Laurent dan Pras bergelung di dalam selimut, keduanya masih saja begitu panas saat saling melayani urusan ranjang, seolah tak kenal umur, keduanya masih begitu menggebu. Laurent mengusap wajah suaminya yang mengkungkung dirinya, keduanya tersenyum.
“Tenagamu sungguh luar biasa, Daddy Pras,” ledek Laurent mengedipkan sebelah matanya. Pras tertawa, ia menciumi wajah istrinya itu tanpa jeda, membuat Laurent tertawa geli.
“Aku selalu menjaga kesehatanku, bukan, vitamin semua olahraga itu membuat staminaku prima,” jawab Pras sombong. Laurent berdecak.
“Cek jantungmu besok, bukankah kau harus pasang 1 ring. Jangan kira aku lupa, ya, Pras.” Laurent mengingatkan suaminya itu. Pras menindih tubuh telanjang istrinya, memeluk lalu menenggelamkan wajahnya di dada Laurent.
“Jangan ingatkan aku, Rent, aku seperti mau mati saja,” tukas Pras.
“Jangan lupa bawa aku jika kau ingin mati, ya, kita berjanji akan bersama selamanya, bukan?” Jemari lentik Laurent men
Mereka hanya saling menatap, tanpa tak ada suara apa pun dari keduanya. Bukannya marahan atau kesal, tapi hanya rasa canggung setelah lama tak dekat. Lily diam, menunduk melihat lukanya yang dibalur perban dengan plester, jelas luka itu menganga dan berdarah, ia meringis, melirik Alexander yang ternyata menatapnya.“Kenapa pergi dari rumah tidak memberitahuku, apa kamu tak menganggapku?” pemuda itu merapikan kotak obat yang mendadak ia beli tadi dan kembali ia masukan ke dalam kantong pelastik.“Kau sibuk, aku sudah bilang dengan Daddy dan Mommy, aku rasa itu cuk—““Jessie kekasihku. Aku ingin memberi taumu hal itu.” Lalu Alex beranjak, berjalan ke luar minimarket tanpa menoleh lagi ke Lily. Gadis itu menunduk, memang jelas sia-sia mengharapkan sesuatu yang tak akan pernah bisa ia miliki, bahkan sekedar menggapainya juga terasa sulit. Lily beranjak, memakai rompi pegawai minimarket, menyimpan tas sekolah di loker ruang g
Semalam, saat Andreas menceritakan semuanya ke Alexander, pemuda itu merasakan sesal karena membentak wanita yang sudah membesarkan dirinya dengan penuh kasih sayang. Ia berdiri di depan cermin, bersiap ke sekolah, namun ia tak mendengar suara apa pun dari luar kamar, hingga ia keluar, tak mendapati hingar bingar pagi hari seperti biasanya. Di dalam lubuk hatinya, ia masih marah karena fakta tentang Laurent Margareth – mommyny – yang hidup dengan masa lalu tak mengenakan.Rumah tampak sepi, Alex memutuskan pergi ke sekolah, entah ke mana semua penghuni rumahnya saat itu. Dengan menyugar rambutnya, ia mencoba berpenampilan tampak biasa dengan wajah yang ia paksakan tersenyum. Rasa hatinya tak karuan, karena fakta dalam hidupnya perlahan muncul. Mobil masuk ke area parkiran sekolah, setelah memarkirkan di tempat biasa, ia segera turun lalu tampak Jessie berjalan cepat menghampiri.“Jangan ke dalam Alex, jangan sekolah hari ini. Pergi Alex,” pinta
Laurent masih tak sadarkan diri, sudah dua hari ia koma, dan Alex pun masih menolak untuk ikut bersama Fausto. Keadaan memburuk, bagi Pras. Karena media lokal menyorot tentang dirinya juga Laurent. Sementara di tanah air, berita itu sudah dianggap biasa karena dulu pernah terjadi. Masyarakat juga memaafkan, toh, hal itu urusan pribadi Laurent dan Pras.Fausto menatap Pras yang tampak lesu, ia harus konferensi pers secepatnya. Nilai saham perusahaan di sana pun anjlok, semua sibuk, ekspetasi masyarakat kepada Pras dan Laurent yang seperti malaikat baik hati berubah. Maka, tangan dingin Fausto pun bertindak. “Pras, biarkan aku membalas kebaikanmu dan Laurent untuk putraku. Ini hal sepele, walau juga penuh resiko. Aku akan menghubungi geng Loco, mau tak mau.” Kata-kata Fausto membuat Pras terkejut.“Geng Loco akan mencari dengan cepat siapa penyebar semua hal ini, sementara kau hadapi media di sini, juga orang-orang yang berbisnis denganmu. Alex akan aku
