( PoV Aksara )Aku, Aksara Bagaskara. Aku anak tunggal dari seorang pengusaha kaya terkenal di Ibu Kota. Sebenarnya bukan anak tunggal, karena orang tua ku memiliki satu anak laki-laki lagi, Kakakku. Namun entah kemana dia pergi.Saat itu aku masih terlalu muda, ketika Papa dan Kakak bertengkar. Dengan begitu arogannya, Papa akhirnya mengusir Kakak tanpa memberikannya apapun. Kakak yang memang memiliki sifat persis seperti Papa, juga tak mau meminta maaf. Dia memilih pergi dan menjadi gembel di jalanan daripada harus mengalah.Sebenarnya ada untungnya juga saat Kakak ku pergi meninggalkan rumah. Harta milik keluargaku yang tak terhitung jumlahnya jadi milikku seorang, tanpa harus aku bagi ke siapa pun. Yah, meskipun aku juga yang pada akhirnya menjadi anak satu-satunya yang harus menurut dan menjadi apapun yang Papa dan Mama mau.Tak apalah. Aku memang sudah tak punya arah dan tujuan semenjak aku lulus dari SMA. Hidupku saat itu sedang berada di titik terendah. Aku kehilangan seseorang
( PoV Aksara )"A... A... Asmara?" Aku bagaikan di hantam ribuan bom atom saat aku melihat sosok Asmara, mantan kekasihku yang beberapa saat lalu aku tinggalkan. Aku gugup. Aku tak tahu lagi harus apa. Aku merasa bersalah kepadanya. Dia yang tulus mencintaiku, harus menanggung segalanya."Bapak apa kabar?" Dia menyapaku dengan begitu lembut. Dan hangat. Aku sedikit mengernyitkan dahi. Apa yang terjadi kepadanya? Mengapa dia begitu sopan kepadaku? Kita hanya berdua saja di ruang kerjaku saat ini. Tapi kenapa dia tak marah kepadaku atas apa yang telah aku lakukan kepadanya? Apakah ada rahasia di balik sikapnya ini? Atau mungkinkah ada rencana yang sudah ia susun dengan matang untuk membalasku? Membalas kepergianku yang tiba-tiba."Kamu jangan main-main Mara! Buat apa kamu ke sini?" Aku menghampirinya. Menggenggam kedua lengannya. Aku benar-benar tak menyangka jika Asmara berani datang ke rumahku, di saat kedua istriku ada di rumah.Ya! Aku resmi memliki dua istri. Rumit! Tapi memang inil
( PoV Aksara )'Gubrakkk!'Deg! Suara apa itu? Suara keras yang terdengar di saat aku sedang ngobrol berdua bersama dengan Asmara di ruang kerja ku."Jangan-jangan Andira ngamuk lagi." Aku gelagapan. Pasalnya, sudah lebih dari satu jam, aku dan Asmara berduaan. Dan Amanda belum tahu tentang hubunganku dengan Asmara dulu. Jadi pasti, Andira lah yang pasti akan cemburu melihatku bersama dengan Asmara."Kenapa Bu Andira harus ngamuk Pak?" Asmara yang aku tahu sedang amnesia saat ini, begitu kebingungan. Dia jelas tak mengerti. Karena sampai saat ini pun dia tak tahu kalau kita pernah punya hubungan istimewa dulu. Di luar hubungan pekerjaan."Ya... Em... Mungkin aja dia cemburu sama kamu yang udah lumayan lama di sini sama saya?" Ya! Ini bukan alasan. Mungkin saja memang seperti itu kenyataannya. Andira cemburu.Ah. Rasanya bahagia sekali. Aku punya dua istri yang cantik. Dan gadis remaja yang ada di hadapanku kini pun, pasti tak akan menolakku jika aku mengajaknya berkencan. Asal saja ing
( PoV Aksara )"Kamu kenapa sih? Ada Asmara di sini. Kenapa marah-marah?" Aku duduk di sisi Andira. Dia terdiam di tepi tempat tidur, masih dengan tatapannya yang penuh amarah. Ku coba menenangkannya. Ku genggam kedua tangannya yang bergetar."Asmara mu udah mati! Dia yang ada di sini, bukan Asmara." Andira menepis tanganku. Dia berdiri dan melihatku dengan sorot mata tajam. Aku mengernyitkan dahi. Aku tak mengerti."Maksud kamu?" Aku pun berdiri. Menatap lekat matanya, menuntut jawaban."Kamu nggak lihat? Dia bahkan nggak ngenalin kamu. Kamu masih berharap sama dia? Ngobrol lama? Masih nyaman ketemu sama dia?" Ah. Aku sedikit lega. Yah, meskipun Asmara hilang ingatan, setidaknya dia masih Asmara yang sama. Yang sangat mencintaiku. Yang mungkin bisa kapan saja aku temui jika aku sedang bosan. Hahaha. Itupun kalau aku bisa bosan dengan Andira, wanita yang benar-benar aku cintai."Kan kamu yang nyuruh kita ngobrol-ngobrol. Gimana sih?" Aku menggenggam lagi kedua tangannya. Aku mengerti b
