Dipikirannya, Pras hanya menginginkan kedamaian dalam keluarganya bersama Laurent dan Alexander. Ia tak menyangka jika saat itu pun tiba. Saat-saat di mana ia harus berurusan dengan masa lalu dan cerita sebenarnya tentang sang putra. Pras diam, termenung menatap jalanan dari dalam mobil sedan mewah yang ia kendarai. Di sebelahnya, Laurent duduk sembari berbicara tentang toko pakaian yang akan ia resmikan beberapa waktu lagi. Laurent membuka toko pakaian anak-anak, ia bekerja sama dengan para desainer muda yang baru kembali setelah menempuh sekolah fashion di luar negeri. Laurent bahkan launching merek pakaiannya sendiri.
(Percakapan dalam bahasa Indonesia pada umumnya).
"Pras, menerut kamu, apa kita bisa Import baju dari tanah air ke sini? Berapa lama kira-kira untuk sampai ke Zurich?" Laurent merepikan kunciran rambutnya. Ia menatap suaminya yang masih terdiam. Kerutan di keningnya menunjukan jika Pras sedang berkutat dengan pikirannya.
Dipikirannya, Pras hanya menginginkan kedamaian dalam keluarganya bersama Laurent dan Alexander. Ia tak menyangka jika saat itu pun tiba. Saat-saat di mana ia harus berurusan dengan masa lalu dan cerita sebenarnya tentang sang putra. Pras diam, termenung menatap jalanan dari dalam mobil sedan mewah yang ia kendarai. Di sebelahnya, Laurent duduk sembari berbicara tentang toko pakaian yang akan ia resmikan beberapa waktu lagi. Laurent membuka toko pakaian anak-anak, ia bekerja sama dengan para desainer muda yang baru kembali setelah menempuh sekolah fashion di luar negeri. Laurent bahkan launching merek pakaiannya sendiri.(Percakapan dalam bahasa Indonesia pada umumnya)."Pras, menerut kamu, apa kita bisa Import baju dari tanah air ke sini? Berapa lama kira-kira untuk sampai ke Zurich?" Laurent merepikan kunciran rambutnya. Ia menatap suaminya yang masih terdiam. Kerutan di keningnya menunjukan jika Pras sedang berkutat dengan pikirannya."Sa
(Percakapan sesungguhnya dengan bahasa Inggris)Derap langkah tegap dari terdengar dari suara sepatu yang bertemu dengan lantai marmer area perkantoran itu. Dengan kedua tangan dimasukan ke saku celana bahan yang tampak licin dan juga mahal, Fausto melangkah pasti menuju ke arah lift yang akan membawanya ke kantor pemilik gedung itu. Hari itu ia sengaja merapikan penampilannya, rambut klimis, kumis tipis yang mulai tumbuh, dengan bulu-bulu halus yang juga mulai menutupi area dagunya, ia biarkan tak dirapikan, sengaja, ia ingin membuat kesal lain. Kesehariannya, Fausto tak seperti itu, ia akan lebih senang memakai celana jeans hitam, kemeja pres body atau, kaos yang di balut jaket kulit.Di belakangnya, ada tiga orang berpakaian rapi yang mengawalnya, mereka bukan orang yang Fausto ajak dari Itali, tapi Pras yang meminta anak buahnya mengawal Fausto. Dua hari lalu, setelah akhirnya ia dan Laurent membuat rencana itu, Pras menghubungi Faus
Kedua mata Alex menatap tajam ke Fausto yang berdiri di dekat meja makan. Lirikan sinis juga tunjukan ke Pras. Suami Laurent itu berusaha tampak santai dan tersenyum melihat anaknya walau jelas, hatinya berdebar tak karuan karena ia mengajak pria yang mengirimi Alex surat dengan isi yang menerangkan jika ia tak mau bertemu Alex dan segera pergi meninggalkan kota Roma, Itali."Permisi," ucap Alex. Namun panggilan Laurent membuatnya berhenti, ia menoleh. "Mom, please."Alex memohon, wajahnya begitu tak karuan. Kare rasa kesal, marah, terkejut, sedih, semua bercampur semua."Mandi lah, 'nak, kami akan menunggumu di sini." Pinta Laurent. Alex mengangguk sangat pelan, ia berjalan lagi tanpa melirik atau menoleh ke Fausto yang melirik sosok pemuda yang mirip sekali dengannya. Ia memejamkan mata saat Alex cuek berjalan melewatinya."Mom, Dad, Sir, Lily menyusul Alex sebentar, hanya... sebentar." Lily berlari, Alex sudah berada di depan p