“Aku akan memenggal kepalanya!” maki Alex saat ia melihat bagaiman orang yang menghancurkan keluarganya duduk santai di kantor milik Pras. Iya, orang itu membeli saham Pras. Sial, Alex kecolongan dengan sikap santainya yang melupakan permintaan Pras untuk mulai mengelola bisnis keluarganya. Suara tembakan dengan proyektil yang berjatuhan terdengar di jalaman belakang rumah Fausto. Musim dingin tiba, tapi hawa panas selalu mendidih dan menyelimuti diri Alexander. Semalam ia terbangun kembali ditengah malam, menjerit memanggil Laurent. Hampir tiap malam ia mengalami mimpi buruk. Fausto khawatir, tapi El berkata jika kondisi itu masih aman, mental pemuda itu sedang ditempat sebelum siap tempur. El juga bercerita tentang kawan lama Pras yang juga ahli dalam hal memata-matai – Dastan – namun sayang, pria itu sedang terlibat masalah sendiri dan tak mungkin terlibat dengan masalah Pras kali ini. Fausto tak masalah, ia cukup bahagia bisa tinggal bersama putranya lagi, walau jelas, A
Edmon duduk di kursi ruang tamu apartemen sederhana miliknya. Ia memangku kotak warna cokelat, perlahan membukanya. Tampak banyak benda-benda yang lama ia simpan. Termasuk foto mendingan istri dan gadis kecil bermata yang sama dengan Lily. “Apa, kau Dasha, putriku yang hilang di culik mereka. Para penjahat itu?” jemari Edmon bergetar. Pria dengan wajah dominan Rusia itu mendadak pucat. Ia mengambil foto istrinya – Orlena – yang meninggal karena tertembak tepat di dadanya. Kepala Edmon tertunduk, ia beranjak cepat, mengambil mantel seraya memakainya dengan cepat, menyambar kunci mobil lalu bergegas meninggalkan apartemen itu menuju ke kantornya. Kantor polisi. Tak butuh waktu lama, ia sudah memarkirkan mobilnya, turun dengan cepat lalu berlari. Beberapa rekannya menatap bingung. “Opsir, apa yang terjadi?” tanya salah satu rekan. “Carikan aku berkas putriku yang hilang, Dasha Lena Edmona. Cepat!” perintahnya. Rekannya mengangguk. Edmon berdebar tak karuan, jika
Kedua mata Andreas juga istrinya terkejut melihat siapa yang mengetuk pintu rumah kayu sederhana itu. Tak percaya hingga keduanya lemas. 3 orang berdiri di sana menatap mereka, tepatnya menemukan mereka. Gemetar, itu yang keduanya rasakan.Pras memanggil Andreas, ia hanya bisa bergeming, justru 3 orang itu yang masuk ke dalam rumah menuju ke sumber suara. Derap langkahnya menimbulkan suara hentakan sepatu yang bertemu lantai kayu. Mereka tiba di ambang pintu, menatap Pras yang tak kalah terkejut dengan apa yang ia lihat. Ia pun ikut gemetar, hingga tak bisa bersuara.***Lily memeluk Edmon saat mengantarkan ia ke sekolah, semenjak pindah ke apartemen ayahnya, ia selalu tampak bahagia, walau masih bekerja di minimarket karena Lily ingin ada kegiatan, Edmon pun mengalah. Dre melihat dari jarak jauh, ia bingung, siapa Opsir itu? Akhirnya setelah Edmon pergi, Dre berjalan mendekati Lily.“Hei,” sapa Lily saat melihat Dre yang langsung memeluknya.
