasih. Dia bilang dia akan menjadi seorang pacar yang baik meskipun dia belum seratus persen mengingatku.Aku sempat bingung dan ingin menjelaskannya. Namun entah kenapa aku tak bisa. Mungkin aku jahat. Dan bisa jadi aku memang egois. Tapi bukankah ini yang
( PoV Albert )"Nah, kita sampai deh di rumah kamu." Aku menggandeng tangan Asmara dan membawanya memasuki rumahnya yang sudah lama dia tinggalkan. Aku memperhatikannya. Dia tampak kebingungan. Namun agaknya dia juga merasa senang. Di putarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Melihat-lihat apa saja yang ada di dalamnya."Aku artis ya?" Dengan raut wajah yang ceria, dan mata yang berbinar, dia menatapku."Iya. Artis yang sangat terkenal." Aku tersenyum kepadanya. Dia benar-benar bahagia."Oh ya? Em, dan ini? Foto siapa ini?" Dia mengambil foto Aksara yang masih terpajang di atas meja telepon."Ah, itu, em, itu produser kamu. Iya. Produser kamu." Aku panik. Dan juga geram. Kenapa Asmara tak membuang foto itu dulu saat dia memutuskan untuk kembali ke rumahku? Kenapa masih ada foto lelaki sialan itu di rumah ini?"Ganteng juga ya. Siapa namanya? Kenapa aku simpan fotonya di sini?" Dia menatap foto itu. Menatapnya dengan penuh kekaguman. Sial! Apakah di saat Asmara hilang ingatan seperti in
( PoV Andira )Pagi ini langit begitu cerah. Matahari muncul dengan senyum yang merekah. Burung-burung berterbangan membentuk formasi yang indah. Bunga-bunga tersenyum bahagia, menampakkan keindahannya dengan segala anugrah.Aku masih tetap di sini. Menemani setiap sepi. Sendiri bersama dengan seseorang yang selalu memenuhi isi hati.Aku memperhatikan wajahnya yang begitu elok saat sinar mentari lembut membelainya. Matanya terpejam cukup lama. Entah sampai kapan dia akan seperti ini. Diam saja. Membiarkanku menunggunya. Seakan enggan untuk memberiku sapa."Maaf jika selama ini aku harus pergi meninggalkanmu. Bukan aku tak mencintaimu. Aku hanya tak sanggup untuk menjumpaimu saat itu." Air mataku berlinang. Aku dalam kesedihan yang mendalam. Dua orang yang telah lama tak berjumpa, kini bertemu dalam dua kondisi yang berbeda.Ku belai lembut wajahnya. Wajah yang begitu aku rindukan. Wajah yang selalu membuatku terbayang setiap saat. Cinta itu nyata. Inilah buktinya. Setelah sekian lama,
( PoV Albert )Langit sedang tak bercahaya malam ini. Setitik bintang pun tak ada yang hadir. Apalagi rembulan. Dia seakan tak mau melihat aku yang sedang kosong. Dia seakan tak tega menyaksikanku terpuruk dan hancur.Siapa yang tak akan hancur? Ketika kamu sudah mendapatkan raganya, namun tidak jiwanya. Masa lalu yang 'indah' masih terus saja menahannya."Al, makan?" Asmara menghampiriku. Membawakan satu piring penuh daging panggang yang baru saja matang. Tercium begitu harum. Namun aku sama sekali tak berselera. Ku lirik Papa dan Mama yang sedang tertawa bahagia di pojok taman sambil mengamati kami berdua. Apalagi Mama yang begitu menyayangi Asmara dan sangat senang di saat kami sudah resmi berpacaran."Ayolah. Kenapa sih?" Dia duduk di hadapanku. Aku hanya meliriknya. Kemudian aku palingkan wajahku kembali ke arah lain. Melihat pepohonan yang begitu indah bergoyang di belai angin malam."Aku suapin ya?" Dia mengambil satu potong daging dengan sumpit dan mendekatkannya ke mulutku. Ak