Lily begitu terkejut saat mendengar ucapan Alex yang seperti itu. Tak mau merebut wanita yang disukai sahabatnya sendiri.Seperti itu inti ucapan Alex. Lily tertawamiris, ia menunduk lalu beranjak menyusul Alex ke parkiran mobil. Lily tak peduli Alex menawarkannya minuman bahakn makan malam lagi. Moodnya hancur berantakan karena ucapan pemuda itu. Ia beralasan ingin cepat pulang dan beristirahat, karena esok masih hari sekolah."Kau marah, Ly?" lirik Alex saat mereka masih berkendara untuk kembali ke rumah besar milik Pras."Tidak, aku hanya lelah, Lex. Bisa lebih cepat, aku mengantuk." Alasan Lily jelas, karena jam sudah menunjukan pukul 10 malam. Lily terus menunduk, sesekali menatap ke arah kiri, jalanan malam hari tampak sepi, sama seperti hatinya yang mendadak hampa setelah mendengar ucapan Alex."Menurutmu bagaimana, Ly, jika aku mendekati anak walikota lagi? Apa Mommy akan kembali mengejarku dengan sapu, atau centong sayur?
Sejak pagi wanita itu sudah duduk di ruang kerjanya, ia tak sekantor dengan suaminya, tapi ia berada di toko pakaian yang baru saja ia buka usaha tersebut. Wanita berambut cokelat keemasan itu bertopang dagu seraya termenung memikirkan putranya yang ia takutkan akan menuruni sifat ayah kandungnya – Fausto – yang jalan hidupnya cukup menyeramkan. Terlibat dengan dunia hitam, juga dalam hal asmara tak mulut. Laurent berdecak pelan, ia menghela napas dengan terus menatap layar komputernya yang menampilak wajah Alexander, ia dan Pras.“Kamu mau menyiksa batin Ibumu, Lex?” Laurent mendengkus. Pintu ruang kerjanya diketuk seseorang. Tampak seorang karyawannya masuk untuk menyerahkan map laporan kegiatan mingguan mereka. Laurent akan gencar melakukan promosi, bahkan hingga terjun melakukan penjualan di toko.(Percakapan sesungguhnya dengan bahasa Jerman)“Mrs. Laurent, untuk kerja sama dengan mall besar, apa jadi? Aku akan mengurusnya ke s
Laurent dan Pras bergelung di dalam selimut, keduanya masih saja begitu panas saat saling melayani urusan ranjang, seolah tak kenal umur, keduanya masih begitu menggebu. Laurent mengusap wajah suaminya yang mengkungkung dirinya, keduanya tersenyum. “Tenagamu sungguh luar biasa, Daddy Pras,” ledek Laurent mengedipkan sebelah matanya. Pras tertawa, ia menciumi wajah istrinya itu tanpa jeda, membuat Laurent tertawa geli. “Aku selalu menjaga kesehatanku, bukan, vitamin semua olahraga itu membuat staminaku prima,” jawab Pras sombong. Laurent berdecak. “Cek jantungmu besok, bukankah kau harus pasang 1 ring. Jangan kira aku lupa, ya, Pras.” Laurent mengingatkan suaminya itu. Pras menindih tubuh telanjang istrinya, memeluk lalu menenggelamkan wajahnya di dada Laurent. “Jangan ingatkan aku, Rent, aku seperti mau mati saja,” tukas Pras. “Jangan lupa bawa aku jika kau ingin mati, ya, kita berjanji akan bersama selamanya, bukan?” Jemari lentik Laurent men