Senyum tak pergi dari wajah cantik Lily, selepas pulang sekolah dan berjalan keluar area bangunan itu, Lily sudah melihat mobil partoli plisi yang biasa digunakan Edmon terparkir di halaman sekolah. Lily berlari kecil menghampiri sang ayah. Ia seperti anak kecil, dan Edmon juga merasa bahagia menyambut putrinya yang tumbuh menjadi gadis cantik dan anggun seperti mendiang istrinya.“Bagaimana sekolah mu, Ly?” tanya Edmon sembari meletakkan tas di jok belakang sementara Lily sudah duduk di dalam mobil, melongokkan kepala ke jendela yang ia buka.“Baik, dan manis. Ayah bagaimana?” tanyanya balik. Edmon menaruh satu tangan di atas mobil kemudian mencondongkan kepala ke arah Lily.“Manis? Apa ada yang perlu Ayah tau dari putri kecil Ayah, hem?” Edmon menatap Lily curiga. Putrinya mengulum senyum lalu menutup wajahnya karena malu. Edmon berjalan memutar lalu masuk dan duduk di balik kemudi.“Ayah, aku mau menceritakan s
Pras duduk di kursi kayu di depan perapian untuk menghangatkan tubuhnya, ia baru saja menikmati waffle dan madu, juga secangkir teh hangat bikinin istri Andreas. Ia mendengkus, semenjak kehadiran ketiga orang itu, ia tak henti memikirkan langkah untuk kembali meraih semua yang ia bangun di Zurich. Namun sepertinya, beberapa pihak seolah tak mau Pras melakukan itu, karena sejatinya, percuma ia kaya raya tapi tak bahagia.“Sisakan saham untuk Alexander kembangkan saja, Pak, saran saya,” ucap Andreas yang duduk di hadapannya pada kursi kayu juga. Pras menoleh, tersenyum getir mengingat bagaimana perjuangannya selama ini.“ Apa putraku akan sanggup hidup sederhana?” tanya Pras. Andreas terkekeh.“Sederhana bagaimana jika ia masih punya banyak warisan anda yang tak akan habis bahkan, jika Alex memiliki cucu. Menurut saya, sekarang saatnya Pak Pras menikmati hidup yang sesungguhnya, biarkan Alex yang meneruskan. Perusahaan di tanah air ju
“Bagaimana kondisinya?” tampak Pras dan Alex berbicara dengan tatapan serius. Suami Lily itu mengusap kasar wajahnya, lalu menatap ke satu titik yang sejak awal kedua pria itu berada di sana, menjadi pusat perhatiannya. “Entahlah, Dad, bagaimana menurutmu. Aku harus apa menghadapi ini semua?” Alex justru balik bertanya. Pras terus berpikir keras, hingga pintu itu terbuka, menampakkan Laurent yang menatap penuh rasa bahagia. “KETIGANYA SUDAH LAHIR! Cucu kita sudah lahir, Pras!” teriak Laurent yang menemani Lily menjalani operasi sesar. Alex menunduk, perlahan terdengar isakan tangis penuh rasa haru juga bahagia. Pras memeluk putranya itu. “Aku sudah menjadi Ayah, Dad!” teriak Alex begitu bangga dengan dirinya. Laurent kembali masuk ke dalam ruang operasi. Derap langkah Fausto dan Belinda terdengar. “Sudah lahir?” tanya Belinda sembari menggendong putra keduanya. Alex beranjak. “Ayah! Ibu!” Alex berjalan mendekat, memeluk Fausto erat, berganti k
Satu bulan berlalu. Alex dan Lily sudah tinggal di apartemen yang mereka sewa di tengah kota Roma. Mereka tak henti saling meluapkan rasa cinta dan sayang. Lily tak mau menikmati fasilitas yang ditawarkan Fausto, seperti mencuci pakaian di laundry, makanan selalu dikirim oleh pelayan dari rumah utama Fausto di Roma yang jaraknya tak jauh dari apartemen mereka, juga mobil mewah yang disediakan juga. Keduanya menolak kompak. Tapi, jelas, Fausto tak menuruti begitu saja. Para pengawal terus berjaga walau dengan jarak yang cukup jauh, bagaimana pun, keduanya adalah keluarga Fausto, siapa yang tak tau.Kehamilan Belinda sudah menginjak bulan ke tujuh, jenis kelamin bayi dikandungnya, laki-laki. Alex loncat-loncat saking senangnya akan mendapatkan adik laki-laki. Kado ulang tahun Alexander terbaik dari kedua orang tua kandungnya, sementara Pras dan Laurent, sibuk mengelola perkebunan anggur mereka, Edmon ikut repot karena Pras meminta dibuatkan system keamanan juga mengatur para pe
