( PoV Aksara )'Gubrakkk!'Deg! Suara apa itu? Suara keras yang terdengar di saat aku sedang ngobrol berdua bersama dengan Asmara di ruang kerja ku."Jangan-jangan Andira ngamuk lagi." Aku gelagapan. Pasalnya, sudah lebih dari satu jam, aku dan Asmara berduaan. Dan Amanda belum tahu tentang hubunganku dengan Asmara dulu. Jadi pasti, Andira lah yang pasti akan cemburu melihatku bersama dengan Asmara."Kenapa Bu Andira harus ngamuk Pak?" Asmara yang aku tahu sedang amnesia saat ini, begitu kebingungan. Dia jelas tak mengerti. Karena sampai saat ini pun dia tak tahu kalau kita pernah punya hubungan istimewa dulu. Di luar hubungan pekerjaan."Ya... Em... Mungkin aja dia cemburu sama kamu yang udah lumayan lama di sini sama saya?" Ya! Ini bukan alasan. Mungkin saja memang seperti itu kenyataannya. Andira cemburu.Ah. Rasanya bahagia sekali. Aku punya dua istri yang cantik. Dan gadis remaja yang ada di hadapanku kini pun, pasti tak akan menolakku jika aku mengajaknya berkencan. Asal saja ing
( PoV Aksara )"Kamu kenapa sih? Ada Asmara di sini. Kenapa marah-marah?" Aku duduk di sisi Andira. Dia terdiam di tepi tempat tidur, masih dengan tatapannya yang penuh amarah. Ku coba menenangkannya. Ku genggam kedua tangannya yang bergetar."Asmara mu udah mati! Dia yang ada di sini, bukan Asmara." Andira menepis tanganku. Dia berdiri dan melihatku dengan sorot mata tajam. Aku mengernyitkan dahi. Aku tak mengerti."Maksud kamu?" Aku pun berdiri. Menatap lekat matanya, menuntut jawaban."Kamu nggak lihat? Dia bahkan nggak ngenalin kamu. Kamu masih berharap sama dia? Ngobrol lama? Masih nyaman ketemu sama dia?" Ah. Aku sedikit lega. Yah, meskipun Asmara hilang ingatan, setidaknya dia masih Asmara yang sama. Yang sangat mencintaiku. Yang mungkin bisa kapan saja aku temui jika aku sedang bosan. Hahaha. Itupun kalau aku bisa bosan dengan Andira, wanita yang benar-benar aku cintai."Kan kamu yang nyuruh kita ngobrol-ngobrol. Gimana sih?" Aku menggenggam lagi kedua tangannya. Aku mengerti b
( PoV Aksara )Aku menatap tajam ke arah Andira yang tengah bersiap untuk pergi mengajar. Aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi dengannya. Segalanya tentang dia berubah. Meskipun wajah itu masih sesempurna yang dulu, namun segala tingkah lakunya, aku tak tahu itu.Ketika aku mencintainya, dia layaknya sinar mentari di pagi hari. Memberikan kehidupan. Memberikan keceriaan. Memberikan harapan.Namun tampaknya, mentari itu kini sedang terik-teriknya. Sinarnya membuat semua yang mendekatinya akan terluka. Terbakar kesakitan."Kamu nggak merasa ada yang perlu kamu bicarakan denganku?" Aku membuka percakapan kami, yang mulai dingin semenjak dia membuatku penasaran dengan 'anak kami'. Aku tahu jika dulu, ketika kami berpisah, dia sedang hamil. Namun ketika kami bertemu kembali, hingga mungkin malam itu dia keceplosan, dia tak pernah membicarakan anak kami. Bahkan ketika aku bertanya kepadanya, dia selalu menghindar."Aku sudah pernah bilang kan, aku tak mau membahasnya." Andira menatapku t
( PoV Albert )"Aku sadar aku salah Ra. Tak seharusnya aku cemburu sama Pak Aksara." Aku mengayunkan kakiku yang tengah tersentuh ombak di tepi dermaga. Malam ini, kami berdua bersama. Mencoba memperbaiki segala yang ada. Saling berjanji untuk tak bertingkah kekanak-kanakan, apalagi cemburuan.Aku akui, aku memang benar-benar marah saat Asmara pergi dan bertemu dengan Aksara bersama Bu Dira saat itu. Aku tak tenang. Gelisah tak menentu. Namun aku tak sedang marah dengannya. Aku marah pada diriku sendiri yang dengan teganya telah membohongi Asmara tentang apa yang terjadi di antara kami saat ini. Aku marah karena keegoisanku yang membuat Asmara menjadi milikku di tengah segala musibah yang dia alami.Namun aku bisa apa? Segalanya sudah terlanjur terjadi. Mundurpun aku tak akan bisa. Aku tak siap kehilangan Asmara bahkan sebelum aku memilikinya dulu. Dan kini ketika aku sudah memilikinya, aku tak akan melepaskannya."Nggak kenapa-kenapa kok. Wajar sih kalau kamu cemburu. Kamu kan pacar a