Mereka hanya saling menatap, tanpa tak ada suara apa pun dari keduanya. Bukannya marahan atau kesal, tapi hanya rasa canggung setelah lama tak dekat. Lily diam, menunduk melihat lukanya yang dibalur perban dengan plester, jelas luka itu menganga dan berdarah, ia meringis, melirik Alexander yang ternyata menatapnya.“Kenapa pergi dari rumah tidak memberitahuku, apa kamu tak menganggapku?” pemuda itu merapikan kotak obat yang mendadak ia beli tadi dan kembali ia masukan ke dalam kantong pelastik.“Kau sibuk, aku sudah bilang dengan Daddy dan Mommy, aku rasa itu cuk—““Jessie kekasihku. Aku ingin memberi taumu hal itu.” Lalu Alex beranjak, berjalan ke luar minimarket tanpa menoleh lagi ke Lily. Gadis itu menunduk, memang jelas sia-sia mengharapkan sesuatu yang tak akan pernah bisa ia miliki, bahkan sekedar menggapainya juga terasa sulit. Lily beranjak, memakai rompi pegawai minimarket, menyimpan tas sekolah di loker ruang g
Semalam, saat Andreas menceritakan semuanya ke Alexander, pemuda itu merasakan sesal karena membentak wanita yang sudah membesarkan dirinya dengan penuh kasih sayang. Ia berdiri di depan cermin, bersiap ke sekolah, namun ia tak mendengar suara apa pun dari luar kamar, hingga ia keluar, tak mendapati hingar bingar pagi hari seperti biasanya. Di dalam lubuk hatinya, ia masih marah karena fakta tentang Laurent Margareth – mommyny – yang hidup dengan masa lalu tak mengenakan.Rumah tampak sepi, Alex memutuskan pergi ke sekolah, entah ke mana semua penghuni rumahnya saat itu. Dengan menyugar rambutnya, ia mencoba berpenampilan tampak biasa dengan wajah yang ia paksakan tersenyum. Rasa hatinya tak karuan, karena fakta dalam hidupnya perlahan muncul. Mobil masuk ke area parkiran sekolah, setelah memarkirkan di tempat biasa, ia segera turun lalu tampak Jessie berjalan cepat menghampiri.“Jangan ke dalam Alex, jangan sekolah hari ini. Pergi Alex,” pinta
“Bagaimana kondisinya?” tampak Pras dan Alex berbicara dengan tatapan serius. Suami Lily itu mengusap kasar wajahnya, lalu menatap ke satu titik yang sejak awal kedua pria itu berada di sana, menjadi pusat perhatiannya. “Entahlah, Dad, bagaimana menurutmu. Aku harus apa menghadapi ini semua?” Alex justru balik bertanya. Pras terus berpikir keras, hingga pintu itu terbuka, menampakkan Laurent yang menatap penuh rasa bahagia. “KETIGANYA SUDAH LAHIR! Cucu kita sudah lahir, Pras!” teriak Laurent yang menemani Lily menjalani operasi sesar. Alex menunduk, perlahan terdengar isakan tangis penuh rasa haru juga bahagia. Pras memeluk putranya itu. “Aku sudah menjadi Ayah, Dad!” teriak Alex begitu bangga dengan dirinya. Laurent kembali masuk ke dalam ruang operasi. Derap langkah Fausto dan Belinda terdengar. “Sudah lahir?” tanya Belinda sembari menggendong putra keduanya. Alex beranjak. “Ayah! Ibu!” Alex berjalan mendekat, memeluk Fausto erat, berganti k
Satu bulan berlalu. Alex dan Lily sudah tinggal di apartemen yang mereka sewa di tengah kota Roma. Mereka tak henti saling meluapkan rasa cinta dan sayang. Lily tak mau menikmati fasilitas yang ditawarkan Fausto, seperti mencuci pakaian di laundry, makanan selalu dikirim oleh pelayan dari rumah utama Fausto di Roma yang jaraknya tak jauh dari apartemen mereka, juga mobil mewah yang disediakan juga. Keduanya menolak kompak. Tapi, jelas, Fausto tak menuruti begitu saja. Para pengawal terus berjaga walau dengan jarak yang cukup jauh, bagaimana pun, keduanya adalah keluarga Fausto, siapa yang tak tau.Kehamilan Belinda sudah menginjak bulan ke tujuh, jenis kelamin bayi dikandungnya, laki-laki. Alex loncat-loncat saking senangnya akan mendapatkan adik laki-laki. Kado ulang tahun Alexander terbaik dari kedua orang tua kandungnya, sementara Pras dan Laurent, sibuk mengelola perkebunan anggur mereka, Edmon ikut repot karena Pras meminta dibuatkan system keamanan juga mengatur para pe