( PoV Albert )"Kenapa Ibu kembali sih?" Aku menghadang Bu Andira yang sedang berjalan menuju kelas Asmara. Hatiku semakin tak karuan. Bu Andira ikut menghilang bersama dengan Aksara waktu itu. Namun kini dia kembali. Itu artinya, Aksara juga sedang berada di kota ini."Kenapa? Ibu kan kerja di sini. Lagian juga kemarin Ibu cuma ambil cuti kok." Bu Andira menatapku sinis. Aku tahu makna dari tatapan sinisnya."Nyawa Ibu banyak juga ya ternyata. Ibu kan sudah jadi tersangka penculikan Pak Aksara. Ibu berani menghadapi keluarga Bu Amanda?" Bu Andira tersenyum mendengar apa yang aku katakan. Dia hanya menarik napas panjang dan berjalan meninggalkanku."Apa Ibu mau aku lapor ke polisi?" Aku sedikit berteriak karena Bu Andira hampir saja masuk ke dalam kelas Asmara sebelum akhirnya dia berhenti dan menatapku tajam."Kalau kamu takut Aksara akan merebut Asmara kembali dari kamu, kamu nggak usah khawatir. Aksara tak akan pernah melirik kekasihmu itu lagi. Dan, ya, Asmara hilang ingatan kan? J
( PoV Albert )"Hai Al." Pukul dua siang. Bel pulang berbunyi. Asmara keluar dari dalam kelasnya dengan senyum lebar. Aku yang menunggunya sedari tadi hanya bisa bernapas lega. Aku tak tahu apa yang terjadi. Tapi aku berharap Bu Andira tak mengatakan apapun kepada Asmara. Dan setelah aku melihat senyum Asmara, aku tak perlu khawatir dengan Bu Andira. Setidaknya, hubunganku dengan Asmara masih aman."Pulang yuk." Aku menggandeng tangan Asmara. Mengajaknya segera pulang. Karena aku ingin sekali segera meminta maaf dan memperbaiki segalanya. Memang tak ada yang rusak di antara kami. Namun aku merasa, aku terlalu ketakutan hingga aku membuatnya menderita akhir-akhir ini dengan sikapku yang dingin."Em. Tunggu dulu Al." Asmara menarik tangannya kembali. Melepaskan genggamanku darinya. Aku menatapnya heran."Masih ada tugas?" tanyaku."Nggak sih.""Lalu?""Aku, em. Aku ada janji sama Bu Andira." Deg! Hatiku yang tadi merasa tenang, kini kembali gelisah. Aku kembali ketakutan."Ngapain?" Mung
( PoV Andira )"Albert nggak marah kamu di sini?" Aku menatap tajam ke arah Asmara. Dia tampak senang saat duduk di ruang tamu besar milik keluarga Aksara. Berkali-kali dia memuji keindahan istana yang saat ini resmi menjadi tempat tinggalku."Em, dia, dia sempat ngelarang aku sih Bu. Tapi, aku nggak enak sama Ibu. Jadi aku maksa dia biar ngijinin aku." Asmara meneguk minuman yang sudah aku sediakan di hadapannya. Aku akui, dia memang gadis yang sangat cantik. Pantas saja jika Aksara sempat mendekatinya dulu."Oh. Ya, Ibu nggak mau aja sih kalau ada masalah di antara kamu dan Albert gara-gara Ibu ngajak kamu ke rumah Ibu." Aku pun meneguk minuman yang sedang aku genggam. Aku menyenderkan tubuhku di senderan tempat dudukku. Aku merasa begitu bahagia. Akhirnya aku mendapatkan segalanya yang seharusnya menjadi milikku. Aku yang seharusnya menjadi Nyonya di sini. Bukan Amanda. Dan anakku nanti, dia yang berhak mewarisi segala apa yang Aksara miliki saat ini. Bukan juga anak dari Amanda.Aw
( PoV Aksara )Aku, Aksara Bagaskara. Aku anak tunggal dari seorang pengusaha kaya terkenal di Ibu Kota. Sebenarnya bukan anak tunggal, karena orang tua ku memiliki satu anak laki-laki lagi, Kakakku. Namun entah kemana dia pergi.Saat itu aku masih terlalu muda, ketika Papa dan Kakak bertengkar. Dengan begitu arogannya, Papa akhirnya mengusir Kakak tanpa memberikannya apapun. Kakak yang memang memiliki sifat persis seperti Papa, juga tak mau meminta maaf. Dia memilih pergi dan menjadi gembel di jalanan daripada harus mengalah.Sebenarnya ada untungnya juga saat Kakak ku pergi meninggalkan rumah. Harta milik keluargaku yang tak terhitung jumlahnya jadi milikku seorang, tanpa harus aku bagi ke siapa pun. Yah, meskipun aku juga yang pada akhirnya menjadi anak satu-satunya yang harus menurut dan menjadi apapun yang Papa dan Mama mau.Tak apalah. Aku memang sudah tak punya arah dan tujuan semenjak aku lulus dari SMA. Hidupku saat itu sedang berada di titik terendah. Aku kehilangan seseorang