( PoV Albert )"Hai Al." Pukul dua siang. Bel pulang berbunyi. Asmara keluar dari dalam kelasnya dengan senyum lebar. Aku yang menunggunya sedari tadi hanya bisa bernapas lega. Aku tak tahu apa yang terjadi. Tapi aku berharap Bu Andira tak mengatakan apapun kepada Asmara. Dan setelah aku melihat senyum Asmara, aku tak perlu khawatir dengan Bu Andira. Setidaknya, hubunganku dengan Asmara masih aman."Pulang yuk." Aku menggandeng tangan Asmara. Mengajaknya segera pulang. Karena aku ingin sekali segera meminta maaf dan memperbaiki segalanya. Memang tak ada yang rusak di antara kami. Namun aku merasa, aku terlalu ketakutan hingga aku membuatnya menderita akhir-akhir ini dengan sikapku yang dingin."Em. Tunggu dulu Al." Asmara menarik tangannya kembali. Melepaskan genggamanku darinya. Aku menatapnya heran."Masih ada tugas?" tanyaku."Nggak sih.""Lalu?""Aku, em. Aku ada janji sama Bu Andira." Deg! Hatiku yang tadi merasa tenang, kini kembali gelisah. Aku kembali ketakutan."Ngapain?" Mung
( PoV Andira )"Albert nggak marah kamu di sini?" Aku menatap tajam ke arah Asmara. Dia tampak senang saat duduk di ruang tamu besar milik keluarga Aksara. Berkali-kali dia memuji keindahan istana yang saat ini resmi menjadi tempat tinggalku."Em, dia, dia sempat ngelarang aku sih Bu. Tapi, aku nggak enak sama Ibu. Jadi aku maksa dia biar ngijinin aku." Asmara meneguk minuman yang sudah aku sediakan di hadapannya. Aku akui, dia memang gadis yang sangat cantik. Pantas saja jika Aksara sempat mendekatinya dulu."Oh. Ya, Ibu nggak mau aja sih kalau ada masalah di antara kamu dan Albert gara-gara Ibu ngajak kamu ke rumah Ibu." Aku pun meneguk minuman yang sedang aku genggam. Aku menyenderkan tubuhku di senderan tempat dudukku. Aku merasa begitu bahagia. Akhirnya aku mendapatkan segalanya yang seharusnya menjadi milikku. Aku yang seharusnya menjadi Nyonya di sini. Bukan Amanda. Dan anakku nanti, dia yang berhak mewarisi segala apa yang Aksara miliki saat ini. Bukan juga anak dari Amanda.Aw
( PoV Aksara )Aku, Aksara Bagaskara. Aku anak tunggal dari seorang pengusaha kaya terkenal di Ibu Kota. Sebenarnya bukan anak tunggal, karena orang tua ku memiliki satu anak laki-laki lagi, Kakakku. Namun entah kemana dia pergi.Saat itu aku masih terlalu muda, ketika Papa dan Kakak bertengkar. Dengan begitu arogannya, Papa akhirnya mengusir Kakak tanpa memberikannya apapun. Kakak yang memang memiliki sifat persis seperti Papa, juga tak mau meminta maaf. Dia memilih pergi dan menjadi gembel di jalanan daripada harus mengalah.Sebenarnya ada untungnya juga saat Kakak ku pergi meninggalkan rumah. Harta milik keluargaku yang tak terhitung jumlahnya jadi milikku seorang, tanpa harus aku bagi ke siapa pun. Yah, meskipun aku juga yang pada akhirnya menjadi anak satu-satunya yang harus menurut dan menjadi apapun yang Papa dan Mama mau.Tak apalah. Aku memang sudah tak punya arah dan tujuan semenjak aku lulus dari SMA. Hidupku saat itu sedang berada di titik terendah. Aku kehilangan seseorang
( PoV Aksara )"A... A... Asmara?" Aku bagaikan di hantam ribuan bom atom saat aku melihat sosok Asmara, mantan kekasihku yang beberapa saat lalu aku tinggalkan. Aku gugup. Aku tak tahu lagi harus apa. Aku merasa bersalah kepadanya. Dia yang tulus mencintaiku, harus menanggung segalanya."Bapak apa kabar?" Dia menyapaku dengan begitu lembut. Dan hangat. Aku sedikit mengernyitkan dahi. Apa yang terjadi kepadanya? Mengapa dia begitu sopan kepadaku? Kita hanya berdua saja di ruang kerjaku saat ini. Tapi kenapa dia tak marah kepadaku atas apa yang telah aku lakukan kepadanya? Apakah ada rahasia di balik sikapnya ini? Atau mungkinkah ada rencana yang sudah ia susun dengan matang untuk membalasku? Membalas kepergianku yang tiba-tiba."Kamu jangan main-main Mara! Buat apa kamu ke sini?" Aku menghampirinya. Menggenggam kedua lengannya. Aku benar-benar tak menyangka jika Asmara berani datang ke rumahku, di saat kedua istriku ada di rumah.Ya! Aku resmi memliki dua istri. Rumit! Tapi memang inil