Gaun panjang berwarna putih tulang, dengan bahan satin berpadu lace yang memberikan efek klasik menyesuaikan lekuk tubuh pemakaianya, tampak indah saat dikenakan Lily yang berdiri di ujung pintu gereja, merangkul lengan sang ayah – Edmon – yang tampak beberapa kali harus mengatur napas juga air mata yang beberapa kali keluar dari sudut matanya. Putri cantiknya tampak berdebar mana kala menunggu pintu itu terbuka dan mereka berdua akan berjalan masuk menuju altar dengan karpet merah yang membentang hingga ke hadapan pendeta.Edmon menatap sekali lagi putrinya yang mendongak membals tatapannya, kerudung panjang berwarna senada menjuntai panjang menutupi kepala hingga seluruh bagian tubuh belakang Lily, hanya menyisakan sebagian rambut cokelat indahnya yang di tata begitu rapi tanpa menghilangkan kesan usianya yang sebentar lagi baru tujuh belas tahun.“Aku sudah cantik, Ayah? Tidak buruk riasannya, bukan?” tanya Lily menatap sang sayah.&ld
“Lalu… apa Tuan Pras sungguh rela melepaskan apa yang sudah dikerjakan selama puluhan tahun ini dan memilih untuk berada di sini, di negara baru, juga merintis bisnis barunya?” tanya seorang reporter pria saat Pras diundang ke salah satu acara TV Show tentang bisnis dan karir cemerlang para pengusaha, yang ada di kota Roma, Italia.Pras tersenyum sejenak sebelum menjawab pertanyaan itu, ia mencoba merangkai kalimat sesederhana mungkin supaya akan sampai pesan yang ia maksud. Ia melirik ke istri cantiknya yang duduk di kursi penonton, studio itu besar, dan Pras cukup bangga bisa berada di acara TV dengan rating tinggi itu.“Ya, saya tidak perlu meragukan apa pun lagi untuk melepaskan semua yang saya peroleh di Swiss, sudah cukup untuk kami, saya dan istri saya berkutat dengan bisnis yang sangat menyita waktu. Usia kami tak muda lagi, kami pun sadar, ternyata, terlalu giat mencari uang dan mengumpulkan kekayaan, akan percuma jika waktu bersama ke
“Aku lebih suka gaun yang ini, Ly, kau akan kenakan saat resepsi nanti, bukan?” tunjuk Jessie kepada gaun peseta berwarna champange kepada Lily saat keduanya berada di salah satu butik terkenal di kota Zurich. Laurent sudah menghubungi rekannya, jika calon menantunya sedang mencari gaun untuk pesta resepsi pernikahan.“Apa tidak terlalu terang untuk acara malam hari, Jes?” Lily menatap lekat gaun yang masih berada di manekin.“Tidak, warna ini sedang populer. Alex juga akan terlihat tampan dengan warna jas senada dengan gaun ini, lalu dikombinasi kemeja warna putih. Kalian berdua akan shinning di malam hari, Ly.” Tukas Jessie kemudian. Lily menimbang-nimbang, ia masih mencari warna lain.“Bagaimana dengan warna merah terang?” tanyanya. Jessie menggelengkan kepala.“Kau memang akan menjadi pusat perhatian, tapi… entahlah, mengapa aku merasa warna itu pasaran ya,” kelakar Jess
