Dre bertopang dagu, menatap wajah cantik Lily yang sedang menikmati es krim gelato di salah satu cafe yang ada di daerah ramai kota Roma. Senyum terus mengembang di wajah Dre. "Ly, apa kamu tidak mau mencari keberadaan kedua orang tuamu?" pertanyaan mendadak Dre membuat Lyly terdiam seketika dengan masih menggigit sendok es krim. Ia tersenyum sambil menggelengkan kepala.
"Kenapa?" tanya Dre lagi.
"Mereka sepertinya memang tidak mau mencariku, atau mungkin menginginkanku, Dre," jawab Lily kemudian.
"Setidaknya kau tau kondisi mereka sekarang," lanjut Dre. Lily kembali menggelengkan kepala.
"Aku tidak mau menambah beban pikiranku, Dre. Tak apa," lanjutnya. Dre menghela napas, tatapannya beralih ke arah Alex yang berjalan mendekat ke arah meja yang mereka tempati. Wajahnya menunjukan guratan sedih, tapi berusaha Alex tutupi walau Dre menyadari hal itu.
Ia menarik kursi dan duduk di sebelah Lily, Dre menunduk lalu beranjak
Dipikirannya, Pras hanya menginginkan kedamaian dalam keluarganya bersama Laurent dan Alexander. Ia tak menyangka jika saat itu pun tiba. Saat-saat di mana ia harus berurusan dengan masa lalu dan cerita sebenarnya tentang sang putra. Pras diam, termenung menatap jalanan dari dalam mobil sedan mewah yang ia kendarai. Di sebelahnya, Laurent duduk sembari berbicara tentang toko pakaian yang akan ia resmikan beberapa waktu lagi. Laurent membuka toko pakaian anak-anak, ia bekerja sama dengan para desainer muda yang baru kembali setelah menempuh sekolah fashion di luar negeri. Laurent bahkan launching merek pakaiannya sendiri. (Percakapan dalam bahasa Indonesia pada umumnya). "Pras, menerut kamu, apa kita bisa Import baju dari tanah air ke sini? Berapa lama kira-kira untuk sampai ke Zurich?" Laurent merepikan kunciran rambutnya. Ia menatap suaminya yang masih terdiam. Kerutan di keningnya menunjukan jika Pras sedang berkutat dengan pikirannya.
Dipikirannya, Pras hanya menginginkan kedamaian dalam keluarganya bersama Laurent dan Alexander. Ia tak menyangka jika saat itu pun tiba. Saat-saat di mana ia harus berurusan dengan masa lalu dan cerita sebenarnya tentang sang putra. Pras diam, termenung menatap jalanan dari dalam mobil sedan mewah yang ia kendarai. Di sebelahnya, Laurent duduk sembari berbicara tentang toko pakaian yang akan ia resmikan beberapa waktu lagi. Laurent membuka toko pakaian anak-anak, ia bekerja sama dengan para desainer muda yang baru kembali setelah menempuh sekolah fashion di luar negeri. Laurent bahkan launching merek pakaiannya sendiri.(Percakapan dalam bahasa Indonesia pada umumnya)."Pras, menerut kamu, apa kita bisa Import baju dari tanah air ke sini? Berapa lama kira-kira untuk sampai ke Zurich?" Laurent merepikan kunciran rambutnya. Ia menatap suaminya yang masih terdiam. Kerutan di keningnya menunjukan jika Pras sedang berkutat dengan pikirannya."Sa
(Percakapan sesungguhnya dengan bahasa Inggris)Derap langkah tegap dari terdengar dari suara sepatu yang bertemu dengan lantai marmer area perkantoran itu. Dengan kedua tangan dimasukan ke saku celana bahan yang tampak licin dan juga mahal, Fausto melangkah pasti menuju ke arah lift yang akan membawanya ke kantor pemilik gedung itu. Hari itu ia sengaja merapikan penampilannya, rambut klimis, kumis tipis yang mulai tumbuh, dengan bulu-bulu halus yang juga mulai menutupi area dagunya, ia biarkan tak dirapikan, sengaja, ia ingin membuat kesal lain. Kesehariannya, Fausto tak seperti itu, ia akan lebih senang memakai celana jeans hitam, kemeja pres body atau, kaos yang di balut jaket kulit.Di belakangnya, ada tiga orang berpakaian rapi yang mengawalnya, mereka bukan orang yang Fausto ajak dari Itali, tapi Pras yang meminta anak buahnya mengawal Fausto. Dua hari lalu, setelah akhirnya ia dan Laurent membuat rencana itu, Pras menghubungi Faus