( PoV Aksara )'Gubrakkk!'Deg! Suara apa itu? Suara keras yang terdengar di saat aku sedang ngobrol berdua bersama dengan Asmara di ruang kerja ku."Jangan-jangan Andira ngamuk lagi." Aku gelagapan. Pasalnya, sudah lebih dari satu jam, aku dan Asmara berduaan. Dan Amanda belum tahu tentang hubunganku dengan Asmara dulu. Jadi pasti, Andira lah yang pasti akan cemburu melihatku bersama dengan Asmara."Kenapa Bu Andira harus ngamuk Pak?" Asmara yang aku tahu sedang amnesia saat ini, begitu kebingungan. Dia jelas tak mengerti. Karena sampai saat ini pun dia tak tahu kalau kita pernah punya hubungan istimewa dulu. Di luar hubungan pekerjaan."Ya... Em... Mungkin aja dia cemburu sama kamu yang udah lumayan lama di sini sama saya?" Ya! Ini bukan alasan. Mungkin saja memang seperti itu kenyataannya. Andira cemburu.Ah. Rasanya bahagia sekali. Aku punya dua istri yang cantik. Dan gadis remaja yang ada di hadapanku kini pun, pasti tak akan menolakku jika aku mengajaknya berkencan. Asal saja ing
( PoV Aksara )"Kamu kenapa sih? Ada Asmara di sini. Kenapa marah-marah?" Aku duduk di sisi Andira. Dia terdiam di tepi tempat tidur, masih dengan tatapannya yang penuh amarah. Ku coba menenangkannya. Ku genggam kedua tangannya yang bergetar."Asmara mu udah mati! Dia yang ada di sini, bukan Asmara." Andira menepis tanganku. Dia berdiri dan melihatku dengan sorot mata tajam. Aku mengernyitkan dahi. Aku tak mengerti."Maksud kamu?" Aku pun berdiri. Menatap lekat matanya, menuntut jawaban."Kamu nggak lihat? Dia bahkan nggak ngenalin kamu. Kamu masih berharap sama dia? Ngobrol lama? Masih nyaman ketemu sama dia?" Ah. Aku sedikit lega. Yah, meskipun Asmara hilang ingatan, setidaknya dia masih Asmara yang sama. Yang sangat mencintaiku. Yang mungkin bisa kapan saja aku temui jika aku sedang bosan. Hahaha. Itupun kalau aku bisa bosan dengan Andira, wanita yang benar-benar aku cintai."Kan kamu yang nyuruh kita ngobrol-ngobrol. Gimana sih?" Aku menggenggam lagi kedua tangannya. Aku mengerti b
( PoV Aksara )Aku menatap tajam ke arah Andira yang tengah bersiap untuk pergi mengajar. Aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi dengannya. Segalanya tentang dia berubah. Meskipun wajah itu masih sesempurna yang dulu, namun segala tingkah lakunya, aku tak tahu itu.Ketika aku mencintainya, dia layaknya sinar mentari di pagi hari. Memberikan kehidupan. Memberikan keceriaan. Memberikan harapan.Namun tampaknya, mentari itu kini sedang terik-teriknya. Sinarnya membuat semua yang mendekatinya akan terluka. Terbakar kesakitan."Kamu nggak merasa ada yang perlu kamu bicarakan denganku?" Aku membuka percakapan kami, yang mulai dingin semenjak dia membuatku penasaran dengan 'anak kami'. Aku tahu jika dulu, ketika kami berpisah, dia sedang hamil. Namun ketika kami bertemu kembali, hingga mungkin malam itu dia keceplosan, dia tak pernah membicarakan anak kami. Bahkan ketika aku bertanya kepadanya, dia selalu menghindar."Aku sudah pernah bilang kan, aku tak mau membahasnya." Andira menatapku t