Suara teriakan bahagia terdengar di kantin mana kala mereka melihat Lily dan Alexander yang berjalan begitu mesra. Mereka kembali ke sekolah setelah Pras dan Laurent mengurus tentang menghilangnya mereka beberapa bulan belakangan. Keduanya di tuntut mengerjakan tugas sekolah yang menumpuk, juga mempelajari materi sebelum ujian kelulusan.“Aku terkejut saat tau Dre meninggal, Lex? Bagaimana bisa ia kecelakaan motor dan terjatuh, Dre pengendara motor yang hebat, bukan?” tanya Jessie yang kini berubah berdandan natural, duduk di hadapan pasangan itu.“Ya, begitulah, musibah,” jawab Alex santai. Jessie mengangguk. Ia menatap Lily, lalu melirik ke cincin yang Alex berikan untuk Lily.“Mmm… kapan kalian akan meresmikannya? Aku tidak sabar untuk hadir di pemberkatan kalian,” ledek Jessie.“Kau tidak cemburu?” celetuk Alex lalu mendapat cubitan kecil di pinggangnya dari Lily. Jessie tertawa.“Lex
Jemari tangan Pras membelai lembut punggung mulus istrinya, lalu mencium lama di sana, memeluk erat lalu kembali ia raba dengan jemari tangannya. Laurent berbalik badan, menghadap suaminya yang tak tampak tua di matanya, mengusap rahang tegas Pras lalu menarik wajah itu mendekat ke bibir Laurent. Wanita itu mengecup lama, lalu menatap.“Kali ini, apa yang mau kita lakuin, Pras, aku lelah jika terus mengejar materi dan hidup bergelimang harta.” Jemari Laurent bermain di surai Pras, pria itu tersenyum, memejamkan mata, meresapi buaian Laurent yang selalu menghanyutkannya.“Kita rintis bisnis anggur milik kita sendiri.” Pras mengerlingkan mata. Laurent menganga.“Kerja lagi?! Pras!” protes Laurent. Pras tertawa, ia merangkak ke atas Laurent lagi, keduanya masih bertelanjang bulat setelah perang di atas ranjang sejak tiga jam lalu.Laurent melenguh panjang, bibirnya terbuka dan dadanya membusung. Pras memasukan senjatanya l
Alex membuka mata, di tatapnya wajah teduh Lily yang masih tertidur di sampingnya. Alex mendekatkan wajahnya, mencium kening Lily yang bergeliat pelan. Perlahan, pemuda itu beranjak, membiarkan Lily yang masih terlelap. Tak lupa ia memakai kembali kaos dan celana jeansnya dengan pelan. Ia merasakan nyeri di kaki kirinya itu. Setelah siap, ia bergegas keluar dari dalam kamar. Tak lupa tersenyum saat kembali menutup pintu kamar kekasihnya itu. “Pagi, Ayah, Ibu…” sapa Alex yang langsung duduk di kursi meja makan.” “Pagi, ‘nak, mandi dulu. Kamarmu sebelah sana,” tunjuk Belinda ke arah Barat lantai dua. “Nanti setelah makan, aku lapar, Bu,” ucap Alex seraya meminum kopi di cangkir. “Jangan manja. Kau akan menjadi Kakak tidak lama lagi,” celoteh Fausto. Alex diam, tak lama setelah mencerna ucapan ayahnya, ia membelalakan mata. “Ibu… hamil? Mengandung Adikku?!” Ibu!” Alex berdiri, ia menganga lalu memeluk Belinda. “Selamat Ibu, aku bahagia me
Lily bersiap untuk tidur, ia menutup pintu kaca balkon kamarnya, lalu tirai renda putih ia rapatkan juga.“Maaf…” Lily terkejut, lengan kekar itu melingkat di pinggangnya, membuat ia mau tak mau memejamkan kedua matanya. Perlahan, Lily melepaskan pelukan itu, lalu berjalan keluar pintu, ia membuka lebar lalu mengusir Alex dengan tatapan dan tangannya yang meminta Alex keluar. Pemuda itu menggelengkan kepala, ia bersedekap, bersandar di pintu lemari pakaian Lily dengan langkah terpincang. Lily diam, hatinya kembali seperti di remas, namun ia juga marah dengan pemuda tampan itu, walau bekas luka masih tampak di wajahnya. Hanya luka lecet.“Keluar, aku mau tidur.” Ucap Lily ketus. Alex menggeleng lagi. “Terserah.” Ketus Lily sembari beranjak ke atas ranjang, merebahkan tubuhnya ke posisi kanan, menghadap dinding, memunggungi Alex.“Aku merindukanmu, Sayang,” suara itu terdengar, Lily masih diam, ia masa bodoh.