Akhirnya, semua sependapat dan sepakat kalau Mytha yang owner Honey Karaoke and Cafe itu bukanlah Prameswari Shalihatun Nisa. Begitu banyak hal yang membuat mereka mengambil kesimpulan itu, bukan lantaran emosional atau tidak sabar semata-mata. Salah satunya, dia sama sekali tidak mengenali Abang. Okelah, mungkin Prameswari pangling dengan Teh Hasna, Ustadz Rayyan atau bahkan Mas Eiden tapi tidak mungkin kan, pangling terhadap Abang? Bagaimana pun di dalam tubuh mereka mengalir darah yang sama. Masa, tidak ada reaksi sama sekali ketika berdekatan? Sungguh, sikap Prameswari tempo hari itu selayaknya orang asing yang belum pernah bertemu sama sekali.
Jadi, tanpa mengulur waktu lebih lama lagi, mereka pulang ke Tangerang untuk melanjutkan pencarian ke kota-kota lain yang mungkin dituju Prameswari waktu pergi dari rumah. Bahkan, Abang dan Teteh sudah memutuskan untuk mencari sampai ke Sumat
Giga berkeras mengelak, ketika Peony gigih mengatakan kalau dia sudah bermain serong di belakang. Bukan hanya dengan kata-kata, Giga juga menggunakan kekuatan fisik, terutama jari telunjuk. Dengan kemarahan yang semakin berkobar-kobar di dadanya, Giga menunjuk-nunjuk tajam wajah Peony yang pucat pasi, "Jangan asal tuduh kaju, Dek! Oooh, aku tahu sekarang … Kamu kan, yang serong? Sama siapa, ha? Ayo, sini bilang sama aku kalau berani? Nggak usah pakai acara bermain belakang segala, terus terang saja … Nanti biar kamu aku kasihkan sama selingkuhan kamu, ha?"Giga benar-benar kalap sekarang, seakan-akan baru saja Peony menyerangnya dengan sebilah pedang. Ditunjuknya wakah Peony tepat di dahi, nyaris menyentuh kulitnya, "Lupa kamu, ha? Aku kerja keras banting tulang siang dan malam tanpa kenal lelah itu untuk siapa? Untuk kamu dan anak-anak kita nantinya. Jangan bodoh kamu Dek
Prameswari tertegun memandangi sehelai jilbab segi empat berwarna putih melati oleh-oleh dari Teh Hasna. Perlahan-lahan namun pasti, dibukanya plastik pembukus dan membentangkannya. Tak terasa air mata Prameswari merembes hangat dari sudut-sudut mata. Tanpa berusaha untuk menyusut tangis, dia berdiri di depan kaca cermin, menyampirkan jilbab di pundak kanan. Gemetar, mengikat rambut yang sudah panjang setengkuk dengan gelang karet dan memakai jilbabnya."Ini Dek Mytha, Teteh ada sedikit oleh-oleh buat Dek Mytha." ujar Teh Hasna tadi sore, sepulangnya Mytha dari kafe, "Semoga suka ya, Dek Mytha?"Selain jilbab putih melati ini, Teh Hasna juga membawakan kue bawang, enting-enting kacang dan asinan bogor. Makanan yang langsung membuat Prameswari jatuh cinta. Rasanya tidak bisa berhenti makan. Bukan hanya karena rasanya tapi juga &
[Halo, apakah benar ini dengan Bang Rayyan? Saya Mytha, Honey Karaoke and Cafe] gemetar, Prameswari mengetik pesan untuk Ustadz Rayyan. Satu hal yang mustahil terjadi jika dalam keadaan sadar seperti sedia kala. Jangankan mengirimkan pesan, sedangkan bertemu saja selalu membuang muka. Tak sudi menatap walaupun hanya sekejap. Tapi ini, demi sebuah jawaban yang selama beberapa bulan ini dicarinya. Demi sebuah jati diri. Apapun pasti akan ditempuhnya.New Chat@Bang Rayyan[Assalamu'alaikum, Dek Mytha][Ya, benar. Ini saya, Rayyan][Bagaimana Dek, ada yang bisa saya bantu?]Sungguh, Prameswari sampai melompat-lompat di atas kasur empuknya, begitu membaca pesan dari Ustadz Rayyan. Dengan per
'Apa, apakah ini yang dimaksud dengan bencana?' batin Prameswari bertanya dengan nelangsa, 'Mengapa tiba-tiba kepalaku sakit lagi? Sama seperti sore itu, saat aku mencoba pakai jilbab putih pemberian Teh Hasna. Aduuuh …!' Prameswari meringis menahan sakit. Rasa sakit di kepalanya benar-benar tak tertahankan lagi, mau pecah rasanya. Ingin menjerit tapi mustahil karena sekarang dia sedang berada di klinik bersalin. Untung, ada klinik bersalin yang tidak terlalu jauh dari Krapyak, sekitar lima ratus meter saja, di Jalan Bantul. Untung juga, Teh Hasna dan bayinya sehat, jadi bisa melahirkan di sini, tidak harus ke rumah sakit besar. Bukan apa-apa. Entah mengapa, belakangan ini kepala Prameswari suka sakit kalau menyetir mobil dengan jarak di atas empat belas kilometer. Padahal, biasanya sih, itu perkara kecil. Jangankan empat belas kilo meter, tiga kali lipatnya saja,