Gaun panjang berwarna putih tulang, dengan bahan satin berpadu lace yang memberikan efek klasik menyesuaikan lekuk tubuh pemakaianya, tampak indah saat dikenakan Lily yang berdiri di ujung pintu gereja, merangkul lengan sang ayah – Edmon – yang tampak beberapa kali harus mengatur napas juga air mata yang beberapa kali keluar dari sudut matanya. Putri cantiknya tampak berdebar mana kala menunggu pintu itu terbuka dan mereka berdua akan berjalan masuk menuju altar dengan karpet merah yang membentang hingga ke hadapan pendeta.Edmon menatap sekali lagi putrinya yang mendongak membals tatapannya, kerudung panjang berwarna senada menjuntai panjang menutupi kepala hingga seluruh bagian tubuh belakang Lily, hanya menyisakan sebagian rambut cokelat indahnya yang di tata begitu rapi tanpa menghilangkan kesan usianya yang sebentar lagi baru tujuh belas tahun.“Aku sudah cantik, Ayah? Tidak buruk riasannya, bukan?” tanya Lily menatap sang sayah.&ld
“Lalu… apa Tuan Pras sungguh rela melepaskan apa yang sudah dikerjakan selama puluhan tahun ini dan memilih untuk berada di sini, di negara baru, juga merintis bisnis barunya?” tanya seorang reporter pria saat Pras diundang ke salah satu acara TV Show tentang bisnis dan karir cemerlang para pengusaha, yang ada di kota Roma, Italia.Pras tersenyum sejenak sebelum menjawab pertanyaan itu, ia mencoba merangkai kalimat sesederhana mungkin supaya akan sampai pesan yang ia maksud. Ia melirik ke istri cantiknya yang duduk di kursi penonton, studio itu besar, dan Pras cukup bangga bisa berada di acara TV dengan rating tinggi itu.“Ya, saya tidak perlu meragukan apa pun lagi untuk melepaskan semua yang saya peroleh di Swiss, sudah cukup untuk kami, saya dan istri saya berkutat dengan bisnis yang sangat menyita waktu. Usia kami tak muda lagi, kami pun sadar, ternyata, terlalu giat mencari uang dan mengumpulkan kekayaan, akan percuma jika waktu bersama ke
“Aku lebih suka gaun yang ini, Ly, kau akan kenakan saat resepsi nanti, bukan?” tunjuk Jessie kepada gaun peseta berwarna champange kepada Lily saat keduanya berada di salah satu butik terkenal di kota Zurich. Laurent sudah menghubungi rekannya, jika calon menantunya sedang mencari gaun untuk pesta resepsi pernikahan.“Apa tidak terlalu terang untuk acara malam hari, Jes?” Lily menatap lekat gaun yang masih berada di manekin.“Tidak, warna ini sedang populer. Alex juga akan terlihat tampan dengan warna jas senada dengan gaun ini, lalu dikombinasi kemeja warna putih. Kalian berdua akan shinning di malam hari, Ly.” Tukas Jessie kemudian. Lily menimbang-nimbang, ia masih mencari warna lain.“Bagaimana dengan warna merah terang?” tanyanya. Jessie menggelengkan kepala.“Kau memang akan menjadi pusat perhatian, tapi… entahlah, mengapa aku merasa warna itu pasaran ya,” kelakar Jess