( PoV Albert )"Bu Dira? Ngapain ke sini? Bu Dira sakit?" Aku menghampiri Bu Andira yang tengah duduk di ruang tunggu pasien di depan poliklinik Dokter Spesialis Penyakit Dalam. Wajahnya yang pucat membuatku langsung bisa menebak kalau beliau memang sedang tak sehat."Oh, Al. Kamu ngapain di sini?" Bu Andira tampak gugup setelah melihatku yang tiba-tiba muncul di hadapannya dan menyapanya."Ini, jadwal Mara check ke dokter. Dia kan masih belum pulih ingatannya Bu. Jadi ya, harus rutin tiap bulan ke sini. Itu, ruangannya di sebelah sana." Aku duduk di samping Bu Andira yang masih kosong."Oh, gitu." Jawab Bu Dira singkat. Aku menatap wajahnya yang tampak begitu tegang. Sepertinya beliau tak nyaman ada aku di dekatnya."Em, ya udah deh Bu, kalau Ibu nggak nyaman aku ada di sini, nggak apa-apa kok. Aku pergi aja ya." Aku bersiap berdiri. Ku amati lagi Bu Andira yang bahkan tak mau menatapku. Wajahnya menunduk. Aku yakin kalau beliau benar-benar sedang sakit."Al." Aku yang hampir berdiri
( PoV Albert )"Ra. Pelan-pelan dong makannya." Aku mengamati Asmara dengan begitu heran. Dia melahap semua makanan yang ada di hadapannya hanya dengan sekejap mata. Sebenarnya bukan hanya kali ini dia membuatku sedikit ragu. Semenjak kecelakaan di villa waktu itu, Asmara kadang kala terasa asing bagiku. Aku dulu mengenalnya sebagai seorang gadis yang lemah. Dia sering sekali sakit-sakitan. Dia tak tahan udara dingin. Dia juga tak suka dengan teriknya matahari. Dia bahkan tak pernah ingin keluar malam sendiri karena memang pandangan matanya yang bermasalah di malam hari. Tapi, wanita yang di hadapanku ini, sama sekali tak seperti itu."Habisnya enak sih Al." Asmara tak mengurangi kecepatannya melahap kepiting yang ada di hadapannya. Aku semakin curiga di buatnya."Jangan makan banyak-banyak Ra. Kamu inget kan dulu pernah gatal-gatal sekujur tubuh setelah makan pepes telur kepiting di rumahku?" Asmara yang aku kenal memang sangat alergi dengan seafood. Dia tak akan bisa tidur karena gat
( PoV Aksara )"Oke. Aku lihat-lihat, kenapa akting kamu jadi kaku gini ya, Sayang?" Aku menyeruput kopi hitam yang baru saja di antar oleh OB di kantorku. Hari ini ada jadwal aku bertemu dengan Mara yang sudah siap untuk melanjutkan syutingnya yang dulu tertunda. Ya, kita semua tahu, Mara baru saja kecelakaan. Dan aku juga lagi fokus sama hubungan aku dan Dira waktu itu."Hah? Maaf Pak. Sayang?" Mara yang bingung dengan panggilan yang baru saja aku lontarkan, langsung bereaksi. Dia mengernyitkan dahi tanda dia tak mengerti."Oh, sorry Ra. Salah ngomong ya aku. Maklum lah Ra, habis lembur, jadi kangen sama istri. Hehe." Aku yang juga baru menyadari jika aku sudah kelepasan, segera mencari alasan."Gitu ya Pak. Ya udah kalau Bapak capek dan kangen sama Bu Manda, ngobrolnya di tunda juga ndak apa-apa kok Pak." Mara menatapku dengan tatapan mata yang tak enak. Dia benar-benar terlihat sungkan dan menghormatiku. Seperti aku ini benar-benar hanya seorang bos baginya."Kok Manda sih?" Aku la
( PoV Andira )Pyaaarrr!Aku membanting piring berisi makanan yang sedari tadi aku bawa. Semua isinya berserakan di atas lantai. Begitupun pecahannya. Menghambur dan membaur bersama amarahku."Mau kamu apa? Mama sudah berusaha agar kamu segera sembuh Nak. Tapi kenapa kamu seakan ingin mati?" Aku putus asa. Di pojok kamar, aku terduduk. Meletakkan kedua tanganku di atas kepala. Ku remas rambut hitam panjangku yang memang sudah kusut sedari tadi. Aku tak tahu lagi harus bagaimana. Memang sudah lama matahariku tak bersinar. Namun setidaknya, aku ingin melihat pelitaku terus menyala."Mama capek Nak." Aku menangis. Entah apa yang keluar dari mataku. Air mataku serasa sudah kering. Aku sudah terlalu puas untuk menangisi hidupku. Atau mungkin aku sudah lelah menangisi semua yang selama ini aku alami."Mama pengen kamu sembuh" Aku memohon berkali-kali. Setelah sekian lama akhirnya aku melihat mata indahnya terbuka. Namun tetap saja dia tak mau bersuara. Dia tetap bertahan dalam hidupnya yang