Kedua mata Alex menatap tajam ke Fausto yang berdiri di dekat meja makan. Lirikan sinis juga tunjukan ke Pras. Suami Laurent itu berusaha tampak santai dan tersenyum melihat anaknya walau jelas, hatinya berdebar tak karuan karena ia mengajak pria yang mengirimi Alex surat dengan isi yang menerangkan jika ia tak mau bertemu Alex dan segera pergi meninggalkan kota Roma, Itali."Permisi," ucap Alex. Namun panggilan Laurent membuatnya berhenti, ia menoleh. "Mom, please."Alex memohon, wajahnya begitu tak karuan. Kare rasa kesal, marah, terkejut, sedih, semua bercampur semua."Mandi lah, 'nak, kami akan menunggumu di sini." Pinta Laurent. Alex mengangguk sangat pelan, ia berjalan lagi tanpa melirik atau menoleh ke Fausto yang melirik sosok pemuda yang mirip sekali dengannya. Ia memejamkan mata saat Alex cuek berjalan melewatinya."Mom, Dad, Sir, Lily menyusul Alex sebentar, hanya... sebentar." Lily berlari, Alex sudah berada di depan p
Lily begitu terkejut saat mendengar ucapan Alex yang seperti itu. Tak mau merebut wanita yang disukai sahabatnya sendiri.Seperti itu inti ucapan Alex. Lily tertawamiris, ia menunduk lalu beranjak menyusul Alex ke parkiran mobil. Lily tak peduli Alex menawarkannya minuman bahakn makan malam lagi. Moodnya hancur berantakan karena ucapan pemuda itu. Ia beralasan ingin cepat pulang dan beristirahat, karena esok masih hari sekolah."Kau marah, Ly?" lirik Alex saat mereka masih berkendara untuk kembali ke rumah besar milik Pras."Tidak, aku hanya lelah, Lex. Bisa lebih cepat, aku mengantuk." Alasan Lily jelas, karena jam sudah menunjukan pukul 10 malam. Lily terus menunduk, sesekali menatap ke arah kiri, jalanan malam hari tampak sepi, sama seperti hatinya yang mendadak hampa setelah mendengar ucapan Alex."Menurutmu bagaimana, Ly, jika aku mendekati anak walikota lagi? Apa Mommy akan kembali mengejarku dengan sapu, atau centong sayur?
Sejak pagi wanita itu sudah duduk di ruang kerjanya, ia tak sekantor dengan suaminya, tapi ia berada di toko pakaian yang baru saja ia buka usaha tersebut. Wanita berambut cokelat keemasan itu bertopang dagu seraya termenung memikirkan putranya yang ia takutkan akan menuruni sifat ayah kandungnya – Fausto – yang jalan hidupnya cukup menyeramkan. Terlibat dengan dunia hitam, juga dalam hal asmara tak mulut. Laurent berdecak pelan, ia menghela napas dengan terus menatap layar komputernya yang menampilak wajah Alexander, ia dan Pras.“Kamu mau menyiksa batin Ibumu, Lex?” Laurent mendengkus. Pintu ruang kerjanya diketuk seseorang. Tampak seorang karyawannya masuk untuk menyerahkan map laporan kegiatan mingguan mereka. Laurent akan gencar melakukan promosi, bahkan hingga terjun melakukan penjualan di toko.(Percakapan sesungguhnya dengan bahasa Jerman)“Mrs. Laurent, untuk kerja sama dengan mall besar, apa jadi? Aku akan mengurusnya ke s
Laurent dan Pras bergelung di dalam selimut, keduanya masih saja begitu panas saat saling melayani urusan ranjang, seolah tak kenal umur, keduanya masih begitu menggebu. Laurent mengusap wajah suaminya yang mengkungkung dirinya, keduanya tersenyum. “Tenagamu sungguh luar biasa, Daddy Pras,” ledek Laurent mengedipkan sebelah matanya. Pras tertawa, ia menciumi wajah istrinya itu tanpa jeda, membuat Laurent tertawa geli. “Aku selalu menjaga kesehatanku, bukan, vitamin semua olahraga itu membuat staminaku prima,” jawab Pras sombong. Laurent berdecak. “Cek jantungmu besok, bukankah kau harus pasang 1 ring. Jangan kira aku lupa, ya, Pras.” Laurent mengingatkan suaminya itu. Pras menindih tubuh telanjang istrinya, memeluk lalu menenggelamkan wajahnya di dada Laurent. “Jangan ingatkan aku, Rent, aku seperti mau mati saja,” tukas Pras. “Jangan lupa bawa aku jika kau ingin mati, ya, kita berjanji akan bersama selamanya, bukan?” Jemari lentik Laurent men
Mereka hanya saling menatap, tanpa tak ada suara apa pun dari keduanya. Bukannya marahan atau kesal, tapi hanya rasa canggung setelah lama tak dekat. Lily diam, menunduk melihat lukanya yang dibalur perban dengan plester, jelas luka itu menganga dan berdarah, ia meringis, melirik Alexander yang ternyata menatapnya.“Kenapa pergi dari rumah tidak memberitahuku, apa kamu tak menganggapku?” pemuda itu merapikan kotak obat yang mendadak ia beli tadi dan kembali ia masukan ke dalam kantong pelastik.“Kau sibuk, aku sudah bilang dengan Daddy dan Mommy, aku rasa itu cuk—““Jessie kekasihku. Aku ingin memberi taumu hal itu.” Lalu Alex beranjak, berjalan ke luar minimarket tanpa menoleh lagi ke Lily. Gadis itu menunduk, memang jelas sia-sia mengharapkan sesuatu yang tak akan pernah bisa ia miliki, bahkan sekedar menggapainya juga terasa sulit. Lily beranjak, memakai rompi pegawai minimarket, menyimpan tas sekolah di loker ruang g