Suara teriakan bahagia terdengar di kantin mana kala mereka melihat Lily dan Alexander yang berjalan begitu mesra. Mereka kembali ke sekolah setelah Pras dan Laurent mengurus tentang menghilangnya mereka beberapa bulan belakangan. Keduanya di tuntut mengerjakan tugas sekolah yang menumpuk, juga mempelajari materi sebelum ujian kelulusan.“Aku terkejut saat tau Dre meninggal, Lex? Bagaimana bisa ia kecelakaan motor dan terjatuh, Dre pengendara motor yang hebat, bukan?” tanya Jessie yang kini berubah berdandan natural, duduk di hadapan pasangan itu.“Ya, begitulah, musibah,” jawab Alex santai. Jessie mengangguk. Ia menatap Lily, lalu melirik ke cincin yang Alex berikan untuk Lily.“Mmm… kapan kalian akan meresmikannya? Aku tidak sabar untuk hadir di pemberkatan kalian,” ledek Jessie.“Kau tidak cemburu?” celetuk Alex lalu mendapat cubitan kecil di pinggangnya dari Lily. Jessie tertawa.“Lex
Jemari tangan Pras membelai lembut punggung mulus istrinya, lalu mencium lama di sana, memeluk erat lalu kembali ia raba dengan jemari tangannya. Laurent berbalik badan, menghadap suaminya yang tak tampak tua di matanya, mengusap rahang tegas Pras lalu menarik wajah itu mendekat ke bibir Laurent. Wanita itu mengecup lama, lalu menatap.“Kali ini, apa yang mau kita lakuin, Pras, aku lelah jika terus mengejar materi dan hidup bergelimang harta.” Jemari Laurent bermain di surai Pras, pria itu tersenyum, memejamkan mata, meresapi buaian Laurent yang selalu menghanyutkannya.“Kita rintis bisnis anggur milik kita sendiri.” Pras mengerlingkan mata. Laurent menganga.“Kerja lagi?! Pras!” protes Laurent. Pras tertawa, ia merangkak ke atas Laurent lagi, keduanya masih bertelanjang bulat setelah perang di atas ranjang sejak tiga jam lalu.Laurent melenguh panjang, bibirnya terbuka dan dadanya membusung. Pras memasukan senjatanya l
Alex membuka mata, di tatapnya wajah teduh Lily yang masih tertidur di sampingnya. Alex mendekatkan wajahnya, mencium kening Lily yang bergeliat pelan. Perlahan, pemuda itu beranjak, membiarkan Lily yang masih terlelap. Tak lupa ia memakai kembali kaos dan celana jeansnya dengan pelan. Ia merasakan nyeri di kaki kirinya itu. Setelah siap, ia bergegas keluar dari dalam kamar. Tak lupa tersenyum saat kembali menutup pintu kamar kekasihnya itu. “Pagi, Ayah, Ibu…” sapa Alex yang langsung duduk di kursi meja makan.” “Pagi, ‘nak, mandi dulu. Kamarmu sebelah sana,” tunjuk Belinda ke arah Barat lantai dua. “Nanti setelah makan, aku lapar, Bu,” ucap Alex seraya meminum kopi di cangkir. “Jangan manja. Kau akan menjadi Kakak tidak lama lagi,” celoteh Fausto. Alex diam, tak lama setelah mencerna ucapan ayahnya, ia membelalakan mata. “Ibu… hamil? Mengandung Adikku?!” Ibu!” Alex berdiri, ia menganga lalu memeluk Belinda. “Selamat Ibu, aku bahagia me
Lily bersiap untuk tidur, ia menutup pintu kaca balkon kamarnya, lalu tirai renda putih ia rapatkan juga.“Maaf…” Lily terkejut, lengan kekar itu melingkat di pinggangnya, membuat ia mau tak mau memejamkan kedua matanya. Perlahan, Lily melepaskan pelukan itu, lalu berjalan keluar pintu, ia membuka lebar lalu mengusir Alex dengan tatapan dan tangannya yang meminta Alex keluar. Pemuda itu menggelengkan kepala, ia bersedekap, bersandar di pintu lemari pakaian Lily dengan langkah terpincang. Lily diam, hatinya kembali seperti di remas, namun ia juga marah dengan pemuda tampan itu, walau bekas luka masih tampak di wajahnya. Hanya luka lecet.“Keluar, aku mau tidur.” Ucap Lily ketus. Alex menggeleng lagi. “Terserah.” Ketus Lily sembari beranjak ke atas ranjang, merebahkan tubuhnya ke posisi kanan, menghadap dinding, memunggungi Alex.“Aku merindukanmu, Sayang,” suara itu terdengar, Lily masih diam, ia masa bodoh.