( PoV Aksara )Aku menatap tajam ke arah Andira yang tengah bersiap untuk pergi mengajar. Aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi dengannya. Segalanya tentang dia berubah. Meskipun wajah itu masih sesempurna yang dulu, namun segala tingkah lakunya, aku tak tahu itu.Ketika aku mencintainya, dia layaknya sinar mentari di pagi hari. Memberikan kehidupan. Memberikan keceriaan. Memberikan harapan.Namun tampaknya, mentari itu kini sedang terik-teriknya. Sinarnya membuat semua yang mendekatinya akan terluka. Terbakar kesakitan."Kamu nggak merasa ada yang perlu kamu bicarakan denganku?" Aku membuka percakapan kami, yang mulai dingin semenjak dia membuatku penasaran dengan 'anak kami'. Aku tahu jika dulu, ketika kami berpisah, dia sedang hamil. Namun ketika kami bertemu kembali, hingga mungkin malam itu dia keceplosan, dia tak pernah membicarakan anak kami. Bahkan ketika aku bertanya kepadanya, dia selalu menghindar."Aku sudah pernah bilang kan, aku tak mau membahasnya." Andira menatapku t
( PoV Albert )"Aku sadar aku salah Ra. Tak seharusnya aku cemburu sama Pak Aksara." Aku mengayunkan kakiku yang tengah tersentuh ombak di tepi dermaga. Malam ini, kami berdua bersama. Mencoba memperbaiki segala yang ada. Saling berjanji untuk tak bertingkah kekanak-kanakan, apalagi cemburuan.Aku akui, aku memang benar-benar marah saat Asmara pergi dan bertemu dengan Aksara bersama Bu Dira saat itu. Aku tak tenang. Gelisah tak menentu. Namun aku tak sedang marah dengannya. Aku marah pada diriku sendiri yang dengan teganya telah membohongi Asmara tentang apa yang terjadi di antara kami saat ini. Aku marah karena keegoisanku yang membuat Asmara menjadi milikku di tengah segala musibah yang dia alami.Namun aku bisa apa? Segalanya sudah terlanjur terjadi. Mundurpun aku tak akan bisa. Aku tak siap kehilangan Asmara bahkan sebelum aku memilikinya dulu. Dan kini ketika aku sudah memilikinya, aku tak akan melepaskannya."Nggak kenapa-kenapa kok. Wajar sih kalau kamu cemburu. Kamu kan pacar a
( PoV Albert )"Bu Dira? Ngapain ke sini? Bu Dira sakit?" Aku menghampiri Bu Andira yang tengah duduk di ruang tunggu pasien di depan poliklinik Dokter Spesialis Penyakit Dalam. Wajahnya yang pucat membuatku langsung bisa menebak kalau beliau memang sedang tak sehat."Oh, Al. Kamu ngapain di sini?" Bu Andira tampak gugup setelah melihatku yang tiba-tiba muncul di hadapannya dan menyapanya."Ini, jadwal Mara check ke dokter. Dia kan masih belum pulih ingatannya Bu. Jadi ya, harus rutin tiap bulan ke sini. Itu, ruangannya di sebelah sana." Aku duduk di samping Bu Andira yang masih kosong."Oh, gitu." Jawab Bu Dira singkat. Aku menatap wajahnya yang tampak begitu tegang. Sepertinya beliau tak nyaman ada aku di dekatnya."Em, ya udah deh Bu, kalau Ibu nggak nyaman aku ada di sini, nggak apa-apa kok. Aku pergi aja ya." Aku bersiap berdiri. Ku amati lagi Bu Andira yang bahkan tak mau menatapku. Wajahnya menunduk. Aku yakin kalau beliau benar-benar sedang sakit."Al." Aku yang hampir berdiri
( PoV Albert )"Ra. Pelan-pelan dong makannya." Aku mengamati Asmara dengan begitu heran. Dia melahap semua makanan yang ada di hadapannya hanya dengan sekejap mata. Sebenarnya bukan hanya kali ini dia membuatku sedikit ragu. Semenjak kecelakaan di villa waktu itu, Asmara kadang kala terasa asing bagiku. Aku dulu mengenalnya sebagai seorang gadis yang lemah. Dia sering sekali sakit-sakitan. Dia tak tahan udara dingin. Dia juga tak suka dengan teriknya matahari. Dia bahkan tak pernah ingin keluar malam sendiri karena memang pandangan matanya yang bermasalah di malam hari. Tapi, wanita yang di hadapanku ini, sama sekali tak seperti itu."Habisnya enak sih Al." Asmara tak mengurangi kecepatannya melahap kepiting yang ada di hadapannya. Aku semakin curiga di buatnya."Jangan makan banyak-banyak Ra. Kamu inget kan dulu pernah gatal-gatal sekujur tubuh setelah makan pepes telur kepiting di rumahku?" Asmara yang aku kenal memang sangat alergi dengan seafood. Dia tak akan bisa tidur karena gat