( PoV Albert )"Aku sadar aku salah Ra. Tak seharusnya aku cemburu sama Pak Aksara." Aku mengayunkan kakiku yang tengah tersentuh ombak di tepi dermaga. Malam ini, kami berdua bersama. Mencoba memperbaiki segala yang ada. Saling berjanji untuk tak bertingkah kekanak-kanakan, apalagi cemburuan.Aku akui, aku memang benar-benar marah saat Asmara pergi dan bertemu dengan Aksara bersama Bu Dira saat itu. Aku tak tenang. Gelisah tak menentu. Namun aku tak sedang marah dengannya. Aku marah pada diriku sendiri yang dengan teganya telah membohongi Asmara tentang apa yang terjadi di antara kami saat ini. Aku marah karena keegoisanku yang membuat Asmara menjadi milikku di tengah segala musibah yang dia alami.Namun aku bisa apa? Segalanya sudah terlanjur terjadi. Mundurpun aku tak akan bisa. Aku tak siap kehilangan Asmara bahkan sebelum aku memilikinya dulu. Dan kini ketika aku sudah memilikinya, aku tak akan melepaskannya."Nggak kenapa-kenapa kok. Wajar sih kalau kamu cemburu. Kamu kan pacar a
( PoV Asmara )"Waktu itu aku nyari-nyari kamu Ra. Aku telusuri seluruh jalanan kayak orang gila biar bisa nemuin kamu." Albert menatapku. Tatapannya sayu. Dia sepertinya masih memendam perasaan kecewa kepadaku, dengan kepergianku waktu itu."Maafin aku, aku udah banyak salah sama kamu Al." Aku menunduk. Aku tak berani menatap matanya. Semakin aku menatapnya, semakin aku merasa tak pantas untuk mendapatkan maaf darinya."Aku nggak apa-apa Ra. Mungkin kamu takut sama aku malam itu. Mungkin kamu nggak mau deket lagi sama aku yang saat itu sedang kumat. Jadi kamu memutuskan untuk pergi. Dan aku ngerti." Albert semakin erat menggenggam tanganku. Sudah ku duga, dia tak akan marah kepadaku, sebesar apapun kesalahanku. Dia akan selalu memaafkanku meskipun aku telah membuatnya terluka. Sikapnya itulah yang membuatku semakin menyesal karena tak bisa mencintainya."Kamu udah banyak merawat aku Al, jadi aku nggak akan mungkin pergi hanya karena penyakit kamu itu." Ya. Malam itu aku mengetahui sa
( PoV Asmara )Kulihat Albert yang tampak kelelahan, tertidur di tepi tempat tidurku. Wajahnya yang tampan terlihat sayu karena terlalu banyak terjaga untuk menjagaku. Aku merasa begitu bersalah karenanya. Bagaimana ada seorang lelaki yang sebaik dirinya. Mencintai seorang wanita yang tak mencintainya dengan begitu besar. Wanita penyakitan seperti diriku.Ku belai lembut wajahnya. Ku telusuri setiap inci dari lekukan di wajah tampan itu untuk mencari kekurangannya. Kekurangan yang membuatku tak mencintainya. Namun semakin aku mencarinya, aku semakin tak mendapatkannya. Bahkan semakin aku melihatnya, wajahnya terlihat semakin tampan. Lantas, apa yang dalah denganku? Mengapa aku dengan sombongnya mengacuhkan seseorang yang tanpa cela ini? Mengapa aku tak bisa sedikitpun memberikan hatiku untuk lelaki yang sudah memberikan segalanya untukku ini? Mengapa aku tak bisa sedikit saja melihat cinta tulus dari lelaki yang sudah banyak berkorban untukku ini?Ah, rasanya aku benar-benar sudah gil
( PoV Albert )"Kamu nggak ngejar Amel, Al?" Aku menatap Asmara tak berkedip untuk memastikan apakah dia benar Asmara atau bukan. Ku tatap wajahnya yang sayu, wajah yang selama ini selalu ku lihat di wajah Asmara karena memang kondisinya yang lemah sedari kecil, yang tak ku temukan dari wajah Asmara yang ku temui saat dia hilang ingatan tempo lalu."Nggak. Ngapain?" Aku tersenyum menatapnya. Melihat wajah ayunya, membuat jantungku terasa tak normal. Berdetak begitu cepat. Aku bahkan hampir lupa dengan Amel yang baru saja mengamuk karena cemburu melihat Asmara sedang berada di rumahku."Ya, kasihan aja sih. Aku nggak enak juga. Kalian bertengkar kan gara-gara aku tadi kalau aku nggak salah denger." Asmara menunduk. Menunjukkan kalau dia memang berada dalam penyesalan saat ini. Membuatku tak rela jika wajah wanita yang ku cintai itu menjadi murung karena sikap Amel yang kekanak-kanakan."Dih, apaan sih. Nggak, bukan gara-gara kamu. Amelnya aja yang kayak anak kecil. Cemburu nggak jelas.