'Siapakah aku, sebenarnya?' Prameswari membatin dalam hati, 'Kenapa begitu banyak hal janggal dan aneh yang kualami?' batinnya lagi sambil menyeka air mata. Dia dalam perjalanan ke rumah Giga sekarang, karena tadi pagi waktu membuat janji, mereka batal bertemu. Itu, dimintai tolong Abang mengantarkan Teh Hana ke klinik bersalin.Tapi dia bahagia. Maksudnya, dengan begitu dia merasakan ada kebahagiaan yang lain di hatinya. Bahagia lah pokoknya, karena bisa membantu mereka. Ya, meskipun baru saja bertemu tapi rasanya bisa langsung akrab dan dekat. Bukan hanya aman tapi juga nyaman perasaannya setiap kali bersama mereka. Entahlah, seperti sudah pernah hidup bersama-sama sebelumnya."Bayi Teh Hasna … Gimana ceritanya, bisa mirip sama aku?" dia bergumam dengan perasaan yang semakin sesak, "Padahal kan, baru aja ke
Prameswari masih menangis terisak-isak saat sampai di rumah. Sama sekali tidak sadar dia tadi kalau ternyata sudah salah pilih kontak. Dia pikir itu nomor ponsel Giga yang biasa mereka gunakan untuk komunikasi. Tapi ternyata, nomor ponsel yang satunya, yang dia curigai sebagai nomor cadangan Peony. Masalahnya Peony pernah menerornya dengan nomor itu dulu, beberapa minggu yang lalu. Memang benar di kontak, dia save dengan nama Mas Giga, sama dengan nomor yang satunya. Bedanya, yang ini tidak ada emotikon jantung hatinya. Kenapa? Karena dulu---waktu Mbak Honey masih ada---Giga sering menghubunginya dengan nomor itu.Jadi, mungkin Peony ingin mempertegas dan memperjelas kalau dia itu isteri Giga, makanya menggunakan nomor itu. Bukan hanya pesan yang berisi ancaman, makian dan sumpah serapah, Peony juga mengirimkan beberapa foto mesranya bersama Giga. Giga memeluk Peony dari samping, Peony
Prameswari melakukan segala cara untuk mengusir Giga pergi dari rumahnya. Menendang, memukul, mendorong dan berusaha menarik tubuhnya tapi gagal total. Sekuat tenaga, Gila bertahan. Baginya, tidak mungkin meninggalkan Prameswari dalam keadaan seperti ini. Selain khawatir dan takut, Giga juga penasaran dengan kata-kata Prameswari tadi. 'Kalian pembohong. Kalian membohongiku aku. Aku tak sudi bertemu dengan kalian lagi.' Tentu saja Giga merasa wajib tahu, apakah Dek Mytha-nya itu sudah pulih kembali? Ingatannya, maksudnya. Masalahnya, beberapa waktu yang lalu saja masih bersikap manis dan mesra padanya. Penasaran dan aneh lah, pokoknya. Giga merasa begitu."Dek, minum dulu, Dek!" kata Giga sambil mengangsurkan segelas air putih pada Prameswari, "Minum dulu, biar tenang."Prameswari bergeming, menatap dalam dan tajam pada bola mat
Setengah berlari, Prameswari ke kamar Mbak Honey. Satu-satu hal yang dia merasa wajib untuk dilakukan adalah membongkar meja kerja dan lemari pakaiannya. Karena apa? Beberapa detik yang lalu, saat dia mengunci pintu depan, terlintas dalam ingatan tentang permintaan Mbak Honey tentang Peony. Apa itu istilahnya? Nah iya, Mbak Honey meminta Prameswari untuk merebut Giga dari Peony. Paling tidak, bisa menikah dengan Giga mewakili dendam yang membara di dalam hati."Mytha, kalau nanti Mbak sudah nggak ada di dunia ini lagi … Rebut kembali Mas Giga dari tangan istrinya, Peony. Kamu tahu Mytha?" Mbak Honey mengutarakan hal yang menyesakkan dada itu di saat Prameswari sudah mulai menikmati dunia Honey Karaoke and Cafe, "Mas Giga itu cinta mati Mbak. Mbak nggak rela dia menikmati kebahagiaan hidup bersama perempuan lain kecuali kamu. Kamu adik Mbak … Kalau kamu berhasil merebut kem