( PoV Albert )"Kamu nggak usah berisik bisa nggak sih Mel? Mara lagi sakit!" Aku kesal dengan Amel yang sedari tadi memintaku untuk mengantar Asmara pulang. Padahal dia melihat sendiri bagaimana kondisi Asmara saat ini. Asmara begitu lemah. Aku khawatir jika terjadi apa-apa dengannya lagi. Aku tak tahu apa yang harus ku lakukan jika dia kembali tak mengingat apapun karena aku. Aku yang tiba-tiba saja membicarakan Amora di hadapannya."Kamu nggak ngerti ya Al? Itu tuh cuma caranya aja biar kamu mau balikan lagi sama dia. Biar kamu ninggalin aku. Ngerti nggak sih? Masak gitu aja nggak paham." Amel semakin tak terkendali. Dia bahkan berbicara dengan nada tinggi. Membuatku hampir saja frustasi di buatnya. Bagaimana tidak, ada Papa dan Mama di rumah. Dan Asmara, Asmara sedang beristirahat di dalam kamarnya yang memang bersebelahan dengan kamarku yang saat ini menjadi tempat perbincangan kami berdua. Atau lebih tepatnya, tempat pertengkaranku dan Amel."Mau kamu apa sih Mel? Kamu lupa kala
( PoV Asmara )"Makasih ya Al, udah nolongin aku tadi di jalan." Aku menyenderkan tubuhku yang masih terasa begitu lemah di senderan tempat tidurku. Ah, tidak. Tepatnya kamar tamu di rumah Albert, karena kamar itu kini bukan milikku lagi. Meskipun mungkin kamar itu masih sama seperti dulu dan tak ada sedikitpun yang berubah, aku tak berhak mengakuinya masih menjadi milikku. Karena aku sudah meninggalkannya."Sama-sama." Albert menunduk. Dia duduk di tepi tempat tidurku, namun membelakangiku. Dia terlihat tak senang melihatku. Entah apa yang membuatnya bersikap seperti ini kepadaku. Bukankah dia biasanya selalu ingin bertemu denganku? Bukankah dia bahkan tak akan melewatkan sedikit saja waktunya bersamaku?"Bisa minta tolong sekali lagi?" Aku menatapnya dalam. Mencoba mengartikan ekspresinya saat ini. Mungkinkah dia masih marah kepadaku setelah kejadian terakhir di villa tempo lalu? Ketika aku menolak pernyataan cintanya untuk yang kesekian kalinya. Mungkin saja iya. Aku memang keterla
( PoV Aksara )"Bener-bener gila si Dira. Dia tahu kan bagaimana kondisiku di dalam keluarga. Iya, oke kalau aku memang pewaris dari kekayaan orangtuaku yang tak akan habis di makan sampai tujuh puluh tujuh turunan. Tapi kan dia tahu kalau bukan aku satu-satunya pewaris orangtuaku. Bisa-bisanya dia minta sesuatu yang tak mungkin bisa aku kasih ke dia. Pakai acara ngancam segala lagi." Aku mengusap keningku dengan keras. Kepalaku serasa ingin pecah. Ingin sekali aku mengusir wanita gila itu saat ini juga. Selain aku sudah muak dengan tingkahnya, aku juga sudah tak ingin lagi melihat wanita yang sekarang sudah berubah menjadi macan loreng itu."Ah, mana panas banget lagi hari ini. Jalanan macet dari tadi nggak jalan-jalan. Kenapa sih ini? Perasaan kalau jam segini nggak pernah macet deh. Kan bukan jam berangkat dan pulang kerja. Lancar-lancar aja biasanya. Ah! Sial!" Aku memukul setir mobilku dengan keras. Udara yang begitu menyengat siang hari ini membuatku tak bisa menahan emosiku. AC
( PoV Andira )"Kamu udah nggak ada waktu buat kita?" Aku melihat lelaki yang kini menjadi suamiku itu berdandan dengan begitu rapi. Entah kemana dia akan pergi. Kalau hanya sekedar ke kantor, dia tak akan sewangi ini. Aku jdi curiga, mungkinkah di luar sana ada wanita muda yang menjadi incarannya lagi kali ini?"Sama Amanda yang masih mulus saja aku sudah ogah. Apalagi sama kamu yang sekarang sudah kayak macan loreng." Deg! Apa? Apa yang dia katakan? Sadarkah dia mengatakan sesuatu hal yang begitu membuatku terluka seperti itu? Apakah dia memikirkan bagaimana perasaanku mendengar kalimat ejekannya itu kepadaku? Sungguh aku tak menyangka jika lelaki yang dulu begitu lugu, kini berubah menjadi begitu menjijikkan.Iya, aku akui aku sudah begitu berubah. Entah penyakit apa yang saat ini sedang aku derita. Seluruh tubuhku muncul bercak putih yang semakin hari semakin banyak. Aku sudah berusaha berobat kemanapun dan dengan cara apapun yang aku bisa. Namun nyatanya, bercak ini tak mau mengh
( PoV Asmara )"Aku tahu kamu udah nyaman sama cewek lain Al. Tapi jahat kalau kamu harus nuduh aku seperti itu. Nggak apa-apa kalau kamu mau pergi. Aku akan coba ikhlasin. Tapi aku nggak terima kalau seakan-akan di berakhirnya hubungan kita ini, aku yang kamu tuduh sudah menipu kamu, hingga kamu berpikir aku memang pantas menerima penghianatan kamu dengan Amel. Bahkan aku tak marah setelah aku tahu jika kamu membohongiku soal hubungan kita yang sebenarnya kita tak pernah pacaran, di saat aku hilang ingatan dulu. Dan kamu menyembunyikan hal yang paling penting di hidupku. Tentang aku yang menjadi saudara angkat kamu." Albert terkejut. Dia menatapku satu detik, kemudian kembali berpaling dariku. Dia masih diam saja. Pandangannya masih kosong. Dia bahkan tak menatapku sama sekali setelah satu detiknya tadi. Sesekali dia menarik napas panjang di sela-sela air mata yang masih mengalir sedari tadi. Aku tak menyangka, Albert setulus itu mencintaiku. Dia menangis untukku.Ah, tidak. Aku bahk
( PoV Asmara )"Aku sudah bilang, tak ada yang perlu kita bicarakan lagi Al." Aku menatap pemandangan malam di sekitarku yang begitu indah. Lampu-lampu perkotaan di bawah sana, dan bintang-bintang yang gemerlap di sekitar rembulan di atas langit cerah. Ya! Akhirnya aku pergi juga dengan Albert. Aku tak enak saja karena Tante Astia turut serta bersamanya menghampiriku ke rumah. Beliau juga dengan sangat antusias mengajak kami berkemah di atas gedung rumah sakit milik keluarga Albert."Tapi kita harus bicara Ra." Albert berdiri tepat di sebelahku. Pandangannya jauh ke depan. Mungkin sama denganku, menatap lampu perkotaan yang gemerlap dengan indah."Apalagi? Kamu mau kita udahan kan? Bukannya tadi aku udah bilang mau udahan sama kamu? Itu kan yang kamu mau biar kamu bisa lanjut pacaran sama Amel? Terus mau apa lagi?" Aku menatap Albert dengan emosi. Lelaki yang beberapa jam lalu masih menjadi kekasihku yang sangat aku cintai, kini terlihat begitu menjengkelkan bagiku."Ya. Aku mau kita